9 - Sayuti Benar-Benar Nyata

Sejak suratnya terkirim—entah ke mana—melalui meja tua itu, Kinar uring-uringan. Setiap saat lacinya dicek. Dia juga selalu tidur terlambat karena berjaga di depan meja tua itu hingga lewat tengah malam. Namun, hingga hari ketiga, surat dari Sayuti tak kunjung datang.

Sebenarnya apa yang salah?

Setidak terima itukah Sayuti surat-surat untuk pujaan hatinya dibaca orang lain?

Andai tahu bakal begini jadinya, Kinar tidak akan pernah mengirim balasan.

Hari-hari selanjutnya, Kinar menahan diri sebisanya untuk tidak lagi mengecek laci meja itu. Toh, tidak akan ada apa-apa juga di sana. Seiring dengan itu, dia juga berusaha melupakan Sayuti. Lagipula dia hanya sebatas nama tanpa raga, yang tiba-tiba memasuki kehidupan Kinar dengan cara yang sulit dijangkau nalar.

Hanya saja, terkadang Kinar masih menyayangkan, kisah cinta yang dituturkan kepadanya terhenti di tengah jalan. Kini, usai sudah semuanya. Keajaiban itu terhenti sebelum Kinar berhasil mengungkap bagaimana semuanya bisa terjadi dan siapa Sayuti dan Sukma sebenarnya.

Di hari ketujuh, ketika Kinar mulai benar-benar lupa dengan Sayuti dan semua keanehan yang menyertainya, tiba-tiba sesuatu terjadi. Seperti ledakan mahadahsyat di tengah larung kesunyian. Seumpama untaian detak di jantung kecambah yang nyaris punah.

Pagi itu, seperti biasa jika kebetulan dia sif siang, Kinar menyapu pel seluruh lantai rumah. Saat menyapu di ruang tengah, gagang sapunya tidak sengaja menyenggol hendel laci meja tua itu hingga terbuka sedikit. Saat ingin merapatkannya kembali, matanya tidak sengaja menangkap sesuatu yang putih di dalam sana. Dengan detak jantung yang seketika menggila, Kinar pun menarik laci itu lebih lebar. Dia langsung membekap mulutnya. Ternyata benar, sebuah surat tergeletak di dalam sana.

Surat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Namun, Kinar tidak langsung mengambilnya. Tangannya tremor. Badannya panas dingin. Yang sebelum-sebelumnya memang bukan surat biasa, tapi yang satu ini lebih tidak biasa lagi.

Dari sini dia akan tahu, apakah Sayuti benar-benar nyata atau hanya halusinasi.

Setelah mengumpulkan segenap keberanian, dan merasa hatinya sudah cukup siap untuk menyambut apa pun yang tercantum dalam surat itu, Kinar pun meraihnya. Dia tidak beranjak ke mana-mana, langsung membacanya di depan meja itu.

Teruntuk kamu yang mengaku bernama Kinar ....

Ketika surat yang kusimpan di dalam laci tiba-tiba hilang, tadinya kupikir adikku yang menyembunyikannya. Dia memang sangat nakal soalnya. Suka masuk ke kamar dan berantakin barang-barangku.

Namun, setelah surat-surat berikutnya pun hilang, dan adikku itu sama sekali tidak mau mengaku, aku pun sadar, bahwa memang bukan dia pelakunya. Akhirnya kuputuskan untuk tetap menulis surat, karena barangkali memang terkirim ke Sukma melalui cara kerja semesta yang tidak terjangkau nalar. Bukankah Tuhan Mahapengasih? Barangkali Dia sedang mengasihaniku.

Sampai akhirnya surat lain tiba-tiba muncul dalam laci mejaku. Surat dari seseorang bernama Kinar. Surat-surat Sukma ternyata malah sampai kepadanya. Jujur, aku kecewa, sedih, dan ... entahlah. Yang tadinya merasa dikasihani, sekarang aku malah merasa Tuhan sedang mengerjaiku.

Maaf baru balas sekarang, karena aku butuh waktu lama untuk memahami keanehan ini, sambil meyakinkan diri bahwa aku akan tetap waras setelah membalas surat yang muncul entah dari mana.

Jika surat ini benar-benar sampai ke tanganmu, jika benar kamu yang bernama Kinar, aku cuma mau tahu, siapa kamu sebenarnya? Bagaimana kita bisa terhubung?

Tolong dibalas secepatnya, karena aku hampir gila memikirkan hal ini.

Dariku,

Sayuti.

Surat itu memunculkan perasaan yang luar biasa campur aduk di dada Kinar. Sampai-sampai dia tidak tahu harus berbuat apa untuk mengungkapkannya.

Haruskah melompat kegirangan karena akhirnya surat Sayuti datang lagi? Haruskah mematung dengan mata setengah melotot karena lelaki itu benar-benar nyata? Atau malah ketakutan menyadari dirinya kini bisa berkomunikasi dengan orang yang entah berada di mana?

Kinar benar-benar bingung. Namun, secepatnya dia harus menyiapkan balasan agar bisa terkirim malam ini. Dia pun lekas ke kamar dan langsung mengambil binder dan pulpen di tas yang biasa dia pakai pergi kerja. Dia menjatuhkan diri di tempat tidur dengan posisi tengkurap, lalu mulai memikirkan apa-apa yang harus dia bilang ke Sayuti.

Dibanding surat pertamanya, kali ini Kinar berpikir lebih lama sebelum akhirnya menemukan kata pembuka yang cocok. Karena, sekarang dia tahu, Sayuti benar-benar ada dan surat ini akan sampai kepadanya.

Setelah selesai, Kinar melepas kertas itu dari ring-nya dan langsung dilipat dua. Masih dengan perasaan campur aduk, dia membawanya ke laci meja tua itu. Setelah dimasukkan, Kinar menatap laci itu lekat-lekat. Andai benda tua ajaib ini dilengkapi tombol pengaturan waktu, mungkin dia tidak perlu menanggung penasaran selama ini. Kenapa laci ini hanya bisa mengirim surat satu kali dalam sehari? Kenapa harus setelah lewat tengah malam? Kenapa tidak langsung terkirim saja pas dimasukkan?

Kinar menggeleng samar sambil meninggalkan meja itu. Manusia memang tidak ada puasnya. Laci itu bisa mengirim surat saja sudah sangat dipertanyakan. Sekarang Kinar malah berharap cara kerjanya bisa dipercepat.

Kinar melanjutkan aktivitasnya yang tertunda, membiarkan meja itu memproses suratnya dengan caranya. Meskipun rasa tidak sabar terus memadati kepalanya dari waktu ke waktu.

***

Di sif dua hari ini, Kinar bergerak lebih lincah dari biasanya. Seolah dengan cara itu waktu juga akan cepat berlalu dan tengah malam lekas tiba. Dia sangat tidak sabar menunggu balasan Sayuti selanjutnya.

"Ada apa, nih?" tanya Arya sambil mendekati area Kinar. Hari ini dia dan beberapa staf cowok lainnya bertugas melakukan stock opname. "Kok, kelihatannya semangat bener?" Cowok itu tersenyum tipis.

"Kerja, kan, emang harus semangat," ujar Kinar sambil mengangkat kedua kepalan tangannya.

"Habis dapat promosi jabatan, ya?"

"Apaan, sih?" Kinar mengibaskan tangan sambil terkekeh.

"Aku cek dulu, ya," izin Arya sambil menunjuk tempat penyimpanan di kolom-kolom stan.

Kinar mengangguk menyilakan.

"Eh, di perempatan ada warung mie ayam yang baru buka. Enak banget katanya. Sampe viral di TikTok, loh." papar Arya setelah selesai di satu stan.

"Masa?"

"Aku juga penasaran, nih. Ntar malam cobain, yuk."

Kinar tampak berpikir sejenak. "Boleh, deh," angguknya kemudian.

Senyum cerah seketika terbit di wajah Arya.

Ryan datang kemudian, ketika Arya sedang fokus dengan hitungannya di stan kedua.

"Kin, nanti malam temani aku ke Pantai Losari, ya. Katanya mau ada pameran. Aku mau coba lobi tempat. Kan, lumayan tuh buat cairin stok lama kita."

Ajakan itu membuyarkan konsentrasi Arya. Seketika dia lupa dengan hitungannya.

Kinar meringis samar. Ryan mengajaknya dengan gestur khas seorang atasan yang sepertinya tidak mungkin ditolak. Sambil memasang tampang memohon maaf, Kinar menoleh ke arah Arya yang masih jongkok di depan salah satu stan.

Paham maksud tatapan itu, Arya langsung mengangguk samar seraya tersenyum, seolah berkata, "nggak apa-apa".

"Baik, Pak." Kinar menyanggupi sesingkat itu. Dia sungguh tidak enak dengan Arya.

"Oke, deh. Jam 7, ya."

"Siap, Pak."

Setelah Ryan pergi, Arya berusaha melanjutkan pekerjaannya dan sebisa mungkin abai pada kekecewaan yang membidik dadanya. Sudah sering seperti ini. Harusnya tidak perlu baper lagi.

***

Sepulang kerja, Kinar langsung bersih-bersih diri dan bersiap menyambut surat dari Sayuti. Begitu lewat tengah malam, Kinar langsung menarik laci meja itu dan tersenyum mendapati selembar kertas terlipat dua sudah ada di sana.

Kinar lekas kembali ke kamar, duduk di tepi tempat tidur dan bersiap membaca suratnya. Rasa tidak sabar membuatnya sangat antusias.

Namun, di tengah-tengah Kinar mengernyit. Ada yang janggal dengan surat ini.

***

[Bersambung]

Kira-kira ada apa dengan surat Sayuti kali ini? Apanya yang janggal?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top