31. Bertahan
"Ya ampun, tinggal dua puluh ribu!" ujar Rhea setelah menyusun beberapa lembar uang kertas dua ribuan yang menyesaki dompetnya yang mulai lusuh.
"Bapak belum kirim uang, udah tanggal dua," ucap Rhea dengan perasaan tak menentu.
Dia resah, lagi-lagi terlambat mendapat kiriman uang. Dia memang mendengar kabar di desanya keadaan keluarganya sedang sulit. Adiknya butuh banyak biaya. Ada bagian rumah yang harus diperbaiki juga.
Ini ketiga kalinya bapaknya terlambat lagi mengirim uang untuk biaya hidup Rhea sehari-hari di Jakarta.
Jika Rhea mau, dia bisa saja meminta bantuan pada Lintang. Andaikan saja hubungannya dengan Lintang masih seperti dahulu, dekat tetapi tak ada pemaksaan harus menikah dengan pemuda itu. Dulu, dia memang biasa meminta tolong pada Lintang. Namun setelah Lintang menerima ide orangtua mereka untuk dijodohkan dengannya, Rhea tak mau lagi meminta pertolongan sekecil apa pun pada Lintang.
Dia berusaha menjaga jarak sejauh-jauhnya. Bukan hanya jarak fisik, tetapi juga jarak hati. Dia tak mau berhutang budi secuil pun pada Lintang. Tidak, sesulit apa pun hidupnya di sini, dia tak akan pernah meminta pertolongan Lintang.
Rhea sempat marah pada Lintang ketika beberapa hari lalu Lintang datang ke rumah Ara dan dengan berani mengatakan di depan teman-temannya bahwa dia ingin menjemput Rhea.
Ketika itu Rhea serasa bagai ditampar. Dia malu sekali, dia tak ingin teman-temannya tahu siapa Lintang. Pada Kanya, dia bilang Lintang cowok dekat tempat kosnya yang terobsesi padanya, yang selalu mengikutinya, tak peduli walau penyataan sukanya pada Rhea sudah ditolak.
Hari itu saking khawatirnya, Kanya memaksa mengantar Rhea sampai tempat kosnya. Mengingatkan Rhea agar hati-hati terhadap Lintang. Kanya malah menyarankan Rhea untuk pindah kos. Rhea hanya mengiyakan saja semua saran Kanya. Dia tak ingin menceritakan siapa Lintang sebenarnya.
Setelah Kanya pulang, Rhea memarahi Lintang karena telah lancang menjemputnya tanpa minta izin. Rhea pun menanyakan mengapa Lintang bisa tahu rumah Ara. Ternyata Lintang mengikutinya diam-diam sejak keluar dari kos.
"Aku sudah janji sama bapakmu akan jagain kamu, Andar." Begitu alasan Lintang ketika itu.
"Aku nggak perlu dijagain. Sudah berapa kali aku bilang begitu. Pokoknya, jangan lagi ngikutin aku!"
Kemudian Lintang memang tidak mengikutinya lagi. Tapi cowok itu tetap memberi perhatian. Setiap hari rutin bertanya, apakah Rhea sudah makan? Apakah sudah bayar kos?
Andaikan Rhea tipe cewek yang senang memanfaatkan cowok, betapa mudahnya memanfaatkan Lintang demi kebutuhannya pribadi. Tapi Rhea bukan cewek seperti itu. Dia ingin membiasakan dirinya untuk mandiri, tidak bergantung pada laki-laki.
"Tapi, aku juga nggak mungkin minta tolong Kanya. Aku tahu dia juga butuh uang enggak sedikit untuk modal usahanya. Ya Allah, untung bu kos nggak keberatan aku terlambat lagi bayar uang kos. Tapi masa sih aku harus ngutang makan juga di warung Bu Marni?" keluh Rhea pada dirinya sendiri.
Rhea merebahkan tubuhnya di atas kasur busanya yang tergelar di lantai kamar kosnya yang sempit tanpa tempat tidur.
Matanya memandangi langit-langit kamarnya yang terbuat dari tripleks dan catnya mulai menguning dengan bercak-bercak bekas terkena bocoran air hujan di beberapa tempat.
Cari duit di mana lagi? pikir Rhea. Matanya masih menjelajahi langit-langit kamarnya. Seolah dengan berbuat seperti itu dia akan menemukan ide untuk memecahkan masalahnya saat ini.
Keahlianku cuma nyanyi. Di mana lagi pekerjaan yang butuh keahlian nyanyi? Jadi pengamen di Jakarta serem juga. Pengamen sini galak-galak, pikir Rhea lagi.
Dia teringat kejadian saat dia dicegat pengamen lain seusai mengamen di sebuah bus.
Rhea telah berusaha mencari pekerjaan sambilan via internet. Tetapi sulit sekali menemukan pekerjaan freelance untuk mahasiswi seperti dirinya.
"Jadi penyanyi kafe!"
Ide itu sudah terlintas di benak Rhea sejak sebulan lalu. Teman-teman di kampusnya telah mengetahui kualitas suara Rhea yang memang enak didengar sejak Rhea beberapa kali menunjukkan kebolehannya menyanyi tiap kali kampusnya mengadakan pentas seni.
"Itu tadi lagu apaan, Rhe?" tanya Dela salah satu teman kampusnya yang tercengang saat pertama kali mendengar suara Rhea yang indah dan gaya menyanyinya yang asyik.
"Lagu Anggun C. Sasmi," jawab Rhea.
"Serius? Artis Indonesia yang ngetop di Perancis itu?" tanya Dela lagi.
"Iya," jawab Kanya singkat kala itu.
"Memangnya dia pernah nyanyiin lagu begitu?"
"Itu lagu dia waktu masih remaja, waktu masih tinggal di Indonesia."
"Keren juga ya lagunya."
"Apalagi aku yang nyanyi, makin keren, kan?"
"Mulai deh, sombong .... Baru dipuji dikit," kata Dela sedikit keki mendengar ucapan Rhea.
"Loh, ini kenyataan, aku memang keren kan tadi nyanyinya?" Rhea menyeringai lebar.
"Iya sih," ucap Dela mengakui kata-kata Rhea.
"Rhea memang penyanyi kebanggaan kampus kita. Kamu nggak pengen ikutan Indonesian Idol, Rhe?" ucap Gibran yang tiba-tiba saja muncul di antara Rhea dan Dela.
"Aku nggak bisa ikut kontes begitu. Nanti ganggu kuliahku," sahut Rhea.
Gibran teman sekampus Rhea yang hobi bermain gitar dan beberapa kali sempat mengiringi Rhea bernyanyi.
Sebulan lalu, Gibran menawarkan Rhea untuk menyanyi di sebuah kafe milik kenalannya. Saat itu Rhea menolak karena dia sedang banyak tugas menjelang ujian mid semester.
Apalagi Gibran bilang, jika Rhea bersedia, dia harus menyanyi di malam hari. Ini berat bagi Rhea. Kafe itu letaknya jauh sekali dari tempat kosnya. Sedangkan tugas menyanyi baru usai pukul sebelas malam.
Bagaimana cara dia pulang di malam selarut itu? Dia sedikit paranoid jika harus berada di jalan raya Jakarta saat malam hari. Dia sering mendengar kota ini rawan kejahatan, terutama malam hari, apalagi bagi perempuan yang sendirian. Selain itu, ibu kos pasti tak akan mengizinkannya pulang lewat dari pukul dua belas malam.
Namun saat ini, keadaannya berbeda. Kebutuhannya sangat mendesak. Ini urusan perut yang butuh disisi. Mau tak mau, Rhea harus menerima tawaran itu demi tambahan biaya hidupnya.
"Besok aku harus cari Gibran," tekad Rhea.
Kemudian dia tertidur sembari menahan lapar. Malam ini dia kembali tidak makan. Dia harus super hemat. Cukup makan hanya dua kali sehari dengan lauk yang sangat sederhana sampai dia menemukan jalan untuk mendapatkan uang.
Keesokan harinya usai kuliah, Rhea mencari Gibran. Pemuda itu satu angkatan dengannya, hanya beda jurusan. Sehingga mereka tidak bertemu di kelas.
Rhea mencari Gibran di kantin saat jam makan siang, namun dia tak melihat sosok pemuda itu. Barulah pukul tiga sore, Rhea melihat Gibran di tempat parkir motor sedang bersiap menyalakan motornya.
"Hai, Gibran!" panggil Rhea. Gibran menoleh padanya.
"Boleh ngomong sebentar?" lanjut Rhea setelah dia berdiri di samping Gibran yang sudah duduk di punggung motornya.
Pemuda tinggi kurus berambut keriting lebat itu mengurungkan niatnya memutar kunci motor.
"Rhea, ada apa nih?"
"Tawaran kamu sebulan lalu masih berlaku?"
Gibran mengangkat kedua alisnya.
"Nyanyi di kafe? Kamu jadi mau?"
"Masih ada lowongan nggak?"
"Coba kamu datang dulu buat dites suaramu, cocok nggak sama selera pemilik kafe. Sepertinya penyanyi untuk sabtu malam di kafe itu ganti-gantian. Mungkin kamu bisa jadi salah satu penyanyi yang boleh nyanyi di situ," jawab Gibran.
"Iya, aku mau," sahut Rhea antusias.
"Sekarang kamu udah nggak masalah pulang lewat jam dua belas malam?" tanya Gibran.
"Nggak apa-apa," jawab Rhea.
"Dibolehin sama ibu kos kamu?" Gibran meyakinkan sekali lagi.
"Nanti biar aku pikirin alasannya. Yang penting aku sedang sangat butuh kerjaan segera," jawab Rhea.
"Oke, kalau kamu memang mau, nanti jam tujuh malam aku jemput kamu di tempat kos. Aku anterin ke kafe itu. Gimana?"
"Sip, aku tunggu ya, Gib," jawab Rhea disertai senyum lebar saking senangnya.
Gibran mengangguk. Lalu dia menyalakan motornya dan berlalu meninggalkan kampus.
**=========**
Aloha ... Siapa yang suka Rhea? Part ini dan part selanjutnya tentang Rhea yaa ...
Makasih buat yang masih terus baca, ngasih vote dan komen 🥰
Salam,
Arumi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top