10. Impian Kanya

Kanya menyelesaikan bunga keempat buatannya yang dia bentuk dari guntingan kain yang dia jahit dengan tangan.

Kali ini dia membuat dua bunga berwarna pink gelap, dua bunga lainnya berwarna pink yang lebih muda. Keempatnya dia rangkai menjadi aksesoris kalung yang dia padukan dengan jalinan rantai berukuran kecil-kecil. Setelah selesai, dia simpan ke dalam kemasan plastik, kemudian dia beri label kertas yang telah dia cetak berwarna dengan merk "KanYa".

Kanya mengembuskan napas lega, kemudian merentangkan kedua tangannya untuk meregangkan tubuhnya. Dia melirik jam di dinding kamarnya. Pukul sepuluh malam. Pantas saja dia mulai mengantuk.

Dia kumpulkan enam macam aksesoris yang telah selesai dia kemas. Dia tersenyum puas. Dalam dua hari ini dia berhasil membuat enam buah aksesoris dengan berbagai bentuk, kalung bunga, gelang dan bros. Semua terbuat dari kain perca yang dia jahit sendiri dengan tangan.

Inilah usaha yang telah dirintis Kanya sejak setahun lalu. Menciptakan aksesoris buatan tangan yang dia rancang sendiri, kemudian dia jual secara online. Usaha ini adalah titik awal dari cita-cita Kanya ingin memiliki usaha butik dan aksesoris. Memang perkembangan usahanya ini tidak pesat. Kanya memang belum ingin terlalu sibuk mengurus usaha. Cukup baginya bisa berkreasi di sela-sela kesibukan sekolah. Semua masih bisa dia kerjakan sendiri. Keuntungannya pun lumayan.

Walau dia kuliah jurusan hukum, tetapi Kanya tak pernah berniat kelak akan bekerja menjadi pegawai. Tersimpan keinginan dalam hatinya ingin memiliki usaha sendiri.

Masalahnya, Kanya harus menyimpan cita-citanya itu rapat-rapat dari kedua orangtuanya. Dia tumbuh dalam keluarga yang terbiasa menjadi pegawai pemerintahan. Ibunya bekerja di departemen keuangan, sedangkan dulu bapaknya bekerja di departemen pertanian. Kedua orangtuanya murni pegawai, mendapatkan penghasilan dari gaji sebagai pegawai negeri.

Selama ini bapak dan ibunya tidak mengajarkan cara menjadi pengusaha mandiri. Namun sejak awal SMA dahulu, Kanya sudah bercita-cita ingin menjadi pengusaha. Sejak dulu dia tertarik di bidang fashion. Dia bisa merancang pakaian lengkap dengan aksesori, sepatu dan tasnya. Dia tak pernah berkeinginan menjadi ahli hukum atau notaris. Tapi dia yakin ilmunya semasa kuliah tidak akan sia-sia. Pasti akan berguna dalam usahanya nanti.

Kanya tak tahu dari mana keinginan menjadi pengusaha yang menggebu itu diturunkan. Kakek dan neneknya dulu juga pegawai negeri. Benar kata ibunya, menjadi pegawai negeri adalah tradisi keluarga besarnya. Apakah dia akan mencoreng kehormatan keluarga apabila tidak berhasil menjadi pegawai negeri?

Sejak awal kuliah, Kanya sudah didoktrin kelak juga harus bekerja sebagai pegawai negeri. Bagi kedua orangtuanya, menjadi pegawai negeri adalah suatu kebanggaan selain masa depan akan terjamin.

"Memang harus ya jadi pegawai negeri?" tanya Kanya suatu kali pada ibunya, saat untuk kesekian kali dia dinasehati agar bisa lulus dengan nilai terbaik, sehingga kelak akan mudah melamar menjadi pegawai negeri.

"Tentu saja harus. Jadi pegawai negeri itu sudah tradisi di keluarga kita. Kamu harus bisa bikin bangga bapak dan ibu. Jadi pegawai negeri itu kebanggaan. Sepupu-sepupumu juga pegawai negeri semua. Masa kamu kalah sama mereka," jawab Ibunya.

Mendengar itu, Kanya hanya bisa menelan ludah. Dia merasa begitu malang, karena diwajibkan harus lolos menjadi pegawai negeri. Sebelumnya dia juga sudah diwajibkan harus berhasil lolos masuk universitas negeri. Betapa Kanya merasakan beban hidupnya demikian berat karena dia dipaksa melakukan semua itu demi membuat orang tuanya bangga.

Keinginan ibunya ini semakin kuat semenjak bapak Kanya meninggal dua tahun lalu. Kehidupan mereka menjadi lebih sulit. Beruntung Galang, kakak Kanya telah mendapat pekerjaan, sehingga dia bisa membantu membiayai pendidikan kedua adiknya.

Masa-masa itu adalah masa paling menyedihkan dalam hidup Kanya. Semakin meremukkan hati Kanya, karena kemudian menjadi pegawai negeri adalah pesan terakhir bapaknya.

"Kanya, ingat pesan bapakmu. Bapakmu berpesan begitu bukan untuk memaksakan kehendaknya, tapi untuk masa depanmu sendiri. Coba kamu pikir kalau ibu bukan pegawai negeri juga, bagaimana keluarga ini bisa tetap hidup setelah kepergian bapakmu?" lanjut ibunya lagi kala itu.

"Tapi rezeki itu kan bisa dari mana saja asalnya, Bu. Bisa dari menjadi pegawai swasta, menjadi pengusaha," sahut Kanya berusaha mengungkapkan pendapatnya.

"Itu bukan pekerjaan yang terjamin langgeng sampai akhir hayat. Beda dengan menjadi pegawai negeri. Kamu terjamin, bahkan sampai kelak kamu sudah pensiun," ucap Ibunya menekankan lagi kepada Kanya tentang keunggulan menjadi pegawai pemerintah.

Kanya hanya bisa menghela napas. Dadanya sesak, bukan hanya karena kehilangan bapak, tetapi juga karena merasa bebannya demikian berat.

Rasa dukanya semakin menjadi saat beberapa bulan setelah kepergian bapaknya, kakak laki-lakinya yang dia harap bisa menjadi sosok pelindung keluarga ini menggantikan bapak mereka, harus pergi  menyeberangi pulau untuk bekerja menjadi pegawai negeri.

"Memangnya harus ya, Mas Galang bekerja sejauh ini?" tanya Kanya tak rela saat dia melepas kepergian kakaknya di bandara dua tahun lalu.

Kakak laki-laki kebanggaannya itu hanya tersenyum. Kanya anak kedua dari tiga bersaudara. Galang kakak laki-lakinya yang berusia tiga tahun lebih tua darinya. Galang anak lelaki kebanggaan bapak dan ibunya.

Kakaknya itu memang cerdas. Mudah baginya masuk perguruan tinggi negeri jurusan teknik geologi, kemudian mudah juga lolos tes pegawai negeri, lalu ditugaskan di sebuah instansi pemerintah di Kota Mataram, Lombok. Kakaknya akan pulang setahun sekali di hari raya Idul Fitri.

"Aku harus mau ditempatkan di mana saja, Kanya. Pemerintah menugaskan aku di sana, aku harus patuh," jawab Galang menjelang kepergiannya saat itu.

Ibu dan adik mereka Santika duduk agak jauh dari mereka berdua, sehingga tak mendengar obrolan Kanya dan Galang.

"Apa nanti aku juga harus jadi pegawai negeri, Mas? Gimana kalau aku nggak lolos tes? Aku kan nggak genius seperti Mas Galang," tanya Kanya lagi.

"Jadi pegawai negeri itu nggak harus genius," jawab Galang.

"Tapi pasti harus pintar, karena hanya yang pintar yang sanggup bersaing lolos tes menjadi pegawai negeri di antara ribuan pelamar lainnya," ucap Kanya masih mempertahankan pendapatnya.

Galang kembali tersenyum, kali ini sembari mengacak-acak rambut bagian atas kepala Kanya.

"Makanya kamu belajar yang rajin dong, supaya bisa lolos ujian CPNS," kata Galang.

Kanya menatap wajah kakaknya itu agak lama, lalu tanpa sadar bibirnya mengerucut.

"Kalau aku nggak mau jadi pegawai negeri, gimana, Mas?" bisik Kanya memutuskan berani mengungkapkan perasaannya selama ini.

Galang terkesiap, dia menatap wajah adiknya penuh selidik.

"Kamu lebih suka jadi pegawai swasta? Supaya nggak ditugaskan ke daerah jauh ya?" tanya Galang balik bertanya.

"Aku nggak pernah bercita-cita pengin jadi pegawai. Aku pengin punya usaha sendiri. Boleh, kan?" jawab Kanya.

Mata Galang membesar. "Kamu pengin buka kantor notaris? Atau jadi pengacara sukses seperti Hotman Paris?"

Kanya melirik ibunya yang masih asyik mengobrol dengan Santika.

"Aku pengin jadi perancang mode. Pengin punya butik yang menjual pakaian dan aksesori rancanganku sendiri," jawab Kanya.

Galang ternganga. "Serius, itu cita-cita kamu?"

Kanya mengangguk.

"Tapi, kalau itu cita-cita kamu, kenapa kamu kuliah di jurusan hukum?"

Kanya menghela napas dulu sebelum menjawab.

"Mas Galang kan tahu gimana bapak. Nggak mungkin aku diizinkan kuliah dengan jurusan fashion design. Apa ada departemen negara yang butuh perancang mode? Cita-cita bapak kan pengin aku jadi pegawai negeri juga. Cita-cita bapak, bukan cita-citaku," jawab Kanya lirih.

Galang tertegun, menyadari adiknya bukanlah gadis biasa yang hanya punya cita-cita biasa. Dia sudah lama menyadari Kanya seorang gadis dengan pikiran kreatif. Gadis seperti itu tak mungkin punya cita-cita yang biasa-biasa saja. Lagi-lagi Galang tersenyum, menyadari keresahan adiknya, dia ingin membangkitkan semangat adik yang dia sayangi ini.

"Apa pun kelak cita-citamu, Mas Galang akan mendukungmu, Kanya. Hidupmu nanti kamu sendiri yang menjalani, pilihlah cara berkarya yang paling kamu sukai," kata Galang, kali ini dia mngusap belakang kepala adiknya lembut.

"Tapi ibu? Dan pesan terakhir bapak?" tanya Kanya masih sangsi dengan ucapan kakaknya.

"Aku yakin, jika bapak masih hidup, bapak juga pasti akan mendukung apa pun keputusanmu selama itu baik buatmu dan kamu senang menjalaninya, ibu juga pasti begitu. Kita lihat saja nanti. Yang penting sekarang, apa pun hobi yang sedang kamu tekuni, kamu selesaikan dulu kuliahmu, jika perlu, raih nilai kelulusan terbaik, setelah itu, kamu mau melakukan apa saja, pasti pendidikanmu akan menjadi pendukungmu yang utama," nasihat Galang, terdengar bijak dan membuat Kanya tersenyum sedikit lega.

"Kalau kamu butuh modal buat usahamu, bilang ke aku ya. Insya Allah dari gajiku, aku akan sisihkan untuk kebutuhanmu dan Santika. Mumpung aku belum nikah. Masih leluasa biayain adik-adikku dan ibu," lanjut Galang sambil tersenyum.

"Terima kasih, Mas. Aku akan selalu mendoakan Mas Galang selalu sehat dan baik-baik aja di sana," ucap Kanya, suaranya agak bergetar dipenuhi rasa haru.

Air mata berkumpul di matanya siap tumpah. Betapa dia merasa bersyukur memiliki kakak seperti Galang yang punya rasa tanggungjawab tinggi terhadap adik dan ibunya.

Galang meraih tubuh Kanya dan memeluknya seraya mengelus punggungnya lembut. Setelah beberapa menit dia melepaskan pelukan.

"Kamu nggak doain masmu ini segera ketemu jodoh?" goda Galang sambil menatap wajah adiknya.

"Aku yakin Mas Galang bakal ketemu jodoh yang baik. Tapi, jangan sekarang ya, Mas. Aku masih butuh Mas Galang. Nanti aja kalau aku udah lulus kuliah," sahut Kanya.

"Masih lama dong? Dasar, adik egois." Galang tergelak. "Eh, kamu belum punya pacar, kan? Awas ya, kalau nanti tiba-tiba aku dapat kabar kamu akan nikah ngelompatin aku," lanjut Galang.

Kanya menggeleng. "Nggak, Mas. Tenang aja. Geng Jojoba melarangku pacaran selama kuliah," jawabnya.

Kening Galang berkerut. "Apa itu Geng Jojoba?"

Kanya tersenyum. "Jomlo-jomlo bahagia. Nama yang kami buat untuk aku dan empat sahabatku di kampus. Itu cuma buat memotivasi kami supaya kami lebih fokus belajar, bisa cepat lulus dengan nilai bagus. Apalagi aku pengin dapat beasiswa untuk meringankan beban ibu dan Mas Galang yang membiayai kuliahku. Aku harus fokus belajar di kampus sambil pelan-pelan membangun usahaku."

Galang tersenyum. "Mas bangga sama kamu. Yang penting kamu jaga kesehatan ya," pesannya.

Kanya mengangguk dan balas tersenyum.

"Ada-ada saja. Jojoba. Jomlo tapi bahagia?" Galang melirik Kanya.

"Nggak harus punya pacar untuk bisa merasa bahagia, kan?" sahut Kanya lalu tersenyum lebih lebar.

"Boleh juga," komentar Galang, lalu mengedipkan sebelah matanya.

Kemudian kedua kakak beradik itu harus berpisah. Ibu dan Santika adik mereka yang duduk agak menjauh baru mendekat setelah Galang siap berpamitan.

Pesawat yang akan membawanya ke Mataram siap berangkat.

**==========**

Hai, teman-teman. Makasih banget buat yang masih mengikuti cerita ini.

Jadi, cerita ini membahas dan mengenal satu per satu tokohnya dan masalahnya.

Supaya yang baca kenal lebih dalam tiap tokohnya dan memahami perasaan mereka.

Tungguin besok aku update lagi.

Yang masih suka cerita ini, please komen di sini. Makasih dukungannya 😘😊

Oh iya, sekarang sedang ada giveaway di IG @unlimited_production  berhadiah merchandise film "Merindu Cahaya de Amstel". Film ini juga diadaptasi dari novelku.

Ini filmnya segera tayang di bioskop.

Ini hadiah giveaway-nya

Amanda Rawles :

Bryan Domani :

Rachel Aurora Amanda :

Salam,
Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top