22. Pembunuh?

Ini bukan khayalan. Kali ini Ara benar-benar yakin pemuda itu memang sengaja mengikutinya. Dia sudah melihat pemuda itu berjalan di belakangnya sejak dia keluar kampusnya tadi.

Untuk semakin meyakinkan kesimpulannya, Ara sengaja tidak langsung pulang ke rumah. Dia mampir dulu ke sebuah mal dan pemuda itu tetap ada di belakangnya. Apakah pemuda itu belum sadar kalau kehadirannya telah diketahui Ara?

Ara masuk ke sebuah restoran cepat saji. Dengan santai dia menikmati makanan dan minuman yang dipesannya. Dia sengaja berlama-lama, agar pemuda yang mengikutinya itu kelelahan menunggunya kemudian pergi menjauh.

Tetapi perkiraan Ara itu meleset. Pemuda itu tiba-tiba saja duduk di kursi yang berada satu meja dengan Ara!

Ara terkejut bukan main, dia hampir tersedak, sampai makanan yang dikunyahnya sedikit tersembur saking terkejutnya. Segera Ara meminum lemon tea pesanannya untuk kembali melancarkan kerongkongannya.

"Maaf ... aku mengganggumu, tapi aku harus ngomong sesuatu sama kamu," ucap pemuda itu.

Ara membelalak menatap pemuda itu. Dia tak percaya pemuda itu berani sekali mengganggunya di sini, di tempat umum yang banyak orang. Dia bisa meneriaki pemuda ini sebagai pencuri.

Ara melirik ke kiri dan ke kanan, dia mulai berpikir, apakah ada yang percaya jika dia meneriaki pemuda di hadapannya ini sebagai pencuri? Atau penculik? Atau ....

"Aku ... mau minta maaf," ucap pemuda itu perlahan tanpa ragu sedikit pun.

Ara memandangi pemuda itu heran. Dia mulai curiga, apakah pemuda di hadapannya ini normal? Jangan-jangan pemuda ini hilang ingatan. Ara merasa tak mengenalnya, tapi mengapa tanpa sebab pemuda itu minta maaf padanya?

"Eh, sebelumnya aku mau mengenalkan diri. Aku Faril. Dulu aku bekerja sebagai sopir pribadi seorang direktur. Tapi aku sudah mengundurkan diri sejak dua hari lalu. Karena aku merasa nggak tenang, aku merasa sangat bersalah," lanjut pemuda itu.

"Memangnya kamu ngapain sih? Kenapa minta maaf sama aku? Kamu sebenarnya waras nggak sih?" sahut Ara tanpa ragu memperlihatkan ekspresi kesalnya merasa sangat terganggu.

"Aku sangat waras. Aku menghadapi kamu seperti ini untuk mengakui sesuatu."

Jeda sesaat. Hingga nyaris satu menit pemuda itu masih belum bicara lagi. Mereka hanya saling tatap. Ara menatap tajam, pemuda itu memberi tatapan memelas.

Ara membuka mulut mulai tak sabar. Tapi belum sempat dia bicara, pemuda itu sudah lebih dulu bersuara.

"Aku yang menabrak saudara kamu," ucap pemuda itu dengan suara lebih pelan.

Matanya masih memandangi Ara, kali ini terlihat waspada menunggu reaksi Ara, seburuk apa pun.

Ara ternganga, saking syoknya dia sampai mematung tak bereaksi apa pun selama beberapa detik. Di detik ke lima belas, barulah dia berdiri dengan gerakan cepat hingga tangannya tak sengaja menggerakkan meja agak keras dan membuat gelas di atasnya jatuh dan lemon tea yang tersisa di dalamnya tumpah. Pemuda itu buru-buru mengembalikan gelas itu ke posisinya semula.

"Apa?! Kamu pembu ..."

Ara sudah berteriak lantang, namun untunglah dia sadar dia sedang berada di tempat umum, di sekelilingnya banyak pengunjung lain yang juga sedang asyik makan di restoran cepat saji ini.

Perlahan Ara kembali duduk di kursinya. Dia menatap tajam pemuda yang sedang duduk di hadapannya. Dia raih dengan cepat tangan kiri pemuda itu lalu dia genggam erat pergelangan tangannya sampai pemuda itu meringis.

"Katakan lebih jelas, kamu yang menabrak seorang gadis sebulan lalu dengan mobil sedan hitam hingga terpelanting dan kepalanya pecah?" tanya Ara lagi kali ini dengan volume suara yang dia tahan agar tak terdengar pengunjung lain.

Pemuda itu mengangguk perlahan, matanya mulai berair.

"Tolong maafkan aku, aku nggak sengaja. Waktu itu aku sedang buru-buru. Bosku terus meneleponku meminta aku segera menjemputnya. Aku mempercepat laju mobil dan panik saat tiba-tiba ada orang yang melintas di depanku, aku nggak sempat berhenti ...."

"Dan kamu meninggalkannya begitu saja setelah kamu tabrak! Seharusnya kamu tolong sepupuku itu, siapa tau dia masih hidup. Seharusnya kamu bawa dia ke rumah sakit!" potong Ara tak sabar, suaranya agak bergetar menahan marah.

"Maaf, aku .... waktu itu aku bingung, takut, panik cemas ...."

"Sekarang berani banget kamu menemuiku!" ucap Ara, tanpa sadar suaranya mengeras lagi. Dia melirik kanan kirinya. Beberapa orang menoleh ke arahnya. Ara tersenyum kepada mereka, sebelum kembali menatap pemuda yang mengaku bernama Faril itu.

"Aku merasa sangat bersalah, aku merasa nggak tenang. Besoknya, aku berusaha mencari tahu siapa yang waktu itu kutabrak, lalu diam-diam kucari alamat rumahnya. Sampai di rumahnya, aku masih ragu untuk mengakui kesalahanku. Tapi tiap hari aku datang ke rumah itu. Sampai suatu hari aku melihatmu keluar dari rumah itu, lalu kuikuti kamu," ucap Faril dengan suara pelan.

"Terus, sekarang setelah kamu ngaku, kamu pikir apa yang akan kulakukan? Kamu nggak takut aku gantung?" Suara Ara masih ketus, tapi kali ini volumenya cukup pelan.

"Aku lebih takut hukuman Tuhan dibanding hukuman dari manusia. Kalau orang tua gadis itu nggak memaafkan aku, Tuhan juga mungkin nggak akan mengampuni dosaku. Minimal, aku berharap ada pihak keluarga dari gadis itu yang memaafkan aku. Dan aku harap itu kamu."

"Priska," ucap Ara masih menatap tajam Faril.

"Apa?" tanya Faril bingung, tak mengerti maksud Ara.

"Nama gadis yang kamu tabrak itu Priska Ariani. Sepupuku. Calon sarjana hukum!" sahut Ara, masih ketus tapi tidak terlalu keras.

Faril hanya menelan ludah.

"Tentu saja Tuhan nggak akan mengampuni dosa kamu itu. Dosa kamu itu besar sekali, tau nggak? Kamu bikin seorang manusia kehilangan nyawa. Kamu sudah membunuh sepupuku," ucap Ara dengan volume suara masih dia tahan agar tak terdengar pengunjung lain di kanan kiri mereka.

Kemudian tanpa bisa dia cegah, air matanya mengalir begitu saja. Dia kembali teringat pada Priska. Rasanya aneh sekali berhadapan langsung dengan orang yang telah menyebabkan Priska kehilangan nyawa.

Segala macam rasa bercampur aduk dalam hatinya. Marah, sedih, duka, kasihan.

Ah, keterlaluan sekali, siapa yang dia kasihani? Pemuda itu tak pantas dikasihani. Pemuda itu telah merenggut kebahagiaan keluarga tante dan omnya.

"Bisakah kamu datang ke rumahku?" tanya Faril tiba-tiba.

Lagi-lagi membuat Ara terkejut. Dia mengambil tisu dari tasnya, dan menghapus air mata yang membasahi pipinya.

"Untuk apa aku ke rumahmu? Jangan-jangan nanti aku kamu bunuh juga," sahut Ara sinis.

"Aku nggak sejahat itu. Aku bukan pembunuh. Aku sungguh menyesal karena telah lalai. Datanglah ke rumahku, bertemu adik-adikku, setelah itu terserah kamu, mau melaporkan aku ke polisi atau nggak," kata Faril lagi.

Ara memicingkan mata, rasanya dia gemas sekali ingin memukul kepala pemuda yang duduk di hadapannya itu. Dia semakin kesal melihat Faril memasang wajah memelas. Pemuda ini telah merenggut hak Priska untuk hidup lebih lama! Berani-beraninya dia ....

"Memangnya kamu mau ya hidup dihantui rasa berdosa seumur hidup karena sudah menghilangkan nyawa orang?" tanya Ara masih bernada sinis.

"Tentu aku nggak mau. Karena itu aku minta maaf sama kamu," jawab Faril masih dengan ekspresi wajah memelasnya.

"Kenapa minta maaf sama aku? Minta maaf sama orang tua Priska dong," sahut Ara ketus.

"Aku ... nggak berani menghadapi mereka," sahut Faril.

"Kamu pengecut!" ujar Ara, suaranya mulai agak keras lagi.

"Iya, aku akui, aku memang pengecut. Aku cuma bisa berharap belas kasihan darimu, supaya hatiku sedikit tenang. Aku merasa bersalah sekali. Aku punya tiga adik perempuan. Aku bisa bayangin gimana rasanya kalau aku kehilangan adik perempuanku. Aku memang pantas dihukum, tapi tolong kamu pertimbangkan lagi, bisakah kamu mengampuni aku?" ucap Faril suaranya bagai ratapan berharap ampunan.

Rahang Ara mengeras. Dia masih menatap tajam Faril. Dia masih tak mengerti mengapa pemuda itu berani menemuinya dan mengakui perbuatannya.

**=======**

Happy weekend all ...

Jumpa lagi dengan cerita ini.

Yang udah suka sejak awal, semoga makin suka ya. Makin seru nih 😊

Makasih buat yang udah baca, vote dan komen 🤗

Salam,

Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top