37. Ini Bukan Sinetron
Wisata di Candi Borobudur itu berakhir pukul satu siang karena semua sudah mulai kelaparan. Papa Loli mentraktir mereka semua di sebuah restoran dengan menu masakan khas Jawa.
Setelah itu mereka kembali ke Kota Jogja dan menyusuri jalan Malioboro. Menjelang pukul lima sore, Rhea mengajak teman-temannya kembali ke Desa Janten.
"Bus yang menuju ke rumahku terakhir cuma sampai jam lima sore," kata Rhea memberi alasan.
"Serius, Rhe?" Ara terkejut.
"Kalau kita mau pulang malam, kita bisa menumpang bus antar kota yang menuju Purworejo, tapi kita nanti cuma diturunin di Mlangsen, kita harus jalan kaki kira-kira satu kilometer deh sampai rumahku," jawab Rhea.
"Di sana nggak ada ojek ya?" tanya Kanya.
"Kalau malam jarang," jawab Rhea lagi.
"Mm... begini aja. Kalian silakan jalan-jalan di Malioboro sepuasnya sampai jam sembilan malam. Nanti pulangnya Om antar ke rumah Rhea. Gimana?" usul Pak Reihan, Papa Loli yang mendengarkan pembicaraan teman-teman anak gadisnya itu.
Seketika Loli dan teman-temannya kompak menoleh ke arah Pak Reihan.
"Serius Om mau nganter kami pulang?" tanya Ara dengan wajah berbinar.
"Serius! Om sudah menyewa mobil untuk tiga hari kok. Jadi bisa mengantar kalian pulang. Tapi paling malam jam sembilan ya?" jawab Pak Reihan.
"Beres, Om. Makasih ya, Om," sahut Anka, Ara, Kanya dan Rhea hampir berbarengan.
"Nanti kalau kalian sudah selesai berkeliling Malioboro, kalian ke lobi Hotel Ina Garuda ya. Biar Loli nanti memberitahu saya," kata Pak Reihan lagi.
Semua mengangguk setuju, kecuali Loli. Geng Jojoba dan keluarga Loli akan berpisah di sini. Keluarga Loli akan kembali ke hotel sedangkan Rhea, Kanya, Anka dan Ara masih ingin berkeliling Malioboro.
"Friends, aku nggak ikut keliling Malioboro ya. Aku mau ngobrol-ngobrol dulu sama papaku. Nanti kita ketemu di lobi hotel jam sembilan. Oke?" kata Loli sebelum teman-temannya mulai melangkah.
Semua menoleh ke arah Loli dengan pandangan heran. Hanya Ara yang mengerti. Tetapi kemudian Kanya, Anka dan Rhea paham bila Loli ingin meluangkan waktu bersama keluarganya. Mumpung keluarganya sedang berada di sini.
Kabarnya, keluarga Loli berada di Jogja hanya selama tiga hari. Sementara Geng Jojoba masih punya waktu lima hari lagi untuk memuaskan liburannya di Jogja dan sekitarnya.
"Oke, Lol. Nanti kita ketemu di lobi hotel," sahut Kanya.
"Jangan lupa, jam sembilan ya. Kalau kita pulang kemalaman, kasihan orangtua Rhea," kata Loli.
"Setuju," ucap Kanya, Anka dan Rhea hampir bersamaan.
Seusai berpamitan pada keempat temannya, Loli segera berbalik dan setengah berlari mengejar keluarganya yang berjalan menuju Hotel Ina garuda di sekitar Malioboro.
"Papa," ucap Loli setelah dia berada tepat disamping papanya yang berjalan di belakang mama, tante dan adik-adiknya.
Pak Reihan menoleh cepat dan tampak terkejut melihat Loli sudah ada di sampingnya.
"Loli? Loh, kamu nggak ikut sama teman-teman kamu?" tanya Papa Loli heran.
"Kita perlu bicara, Pa. Berdua aja. Ada yang mau Loli tanyakan ke papa," sahut Loli tak peduli dengan pertanyaan papanya.
Kening Pak Reihan berkerut, dia heran melihat sikap Loli tetapi dia dapat menduga apa yang ingin dibicarakan Loli.
"Baik, kita bicara," sahut Pak Reihan.
"Ma, Papa dan Loli mau pergi dulu sebentar berdua saja ya. Mama, anak-anak dan Ramona duluan saja ke hotel," kata Pak Reihan pada Bu Yasinta sambil menyentuh bahu kanannya sehingga membuat langkah istrinya itu berhenti dan menoleh.
"Mau pada ke mana sih?" tanya Mama Loli heran.
"Ada yang mau dibeli. Tenang, Ma. Nanti dibawain oleh-oleh deh," jawab Loli.
"Ya sudah, jangan lama-lama ya. Papa tadi janji mau mengantar teman-teman Loli pulang ke rumah Rhea, kan?" pesan Mama Loli.
"Iya, Papa ingat," sahut Pak Reihan, lalu ia melangkah mengajak Loli keluar dari selasar pertokoan sepanjang jalan Malioboro.
Walau Pak Reihan sudah menyewa mobil untuk disopiri sendiri dan mobil itu diparkir di parkiran Hotel Ina Garuda, tetapi Pak Reihan mengajak Loli naik taksi menuju Ambarukmo Plasa.
Selama di dalam taksi, Loli hanya diam. Dia masih menyimpan semua pertanyaan dalam kepalanya. Papanya yang menanyakan tentang hal-hal biasa dijawabnya dengan singkat. Sesampai di Ambarukmo Plasa, Pak Reihan mengajak anak gadisnya itu ke sebuah kafe.
"Jadi, apa yang mau kamu tanyakan, Loli?" tanya Pak Reihan setelah dia dan anak gadisnya itu duduk di salah satu sudut kafe.
"Siapa sebenarnya Tante Ramona, Pa?" tanya Loli tanpa basa-basi.
"Kan tadi sudah Papa jelaskan, dia adik Papa yang paling bontot. Anak bungsu di keluarga Papa," jawab Pak Reihan.
"Aneh!"
"Apa yang aneh?"
"Kenapa Papa ngumpetin cewek itu dari aku, mama dan adik-adik?"
Pak Reihan tidak langsung menjawab. Dia memandangi wajah Loli yang terlihat sangat gusar.
"Baiklah, akan papa jelaskan semuanya, supaya kamu berhenti ngambek sama Papa," jawab Pak Reihan beberapa saat kemudian.
"Kurang lebih satu tahun lalu, Bu Sarni meninggal dunia. Kamu nggak kenal karena dia adalah saudara jauh nenek kamu. Sebelum meninggal, Bu Sarni ngasih tahu Tante Ramona kalau sebenarnya Tante Ramona bukan anak kandung Bu Sarni. Dia adalah anak kandung Bu Sidar, nenek kamu, Loli. Beliau cerita, saat dulu papa, Om Gerda dan Tante Risda sudah lulus kuliah dan masing-masing kuliah jauh dari Lampung, kakek dan nenek punya anak lagi. Mereka sengaja merahasiakan adik paling bungsu papa itu. Selain karena malu sudah tua masih melahirkan, karena anak itu sudah dipesan oleh Bu Sarni yang tidak bisa punya anak. Bu Sarni dan Pak Saijan sudah lima belas tahun menikah dan belum juga dikaruniai anak. Bu Sarni masih kerabat jauh nenekmu, Loli. Karena itu nenek merasa nggak ada salahnya menitipkan anaknya pada saudaranya itu. Mereka juga masih tinggal satu kampung, masih bisa mengawasi Tante Ramona. Sayangnya kakek dan nenekmu sudah lebih dulu meninggal dari Bu Sarni. Kita nggak bisa bertanya apakah cerita itu benar," cerita Pak Reihan panjang lebar.
Loli tak menyela sedikit pun cerita papanya itu, walau dia merasa cerita itu serupa kisah fiksi.
"Papa percaya saja kalau Tante Ramona itu adik bungsu Papa?" tanya Loli masih diliputi rasa kesal.
"Bu Lumia bidan yang membantu persalianan nenekmu dahulu masih hidup, dan menjadi saksi bahwa cerita itu benar," jawab Pak Reihan.
"Siapa tau Bu Lumia itu berkomplot membohongi Papa," kata Loli lagi.
Pak Reihan tersenyum.
"Papa kenal dengan Bu Lumia. Sejak dulu dia sudah jadi bidan desa yang baik hati dan jujur. Selain itu, coba kamu perhatikan, ada kemiripan antara Tante Ramona dan Tante Risda, kan?"
"Loli masih belum yakin," sahut Loli.
"Loli, apa Papa harus tes DNA nih, supaya kamu percaya?"
"Zaman sekarang modus penipuan kan bisa berupa apa aja, Pa."
"Papa nggak sebodoh itu. Papa, Om Gerda dan Tante Risda sudah menyelidiki kebenaran kisah itu."
Kali ini Loli tidak langsung menyahut.
"Baik, kalau memang itu benar, untuk apa papa merahasiakan Tante Ramona dari Loli, mama dan adik-adik? Papa tau nggak, Loli pernah melihat Tante Ramona merangkul mesra papa di Pantai Marina? Apa papa bisa bayangin gimana perasaan Loli saat melihat itu?"
Pak Reihan tersentak mendengar ucapan Loli. Kini dia baru menyadari mengapa akhir-akhir ini Loli selalu bersikap ketus padanya. Ternyata Loli mengira ... dia selingkuh dengan Ramona?
"Ya Tuhan, jadi itu sebabnya kamu marah terus sama Papa? Papa nanya sering nggak dijawab, Papa ajak ke mana selalu menolak?"
"Tentu aja, siapa yang nggak curiga? Papa dirangkul perempuan muda."
"Maafin Papa, Loli. Papa memang salah nggak langsung ngenalin Tante Ramona ke kamu. Tante Ramona sedang ada masalah. Dia jadi korban KDRT suaminya. Selama hampir setahun ini Tante Ramona sibuk mengurus perceraiannya, tapi suaminya itu berusaha supaya mereka nggak bisa bercerai, padahal suaminya jelas-jelas jahat. Suaminya sering bersikap kasar bukan cuma pada Tante Ramona, juga ke anak mereka. Suaminya itu sering mengancam keselamatan Tante Ramona. Karena itu papa sembunyiin dulu Tante Ramona dari banyak orang. Hanya Papa, Om Gerda dan Tante Risda yang tahu tentang keberadaan Tante Ramona. Dua bulan lalu akhirnya Tante Ramona resmi bercerai dengan suaminya. Barulah Papa ngenalin dia ke kamu dan mamamu," kata Pak Reihan melanjutkan penjelasannya.
Loli memandangi Papanya masih dengan rasa sangsi.
"Tau nggak sih, Pa. Cerita Papa itu mirip banget dengan cerita sinetron," sindir Loli.
Pak Reihan tersenyum.
"Tapi ini bukan sinetron, ini benar-benar terjadi, Loli. Hidup memang nggak selalu mudah dan lancar. Ada orang-orang tertentu yang harus menjalani takdirnya lebih keras. Terkadang kenyataan hidup justru lebih nggak masuk akal dibanding cerita dalam sinetron," ucap Pak Reihan masih berusaha bersikap sabar menghadapi keingintahuan anak gadisnya ini.
Loli menghela napas panjang. Sepertinya dia butuh waktu agak lama untuk benar-benar bisa menerima semua ucapan papanya itu. Namun setidak-tidaknya dia bisa merasa lega, ternyata papanya tidak seburuk yang dia sangka.
Jika cerita papanya tadi memang fiksi, Loli memilih hidup dengan percaya bahwa fiksi ini adalah kenyataannya.
Malam itu Loli kembali ke rumah Rhea diantar papanya dengan hati yang sedikit lebih lega. Dalam perjalanan dia tak banyak bicara.
Ara yang duduk di sampingnya pun tak bertanya apa-apa. Dia hanya berharap jawaban yang diterima Loli adalah kenyataan hidup yang terbaik bagi sahabatnya itu.
Ara membiarkan Loli membaringkan kepalanya di bahu kanan Ara. Sahabatnya itu pasti hari ini lelah sekali. Bukan hanya fisiknya yang lelah, tetapi juga hatinya. Baru setengah perjalanan, Loli sudah terlelap dengan kepala bersandar di bahu Ara.
Mobil yang dikendarai Pak Reihan terus melaju membelah malam. Membawa kelima gadis itu kembali ke desa yang sepi untuk beristirahat sebelum melanjutkan liburan mereka esok hari.
**=========**
Haai, jumpa lagi dengan lanjutan cerita ini.
Buat yang baca Nightmare in Budapest, tungguin ya lanjutannya. Hari ini nyoba ngetik lanjutannya.
Salam,
Arumi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top