9. Hidup Itu Keras, Babe!

Anka memicingkan matanya semakin curiga. Dia malah melangkah maju, berusaha menerobos kerumunan pekerja proyek itu.

Dari sela-sela tubuh-tubuh pekerja yang berdiri di depannya, dia melihat sesuatu berwarna kuning dibentangkan mengelilingi suatu tempat. Jelas tertulis 'police line'. Anka tersentak membacanya.

Police line? Waduh, ada apa ya sampai diberi tanda police line begitu? batin Anka.

Rasa penasaran malah membuatnya merangsek semakin maju, meliukkan tubuhnya di sela-sela kerumunan pekerja yang sebagian besar lelaki itu.

Setelah dia berhasil menelusup ke bagian paling depan, pandangannya tak terhalang lagi. Barulah dia terkejut, matanya membelalak, dia menarik napas cepat lalu diembuskannya dalam sekali sentakan.

"Ya Allah ... itu ... itu ... kenapa orang itu?" gumamnya melihat tubuh seorang pekerja masih dengan sepatu boot karetnya tergeletak di tengah-tengah daerah yang dikelilingi pita kuning itu.

Helm kerjanya terpental kurang lebih satu meter dari tubuh itu. Cairan merah tua tampak mengental di sekeliling kepalanya. Beberapa lelaki berseragam polisi sibuk memotret dan meneliti tubuh yang tergeletak itu.

"Pak, ini ada apa? Bapak itu kenapa?" tanya Anka dengan suara gemetar pada seorang pekerja yang berdiri di sebelahnya.

"Pekerja itu jatuh dari lantai dua belas, Neng," jawab bapak pekerja itu.

Anka menelan ludah, jantungnya berdebar keras.

"Jadi ... bapak itu .... sudah meninggal?" tanya Anka lagi, kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya.

"Iya, Neng. Kepalanya pecah begitu," jawab bapak pekerja di sebelah Anka itu lagi.

Refleks Anka bergidik. Bulu kuduknya berdiri. Dia merasa ngeri. Dia mendengar cerita selanjutnya. Pekerja malang yang tubuhnya telah terbujur kaku itu terjatuh kurang lebih pukul tujuh pagi, saat dia baru saja sampai di lantai dua belas. Entah apa yang terjadi. Ikat pinggang pengamannya terlepas, sepertinya dia kurang teliti saat memasangnya.

Polisi baru tiba pukul setengah delapan. Langsung memasang garis polisi dan memeriksa keadaan mayat serta sekeliling mayat itu. Karena itu mayat itu masih tergeletak di tempat jatuhnya  belum dibawa pergi. Membuat Anka yang baru tiba masih sempat melihat pemandangan mengerikan itu.

Sejak awal dia memang sudah diingatkan, setiap orang yang bekerja di lapangan proyek ini, harus mengenakan pengaman, seperti helm dan sepatu boot. Jika sedang berada di lantai atas, kewaspadaan harus lebih ditingkatkan.

Tetapi kecelakaan itu tidak menghentikan berjalannya proyek. Manajer Proyek hanya mengumpulkan semua pekerja sebentar setelah mayat pekerja yang jatuh itu dipindahkan ke rumah sakit untuk diotopsi lebih lanjut.

Manajer Proyek menjelaskan lagi tentang pentingnya bagi setiap pekerja untuk menjaga keselamatan masing-masing selama bertugas di proyek ini. Setelah itu, semua pekerja dipersilakan melanjutkan tugasnya kembali.

Anka tertegun. Beginikah cara kerja di sebuah proyek pembangunan gedung? Seolah pekerja itu tak dianggap sebagai seseorang. Seolah kecelakaan tadi hanyalah kejadian biasa yang bisa menimpa siapa saja. Tak ada suasana belasungkawa. Semua pekerja kembali sibuk meneruskan pekerjaannya.

Para mandor kembali sibuk mengawasi pekerja-pekerjanya. Anka heran melihat di sini tak terlihat ada yang bersedih. Anka mengutuk dirinya sendiri karena dia tidak tahu nama pekerja yang menjadi korban kecelakaan kerja tadi.

Dia tak ingin menjadi orang yang seolah tak berperasaan, namun kenyataannya dia memang tidak mengenal pekerja yang telah meninggal tadi.

"Pak Jody, hari ini proyek tetap jalan ya? Walau pun ada kecelakaan yang menewaskan seorang pekerja?" tanya Anka pada Pak Jody, seorang Insinyur Sipil yang bertugas mengecek gambar struktur dan mengawasi pelaksanaaannya di lapangan.

Meja Pak Jody bersebelahan dengan Anka, membuat Anka bisa mengajaknya bicara sambil tetap mengerjakan tugasnya mengecek gambar arsitektur.

"Proyek nggak bisa berhenti, Anka. Pelaksanaan proyek itu berpacu dengan waktu. Semakin cepat selesai, nilai prestasi kerja makin tinggi dan ada poinnya. Kalau telat, akan kena sangsi. Jadi, apa pun yang terjadi di proyek ini, pekerjaan tetap harus dilanjutkan," jawab Pak Jody.

"Nggak ada waktu berkabung sejenak?" tanya Anka masih merasa heran.

Pak Jody tertawa kecil.

"Kecelakaan kerja seperti itu sudag biasa dalam proyek bangunan tinggi. Konon katanya sih, setiap proyek bangunan tinggi memang butuh tumbal supaya pelaksanaan proyek berjalan lancar," jawab Pak Jody dengan suara setengah berbisik.

Anka tercengang mendengar jawaban Pak Jody itu. Tenggorokannya terasa tercekat. Bagaimana bisa ada pikiran sekejam itu? Nyawa seorang pekerja dianggap sebagai tumbal untuk kelancaran proyek? Anka benar-benar tak habis pikir dan tak bisa mempercayai kata-kata Pak Jody itu.

"Maksud Bapak, dalam setiap pembangunan gedung tinggi, pasti akan ada pekerjanya yang meninggal? Dan itu dianggap wajar? Seolah memang sudah seharusnya begitu? Bukankah itu artinya keselamatan pekerja di proyek itu belum terjamin?"

Akhirnya rentetan pertanyaan itu keluar dari mulut Anka. Dia tidak bisa hanya bertanya-tanya dalam hati.

Mata Pak Jody melebar sesaat. Dia tak menyangka, Anka yang masih bau kencur, kuliah pun belum lulus, berani berkata seperti itu kepadanya.

"Anka, kehidupan nyata nggak seindah masa kuliah. Kehidupan nyata itu keras. Pembangunan sebuah gedung bukan pekerjaan mudah. Ini pekerjaan berat yang berisiko tinggi. Tentu saja kami selalu berusaha menjamin keselamatan pekerja. Itulah sebabnya sebelum mulai bekerja, kami selalu mengumpulkan pekerja untuk diberi briefing. Diingatkan sekali lagi untuk melaksanakan protokol keselamatan. Semua peralatan keselamatan harus dicek apakah masih layak dipakai. Semua itu kami perhatikan. Tapi ada hal-hal di luar kontrol kami. Jika ada pekerja yang nggak waspada, bahaya mengincar mereka." Pak Jody menarik napas panjang setelah menjelaskan panjang lebar.

Anka terdiam, menyadari ucapannya tadi terkesan kurang sopan.

"Saya cuma sedih aja, Pak. Nggak tega lihat keadaan pekerja tadi," ucapnya pelan.

"Beginilah, Anka. Dunia proyek yang nanti akan kamu hadapi setelah kamu lulus kuliah dan merasakan bekerja," kata Pak Jody lagi. Lalu dia berdiri dan melangkah keluar, kembali mengawasi lapangan.

Segala pikiran yang berkecamuk dalam kepala Anka, ditambah pemandangan mengerikan tadi pagi yang masih bersemayam di kepalanya, membuat Anka tak bisa konsentrasi melaksanakan tugasnya hari ini. Sementara pekerja-pekerja lain tampak tak terganggu dengan apa yang telah terjadi.

Sepuluh menit sebelum jam istirahat makan siang, Anka melapor pada Manajer proyek untuk selesai kerja lebih dulu karena hari ini dia ada jadwal kuliah pukul satu siang. Tiap hari senin dia memang hanya setengah hari hadir di proyek ini.

Anka menuju kampusnya masih tak bisa melupakan apa yang dilihatnya di proyek tadi. Dia tidak sanggup berkonsentrasi dengan kuliahnya hari ini. Dia ingin segera pulang.

Dia ingin mengalihkan pikirannya dari kejadian buruk tadi pagi dengan kembali ke dunia imajinasinya, dunia Stela dan Kresta yang penuh cinta. Tak ada tragedi dalam kisah yang ditulis Anka, walau itu kisah cinta antara seorang gadis ringkih dan pemuda titisan iblis yabg memberontak dari dunia iblis, karena cinta telah melembutkan hatinya. Membuatnya tak bisa lagi berbuat jahat pada manusia.

Anka menyukai kisah bahagia. Dia harus membuat Stela dan Kresta bahagia. Dia trauma dengan kisah pedih. Tidak, dia ingin bahagia seperti Stela, yang beruntung mencintai Kresta dan dicintai Kresta.

Sesampainya di rumahnya, Anka langsung menuju kamarnya. Membuka laptopnya dan meneruskan kisah Stela dan Kresta sebanyak mungkin.

"Stela harus ketemu Kresta. Aku nggak mau Kresta kehilangan Stela. Hidup mereka harus berakhir bahagia. Oh, Kresta ..." gumam Anka sambil terus mengetik lanjutan kisah rekaannya.

Setelah mengetik terus tanpa berhenti hingga sebanyak enam halaman, Anka berhenti. Tiba-tiba dia kehabisan ide.

"Kresta .... Andai Kresta benar-benar ada di sampingku," gumam Anka lagi.

Sekali lagi bayangan pekerja yang tewas tadi pagi dengan kepala tergenang darah kembali memenuhi pikiran Anka.

Dia berusaha keras mengubah bayangan mengerikan itu dengan imajinasi indah penuh kebahagiaan.

Esoknya, Anka tidak datang ke proyek magangnya. Esoknya juga, esoknya lagi juga tidak.

Anka tidak sanggup menjejakkan kakinya lagi ke proyek pembangunan apartemen dua puluh lantai sebanyak tiga menara itu.

**============**

Haaai. Makasih buat yang masih terus baca cerita ini.

Besok aku update lagi ya.

Makasih buat yang udah ninggalin komen positif 😘

Salam,

Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top