12. Rhea Yang Bertahan
Mimpi ~ Anggun C. Sasmi
~ oOo ~
Awal bulan. Saatnya bagi Rhea membayar uang sewa kosnya. Tetapi kiriman uang dari orang tuanya belum datang.
"Gawat!" keluh Rhea membuka dompetnya yang tinggal berisi dua lembar uang dua puluh ribu, tiga lembar uang dua ribuan, lima lembar uang seribuan dan beberapa receh lima ratusan.
Rhea sudah cukup hidup prihatin dengan pengiritan luar biasa, mulai memilih kamar kos paling murah, makan hanya dua kali sehari, mencuci baju dan menyetrika sendiri, tidak pernah jalan-jalan untuk sekadar refreshing dari rutinitas kuliah yang terkadang menjemukan.
Minggu lalu pun dia terpaksa menolak ajakan Geng JOJOBA untuk nonton film bersama di studio XXI. Rhea sadar, berkumpul bersama sahabat-sahabatnya membutuhkan biaya lumayan banyak.
Walau mereka sengaja memilih waktu menonton bukan di akhir pekan agar mendapat harga tiket hemat, tetap saja sehabis menonton biasanya mereka akan makan di restoran cepat saji.
Minimal, Rhea harus menyiapkan uang seratus ribu rupiah. Bagi Rhea yang hanya mahasiswa kos-kosan, uang sebanyak itu bisa memperpanjang hidupnya selama beberapa hari untuk biaya makan secukupnya dua kali sehari.
"Aku harus nyari uang tambahan lagi nih!" gumam Rhea.
Andarhea Pranandhya. Biasa dipanggil Rhea. Gadis berusia 19 tahun yang berasal dari desa Janten, Kabupaten Kulonprogo, Jogjakarta. Dia beruntung diterima di kampus negeri tak jauh dari Jakarta. Hingga biaya kuliahnya masih terjangkau oleh orang tuanya.
Walau hanya dari keluarga sederhana, dia tetap nekat kuliah. Kedua orang tuanya yang berpenghasilan pas-pasan hanya bisa mengirimkan uang untuk biaya hidup Rhea seadanya. Karena itu Rhea harus rajin mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di Jakarta.
Sejak di desanya dulu, Rhea memang gadis yang memiliki mimpi paling tak masuk akal. Dia ingat bagaimana impiannya dulu seringkali diremehkan oleh Ajeng teman sebangkunya sendiri.
"Kamu kalau mimpi jangan ketingggian tho, Ndar," kata Ajeng mengingatkan Rhea.
Di sekolahnya dulu dan di lingkungan desanya, Rhea memang biasa dipanggil Andar. Panggilan itu dianggap lebih cocok diucapkan lidah Jawa.
"Ketinggian gimana?" tanya Rhea.
"Cita-cita kok pengin jadi penyanyi top Indonesia," lanjut Ajeng.
"Loh, memangnya kenapa? Itu kan cita-cita yang bagus."
"Kamu kan cuma wong deso, jauh dari Jakarta. Gimana caranya kamu mau jadi penyanyi top Indonesia?"
"Ikut kontes menyanyi dong. Sekarang kan kontes menyanyi macam-macam. Orang dari kampung paling ujung juga bisa ikut kalau niatnya benar-benar tinggi dan usahanya sungguh-sungguh," sanggah Rhea masih ngotot mempertahankan impiannya.
Ajeng hanya mengendikkan bahu.
"Jeng, aku mimpi jadi penyanyi top Indonesia itu masih mungkin, yang nggak mungkin itu kalau aku bercita-cita menang kontes Putri Indonesia atau Miss Universe sekalian. Itu baru ndak mungkin," lanjut Rhea.
Ketika kemudian Rhea berhasil lolos perguruan tinggi negeri dekat Jakarta, kembali Ajeng mengingatkannya lagi.
"Andar, kamu di sana harus serius belajar. Jangan main-main. Kamu itu beruntung banget bisa kuliah di perguruan tinggi negeri. Cuma kamu satu-satunya loh di sekolah kita yang berhasil lolos ke sana," kata Ajeng mengingatkan sahabatnya itu.
"Iya, Ajeng, aku pasti ndak akan menyia-nyiakan kesempatan ini."
"Jangan lupa. Nanti kamu tau-tau ikut daftar audisi Indonesian Idol lagi. Bisa berantakan kuliahmu."
Rhea hanya menyeringai lebar mendengar tuduhan Ajeng yang tepat itu. Rencana seperti itu memang sempat dia pikirkan. Banyak hal yang akan dicobanya selama dia tinggal di wilayah tak jauh dari Jakarta, ibu kota Indonesia. Kota Metropolitan yang jauh lebih maju daripada desanya.
Dia sering mendengar, Jakarta adalah tempat segala macam peluang berada. Siapa pun bisa mewujudkan mimpinya di Jakarta, asalkan sungguh-sungguh berusaha dan bekerja keras.
Itu adalah kejadian satu setengah tahun lalu. Sekarang dia sudah berada di sini, di wilayah tak jauh dari Jakarta. Dari tempat kosnya ke Jakarta, bisa ditempuh dengan kereta commuter line atau bus.
Di tempat yang jauh dari keluarganya ini, dia harus pandai mengatur keuangan untuk biaya hidupnya selama tinggal di sini.
Biaya kuliah, peralatan tulis, praktek, biaya fotokopi makalah, buku-buku kuliah yang tidak ada di perpustakaan kampus dan harus dibeli. Semua membutuhkan biaya yang jika dikalkulasi jumlahnya tidak sedikit. Uang kiriman dari bapaknya sekali sebulan sungguh pas-pasan untuk membiayai semuanya.
Karena itulah Rhea rajin mencari pekerjaan magang yang bisa membantu menambah pemasukannya. Kali ini keadaannya benar-benar mendesak. Untuk uang sewa kos, dia masih bisa mohon pada ibu kos untuk membayar telat beberapa kali, tetapi biaya untuk makan? Ini benar-benar urgent.
Keningnya berkerut, selain karena terlalu keras berpikir, juga karena dia sedang berusaha menahan lapar. Pandangannya berkeliling menyapu seluruh kamar kosnya. Dia pandangi satu persatu barang-barang yang memenuhi ruang kosnya yang kecil ini.
"Duh, apa ya yang bisa kujual? Aku butuh uang buat makan," gumam Rhea.
Kemudian pandangannya jatuh pada gitarnya yang tersandar di pojok ruang. Itu adalah gitar kebangaan Rhea. Dia membelinya dengan uang tabungannya sendiri. Dia teringat bagaimana dulu dia memperjuangkan gitar itu agar bisa ikut bersamanya ke Jakarta.
Mulanya bapaknya menentang keras keinginan Rhea membawa gitarnya itu. Tetapi Rhea tak mau mengalah. Berbagai alasan dia kemukakan, sampai akhirnya bapaknya menyerah membiarkannya memebawa gitar itu.
Kini, Rhea merasa beruntung telah mengambil keputusan yang tepat. Tak sia-sia dia dulu sempat bersitegang dengan bapaknya hanya untuk memperjuangkan gitarnya itu agar bisa ikut dengannya ke tempat kosnya.
"Ngamen!" ujar Rhea dengan mata membelalak disertai senyum lebar.
Itu adalah sebuah ide brilian yang tiba-tiba saja muncul di kepalanya. Dia sering melihat di bus-bus regular dari wilayahnya menuju Jakarta selalu ada orang yang mengamen.
Dalam satu kali trayek, satu bus bisa disambangi lebih dari lima pengamen yang masuk silih berganti. Betapa mengamen adalah cara yang paling mudah untuk mendapatkan uang di kota ini.
Rhea mulai memikirkan ke mana sebaiknya dia mencoba peruntungan menyanyi di dalam bus. Ini bukanlah sesuatu yang belum pernah dilakukannya.
Saat di Jogja dulu, dia pernah nekat mengamen dalam bus dari desanya menuju Kota Jogja hanya agar tak perlu membayar ongkos bus. Dia malah mendapat uang cukup lumayan, karena dia bernyanyi sungguh-sungguh.
Rhea sengaja memilih mengamen di Jakarta. Agar tidak ada teman kuliahnya yang nanti melihat dia sedang mengamen di bus.
"Sepertinya yang menuju Terminal Kampung Melayu boleh juga. Di seputar sana pasti aku enggak akan ketemu teman kuliahku," pikir Rhea.
Ini hari Sabtu, rasanya saat yang tepat untuk memulai aksinya. Rhea berpakaian simpel tapi rapih, celana panjang jeans dan kemeja kotak-kotak lengan. Dia mengikat ekor kuda rambutnya yang lurus sepanjang bahu, kemudian memakai topi pet yang dia tekan dalam-dalam untuk sedikit menyamarkan wajahnya.
Dia mengenakan tas pinggang untuk menyimpan barang-barangnya yang penting, sementara gitarnya dia tenteng begitu saja.
Pukul setengah tujuh pagi dia sudah berangkat. Menurutnya, mencari rezeki harus dimulai sejak pagi, saat banyak orang juga sedang dalam perjalanan menuju tempat tujuan masing-masing.
Rhea mengumpulkan segala keberanian serta rasa percaya dirinya. Dia harus membuang segala rasa malu untuk beraksi di hadapan sekian banyak orang dalam bus.
"Hm, enaknya di bus yang mana ya?" batin Rhea sembari memperhatikan beberapa bus yang lewat di depannya.
Setelah memperhatikan beberapa saat, Rhea memutuskan naik ke sebuah bus Patas regular. Rhea melempar pandang ke seluruh isi bus saat dia sudah menjejakkan kaki dalam bus dan berdiri di samping sopir.
Sekali lagi Rhea menguatkan hatinya. Ia tak boleh malu, dia harus percaya diri. Dengan sopan Rhea meminta izin sopir dan kenek bus untuk mengamen.
"Permisi. Selamat pagi Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, Mas-Mas dan Mbak-Mbak. Dalam kesempatan ini saya ingin menyanyikan beberapa lagu karya bangsa sendiri yang sedang popular. Semoga dapat menghibur semua yang ada di sini," ucap Rhea sebagai kata-kata pembuka.
Lalu dia mulai memetik gitarnya perlahan sebagai intro. Dia memainkan gitarnya dengan sungguh-sungguh. Dia tidak ingin menjadi pengamen yang asal saja bermain musik dan menyanyi hanya ingin cepat-cepat mendapatkan uang.
Rhea ingin menunjukkan hiburan terbaik. Dia ingin andaikan para penumpang bus ini memberikannya uang, itu karena mereka memang merasa terhibur, benar-benar menyukai suara dan permainan musiknya.
Pertunjukkan pertamanya berlangsung sukses. Setelah tampil dua kali di bus yang berbeda, Rhea beristirahat sebentar. Dia melegakan kerongkongannya yang kering dengan segelas air mineral dingin.
Dia tak ingin menghitung penghasilannya dulu, tetapi dari perhitungan kasarnya, sepertinya dia tadi melihat ada beberapa penumpang yang memberikan uang lembaran lima ribuan.
Saat dia sedang bersandar di pagar, seorang lelaki berpenampilan preman mendekatinya. Rhea sedikit takut melihat penampilan lelaki bertampang sangar itu.
"Hei, lo anak mana? Baru datang lo ya? Gue baru liat lo di sini?" tegur lelaki itu dengan pandangan tajam tanpa disertai senyum ramah.
"Saya cuma main aja ke sini, Bang. Saya dari Depok," jawab Rhea berusaha menutupi rasa takutnya.
Lelaki itu memandangi Rhea dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Dari Depok ngapain ngamen di sini?" tanya lelaki itu lagi mulai curiga.
"Maaf, Bang. Permisi, Bang, saya balik dulu ya," jawab Rhea, lalu segera bergegas naik ke dalam sebuah bus yang melintas.
Rhea memasuki bus seperti layaknya penumpang lain, sikapnya tidak lagi seperti pengamen. Dia duduk di kursi yang berada tepat di belakang sopir, di bagian yang paling dekat jendela. Gitarnya dia sandarkan di dinding bus di samping kanannya.
Kali ini dia benar-benar menjadi penumpang. Membayar ongkos dan tidak menyanyi lagi. Dia memutuskan berubah haluan, dia menuju ke Kampung Melayu. Dari sana, barulah dia mulai mengamen lagi di sebuah bus yang baru berangkat.
"Permisi, selamat pagi Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, Mas-Mas dan Mbak-Mbak. Dalam kesempatan ini saya ingin menyanyikan beberapa lagu karya anak negeri yang sedang populer. Semoga dapat menghibur semua yang ada di sini," ucap Rhea kembali mengeluarkan kalimat perkenalan andalannya.
Kata-katanya itu masih ditanggapi dingin oleh penunpang bus yang tidak terlalu padat. Namun tidak menyurutkan semangat Rhea untuk melanjutkan aksinya.
"Sebagai awal perjumpaan kita, saya akan menyanyikan lagu yang dipopulerkan Anggun C. Sasmi. Penyanyi kebanggan Indonesia yang sudah Go Internasional berjudul Mimpi," lanjut Rhea dengan volume suara maksimal agar semua penumpang bus ini dapat mendengarnya.
Suaranya harus bersaing dengan suara beberapa pedagang asongan yang ikut naik ke dalam bus berusaha menawarkan barang dagangan mereka.
"Dalam hitam, gelap malam, ...." ucap Rhea mulai melantunkan suaranya. Lagu ini memang lagu favoritnya yang memotivasinya untuk berani bermimpi dan berusaha mewujudkan mimpinya.
Dia memang memiliki bakat bernyanyi. Suaranya mengalun enak didengar. Rhea menyanyi dengan sungguh-sungguh. Dia seorang berjiwa seni, dia tak akan merusak sebuah lagu indah dengan menyanyikannya sembarangan. Dia menghargai setiap karya seni.
Setelah mendengar suaranya, barulah beberapa penumpang memusatkan perhatian pada sosok gadis yang bernyanyi di bagian depan bus itu. Penumpang merasa terhibur mendengar alunan suara Rhea. Jarang sekali ada pengamen yang menyanyi dengan sungguh-sungguh untuk menghibur penumpang, bukan sekadar meminta uang.
Rhea menyanyikan dua lagu Indonesia lagi. Kemudian ia menambah bonus lagu asing.
"Demikianlah persembahan dari saya. Semoga dapat menghibur semua penumpang selama perjalanan mencapai tujuan masing-masing. Sekiranya Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, Mas-Mas dan Mbak-Mbak berkenan, sudilah kiranya memberi sedikit apresiasi untuk saya. Saya doakan semua selamat sampai tujuan dan sehat selalu," ucap Rhea setelah dia menyelesaikan lagunya yang terakhir.
Kemudian dia mengeluarkan kantong dari kertas yang ia buat sendiri. Lalu dia mulai berjalan sambil dengan sopan menyodorkan kantong kertas itu pada para penumpang satu persatu.
"Suara kamu bagus, Dik," ucap seorang Ibu sambil memasukkan selembar uang lima ribu rupiah ke dalam kantong kertas Rhea.
"Terima kasih, Bu," sahut Rhea seraya menganggukkan kepala dan tersenyum sopan.
Rhea melanjutkan langkahnya menyodorkan kantong kertas itu kepada para penumpang satu per satu.
"Rhea?" tanya seorang penumpang saat Rhea menyodorkan kantong kertasnya.
Rhea tersentak. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering.
**=======**
Hai, teman-teman. Ga terasa udah hari terakhir bulan Ramadan di tahun ini. Selamat takbiran nanti malam ya.
Selamat baca lanjutan cerita ini.
Terima kasih buat yang tetap setia baca lanjutannya.
Ketemu lagi besok 🤗
Salam,
Arumi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top