24. Maafkan dan Lupakan

"Ara, sekali lagi aku minta maaf. Andai aku bisa mengulang waktu sebelum kejadian itu. Sungguh, aku sendiri saat itu kebingungan. Aku bukan orang jahat, Ra. Tapi aku nggak berdaya. Kalau aku pergi, siapa yang akan jagain dan menghidupi adik-adikku? Kami nggak punya saudara lagi," kata Faril panjang lebar.

Ara menelan ludah. Dia tak tahu harus menjawab apa. Dia juga tak yakin apakah harus menyesal akhirnya berhasil menemukan pembunuh Priska tetapi dia tak bisa berbuat apa-apa.

"Anggap aja kita nggak pernah ketemu. Anggap aja aku nggak tahu kamu. Tolong jangan pernah menghubungi aku lagi. Jangan ikuti aku lagi. Aku akan ngelupain kamu. Aku anggap pertemuan kita ini cuma mimpi, nggak pernah benar-benar terjadi," sahut Ara kemudian.

Dia bangkit berdiri bersiap pergi dari rumah Faril.

"Jadi ... begini aja?" tanya Faril tampak heran dan bingung melihat sikap Ara yang sama sekali di luar dugaannya.

"Ya, begini aja. Habis gimana lagi? Adik-adikmu bikin aku nggak tega ngelaporin kamu ke polisi walau pun aku marah banget sama kamu. Rasanya aku pengin mukulin kamu sampai kamu babak belur."

"Pukul aja aku. Kalau itu bisa bikin perasaan kamu lebih lega." Faril menawarkan.

Ara menggeleng.

"Aku tau itu nggak ada gunanya. Aku nggak tahu apa aku harusnya menyesal udah ketemu kamu. Di satu sisi kedatanganmu ke hadapanku menjawab rasa ingin tahuku tentang siapa penabrak Priska. Di sisi lain ...."

Ara berhenti sejenak.

"Sudahlah! Nggak ada yang perlu diomongin lagi. Cukup sampai di sini aja. Aku pergi, dan tolong jangan pernah muncul di hadapanku lagi," lanjut Ara tegas.

Dia membalikkan tubuhnya, bersiap melangkah pergi dari rumah petak kecil berdinding triplek itu.

"Ara ... maafkan aku," ucap Faril suaranya terdengar pilu.

"Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosamu. Jadilah orang baik, cari pekerjaan yang baik. Rawat adik-adikmu baik-baik, hanya itu pesanku," sahut Ara seraya menoleh sebentar, lalu kembali meluruskan pandangannya ke depan.

"Kakak! Kakak mau pulang?" tanya Nisa yang tiba-tiba sudah berada di samping Ara.

Ara terkejut, dia menghentikan langkahnya, lalu menoleh memandang Nisa dan tersenyum tipis.

"Iya, kakak pulang dulu, ya," sahut Ara berusaha bersikap sabar.

"Kapan-kapan main kemari lagi kan, Kak?" tanya Nisa lagi.

Ara hanya tersenyum, dia merasa tak perlu menjawab pertanyaan itu.

"Dah Kak Araaa!!" teriak Huda, gadis yang paling kecil sambil melambaikan tangan kirinya kepada Ara dan menjilati jari-jari tangan kanannya yang penuh sisa nasi dan bumbu lauk.

Gadis itu berdiri di ambang pintu kecil rumah mereka. Ara membalas lambaian tangan itu, seraya tersenyum lebar.

"Daah juga," sahut Ara.

Di samping Huda, berdiri Fatin yang masih tampak lemas tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk Ara.

Kembali Ara membalikkan tubuhnya membelakangi rumah kecil itu. Dia terus melangkah menyusuri jalan setapak yang di kanan kirinya berjajar rumah-rumah kecil hanya terbuat dari triplek.

Hati Ara berkecamuk. Siapa yang tidak terenyuh melihat pemandangan seperti ini? Masih banyak orang yang hidup di tempat kurang sehat seperti ini. Ah, andaikan saja bisa, ingin sekali Ara merombak rumah-rumah di sini dan menata lingkungan ini menjadi sehat.

Dua mulai memikirkan kemungkinan itu. Dia menyadari sekarang. Begitu banyak manusia bernyawa yang butuh perhatian orang-orang yang paham tentang kesehatan seperti dirinya.

Ara semakin sadar, kasus kecelakaan seperti yang dialami Priska dalam kenyataan hidup ternyata tak mudah dihadapi. Tidak seperti di dalam film. Apalagi setelah melihat adik-adik Faril yang masih kecil dan tetap tampak bahagia walau hidup dalam kekurangan.

Kecuali Fatin. Dia udah mulai remaja, udah tiga belas tahun. Wajah murungnya bukan cuma karena dia sedang sakit, tapi juga karena dia udah paham hidup yang harus dihadapinya sangat keras. Beda dengan Huda dan Nisa yang masih kecil, nggak tahu beban berat yang harus dihadapi kakak mereka, batin Ara lagi selama dia berjalan menyusuri perkampungan padat itu.

Melihat kehidupan Faril dan adik-adiknya telah mengusik batin Ara. Tapi dia tak mau berurusan dengan Faril lagi.

Melihat Faril hanya membuat Ara terkenang lagi dengan musibah yang menimpa Priska.

Kejadian ini menyadarkan Ara untuk berbelok sedikit dari cita-cita awalnya. Dia tidak lagi tertarik menjadi ahli forensik.

Sepertinya Ara mulai berpikir lebih baik membantu orang-orang yang sakit dan berusaha mewujudkan harapan mereka untuk sembuh dari penyakit.

Terkadang manusia dihadapkan pada pilihan sulit, tetapi sesulit apa pun tetap harus ada yang dipilih.

Seperti Loli yang memilih merahasiakan perselingkuhan papanya dari mamanya dan adik-adiknya, dia memilih menanggung sendiri rasa luka itu asalkan hidup mama dan adik-adiknya baik-baik saja.

Kali ini Ara pun harus memilih. Jika dia melaporkan Faril, apakah dia akan merasa puas? Bisakah menebus kesedihan keluarga tantenya?

Yang jelas tidak akan mengembalikan Priska, tapi yang pasti akan menghancurkan empat orang sekaligus. Faril akan masuk penjara dan ketiga adiknya yang masih kecil akan terlantar.

Tak ada pilihan lain bagi Ara kecuali memilih merahasiakan identitas Faril sebagai penabrak Priska.

Aku akan ngelupain semuanya. Anggap aja ini cuma mimpi, batin Ara lagi.

Dia mempercepat langkahnya. Rasanya dia ingin menghibur diri untuk melupakan yang baru saja dia alami. Ara bertekad akan melupakan kejadian hari ini.

Namun, apakah dia sanggup? Memori manusia tidak seperti memori komputer, yang jika tak suka pada satu file, cukup men-delete-nya saja.

Memori Ara tentunya berhubungan dengan hati dan perasaannya.

**========**

Haai semua.

Ga berasa udah malam minggu lagi. Jumpa lagi dengan lanjutan ini.
Makasih buat yang masih baca 😊

Salam,

Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top