Pengakuan
"Assalamualaikum Nania. Bisa kita bicara? Aku sudah siap mendengarkan semuanya."
Sebuah pesan dari orang yang membuat hatiku ketar ketir beberapa minggu ini.
Apa sekarang sudah waktunya? Aku memang butuh penjelasannya segera. Kalau Mas Dika sudah siap berarti dia sudah dalam keadaan baik. Sampai sekarang aku masih merasa bersalah atas kecelakaan yang terjadi padanya.
"Waalaikumsalam. Apa Mas Dika sudah sehat? kalau sudah, iya mari kita bicara." Kukirim pesan balasan dengan perasaan campur aduk.
"Ibu mengundangmu ke kontrakanku. Beliau masak gudeg spesial untukmu katanya. Datanglah nanti sore ke sini!"
Apa? Bu Fitri masak gudeg spesial untukku? Ya Allah ... pipiku pasti sudah memerah saat ini. Heemm ... jadi tidak sabar ingin merasakan gudeg buatan Bu Fitri. Oh ya, sejak Mas Dika pulang dari rumah sakit, Bu Fitri lah yang merawatnya. Aku belum pernah berkunjung ke sana. Tetapi aku tahu tempatnya, sewaktu tak sengaja jalan-jalan sore dengan Ifa.
"Lina, Pak Dika mau bicara denganku sore ini. Doakan aku ya, Lin."
"Oh ya? Syukurlah ... berarti dia sudah sehat, Nan. Bicarakan semuanya agar tidak ada salah paham di antara kalian. Semoga kalian berjodoh, ya."
Lina mengerlingkan matanya untuk kalimat terakhir. Dasar! Senang sekali dia menggoda kami.
***
Di sinilah aku sekarang, rumah kontrakan Mas Dika. Rumah minimalis tapi tertata dengan baik untuk ukuran seorang laki-laki. Atau karena ada Bu Fitri yang menata dan membersihkan, jadi terlihat rapi dan bersih. Entahlah. Yang jelas rumahnya terasa nyaman bagiku.
"Nania ke sini, Nduk. Ibu buatkan kamu gudeg asli Jogja. Kamu pasti lapar, kan? Kita makan bersama, yuk!" ajak Bu Fitri menuntunku ke ruang makan sekaligus dapur.
"Waahh ... pasti enak nih, gudeg buatan Ibu!" sanjungku membuat Bu Fitri tersenyum manis kepadaku.
Kami bertiga makan dengan diam. Benar banget dugaanku. Rasa gudeg ini enak sekali. Aku mau minta resepnya nanti. Siapa tahu Ibuku juga mau membuatnya kapan-kapan.
Selesai makan ku bantu Bu Fitri membereskan meja makan. Dan ketika mau mencuci piring, beliau mencegahku.
"Sepertinya anak ibu mau bicara denganmu. Temui dia di ruang tamu. Biar ibu yang mencuci piringnya. Bawa minuman dan kue di nampan itu ke sana" kata bu Fitri sambil menunjuk nampan di atas meja dapur.
Perasaanku kembali gugup mendengar perkataan Bu Fitri. Kulangkahkan kaki perlahan sambil membawa nampan berisi dua cangkir teh dan satu toples kue kembang gula khas Yogyakarta.
"Ehem ... Mas Dika, ini tehnya." Kuletakkan cangkir dan toples itu di meja. Setelah itu aku duduk di kursi single sebelah kursi Mas Dika.
"Makasih, Nania," ucap Mas Dika sambil tersenyum manis. Ah, kenapa senyum itu manis sekali bagiku?
"Eemm ... maaf ya, Nan, karena selama sakit, aku merepotkanmu. Ibu mengatakan kalau kamu menginap di rumah sakit menemani ibu waktu aku selesai operasi."
"Sama-sama, Mas. Aku kasihan pada ibu karena sendirian menjagamu. Ayah ikut ke kantor polisi mengurusi kecelakaan yang terjadi padamu," jawabku seadanya.
"Apa kamu hanya kasihan pada ibuku?" Matanya menatapku tajam.
"Ma-maksud ... Mas Dika, apa?" tanyaku tak mengerti.
"Apa kamu tidak mengkhawatirkan aku?"
Jleb!
Pertanyaan menjebak ternyata!
Tanganku memilin-milin ujung hijab. Ini biasa kulakukan kalau sedang gugup.
"A-ak-aku ... tentu saja aku juga mengkhawatirkan Mas Dika. Keadaanmu kala itu sangat memprihatinkan. Semua orang pasti bersimpati padamu seperti yang kurasakan," jawabku sekenanya, dengan suara melemah diujung kalimat.
Tentu saja aku sangat khawatir kepadamu. Pikiranku sudah kemana-mana saat mendengar kabar kamu kecelakaan. Bagaimana kamu bisa bertanya seperti itu? Sungguh gak peka. Ck!
"Begitu, ya?" jawabnya menyerah. Aku angukkan kepala mengiyakan.
"Eemm ... Nania, boleh aku bertanya? Apa ... kamu dan Fatur akan menikah?"
"Hah?! Kenapa Mas Dika berpikiran seperti itu?" Pertanyaan macam apalagi ini?
"Hari itu aku bertemu dengan Fatur di kantor pusat. Dia mengatakan kalau dia sudah melamar ke orang tuamu dan kalian akan segera menikah." Mata Mas Dika melirikku dengan kepala menunduk.
Deg!
Allahu Robbi ....
Jadi itu yang dikatakan Kak Fatur kepada Mas Dika. Kenapa dia tidak bilang hal ini kepadaku? Kak Fatur hanya mengatakan bahwa dia sudah melamarku. Apa-apaan orang itu? Belum juga kujawab sudah seenaknya bikin fitnah. Astagfirullahhal'adzim ....
"Sebenarnya itu tidak sepenuhnya benar, Mas. Ka--kak Fatur memang sudah datang ke orang tuaku, tapi aku belum memberinya jawaban kala itu. Aku butuh salat Istihkarah untuk mengambil keputusan. Aku juga nggak tahu kenapa dia bilang kalau kami akan menikah? Sungguh aku gak tahu, Mas Dika." Kucoba menjelaskan yang sebenarnya terjadi.
"Jadi ... apa jawabanmu atas lamarannya?"
Flasback on
Dua minggu sudah berlalu sejak Kak Fatur menghubungiku terakhir kali. Kak Fatur kembali bertanya tentang lamarannya. Aku pun sudah punya jawaban untuknya. Tentunya setelah salat Istikharah lagi dan lagi. Hasilnya tetap sama. Hatiku tidak condong ke Kak Fatur. Tidak ada perasaan lebih selain sebagai teman.
Awalnya dia tidak percaya dan kecewa karena lamarannya tidak kuterima, tetapi dengan sabar kuungkapkan bagaimana perasaanku selama ini kepadanya. Cinta tidak bisa dipaksa. Akan ada hati yang tersakiti karena keterpaksaan. Akhirnya dia bisa menerima keputusanku.
Namun dia meminta untuk tidak memutuskan hubungan baik dengannya. Aku setuju saja. Karena tidak berlanjutnya sebuah hubungan baru, bukan berarti memutus tali pertemanan yang sudah tercipta lama, bukan? Tentu tetap dengan batasan yang ada.
Bahkan dia memintaku mencarikan kandidat calon istri untuknya. Hahahaa ... entahlah. Apa aku bisa? Semoga dia segera menemukan wanita yang tepat sebagai istrinya kelak. Aku saja masih jomlo sampai sekaramg. Hehee ....
Flashback off
"Aku tidak bisa menerima lamaran Kak Fatur. Tapi kami tetap berteman baik."
Terdengar suara embusan napas berat dari Mas Dika. Mungkin dia lega karena pesaingnya telah tersisihkan.
"Syukurlah ... eh, maksudku ... kalian memang lebih cocok sebagi teman. Eh, tapi ... tidak juga sih. Fatur terlalu agresif kepadamu. Dan aku tidak suka itu."
Hah! apalagi ini? Apa dia cemburu kepada Kak Fatur? Lucu sekali ekspresinya kalau sedang cemburu. Xixixixx ... aku tertawa dalam hati.
"Maksud Mas Dika, apa?" tanyaku berlagak bodoh.
"Ah, tidak! Lupakan saja!" Kembali dia membuang muka dan bibirnya manyun.
Mas Dika mengambil cangkir teh lalu menyeruputnya. Membenarkan duduknya agar nyaman lalu menarik hidung kedepan beberapa kali. Apa ini gayanya sewaktu gugup?
"Eehem ... Nania, kamu sudah tahu aku juga datang ke orang tuamu untuk melamarmu, kan? Lalu apa aku sekarang bisa mendengar jawabanmu atas ... lamaranku?"
Deg!
Akhirnya dia menanyakan ini kepadaku.
"Kenapa Mas Dika tiba-tiba melakukan itu? Mas Dika kan sudah dijodohkan dengan--" Belum sempat melanjutkan kalimatku, dia sudah memotongnya.
"Kami sudah mengakhiri rencana perjodohan itu, Nan. Jauh sebelum aku melamarmu. Setelah kamu menjawab telepon darinya kala itu. Kamu ingat?"
"Hah! Benarkah seperti itu? Jadi ... Mas Dika batal dijodohkan dengan Zahra? Tapi mengapa? Bukankah M0l0as Dika sendiri yang bilang kalau dia perempuan sholihah, cantik, cerdas pula?"
"Zahra menyukai laki-laki lain. Rencana perjodohan itu tidak mengikat kami dalam hubungan apa-apa, Nan. Kami sama-sama mengakhirinya dengan penuh keikhlasan. Aku sudah menganggapnya seperti adik sendiri." Seulas senyum terbit dari bibirnya.
"Jadi ... bukan karena Mas Dika naksir Nania, kan? Nania bukan menjadi orang ketiga, kan?"
Duuhhh ... pertanyaan macam apa ini? Pasti dia mengira aku ke-geer-an sekarang.
Dia malah terkekeh. Dasar!
"Bukan, Nania .... tapi ... mungkin juga sih ...."
Hah! Jawaban apalagi itu? Dia pasti sedang menggodaku. Ck!
"Jadi gimana Nania? Apa kamu mau menjadi istriku?"
Ya Allah ....
Rasa gugup kembali menyerangku. Desiran halus tiba-tiba mengalir di hati. Kalimat ajaib itu mampu membuat jantung ini serasa meloncat-loncat tak terkendali.
Bismillah ...
Aku mengangukkan kepala dua kali sambil menunduk. Pasti sekarang pipiku sudah seperti kepiting rebus. Rasanya ingin kututupi wajah dengan bantal karena malu. Seseorang, cepat bawa aku pergi dari sini ....
"Alhamdulillah ... akhirnya anak ibu akan menikah juga!" Tiba-tiba suara Bu Fitri terdengar dari arah belakangku. Apa dari tadi bu Fitri mendengar percakapanku dengan anaknya? Duuhhh ... malu sekali rasanya.
"Ibu mendengar semuanya?" tanyaku tersipu.
"Ibu hanya ingin tahu bagaimana anak ibu ini melamar calon istrinya. Dika ini tidak pernah punya pacar, Nduk. Karena itu kami sempat mau menjodohkannya dengan Zahra. Tapi ternyata, mereka tidak berjodoh. Insya Allah kamulah jodohnya yang diharapkan Dika selama ini."
Penjelasan Bu Fitri membuatku sempat terperangah. Mas Dika belum pernah pacaran? Berarti kami punya prinsip yang sama dong. Jomlo sampai halal. MasyaAllah ... aku tak pernah menyangka sebelumnya.
"Terima kasih, Nania. Aku akan segera membawa keluarga untuk mengkhitbahmu secara resmi!" Mas Dika tersenyum lebar. Kulihat matanya berbinar menatapku.
Ya Allah ... sepertinya ada bunga-bunga bermekaran melayang-layang di hadapanku. Senyumku tak bisa ditahan. Begitupun dengannya yang tersenyum lebar ke arahku. Jadi begini rasanya dilamar seseorang yang kita harapkan? Aah, bahagianya ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top