Hubungan Dika
Haaaiii... Kita lanjut lagi ya cerita Nania dan Dika. Happy reading😉😉
Jam istirahat sudah tiba. Nania bersiap ke musala kantor untuk salat Duhur bersama Lina. Setelah salat, mereka menuju pantry untuk makan siang. Kebetulan hari ini Lina membawa banyak makanan. Jadi Nania tidak perlu beli makan siang. Rejeki anak solihah, alhamdulillah...
"Kandunganmu sudah enakan Lin? Gak pernah mabok lagi?" tanya Nania setelah menghabiskan makanannya.
"Masih sih, terutama kalau pagi setelah bangun tidur selalu mual. Tapi aku seneng Nan bisa merasakannya. Bahagiaaa ... banget," sahut Lina sambil mengelus-elus perutnya yang masih datar.
"Seneng ya bisa langsung hamil. Pasti suami kamu tambah sayang sama kamu ya?"
"Hihiii ... iyalah Nan. Dia jadi lebih posesive. Dikit-dikit chat suruh makan lah, suruh minum lah, gak boleh kerja berat-berat lah. Pokoknya dia jadi lebih bawel dari aku. Hahaa ...."
Keduanya tertawa membayangkan suami Lina yang jadi lebih cerewet.
"Semoga sehat-sehat terus ya, Lin, sampai lahiran."
"Aamiin ...."
"Kamu juga semoga cepet ngerasain seperti aku Nan." Lina mengedipkan sebelah matanya.
"Nah lho, ya harus cari bibitnya dulu lah. Hahaa ...." Nania terkekeh.
"Kan, sudah ada Pak Dika, Nan. Tinggal ijab qobulnya saja." Lina semakin terkekeh.
"Aduuhhh ... Lina jangan gitu dong bercandanya. Aku takutnya Pak Dika denger. Kan, gak lucu." Nania memancungkan bibirnya.
"Lagian Pak Dika itu sudah punya calon istri yang sholihah," lanjut Nania agar tidak semakin meledek dirinya. Kali ini pipinya pasti sudah merona malu.
"Yaaa ... siapa tahu? Jodoh kan misteri Nan. Bisa jadi Pak Dika tidak berjodoh dengan calonnya. Karena setahuku dia gak pernah pasang status foto calonnya itu. Dan lagi gak pernah tuh calonnya telpon waktu istirahat kayak gini, nanyain sudah makan siang atau belum mungkin." Lina masih tetep dengan pembelaannya.
"Astaghfirullah Lina ... sudah deh jangan ghibah. Dosa lho! Apalagi kamu kan lagi hamil sekarang," Pungkas Nania mengingatkan agar Lina tidak semakin ngelantur. Juga karena Nania merasa tidak nyaman membicarakan urusan orang lain. Terlebih membicarakan calonnya Dika.
"Astaghfirullahhaladzim ... maaf ya, Nan," ucap Lina pelan sambil menggelus-elus perutnya dan merasa bersalah.
"Hmmm..." Nania mengangukkan kepalanya. Jam istirahat sudah selesai lalu mereka kembali ke meja masing-masing untuk melanjutkan pekerjaannya.
***
Pak Aam memberitahu ada undangan seminar pengelolaan keuangan dari kantor pusat.
"Pak Dika ini ada undangan seminar pengelolaan keuangan dari kantor pusat Surabaya. Untuk dua staf admin keuangan. Jadi saya meminta Pak Dika hadir dengan bu Nania!"
"Hah?" Nania terkejut akan berita tersebut. Bagaimana mungkin dia akan ke Surabaya berdua dengan Dika saja? Berdua di mobil Dika waktu nebeng pulang saja membuat jantungnya tidak karuan. Ini malah lebih lama perjalannya.
"Apa harus saya dan Nania, Pak? Maksud saya kenapa tidak saya dengan Pak Aam saja?" Dika juga merasa tidak enak harus pergi berdua dengan Nania dengan waktu yang lama.
"Saya kan sudah pernah dulu-dulu. Ini untuk meningkatkan kinerja staf keuangan. Jadi kalian pilihan yang tepat. Kalau saya menyuruh Lina, tidak memungkinkan karena dia sedang hamil muda. Takut kenapa-kenapa dengan kehamilannya kalau berpergian jauh. Kamu bisa mengerti, kan?" jelas Pak Aam panjang lebar.
Akhirnya setelah menimbang-nimbang, mereka berdua menyetujui akan datang ke seminar tersebut.
***
Hari itupun tiba. Dika menjemput Nania di kostnya. Mereka berangkat pukul 6 pagi agar tidak macet. Sebenarnya Nania menyarankan agar dia naik bis saja. Tetapi Dika melarang, dengan alasan keselamatan dan agar tidak memakan waktu dan biaya.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Dika sewaktu sudah di dalam mobil.
"Sudah" jawab Nania singkat.
"Mie instan lagi?" tanya Dika menyelidik.
"Eh, nggak kok. Aku tadi beli nasi campur di warung depan kost. Kalau sarapan mie instan, aku takutnya cepet laper lagi sebelum sampai di hotel," tungkas Nania dengan suara memelan di ujung kalimat.
"Hehehee ... gitu dong, Nan. Jangan makan mie instan terus. Biar kamu cepet gemuk juga," canda Dika.
"Eh, enak aja kamu. Nyebelin deehhh ...." Nania memanyunkan bibirnya.
Kemudian mereka tertawa bersama dan mengobrolkan hal-hal ringan agar tidak bosan dalam perjalanan. Syukurlah lalu lintas tidak terlalu macet. Tiba-tiba Dika bertanya pada Nania,
"Eemmm ... Nan, kamu pernah pacaran?" Sedikit ragu Dika bertanya.
"Hah!! Pacaran?" Nania kaget. Lalu melanjutkan dengan menggelengkan kepala, "saya gak pernah pacaran selama ini. Saya punya prinsip menjadi jomblo sampai halal"
"Bagus itu ... kalau perasaan suka pada lawan jenis, pernah dong?" Dika terkesima dengan jawaban Nania. Ada sedikit senyum terukir di bibirnya.
"Eemmm ... mungkin pernah. Tapi mungkin juga hanya sebatas kagum saja. Tidak sampai suka. Karena hati saya memilih mempertahankan yang halal." Lagi-lagi Dika terkesima dengan jawaban polos Nania.
"Apa tidak ada yang mengajakmu pacaran dulu? Waktu masih sekolah atau kuliah mungkin?" tanya Dika menyelidik.
"Eemmm ... ada beberapa yang nembak saya. Tapi saya tidak mau pacaran. Saya ingin selesaikan kuliah dan kerja dulu agar bisa membantu orangtua. Nanti pacaran setelah menikah saja," jawab Nania jujur.
"Eee ... k-kalau Mas Dika sendiri, sudah berapa lama lamaran?" tanya Nania menyelidik. Mumpung waktunya tepat ngobrol tentang pasangan.
"Saya belum lamaran dengan Zahra. Kami dijodohkan setahun yang lalu. Tapi dia meminta untuk melanjutkan S2 di UIN Jakarta dulu sebelum kami lamaran," jawab Dika datar.
"Tapi kalian sering berkomunikasi, kan? Eem ... ma-maksud saya kalian menjalani masa ta'arufnya bagaimana?" Nania masih penasaran. Entah kenapa dia ingin tahu tentang hubungan Dika dengan calon tunangannya. Ada yang bergejolak di dalam hatinya. Walau dia mencoba meredamnya perlahan.
"Kami jarang berkomunikasi. Mungkin karena dia ingin konsentrasi dengan kuliahnya. Sesekali kami bertukar kabar lewat WA," jawab Dika sambil mengedikkan bahunya.
"Ee ... b-boleh tahu apa yang membuat Pak Dika menerima perjodohan tersebut?" Nania masih penasaran.
"Birrul walidain. Karena kepatuhan saya pada orang tua," jawab Dika singkat.
"Hanya itu? Eemmm ... m-maksud saya ... apa Mas Dika mencintainya?" Duuuhhh ... kenapa Nania semakin penasaran dengan hubungan Dika. Dia merutuki dirinya sendiri yang sudah lancang bertanya tentang privasi Dika. "Eh maaf, Mas. Saya nggak bermaksud-"
"Cinta bisa datang setelah pernikahan, Nan. Tidak ada alasan saya harus menolak perjodohan itu. Zahra gadis yang baik dan sholihah. Keluarganya juga agamis dan berhubungan baik dengan orang tua saya. Karena itu orang tua kami menjodohkan kami berdua. Agar tali silaturahim di antara keluarga tetap terjalin baik," jelas Dika panjang lebar.
Akhirnya Nania hanya bisa mengangguk pelan dan menyudahi rasa penasarannya. Walau masih ada perasaan hati yang tidak dapat diartikan. Dia sadar bahwa lelaki itu sudah memiliki calon pendamping hidup. Yaahhh ... orang yang baik akan berjodoh dengan yang baik pula. Karena itu di setiap sepertiga malamnya, Nania berdoa meminta kepada Allah agar diberi jodoh yang baik dan sholeh, siapapun dia. Yang mampu membimbingnya menjadi orang yang lebih baik lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top