19. Kehidupan Nyata Tidak Sekeren Film

"Aku udah sering melihat mayat, Bang. Nggak sering sih, tapi beberapa kali udah melaksanakan praktik bedah mayat. Tapi, tetap aja aku nggak tega lihat keadaan Priska ...." Ara menggantung kalimatnya.

Dia duduk disamping Jorgi kakaknya yang hanya bisa diam tak tahu harus menghibur Ara dengan cara apa. Mereka baru saja pulang dari pemakaman, mengantarkan Priska ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

"Aku ... ternyata aku nggak sekuat yang kukira. Aku jadi ragu apa aku bisa jadi dokter nanti." Ara mengungkapkan apa yang dirasakannya saat ini.

"Apa hubungan kematian Priska dengan  cita-cita kamu jadi dokter, Ra?" tanya Jorgi tanpa menoleh ke arah Ara, pandangannya masih lurus ke depan.

Dia masih menatap tetesan air yang jatuh dari ujung sebuah daun salah satu tanaman dalam pot besar koleksi bundanya yang kehujanan.

Jorgi menemani Ara termenung di teras rumah mereka. Hujan sudah turun sejak mereka dalam perjalanan menuju rumah. Untunglah acara pemakaman Priska telah usai. Hujan ini seolah mengiringi isak tangis keluarga yang ditinggalkan Priska.

"Abang kan tahu, awalnya aku berniat jadi ahli forensik, khususnya mengautopsi mayat untuk menyelidiki penyebab kematian seorang pasien. Keadaan jenazah yang meninggal karena penyakit dengan yang meninggal karena kecelakaan ternyata sangat berbeda. Aku nggak sanggup menghadapinya. Jangankan menyentuh tubuh Priska dan ikut memandikannya, melihatnya saja aku ngeri," jawab Ara.

"Karena ... keadaan Priska memang ...," ucapan Jorgi terputus.

"Ssstt! Bang, jangan ngucapin yang jelek-jelek tentang Priska," potong Ara cepat.

"Aku nggak ngucapin apa-apa," sanggah Jorgi masih dengan sikap datar, pandangannya belum beralih dari pot tanaman besar tepat di seberang dia duduk.

"Tapi tadi Abang hampir bilang sesuatu yang buruk tentang keadaan Priska, kan?" sahut Ara, dia sudah menoleh ke arah kakaknya, menatap Jorgi gusar.

"Nggak. Tapi, benturan yang menabrak Priska memang sepertinya keras sekali. Lukanya sampai separah itu. Penabraknya pengecut! Dia kabur nggak tanggungjawab!"

Ara hanya tercenung. Dia juga benci sekali pada entah siapa yang menabrak Priska. Tak ada yang tahu bagaimana kejadian sebenarnya. Yang menyaksikan peristiwa kecelakaan itu hanya seorang bapak, itu pun dia hanya melihat dari jauh.

Bapak itu bilang, jalanan saat itu sepi, Priska hendak menyeberang, tapi baru sepermpat jalan, tiba-tiba datang meluncur sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam dengan kecepatan tinggi. Priska tak sempat menghindar, dia tertabrak, tubuhnya terpental sejauh kurang lebih enam meter, kepalanya membentur trotoar sementara tubuhnya melintang ke arah jalan raya.

Kemudian sedan mewah itu kabur begitu saja meninggalkan tubuh Priska yang tergeletak bersimbah darah. Bapak saksi mata itu mengatakan Priska sudah diam tak bergerak saat dia datang menghampiri.

Bagian belakang kepalanya pecah, lutut kanannya patah hingga sebagian tulangnya mencuat menembus kulit.

Ara sempat melihatnya sekilas, namun dia tak mau melihat lagi. Dia tak mau kenangannya akan sosok Priska yang manis hancur hanya karena dia melihat keadaan terakhir Priska.

Mendengar luka-luka yang diderita Priska saja sudah membuat Ara merinding dan berkali-kali menutup telinganya menolak mendengar tiap kali ada yang membicarakan tentang keadaan terakhir Priska.

Ara memang senang menonton serial CSI. Serial televisi yang menyajikan cerita kasus-kasus kriminal itu seringkali menampilkan korban pembunuhan kejam berupa mayat dalam kondisi sangat mengerikan. Aneh, menyaksikan adegan dalam film itu berkali-kali tak lantas membuat Ara terbiasa melihat keadaan mayat yang mengerikan secara langsung.

"Jangan-jangan ... aku sebenarnya nggak berbakat jadi dokter," ucap Ara lagi.

Kali ini ucapan Ara itu membuat Jorgi menoleh.

"Jangan cengeng! Baru menghadapi kejadian seperti ini sudah mikir mau  mundur. Jadi dokter kan cita-cita kamu dari kecil. Kemarin kamu masih semangat menjalani kuliahmu. Nilai-nilai kamu juga bagus. Jangan ngambil kesimpulan saat perasaanmu sedang emosional," kata Jorgi, kali ini sembari menatap Ara serius.

Ara sedikit tersentak mendengar perkataan kakaknya dan tatapannya yang bersungguh-sungguh itu.

"Bang Jorgi ... aku ... mendadak aku takut," ucap Ara perlahan, lagi-lagi airmata berkumpul di pelupuk matanya, membuat pandangannya sedikit kabur.

"Ara, kamu pasti kuat. Aku kenal Ara adikku yang tangguh. Kamu pasti bisa, Ra. Kehilangan Priska memang menyedihkan, tapi aku yakin, Priska nggak akan rela kalau kamu mundur gara-gara dia," sahut Jorgi, kali ini ucapannya disertai seulas senyum tulus untuk Ara.

Dia memang sering berdebat dengan Ara, dia pun jarang berbincang-bincang dari hati ke hati dengan Ara. Tapi diam-diam dia sangat peduli pada adik perempuan satu-satunya itu.

Ara hanya mengangguk dan membiarkan air matanya mengalir di kedua pipinya, seiring dengan rintik hujan yang masih saja turun membasahi pekarangan rumahnya.

oOo

Dua hari sesudah kepergian Priska, Ara masih diselimuti duka. Loli dibuat heran dengan sikap Ara yang tidak membalas semua pesannya sejak kemarin. Loli masih ingat pertemuan terakhirnya dengan Ara, justru Ara yang memberinya semangat agar tidak emosional. Ara juga berjanji siap mendengar curhatan Loli.

Namun saat Loli kembali mencurahkan kegundahannya dan kebenciannya pagi ini saat melihat wajah papanya, tak ada jawaban dari Ara. Telepon Loli juga tidak diangkat.

"Ara kenapa sih? Dia sendiri yang janji siap mendengarkan curhatanku. Tapi mana? Baru dua hari dia udah nggak peduli aku lagi," keluh Loli menahan kesal.

Masih diliputi kesal dan sakit hatinya pada Papanya, Loli kali ini mengirim pesan mengungkapkan kekecewaannya pada Ara yang sudah tak peduli padanya dan jawaban Ara membuat Loli tersentak.

"Maaf, Lol. Aku telat balas, aku habis nganter Priska sepupuku yang semalam kecelakaan," balas Ara akhirnya.

Saat membaca itu Loli masih tidak menyadari maksud jawaban Ara, Loli masih membayangkan maksud ara adalah mengantar sepupunya ke rumah sakit.

"Sepupuku Priska sudah nggak ada, Loli," jawab Ara lagi melalui whatsapp.

Loli semakin tersentak. Barulah dia merasa bersalah. Dia telah bersikap egois. Dia marah pada keadaan yang menimpanya, seolah dia adalah orang paling malang di dunia. Kenyataannya, ada kejadian lebih memilukan yang dialami orang lain dibanding yang dialaminya saat ini.

Hari ini Loli memang sengaja tidak masuk kuliah selain karena masih kesal pada papanya, juga karena emosinya masih naik turun.

Dia segera menghubungi sahabat-sahabatnya yang lain, Anka, Kanya dan Rhea, menyampaikan kabar duka yang dialami Ara.

Menjelang sore, setelah Anka, Kanya dan Rhea menyelesaikan jadwal kuliah mereka hari itu, keempat gadis itu janji bertemu. Kemudian bersama-sama mengunjungi rumah Ara.

**==========**

Hai, hai

Makasih buat yang masih ngikutin cerita ini. Semoga suka terus sampai ending 😉

Salam,
Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top