Merindu
"Kita berpisah sementara waktu. Aku akan merindukanmu. I love you."
Kalimat perpisahan sementara mereka, pengantin baru yang tinggal terpisah untuk sementara waktu. Setelah resepsi digelar, seminggu lagi, barulah mereka akan tinggal serumah.
Rombongan keluarga Dika langsung balik ke Yogyakarta. Sedangkan orangtuanya masih menginap di kontrakan Dika. Besok, barulah mereka akan pulang ke Jogja. Dika sendiri, besok sudah mulai masuk kerja. Berbeda dengan Nania yang tidak diperbolehkan kerja dulu selama seminggu. Sebenarnya, kantor hanya memberikan ijin cuti menikah sebanyak 3 hari saja. Tapi Dika bernegosiasi dengan Bu Diah, untuk mengijinkan Nania cuti selama seminggu guna persiapan resepsi pernikahan. Tak apalah kalau konsekuensinya harus potong gaji, asal bisa dapat ijin cuti. Nasib karyawan kantoran, susah minta ijin cuti.
"Nak, kamu beneran gak bisa ijin untuk persiapan resepsimu? Kalau kamu bisa ijin, besok kita pulang ke Jogya bareng-bareng." Bu Fitri yang sedang membereskan kesemerawutan ruang tengah yang ditinggalkan keluarga Dika, membujuk putranya.
"Tidak bisa, Bu. Saya cuti sakit saja sudah sebulan lebih. Ditambah cuti ke rumah Nania untuk mengurusi ke KUA. Jadi besok, Dika harus masuk, Bu. Dika gak mau makan gaji buta."
"Tapi kamu sendirian, lho di sini. Kamu juga belum boleh nyetir sendiri. Nanti gimana? Lagian akan ada resepsi pernikahan kalian, pamali kalau mantennya pergi-pergi." Lagi Bu Fitri membujuk putranya karena khawatir.
"Insya Allah semuanya baik-baik saja, Bu. Yang penting do'a Ibu jangan pernah putus buat Dika." Dika menenangkan hati ibunya yang gundah.
"Ya sudah, kalau maumu begitu. Jadi, kamu pulangnya kapan?"
"Insya Allah jum'at, Dika pulang."
Meskipun berat hati, Ibu Fitri merelakan keputusan anaknya tersebut.
***
Setelah salat Isya, Dika berbaring di kasur. Rasanya dia rindu pada istri yang dinikahi beberapa jam lalu. Diambilnya posel, lalu mendial nomor ponsel istri.
'Tuut ... tuutt ....'
"Assalamualaikum ...." Terdengar suara lembut istrinya yang menyejukkan jiwa.
"Waalaikumsalam istriku tercinta. Lagi apa?" Seneng rasanya bisa memanggil dengan mesra.
"Eemm ... lagi mau tidur, Mas. Badan capek seharian bantuin orang rumah beres-beres. Mas Dika lagi apa?"
"Suamimu ini lagi menahan rindu pada istri tercintanya." Entah kenapa, Dika menjadi lebih suka gombalin Nania sejak tadi pagi.
"Gombal, Mas!" jawab Nania ketus sambil menahan senyum.
"Bukan gombal, Sayang. Tapi RINDU. KANGEN. Masak kamu gak kangen pada suamimu yang ganteng ini?" Lagi-lagi bualannya keluar.
"Enggak!" Nania mencibir geli.
"Hah! Kok nggak kangen?? Kamu itu istriku, lho. Masak gak kangen, sih, sama suaminya sendiri!" protes Dika gak terima.
"Kangennya disimpan nanti saja, Mas. Kalau sekarang sudah kangen, berat naggungnya." Terdengar suara cekikikan di ujung sana.
"Oohh gituuu ... kusimpan di hatimu, ya?"
"Embuhlah!" Lhadalah ... diajak romantis malah jawabnya gini amat.
"Sayang ...."
"Hemm ...."
"Perasaan kamu, gimana tadi?"
"Perasaan yang mana?"
"Ya, yang waktu mas ijab qobul sama Bapak. Kamu tegang, nggak? Surprise, nggak?" tanya Dika bersemangat. Dia sudah bersusah payah mau memberi kejutan itu untuk Nania. Tentu dia ingin tahu bagaimana respon Nania pada apa yang sudah dia lakukan.
"Gimana, ya? Ah, biasa saja!" jawab Nania acuh.
'Oh my God' batin Dika berteriak.
"NANIA SAPUTRI BINTI ZAINUL ABIDIN ...!"
"Xixixixiixx ... dalem Kang Mas ...."
"Huft ... beneran, Dik, aku mau datangi rumahmu sekarang, lalu menyekapmu seharian di kamar. Ah, Kau membuatku ... rgrhhhh ... entahlah ...." Dika mengacak kepalanya frustasi. Sedangkan Nania semakin cekikikan.
"Mas Dika ..."
"Panggil, 'Sayang'!" pinta Dika.
"Heemm ...."
"Ya sudah, Mas Dika tidur, gih. Besok mulai kerja, kan? Salam buat Lina, ya. Assalamualaikum."
Tutt ... tuutt ... tuutt ....
Sambungan diputus sepihak oleh Nania.
"Ya Allah ... benar-benar istriku ini membuat frustasi. Kenapa waktu berjalan lama sekali, Tuhan? Andai besok waktunya resepsi. Ah, aku sudah tak sabar ingin ... ck!" Dika mengerutu sendiri meratapi kerinduannya pada Nania. Maklum pengantin baru yang LDR-an. Tahu sendiri, kan gimana rasanya??
***
Mentari bersinar terang mengawali pagi hari ini. Kicauan burung bersahutan seolah berlomba-lomba menyerukan keagungan alam. Suara riuh kendaraan sudah terdengar dari rumah minimalis yang dihuni pengantin baru yang terkungkung rindu pada ratunya.
Sejak sebelum subuh, pria jakung itu menghubungi ponsel istrinya, tetapi tidak ada jawaban. Pesan pun dikirim sepuluh lebih, tidak ada yang dibalas.
"Kemana sih, istriku ini? Kenapa tidak ada pesan atau teleponku yang dijawab? Apa dia masih tidur kelelahan setelah acara kemarin? Ah, tapi bukan karakternya bangun kesiangan. Aku yakin orang tuanya akan membangunkan, jika memang dia telat bangun." Dika menggerutu sendiri, seletah melepas orang tuanya yang pulang kembali ke Yogyakarta.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.23. Dia harus bersiap berangkat ke kantor. Terpaksa harus memakai jasa ojek online karena mobilnya masih di bengkel akibat kecelakaan sebulan yang lalu. Sebelum berangkat, diputuskan lagi menghubungi istrinya. Nihil. Tidak ada jawaban! Membuat perasaanya tidak tenang di awal masuk kerja.
"Ayolah Nania. Kenapa tidak ada teleponku yang kamu angkat? Apa kamu sengaja membuatku frustasi merindukanmu? Ck!"
Harapan Dika, pagi pertamanya menyandang status suami, walau jauh dari istri, tapi dia ingin mendengar suara lembut istrinya. Saling memberi perhatian, atau hanya saling tanya kabar. Yang penting mereka saling bersua. Pasti sangat menyenangkan. Lhah, ini? Istrinya bak menghilang ditelan bumi. Terpaksa dia berangkat ke kantor dengan perasaan yang sulit diartikan.
***
Di kantor, terlihat seseorang duduk di kursi istrinya. Sepertinya anak magang yang akan menggantikan istrinya sementara waktu. Setelah memberi salam dan berkenalan, ternyata dia yang menggantikan Dika, selama cuti kemarin. Dan sekarang tugasnya menggantikan Nania. Tak lama, Lina dan Pak Aam datang.
"Selamat datang wahai pengantin baru!" Pak Aam merangkul Dika lalu memberi ucapan selamat.
"Waahhh Pak Dika ternyata ... xixixiiixxx ...." Kali ini Lina yang meledek Dika. "Btw, selamat ya, Pak. Jadi Nania diumpetin nih setelah akad? Padahal aku mau kasih tips ke dia!"
"Tips apa?" tanya Dika penasaran.
"Ada deehhh ... rahasia wanita. Xixixixx ...." Kembali, Lina cekikikan menggoda Dika. Sedangkan Dika manyun.
"Eh, Pak manten anyar, kok manyun wajahnya. Pasti gak dapat jatah ya, tadi malam?" Belum puas Lina mengusili Dika. Orang di ruangan itu terkekeh melihat ekspresi Dika.
"Nania sedang dipinggit. Dari tadi subuh kuhubungi, gak dijawab. Padahal kami sudah sah!" gerutu Dika karena teleponnya tidak ada yang diangkat sejak subuh tadi.
"Sabar pak, namanya juga tradisi. Biar nanti kalau ketemu, jadi tambah kangeeennn ...." Kembali, semua orang terkekeh mendengar celotehan Lina.
Begitulah mereka saling melempar candaan pada Dika sampai jam kerja dimulai.
Teman-teman kantor sudah mendengar kabar Dika dan Nania menikah dari Bu Diah. Karena sebelumnya, Dika sudah meminta ijinkan Nania agar ambil cuti. Dalam perusahaannya, sesama karyawan tidak diperbolehkan menikah. Tetapi bisa mengajukan mutasi ke kantor cabang lain.
Dika berniat untuk memenuhi permintaan mutasi ke kantor pusat yang pernah ditawarkan kepadanya beberapa bulan lalu. Tapi dia perlu persetujuan Nania untuk memutuskannya.
Kembali dihubungi nomor ponsel istrinya. Tidak diangkat lagi. Beberapa detik kemudian, ada pesan masuk dari Nania.
'Maaf Mas Dika baru balas. Sejak tadi malam HP mati. Ini barusan nyala.'
'Met kerja ya, Mas Dika.' emotion senyum manis.
Dika menekan lambang telepon berwarna hijau.
Terdengar salam dari Nania. Setelah membalas salam, Dika menyampaikan info dari HRD tentang niat kepindahannya ke kantor pusat.
"Harus pindah, ya, Mas?"
"Iya, Sayang. Pindah atau keluar salah satu dari kita. Pilihan terbaik saat ini ya, Mas Dika pindah ke Surabaya. Karena dulu mas pernah ditawarin mutasi kesana. Ternyata, sampai sekarang tawaran itu masih berlaku."
Walaupun berat, tapi Nania memberikan ijin untuk suaminya.
"Iya gapapa, Mas, kalau itu pilihan yang terbaik bagi kita."
"Oke, aku ambil tawaran ini, ya? Selanjutnya kita bicarakan lagi nanti. Insya allah mutasinya mulai bulan depan. Jadi masih ada waktu tiga minggu lagi."
"Iya, Mas."
"Panggil, Sayang, please."
"Eemm ... malu, Mas ...."
"Kenapa malu? Kita kan sudah sah, Sayang. Oh ya, sama sebagai hukuman karena tadi pagi tidak menjawab teleponku."
"Tapi ... itu kan ...."
"Tidak ada penolakan, Sayang."
"Baiklah, met makan siang, Sa ... yang. Asaalamualaikum." Tutt ... tuuttt ....
Dika tersenyum membayangkan tingkah Nania di sana. Ah, pasti pipinya sudah merona.
"Miss you, Baby. Waalaikumsalam."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top