Perasaan bersalah

Sudah tiga hari berlalu, tapi mas Dika belum juga siuman. Aku ke rumah sakit bersama rombongan rekan-rekan bagian HRD.

Disana ada kakak mas Dika dan suaminya yang jaga. Kebetulan ibu Fitri dan ayah mas Dika sedang keluar.

Kulihat mas Dika masih saja tertidur. Wajahnya terlihat tidak sepucat saat selesai operasi. Tapi matanya masih tertutup. "Buka matamu mas Dika..." "Kau harus menjelaskan sesuatu padaku. Ayo buka matamu mas..." setitik air bening meluncur dari sudut mataku.

Setelah ngobrol tentang keadaan mas Dika dan berdo'a bersama, rekan-rekan HRD pamit. Aku sengaja tinggal karena ingin bertemu ibu Fitri.

Tak lama kemudian ibu Fitri menghampiriku.

"Ada nak Nania. Sama siapa nduk?" tanya ibu yang lembut hatinya seperti ibuku sendiri.

"Tadi bareng sama teman-teman HRD bu. Sekarang mereka sudah pulang. Ibu sudah makan?"

"Iya ibu barusan beli makan sama ayah. Ayah masih di mushollah sambil nunggu maghrib"

"Ohya sudah kenal dengan kakaknya Dika?"

"Sudah bu" kujawab dengan angukan kepala.

"Nania ini yang diceritakan adikmu kapan hari nduk. Seharusnya Dika memberi kabar bahagia setelah ijin mau melamar nak Nania. Tapi malah kabar seperti ini yang kami terima" Ibu Fitri berucap sambil memandamg pintu ruangan mas Dika dengan mata berkaca-kaca.

"Maafkan saya bu" hanya itu yang bisa kuucapkan. Kembali hatiku meringis sakit membayangkannya.

"Dika bilang Nania gadis yang cantik dan sederhana. Senyummu manis katanya" kali ini kakanya mas Dika, mbak Dinda yang bicara.

Aahhh mas Dika apa-apaan sih bilang seperti itu pada keluarganya. Aku kan malu... Pasti sekarng pipiku sudah memerah.

"Eh nggak. Biasa saja mbak. Pak Dika saja yang terlalu melebihkan" jawabku sekenanya.

Sebenarnya ada yang ingin ku tanyakan kepada bu Fitri. Tapi momentnya tidak tepat. Aku ingin bertanya kenapa beliau memberi ijin mas Dika melamarku. Padahal mereka sudah menjodohkannya dengan Zahra? Apa yang sudah terjadi? Apa aku menjadi orang ketiga yang seolah-olah merebut mas Dika dari Zahra? Tapi kenapa perlakuan keluarga mas Dika kepadaku baik-baik saja. Seperti tak ada kekacauan yang terjadi pada mas Dika, Zahra dan ... Aku.

Aahh... Aku capek memikirkannya. Sekarang konsenku ingin mas Dika cepat sadar. Cepat sembuh.

***

Sudah seminggu berlalu. Sekarang aku disini kembali. Kemarin bu Fitri mengabariku kalau mas Dika sudah ada sedikit respon ketika diajak bicara. Jari tangannya sedikit bergerak-gerak, tapi setelah beberapa saat diam lagi. Setelah dichek dokter, katanya ini kemajuan baginya. Tidak lama lagi insya allah mas Dika bisa sadar sepenuhnya. Ruangannya juga sudah dipindah ke kamar inap biasa.

Kuucap syukur atas kabar yang kudengar tersebut.

Setelah mengucapkan salam, aku jabat tangan bu Fitri. Kulihat mas Dika masih tertidur. Ohya aku datang bersama adikku yang pertama, Abid. Kebetulan kemarin dia diminta bapak untuk kesini menemaniku menjenguk mas Dika.

Bu Fitri pamit ke mushollah untuk sholat dhuhur. Kubuka aplikasi Qur'an di ponsel dan kulantunkan pelan-pelan di samping brankar mas Dika. Semoga dia tergugah untuk membuka matanya.

Sekitar 10 menit aku mengaji, kurasakan ada pergerakan jari tangan mas Dika. Kulihat matanya, bulu matanya berkedip lemah seolah ingin membuka. Langsung kupencet bel perawatan agar dokter segera kesini. Tak lama seorang perawat masuk dan bertanya yang terjadi. Dia melihat jari mas Dika masih bergerak-gerak. Perawat tersebut keluar untuk memanggil dokter. Setelah dokter masuk, aku dan Abid diminta menunggu di luar.

Tanganku saling meremas. Bibirku tak henti-hentinya merapalkan do'a memohon kesembuhan mas Dika.

"Ada yang bernama Nania?" tanya perawat di depan pintu ruangan mas Dika.

"Sa-saya Nania" jawabku kaget.

"Silahkan masuk. Pasien memanggil-manggil nama Anda" Kenapa namaku yang dipanggil mas Dika? Bukan nama orangtuanya atau Zahra? Ahh kuenyahkan pikiran-pikiran tersebut. Segera kulangkahkan kakiku memasuki ruangan mas Dika. Kulihat mas Dika sudah bangun. Matanya masih sendu dengan perban yang masih terikat di kepalanya.

"Pasien sudah siuman. Berikan kepercayaan padanya agar mudah melewati ini semua. Support dari orang terdekat akan sangat membantu proses penyembuhannya" dokter menjelaskan kepadaku. Aku angukkan kepala dan mengucapkan terimakasih. Setelah itu dokter keluar bersama perawat. Sadar hanya tinggal aku dan mas Dika di ruangan ini, kulangkahkan kaki keluar, memanggil adikku Abid untuk masuk.

Mas Dika tersenyum tipis kepadaku. Mataku berembun melihatnya. Kubalas tersenyum untuk menguatkannya.

"Alhamdulillah mas sudah bangun. Keluarga mas sangat sedih melihat mas Dika koma beberapa hari, terutama ibu Fitri"

"Apa kamu juga?" tanyanya dengan suara masih lemah.

"Hah? Ak-Aku?" keterkejutanku membuatnya tersenyum agak lebar. Reflek aku mengangukkan kepala. Tentu saja aku sedih melihatnya tak berdaya seperti itu. Terlepas dari semua yang sudah terjadi. Entah kenapa rasanya senang melihatnya tersenyum kepadaku.

"Nan..."

"Kamu sudah tahu kan kalau aku kerumahmu waktu itu?"

Aahh... Kenapa dia membahas ini. Dia kan baru sadar dari koma. Harusnya dia banyak istirahat agar segera pulih. Dan aku masih belum siap untuk membahasnya dalam keadaannya seperti ini.

"Sudah... Mas Dika istirahat dulu saja. Kita bisa bicarakan itu lain waktu. Segera sembuh ya mas"

Tak lama setelah kuucapkan kalimat itu, kedua orangtua mas Dika masuk. Mereka tampak terkejut melihat putranya sudah bangun dari tidur panjangnya. Berkali-kali kalimat hamdalah terucap dari bibir mereka sambil meneteskan air mata. Aku sedikit menjauh memberi ruang pada keluarag tersebut.

Tiba-tiba ponselku bergetar tanda panggilan masuk. Kurogoh ponselku dari tas slempang yang kupakai. Nama kak Fatur terpampang disana. Segera ku keluar ruangan untuk menjawab teleponnya.

"Iya kak Fatur ada apa?" ucapku setelah memberi salam.

"Kamu sedang apa Nan? Bagaimana kabarmu? Kenapa kamu belum memberiku jawaban apapun?"

Rentetan pertanyaan dari kak Fatur membuatku binggung harus menjawab apa.

"A-aku sedang di rumah sakit-"

"Hah di rumah sakit? Kamu kenapa? Kamu sakit? Di rumah sakit mana? Aku kesana sekarang ya?" lagi-lagi dia memberondongku dengan pertanyaan.

"Bu-bukan aku yang sakit. Tapi pak Dika. Kecelakaan seminggu yang lalu sepulang dari surabaya"

"Apa? Dika? Senin kemarin aku bertemu dengannya di kantorku. Kami juga sempat ngobrol"

"Kak Fatur ngobrol apa dengan pak Dika?" tanyaku menyelidik.

"Tak banyakyang kami bicarakan. Tapi aku sempat mengatakan kepadanya bahwa aku sudah melamarmu"

Deg!

Benar kan dugaanku.

Allah...

Apa karena itu mas Dika kecelakaan?

Aku merasa sangat bersalah kepadanya kalau itu benar. Hiks... Hiks...

"Nania! Kamu nangis?" suara kak Fatur membuyarkan lamunanku. Tak sengaja aku terisak membayangkan kejadian itu. Maafkan aku mas Dika....

"Kak, kita bicara nanti lagi ya. Aku ada perlu. Asaalamualaikum" tanpa menunggu jawaban salam, kumatikan sambungan telepon.

Kulangkahkan kaki memasuki ruangan itu lagi.

"Pak Dika maafkan aku..." Dengan perasaan bersalah aku minta maaf kepadanya.

"Maaf untuk apa Nan?" tanya mas Dika heran.

"Untuk semuanya" air mataku kembali menetes. Segera kusapu dengan kedua jari tanganku.

Dia baru sadar, masih sangat lemah. Nanti kita bicarakan lagi mas Dika setelah keadaanmu membaik.

***

Dua minggu berlalu, mas Dika sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah membaik. Hanya saja masih belum masuk kerja. Masih proses pemulihan. Kuharap dia segera pulih agar bisa kembali beraktifitas seperti sebelumnya. Tentang pekerjaan mas Dika, dibagi kepadaku dan Lina. Jadi aku sering lembur karenanya. Setelah dia sadar dua minggu yang lalu, aku hanya datang sekali pada hari minggu bersama Lina. Sebenarnya aku takut dia akan membahas tentang lamaran itu lagi. Yang kuinginkan dia sembuh total dulu.

***

"Assalamualaikum Nania. Bisa kita bicara? Aku sudah siap mendengarkan semuanya"

Sebuah pesan dari orang yang membuat hatiku ketar ketir beberapa minggu ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top