17. Apakah Yang Mereka Lihat Itu Nyata?
Ara tersentak tak percaya melihat kenekatan Loli. Dia tak tahu, ada rencana apa lagi dalam kepala Loli. Andai saja dia tadi boleh meminjam mobil bundanya, mereka bisa bebas mengikuti mobil Pak Reihan masuk tol.
"Loli? Apa lagi rencana kamu sekarang?" tanya Ara mulai tak sabar hanya diam melihat tingkah Loli yang semakin tak masuk akal setelah gadis itu selesai menelepon papanya.
"Ini satu-satunya jalan buat mencegah papaku ketemu cewek simpanannya itu," jawab Loli.
"Tapi kan kita belum tahu pasti. Siapa tau papamu benar-benar mau rapat,"
"Rapat di puncak?"
"Kamu tau papamu mau ke puncak?"
"Arah mobil papaku ke Bogor, pasti mau ke Puncak."
"Belum tentu. Siapa tau ke Cibubur misalnya."
"Ara, kamu sebenarnya dukung siapa sih?" Loli kembali emosi.
"Aku cuma berharap kecurigaanmu tentang papamu nggak benar, Lol."
Loli diam, wajahnya terlihat kesal sekali. Ara ikut diam, dia tak mau salah bicara lagi. Dua menit kemudian ponsel Loli berbunyi.
"Loli di sini, Pa. Sebelum pintu masuk menuju Bogor, nggak jauh dari Tamini Square."
Sepuluh menit kemudian, tampaklah mobil Pak Reihan, menghampiri Loli dan Ara. Selama menunggu tadi, Loli dan Ara masih saling diam. Mobil Pak Reihan menepi dan berhenti di depan keduanya.
Setelah mesin mobil itu mati, Pak Reihan keluar dari mobilnya dengan wajah panik sekaligus heran saat melihat Loli anaknya tidak sendiri, melainkan bersama seorang temannya.
"Loli! Kenapa? Ada apa? Kamu dirampok di mana? Ini ... siapa?" tanya Pak Reihan beruntun sembari melirik heran pada Ara yang masih berdiri terpaku di samping Loli.
"Ini Ara teman Loli, Pa. Rencananya tadi kami mau ke Bogor, ada yang harus Loli liput di sana. Ara nemenin Loli. Tapi Loli baru sadar dompet Loli dicopet. Karena itu Loli langsung turun di sini mumpung masih di Jakarta dan nelpon papa," kata Loli mengucapkan cerita bohong dengan lancar pada papanya.
Pak Reihan menatap Loli penuh selidik, tampak sedikit sangsi dengan cerita Loli. Lalu pandangannya beralih pada Ara yang masih terdiam, Ara tampak gugup menerima pandangan curiga Pak Reihan.
"Iya kan, Ara?" tanya Loli minta dukungan Ara.
"Iya, Om. Dompet saya juga dicopet Om. Sepertinya copetnya sindikat gitu. Ada beberapa orang dalam bus tadi." Ara terpaksa mengikuti sandiwara Loli yang tanpa skenario. Dalam hati dia mohon maaf pada Tuhan karena telah berbohong.
"Oke, papa kasih kamu uang untuk ongkos pulang. Kamu pulang naik taksi saja."
Kata Pak Reihan seraya mengeluarkan dompetnya. Wajah Loli seketika memberengut.
"Memangnya Papa nggak bisa nganterin Loli pulang?"
"Papa harus meeting, Loli. Tadi kan papa udah bilang."
"Meeting atau 'meeting'? Meeting di mana?" tanya Loli, sengaja memberi tekanan khusus pada ksta 'meeting' yang kedua. Dia tak bisa lagi menyembunyikan ekspresi curiganya.
"Maksud kamu apa, Loli? Meeting ya meeting. Rapat penting. Papa mau meeting di daerah Cibubur. Ini, papa kasih uang tiga ratus ribu untuk ongkos taksi. Pasti lebih dari cukup buat biaya taksi dari sini sampai rumah," jawab papanya sambil menyerahkan tiga lembar uang seratus ribu rupiah.
"Tapi Loli mau ke Bogor untuk meliput, Pa," sanggah Loli, dia hanya memandangi uang yang disodorkan ayahnya padanya, belum berniat mengambilnya.
"Batalkan saja acara meliput kamu itu. Kamu papa larang meliput di luar Jakarta. Meliput di tempat yang dekat-dekat saja, di Jakarta saja. Sekarang kamu pulang. Kamu ... mm ... Ara ya tadi? Tolong ya, Om titip Loli. Tolong jaga Loli jangan sampai nekat pergi ke Bogor," pesan Pak Reihan pada Ara.
"Papa kok malah nyuruh orang lain jagain Loli. Loli kan anak Papa! Papa kok nggak peduli sih?"
"Loli, kenapa nada suara kamu keras gitu ke papa? Kamu kan sudah dewasa. Sudah mahasiswa, bukan anak SMP lagi. Masa masih perlu diantar papa pulang? Sudah ya, papa harus berangkat sekarang. Papa bisa terlambat meeting," jawab Pak Reihan.
Walau masih tampak kesal, Loli mengambil juga uang yang masih dipegang Papanya. Namun dia enggan mengucapkan terima kasih.
Tanpa bicara lagi, Pak Reihan berbalik kembali masuk ke mobilnya. Begitu mobil Papanya bergerak, Loli segera menghentikan taksi pertama yang muncul di hadapannya. Dia segera naik di kursi belakang diikuti Ara.
"Ikuti mobil sedan warna hitam di depan itu, Pak" kata Loli pada supir taksi.
Lagi-lagi Ara dibuat tercengang oleh Loli. Apalagi rencana Loli kali ini?
"Yang di depan itu ya, Neng? Sip, Neng," sahut sopir taksi.
"Loli, kamu nggak nyerah juga?" tanya Ara takjub sekaligus tak habis pikir.
"Aku harus lihat papaku pergi ke mana, Ra. Aku pengin tau papaku jujur atau bohong," jawab Loli tak peduli, matanya tak berkedip memandangi mobil papanya yang berada tepat di depan taksi yang ditumpanginya.
Ara hanya diam. Dia tak ingin bicara lagi. Dia sadar, saat ini perasaan Loli sedang gundah. Loli tak akan terpuaskan kalau belum benar-benar melihat sendiri tujuan papanya sebenarnya ke mana.
Taksi itu melaju memasuki jalur tol, terus mengikuti mobil Pak Reihan. Setelah cukup lama melaju di dalam tol, mobil Pak Reihan keluar pintu tol Cibubur diikuti taksi yang ditumpangi Loli dan Ara.
Aneh, Ara ikut merasa berdebar-debar. Rasanya kecurigaan Loli mulai terbukti, karena mobil Pak Reihan menuju ke sebuah komplek perumahan. Apakah mungkin meeting urusan kantor di sebuah rumah? Rumah siapa?
Jangan-jangan ...
Ara melirik ke Loli yang duduk diam di sampingnya dengan mata terus menatap mobil papanya yang melaju di depan taksi. Laju mobil Pak Reihan melambat, kemudian berhenti di sebuah rumah mungil yang asri tanpa pagar.
"Berhenti di sini, Pak," kata Loli kepada sopir taksi.
Sopir taksi menghentikan mobilnya dan mematikan mesin kurang lebih dalam jarak sepuluh meter dari rumah yang dituju Pak Reihan.
Loli tak bergerak turun, dia hanya diam memperhatikan mobil Papanya yang berhenti di carport rumah itu.
Ara ikut diam, dia melirik ke arah Loli yang masih serius menunggu apa yang akan terjadi di rumah itu.
Pak Reihan keluar dari mobilnya dan seperti yang sudah diduga Loli, seorang wanita keluar dari rumah mungil itu menyambut kedatangan Pak Reihan.
Loli masih ingat wanita itu adalah wanita yang dulu pernah dilihatnya di Pantai Marina. Dan yang lebih mengejutkan Loli, dia melihat wanita itu tidak sendiri, dia muncul sambil menggendong seorang anak kira-kira berusia dua tahunan.
"Ara, kamu lihat apa yang aku lihat?" ucap Loli dengan suara bergetar.
Ara mengangguk, saat dia menyadari Loli tidak melihat ke arahnya, dia bersuara.
"Iya, Lol, aku lihat. Wanita itu ...." Suara Ara terputus.
"Keterlaluan! Mereka udah punya anak. Ya Tuhan, gimana ini?"
Loli terlihat panik, air mata seketika turun dari sudut-sudut matanya.
"Araaaa, gimana nasibku dan mamaku? Adik-adikku? Papaku tega banget sama kami?" Loli mulai tak bisa mengendalikan emosinya.
Loli terlihat marah, tapi tak tahu harus melampiaskan kemarahanannya dengan cara apa. Dia hanya menangis.
Ara merangkul sahabatnya itu, membiarkan Loli menyandarkan kepalanya di bahu kanan Ara, dan menumpahkan tangisnya, sementara Ara mengusap belakang kepala Loli dengan lembut.
"Neng ... jadi gimana ya? Mau turun di sini atau gimana?" tanya sopir taksi yang tampak bingung tak mengerti apa yang terjadi dengan penumpangnya kali ini.
Dia menjadi ragu apakah dia akan mendapat bayaran.
"Sebentar ya, Pak," jawab Ara.
Ara mengangkat wajah Loli yang penuh air mata dari bahunya, memegang pipi Loli dengan kedua tangannya.
"Loli sayang, kita pulang aja ya? Kamu nggak berniat menemui papa kamu sekarang, kan? Kamu lagi emosi. Sebaiknya kita pulang. Besok kalau kamu sudah tenang, kamu bisa ngomong sama papamu tentang kejadian ini," ucap Ara dengan suara lembut berusaha menyadarkan Loli yang masih tak bisa berhenti menangis.
Loli menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku nggak mau ngomong sama Papa lagi, Ra. Papaku jahat! Jahat banget!"
"Pak, tolong antarkan kami ke daerah Jatipadang," kata Ara pada sopir taksi yang masih setia menunggu perintah selanjutnya.
"Baik, Neng," sahut Pak sopir, lalu melajukan kembali kendaraannya, membawa Ara dan Loli kembali ke Jakarta.
"Ra ... kamu beruntung, Ra. Papa kamu baik," bisik Loli.
Kemudian dia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dan memejamkan matanya hingga tertidur karena lelah oleh emosinya sendiri.
Ara menemani Loli sampai ke rumahnya. Membantu Loli membereskan diri sebelum turun dari taksi agar mamanya tidak curiga melihatnya dalam keadaan habis menangis.
"Makasih, Ra, udah nganterin aku," ucap Loli sebelum turun dari taksi.
Ara tersenyum menunjukkan rasa empati.
"Please, Loli, tenangin diri kamu dulu ya. Jangan menuruti emosi kamu. Kamu kan calon jurnalis handal, pasti bisa mengontrol emosi kamu," pesan Ara.
Loli hanya tersenyum tipis. Dia membuka tasnya hendak mengambil dompet dan membayar ongkos taksi.
"Biar aku aja yang bayar, aku mau minta Pak sopir sekalian mengantarku sampai rumah," cegah Ara.
"Nggak bisa begitu, Ra. Tadi kan perginya untuk urusanku, masa kamu yang bayarin?" sanggah Loli.
"Tenang aja, kapan-kapan kamu nraktir aku makan sebagai gantinya. Gampanglah itu," sahut Ara lalu tersenyum.
Loli balas tersenyum dengan bibir bergetar masih menahan kesedihan. Dia memeluk Ara, lalu membuka pintu dan turun dari taksi.
"Makasih ya, Ra."
"Sip, nanti aku cek lagi keadaan kamu ya, Loli. Bye."
Loli menutup pintu taksi itu, kemudian membiarkan taksi itu berlalu menjauhi rumahnya.
Dia menghela napas, menyadari betapa beruntungnya dia masih punya sahabat yang peduli padanya.
Saat ini emosinya mulai mereda. Dia harus berusaha bersikap biasa karena dia akan menghadapi mamanya.
Dia bertekad akan menyimpan rapat-rapat rahasia ini dari mamanya. Walau dia sangat marah pada papanya, tapi dia belum siap jika harus menghadapi kehancuran keluarganya.
**============**
Haloo teman-teman.
Lanjut lagi nih ya ceritanya.
Selamat baca.
Makasih buat yamg masih terus setia baca.
Salam,
Arumi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top