32. Superhero

Pukul tujuh malam Gibran menjemput Rhea dan mengantarkannya ke sebuah kafe baru milik kenalan Gibran.

Sesampai di kafe itu, Gibran mengenalkan Rhea pada Jay, pemilik kafe itu. Lelaki itu masih muda, usianya baru dua puluh sembilan tahun, tetapi sudah mampu menjalankan usaha kafe ini selama setahun.

Dia meminjam modal dari ayahnya dan selama setahun ini keuntungan kafenya ini cukup lumayan hingga dia mampu membayar pinjamannya pada ayahnya. Gibran yang juga hobi bermusik dan ahli memetik gitar, beberapa kali diminta bermain musik di kafe ini untuk menghibur pengunjung. Karena itulah Gibran mengenal pemiliknya.

"Gibran merekomendasikan kamu untuk menyanyi di sini. Bisa tunjukkan pada saya sebagus apa suara kamu?" tanya Jay pada Rhea.

Sejak dulu Rhea mengagumi penyanyi Indonesia Anggun C Sasmi yang berhasil go Internasional tapi tetap humble dan bergaya Indonesia. Terkadang Rhea merasa sosoknya menyerupai Anggun, bukan dalam arti berwajah mirip.

Rhea berwajah manis dengan kulit sawo matangnya yang sehat tanpa jerawat. Rambutnya hitam lurus dia biarkan sepanjang punggung. Dari pencarian mengenai informasi tentang Anggun, Rhea menemukan lagu-lagu lama Anggun saat penyanyi itu masih berkarir di negeri ini.

Rhea suka sekali lagi berjudul "Mimpi". Seolah lagu itu menjadi lagu wajibnya, yang selalu dia nyanyikan tiap kali dia diminta memperdengarkan suaranya.

Seperti juga kali ini, saat Jay si pemilik kafe ingin tahu seperti apa suara Rhea, dengan sungguh-sungguh penuh penghayatan dan ekspresi mendalam, Rhea menyanyikan lagu kesukaannya itu. Jay tampaknya senang mendengar suara dan gaya Rhea menyanyi.

"Suara kamu keren! Aku suka. Oke, bisa mulai nyanyi besok malam? Aku kasih kesempatan kamu nyanyi di sini tiap hari Sabtu malam. Kamu bisa nyanyi lagu barat?" kata Jay setelah Rhea selesai menyanyikan lagu favoritnya itu.

"Tentu bisa, Mas Jay. Bruno Mars, Ariana Grande, Ed Sheeran, aku bisa menyanyikan lagu mereka," jawab Rhea.

"Pas banget! Lagu-lagu mereka memang cocok untuk suasana kafe ini. Besok malam mulai jam delapan sampai jam sebelas, oke?"

"Baik, Mas Jay. Terima kasih kesempatannya."

Wajah Rhea berubah cerah. Dia berterima kasih sekali pada Gibran yang telah mengenalkannya pada Jay.

"Nanti kita duet, Rhe. Aku yang main gitar, kamu nyanyi," kata Gibran.

"Oke, sip. Berarti aku bisa sekalian nebeng pulang pergi, kan?" tanya Rhea.

Gibran tertawa.

"Boleh, tapi kamu bayarin bensinnya ya?" canda Gibran.

Rhea mengangguk-angguk seraya tersenyum lebar.

Esok malamnya, Rhea sudah siap di kafe sejak pukul setengah delapan malam. Rhea menyiapkan staminanya bernyanyi selama kurang lebih tiga jam.

"Nyanyinya santai aja, Rhe. Nggak usah buru-buru. Antara satu lagu dengan lagu berikutnya nggak perlu langsung, boleh istirahat beberapa menit. Kita juga nggak terus-terusan nyanyi selama tiga jam. Sesi pertama nyanyi empat puluh menit, istirahat dua puluh menit, nyanyi lagi empat puluh menit, setelah itu istirahat lagi dua puluh menit. Totalnya sekitaran hampir tiga jam deh kita di kafe itu. Jam sebelas kafe itu tutup. Kita bisa pulang sebelum kafe tutup," kata Gibran.

"Oh, begitu. Kirain aku harus nyanyi tiga jam terus menerus. Bisa habis suaraku kalau nyanyi terus nggak berhenti," ucap Rhea mengerti.

Penampilan pertamanya ini cukup menarik perhatian. Rhea menyanyikan lagu-lagunya dengan fasih layaknya penyanyi profesional. Tak sia-sia dia tampil menyanyi tiap kali ada pentas seni di kampusnya.

Rhea juga diam-diam sering melatih vocal dan menghapal lirik di kamar kosnya. Tak ada yang protes karena suara Rhea memang enak didengar, selain itu Rhea hanya bernyanyi saat pagi hari sebelum dia berangkat kuliah.

Dua jam pertama setelah menyanyi sebanyak sepuluh lagu, Rhea mulai merasa kepayahan. Untunglah dia hanya menyanyi seminggu sekali. Tak terbayang jika dia harus menyanyi belasan lagu setiap hari.

"Kamu bilang pengin jadi penyanyi top Indonesia kan? Nah, ini bisa buat latihan, Rhe. Beginilah kira-kira kalau kamu nanti jadi penyanyi. Kamu harus menyanyikan banyak lagu hampir setiap hari. Staminamu harus kuat," kata Gibran.

Rhea mengakui kebenaran kata-kata Gibran itu. Pukul sebelas kurang lima belas menit, mereka siap pulang.

Rhea turun dari panggung menuju bar untuk memesan segelas minuman dingin. Baru saja dia mulai menyeruput minumannya, seorang lelaki setengah baya menghampirinya.

"Saya suka suara kamu. Seksi banget. Boleh kan kalau saya minta ditemani minum? Nanti saya bayarin deh, plus saya kasih uang karena nemenin saya," kata bapak setengah baya berwajah genit itu.

"Maaf, saya nggak bisa, saya harus pulang sekarang. Lagipula, kafenya sudah mau tutup," kata Rhea sembari buru-buru meghabiskan minumannya.

Dia menengok ke kanan dan kiri mencari-cari sosok Gibran dengan wajah cemas.

"Sombong amat sih, nanti saya bayar!" kata bapak itu dengan suara yang mulai terdengar kasar.

"Bukannya sombong, tapi memang saya harus pulang," bantah Rhea.

Dia berdiri dan hendak melangkah pergi, tetapi bapak itu menghadang langkahnya dan tanpa sopan santun meraih pergelangan tangan kiri Rhea.

Rhea terkejut, dia berusaha melepaskan diri dari pegangan bapak itu.

"Maaf, Pak. Gadis ini sudah bilang tidak bisa, saya harap bapak mengerti," ucap seorang laki-laki muda yang tiba-tiba muncul dan berdiri di antara bapak itu dan Rhea.

Tangan pemuda itu membantu melepaskan pegangan bapak itu di pergelangan tangan Rhea.

"Kamu siapa? Ikut campur aja!" teriak bapak itu semakin emosi.

"Saya calon suaminya," jawab pemuda itu masih dengan suara tenang.

Lalu tanpa memberi kesempatan bapak itu bicara lagi, pemuda itu langsung menarik tangan Rhea dan membawanya keluar kafe.

Rhea mengentakkan tangannya, berusaha membebaskan diri dari cengkeraman pemuda itu setelah mereka berada di luar kafe.

"Apa-apaan sih kamu! Kenapa kamu tiba-tiba muncul dan menggangguku? Ngaku calon suamiku lagi, sembarangan!" omel Rhea sambil memijit-mijit pergelangan tangannya yang terasa agak sakit karena digenggam pemuda itu terlalu erat.

"Aku menyelamatkan kamu, Andar! Aku kan memang calon suamimu," ucap Lintang, pemuda yang telah menyelamatkan Rhea dari gangguan bapak setengah baya tadi.

"Aku nggak minta diselamatkan. Aku kan sudah bilang berkali-kali, aku nggak mau dijodohkan denganmu. Kamu juga bukan bodyguard-ku, kenapa kamu mengikuti aku?" sanggah Rhea.

Dia tahu Lintang telah membantunya terbebas dari bapak genit tadi, tetapi dia tetap bertahan pada rasa gengsinya untuk tidak bergantung pada Lintang.

"Aku memang bukan bodyguard-mu, aku calon suamimu, Andar. Aku tahu, kamu menolak perjodohan kita cuma karena kamu nggak suka dengan konsep perjodohan, bukan karena nggak suka sama aku. Aku sudah janji pada bapak dan ibumu akan menjagamu. Aku nggak akan melepaskan pandanganku dari kamu," ucap Lintang lagi, dia pun bertekad tak akan menyerah menghadapi Rhea yang keras kepala.

"Kamu ini ... Ngeyel banget sih!" ujar Rhea.

"Kamu juga selalu ngeyel. Kamu gadis jawa paling keras kepala yang pernah kukenal, Ndar," sahut Lintang.

"Aku nggak peduli. Jangan bawa-bawa suku. Aku tau hakku dan kamu nggak punya hak mencampuri urusanku."

"Kamu memang keras kepala kok. Teman-temanku yang perempuan lainnya di Jogja ndak ada yang segalak kamu."

"Kalau kamu nggak suka sikapku, kenapa masih menggangguku? Pilih saja teman gadismu yang lain."

"Siapa bilang aku ndak suka? Aku cuma cinta kamu tok, Ndar, ndak ada yang lain. Segalak apa pun kamu aku tetap sayang kamu. Lagipula, sikap galakmu ini hanya bentuk perlawananmu saja, kan? Aku ingat Andar yang dulu, yang baik, lembut dan penuh perhatian."

"Manusia bisa berubah dan aku sudah berubah. Kamu nggak usah mengharap aku jadi seperti dulu lagi. Itu nggak akan pernah terjadi."

"Aku punya kewajiban menjagamu." Lintang menegaskan lagi.

"Kamu nggak punya kewajiban apa-apa terhadap aku. Kita belum menikah!" bantah Rhea.

Lintang hanya tersenyum, Rhea mengernyit heran bercampur kesal.

"Cuma belum, kan? Tapi nanti bakal menikah. Atau kita menikah saja sekarang supaya aku bisa lebih leluasa jagain kamu dan kita bisa nyewa rumah buat tinggal bersama," ucap Lintang.

Rhea memelotot. "Ngaco! Kamu terlalu berhalunisasi!" ujarnya kesal.

"Sudah, jangan ngomel terus. Aku cuma bercanda. Aku nggak mau ganggu kuliah kamu. Aku pengin kamu lulus dulu," kata Lintang dengan nada sabar sambil menyodorkan helm pada Rhea.

"Apa ini?" tanya Rhea masih berwajah kesal.

"Pakai helm ini, aku antar kamu pulang ke kosmu. Tadi kamu bilang, manusia bisa berubah. Aku ndak akan berhenti berharap kamu berubah menjadi mau menerimaku sebagai calon suamimu," jawab Lintang.

Rhea semakin memberengut.

"Aku nggak akan berubah pendirian dan aku bisa pulang sendiri!" Rhea masih keras kepala.

"Ini sudah malam, Ndar. Kamu mau pulang naik apa?"

"Ini Jakarta, Bung! Di Jakarta, kehidupan berlangsung dua puluh empat jam! Masih banyak kendaraan umum lalu lalang di jalanan kota ini. Lagipula, sudah ada yang akan mengantarku pulang kok," sahut Rhea masih bersikeras menolak Lintang.

"Siapa? Temanmu Gibran?" tanya Lintang.

Rhea terkejut mendengar Lintang menyebut nama Gibran.

"Kamu kenal Gibran?" tanyanya heran.

"Dia sudah kusuruh pulang duluan," jawab Lintang santai.

"Kok kamu bisa kenal Gibran?" tanya Rhea masih terheran-heran.

"Tentu saja aku tahu dia dari teman kosmu. Dia yang ngasih tahu aku, kamu ke sini bersama Gibran," jawab Lanang lagi.

Rhea semakin meradang. Diana teman kos yang tinggal di sebelah kamarnya. Dia memang menceritakan rencananya malam ini pada Diana.

Gadis itu adalah teman kampusnya yang juga mengenal Gibran. Diana mencurigai Rhea punya hubungan khusus dengan Gibran, karena itulah Rhea menjelaskan pada Diana bahwa dia dan Gibran hanya partner dalam pekerjaan. Dia menyanyi, Gibran yang memainkan musiknya.

"Kamu ini benar-benar keterlaluan. Mencampuri urusanku banget! Kamu nyebelin!" Rhea semakin kesal.

"Jadi, sekarang kamu mau kan aku antar pulang? Aku akan bantu kamu menjelaskan ke ibu kos kenapa kamu pulang malam sekali. Andar, kalau kamu butuh uang, nggak perlu kerja di tempat seperti ini sampai larut malam. Kamu kan masih kuliah." Lintang masih sabar menhadapi kemarahan Rhea.

"Suka-suka aku mau cari uang di mana." Nada suara Rhea masih terdengar ketus.

"Aku bisa kok ngasih kamu ...."

"Jangan menghina aku ya!"

"Menghina gimana? Aku cuma..."

"Kamu pikir aku gadis yang suka minta-minta uang?" ujar Rhea lagi, suaranya kembali emosional.

Lintang menghadapinya dengan senyum.

"Itulah yang membuatku makin suka kamu, Ndar. Kamu gadis mandiri yang tangguh. Aku kagum padamu," katanya.

Rhea hanya diam menahan kekesalannya.

"Jadi, kita pulang sekarang? Sudah setengah dua belas malam," tanya Lintang kembali mengingatkan.

Tanpa bicara lagi, Rhea memakai helm yang disodorkan Lintang, lalu dia duduk di boncengan motor Lintang. Tak lama motor itu melaju pulang.

Sesampai di tempat kos Rhea, Lintang secara gentleman menjelaskan pada ibu kos alasan Rhea pulang terlalu malam.

Sekesal apa pun hati Rhea, tetapi harus dia akui, malam ini Lintang telah menjadi superhero-nya lagi.

Lintang telah menyelamatkannya dari gangguan bapak setengah baya yang genit dan menyelamatkannya dari kemarahan ibu kos.

**========**

Haloooo semuanya.

Makasih buat yang masih tetap baca, ngasih vote dan komen 😘

Salam,

Arumi




Untuk sekarang ini, ini ceritaku yang ada di storial.

Storial itu aplikasi baca dan nulis cerita semacam wattpad, tapi punya Indonesia.

Salam,
Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top