Pemutusan Perjodohan

Happy reading yaa...
Jangan lupa vote dan koment 🙏🙏

Dika POV

Selama hampir 20 menit aku menunggu kehadiran Zahra di sebuah kafe. Di mejaku sudah terhidang segelas jus alpukat dan kentang goreng. Iya. Setelah tadi siang Zahra telefon yang diangkat oleh Nania, lalu aku telefon balik. Dan dia mengajak bertemu di kafe ini. Ada hal penting yang ingin disampaikan katanya. Sambil menunggu kubuka aplikasi whattsap barangkali ada pesan masuk. Tiba-tiba suara salam membuatku harus mengangkat pandanganku ke arah suara tersebut.

"Assalamualaikum warahmatullah Mas Dika." Perempuan manis bergamis ungu berhijab lebar dan menundukkan pandangannya. Yah, dia Zahra Nur Laili, perempuan yang dijodohkan denganku.

"Waalaikumussalam warahmatullah," jawabku sambil mempersilakannya duduk di kursi depanku.

Setelah Zahra memesan minuman, kami saling bertanya kabar dan berbicara tentang kegiatan masing-masing selama ini. Kebetulan dia libur kuliah dan ikut teman yang rumahnya di Gresik. Selain liburan, juga karena dia ingin bertemu denganku.

Walaupun kami sudah dijodohkan, tapi kami tidak pernah bertemu sejak hari raya tahun lalu. Sekitar 7 bulan kami hanya sesekali berkomunikasi lewat WA untuk sekedar basa basi menanyakan kabar. Itupun karena ibuku yang meminta aku menanyakan kabarnya. Dia tidak pernah WA duluan, mungkin karena kesibukannya kuliah S2. Karena itu tadi siang setelah tahu dia mengajak bertemu, rasanya aneh.

Aku menerima perjodohan ini karena baktiku pada orangtua. Orangtua kami berteman akrab sejak aku masih kecil, jadi mereka membuat perjodohan ini agar pertemanan orangtua dan keluarga kami semakin akrab dan menjadi keluarga besar. Tidak ada perasaan lebih kepada Zahra. Mungkin nanti setelah kami menikah, akan muncul rasa cinta itu secara perlahan, batinku. Entah apa alasan Zahra juga menerima perjodohan kami. Aku tidak pernah bertanya dan diapun tidak pernah mengungkapkannya kepadaku. Hanya saja dia minta mau dilamar setelah lulus S2.

"Ee ... Mas Dika, sebenarnya maksudku ingin bertemu dengan Mas Dika ... karena ... ada suatu hal yang harus aku utarakan." Zahra berbicara dengan nada serius dan hati-hati.

"Hal apa itu, Dek?" Yah, ku panggil dia Adek karena sebelum perjodohan itu pun panggilanku ke dia Adek. Mengingat usianya yang 5 tahun di bawahku. Penasaran dengan apa yang akan disampaikannya.

"Eemmm ... ma-maaf, Mas. Se-sepertinya lebih baik ... ki-kita jangan teruskan perjodohan ini."

Deg!

Zahra dengan menunduk mengucapkan kalimat yang tidak kuduga. Entah apa yang aku rasakan sekarang, kaget, penasaran, binggung, dan juga seperti ada kelegaan di sisi ruang hatiku. Tidak ada rasa sakit atau kecewa. Yang terlintas seketika hanya bayangan orang tuaku.

Beberapa saat hening. Zahra masih tertunduk, dan aku masih penasaran dengan kalimat yang barusan diucapkannya.

"Kenapa Dek?" tanyaku penasaran

Dia menggelengkan kepalanya pelan. Masih dengan tertunduk, dia ungkapkan

"A-aku ... menyukai orang lain." Suaranya pelan tapi masih bisa kudengar.

"Maafkan aku Mas Dika. Sejak pertama kali bapak mengutarakan niatnya untuk menjodohkan kita, sebenarnya aku tidak setuju. Karena aku sedang menjalani masa ta'aruf dengan seseorang. Tapi bapak tetap menyuruhku menyetujui perjodohan itu. Karena alasan bapak, Mas Dika bisa menjadi imam yang baik untukku. Juga karena Mas Dika sudah bekerja dan usianya sudah matang untuk berumahtangga. Sedangkan lelaki yang berta'aruf denganku adalah teman di kampus UNY." Zahra menjelaskan panjang lebar alasannya.

"Kenapa baru sekarang kamu sampaikan ini kepadaku, Dek? Kalau dari awal kamu jujur, mungkin kalian sudah bisa menikah sekarang." Aku masih penasaran.

"Karena kala itu keberatanku tidak diterima bapak. Jadi dengan berat hati aku menerimanya. Setidaknya aku tidak dianggap anak durhaka karena melawan orang tua."

"Lalu ... sekarang kau masih berhubungan dengan lelaki itu?" Zahra menganggukkan kepalanya.

"Kami satu kelas lagi di jakarta," ucapnya tegas.

Menarik napas seperlunya lalu kuutarakan, "Baiklah. Kita belum ada ikatan apa-apa. Hanya sebatas rencana perjodohan. Aku juga belum mengkhitbahmu. Kita sampaikan hal ini pada orang tua masing-masing." Kuhela napas lagi sebentar, "kita yakinkan orang tua kita bahwa inilah yang terbaik. Apabila diteruskan dengan paksaan, tentu akan menyakiti banyak hati dan mengarah ke zalim. Rumah tangga tanpa adanya cinta dan kasih sayang serta karena keterpaksaan tidak akan mendapat rahmat dari Allah." Dengan kelegaaan hati kusampaikan.

"Tapi ... Mas Dika tidak sakit hati, kan? Mas Dika belum ada rasa cinta kepadaku, kan? Maafkan aku kalau--." Belum sempat Zahra melanjutkan kalimatnya, aku memotong.

"Rasa cintaku akan kuberikan untuk istriku kelak, Dek. Seumpama kamu sudah kukhitbah, walau awalnya belum ada rasa itu. Aku akan belajar menumbuhkannya. Agar setelah ijab qobul, seluruh cintaku tercurah untuk istriku. Jadi jangan pikirkan itu. Aku menganggapmu sudah seperti adekku sendiri." Jujur aku mengungkapkan perasaanku. Memang benar dari awal sampai sekarang, aku belum memiliki secuil rasa cinta atau sayang seperti laki-laki pada wanita. Hanya sebatas rasa sayang seperti adik kakak.

"Syukurlah. Setidaknya aku tidak melukai perasaan Mas Dika. Tapi ... kumohon jangan sampai hubungan keluarga kita yang sudah terjalin baik, akan rusak karena keputusan ini Mas." Zahra mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku.

"InsyaAllah orang tua kita akan menerima dengan lapang dada. Dan tidak akan merubah jalinan silaturahim yang sudah terjalin sejak kita masih kecil." Kucoba menyakinkannya.

"Baiklah, Mas. Mohon maaf atas semuanya dan terima kasih atas pengertiannya. Semoga kita mendapatkan jodoh yang terbaik menurut Allah." Zahra tersenyum simpul.

"Aamiin ...."

***

Author POV

Setelah kesepakatan Zahra dan Dika, keduanya menghubungi orangtua masing-masing untuk menyampaikan keputusan mereka. Syukur alhamdulillah kedua keluarga itu bisa menerimanya, walau awalnya bapak Zahra tidak mau menerima keputusan tersebut, tapi dengan bantuan Dika, dia meyakinkan itu yang terbaik untuk semua pihak. Akhirnya orang tua Zahra bisa menerimanya.

Sekarang "beban" di pundak Dika sudah hilang. Dia yakin Allah sudah menyiapkan wanita sholihah untuk jodohnya. Kapan, siapa, dan bagaimana? Itu teka teki Sang Pencipta. Tugasnya hanya memohon dalam do'a.

***

Dua bulan kemudian.

"Pak Dika tadi Nania telfon aku katanya dia sakit. Kita jenguk yuk nanti sepulang kerja." Lina memberi kabar sesaat setelah Dika masuk ke ruangannya.

"Innalillahi ... sakit apa?" Ada rasa khawatir di hatinya mendengar kabar tersebut.

"Gak tahu, Pak. Mungkin demam. Karena katanya badannya panas dan kepalanya pusing sejak semalam."

"Oke nanti kita ke kostnya sepulang kerja." Rasanya Dika sudah tak sabar ingin menjenguk Nania. Dia khawatir karena Nania sendirian di kost. Pasti tidak ada yang merawatnya. Apa dia sudah makan? Apa dia sudah minum obat? Pertanyaan tersebut terbesit di hatinya.

Jam pulang kantor sudah tiba. Lina dijemput suaminya naik motor dan Dika mengikutinya menuju kost Nania. Tak lupa dia mampir ke warung padang terlebih dahulu untuk membeli dua bungkus nasi padang. Juga ke minimarket untuk membeli roti, minuman dan beberapa jeruk.

"Bagaimana keadanmu, Nan?" tanya Dika setelah tiba di kamar kost Nania.

Nania terlihat lemah, wajahnya agak pucat dan matanya terlihat sendu. Duduk di kasur yang tergelar di lantai, bersandar di dinding dengan bantal sebagai sandaran.

"Alhamdulillah sudah mendingan, Pak Dika." Padahal dia masih merasa pusing dan badannya masih panas. Walau sudah tak sepanas semalam.

"Kamu sudah minum obat?" lanjut Dika khawatir. Dan disambut anggukan ringan dari Nania.

"Tadi pagi diantar Ifa ke puskesmas. Sudah kuminum juga obatnya."

"Cepet sembuh ya, Nan. Aku kangen kalau kamu gak masuk ke kantor. Rasanya sepi gak ada yang diajak bercanda." Kali ini Lina yang bersuara. Sambil mengupaskan jeruk yang dibelikan Dika untuk Nania.

"Iya Aamiin ..." jawab Nania lemah.

Sembari makan jeruk, mereka ngobrol tentang suasana kantor dan menyampaikan salam dari Pak Aam juga.

Azan Magrib berkumandang. Lina undur pamit duluan.

"Baiklah Nan, sudah Magrib. Aku pamit dulu ya. Pak Dika mau sekalian pulang juga?" tanya Lina.

"Eemmm ... sebentar lagi. Aku mau sholat di musholah depan dulu. Titip tasku ya, Nan." Dika ingin salat di musala depan kost Nania karena dia mau memastikan nanti Nania memakan nasi padang yang sudah dibelinya tadi.

"Iya."

Kamar Nania berada di samping dapur, jadi banyak orang kost lain yang lalu lalang ke dapur untuk membuat makan malam. Ada bangku panjang di depan kamarnya. Nania kebetulan sedang berhalangan tidak saolat. Jadi selepas Dika dan Lina keluar kamarnya, dia hanya ke kamar kecil lalu duduk di bangku depan kamarnya menunggu Dika. Walau angin malam mulai terasa dingin karena kondisi badannya yang sakit, lebih baik menemui Dika di luar kamar agar tidak menjadi fitnah. Dia takut dengan fitnah, karena itu dia tidak mau pacaran.

Setelah menunaikan salat Magrib, Dika kembali ke kost Nania. Dia ingin mengambil tasnya sekaligus memastikan Nania makan dan minum obat agar lekas sembuh.

"Nania kamu makan, ya. Tadi aku bawakan nasi padang untukmu 2 bungkus."

"Ya Allah, Mas Dika kenapa bawa dua? Satu bungkus saja paling tak habis. Perutku masih eneg juga, Mas," protes Nania

"Ya biar kamu terjamin makannya. Aku gak mau kamu makan mie instan lagi karena gak ada makanan," bela Dika. Dia tidak suka kebiasaan Nania yang suka makan mie instan. Apalagi sekarang dia sedang sakit. Butuh gizi yang bagus agar cepat pulih.

"Iya ... iya ... tapi beneran, Mas. Satu bungkus saja sudah cukup. Ee ... Mas Dika belum makan malam, kan? Buat mas Dika saja satunya."

"Yaudah. Aku ambilkan, ya? Piring dan sendokmu di mana?"

"Ada di atas lemari plastik."

Dika membawa nasi tersebut dengan piring dan sendoknya, lalu mereka makan bersama. Setelah makan, Dika menyuruh Nania minun obatnya sekalian. Nania menurut saja. Selepas itu Dika berpamitan dan menyuruh Nania istirahat di dalam.

Entah kenapa Dika begitu khawatir dengan keadaan Nania. Selain rasa iba karena tidak ada yang merawatnya dikala sakit, ada rasa ingin selalu melindungi gadis itu. Dan bisa berbuat sedikit seperti tadi, membuat Dika merasa bahagia.

Di tempat lain, Nania juga bersyukur atas perhatian orang-orang disekitarnya, terutama Dika. Walau jauh dari keluarga, tapi dia merasa ada yang menjaga dan mengkhawatirkannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top