8 - Mejanya tidak Ajaib Lagi?
Keesokan harinya, lagi-lagi Kinar dibikin senam jantung saat membuka laci meja tua itu. Surat yang ditulisnya untuk Sayuti sudah tidak ada di sana. Benar-benar terkirimkah? Atau cuma jatuh dan terbawa angin entah ke mana?
Sambil menyapu, Kinar mencari-cari suratnya. Namun, dicari hingga ke penjuru ruangan mana pun, surat itu tidak ada. Artinya, suratnya memang terkirim ke Sayuti. Entah bagaimana caranya. Kinar benar-benar tidak menyangka hal seajaib ini akan terjadi di hidupnya.
Kinar jadi tidak sabar menunggu esok. Kira-kira bagaimana, ya, respons Sayuti?
***
"Assalamualaikum, Nak." Ibu menelepon saat Kinar sudah siap di atas motor untuk berangkat kerja.
"Waalaikumsalam, Bu."
"Alhamdulillah, Ibu sudah dapat kerja, Nak." Ibu terdengar sangat girang di seberang sana.
"Alhamdulillah." Kinar sampai berkaca-kaca. Setelah dua minggu, akhirnya dia bisa mendengar kabar baik ini.
Selanjutnya Kinar membiarkan Ibu menceritakan secara singkat seperti apa pekerjaan barunya. Rupanya Ibu bekerja merawat orangtua yang sudah jompo di keluarga kaya raya. Kinar yakin itu bukan pekerjaan yang mudah. Namun, lebih tidak mudah lagi tetap bertahan di sana tanpa pekerjaan.
"Semoga pekerjaan itu cocok untuk Ibu."
"Amin."
"Kalau memang tidak betah, jangan dipaksakan, ya, Bu. Ibu bisa pulang dan kita hadapi masalah ini sama-sama." Suara Kinar bergetar.
"Insyaallah, Ibu akan lakukan yang terbaik."
Hening sejenak. Kinar juga tidak tahu harus bilang apa lagi. Kerinduannya yang kemarin-kemarin tiba-tiba terasa berlipat ganda.
"Ini kamu lagi di mana, Nak?"
"Baru mau berangkat kerja, Bu."
"Oh, ya udah. Hati-hati, ya."
"Iya, Bu."
Setelah percakapan itu berakhir, Kinar menghela napas panjang untuk mengurangi sesak di dadanya. Setidaknya Ibu sudah mendapatkan pekerjaan. Dia bisa sedikit lega.
Sekitar 50 meter sebelum Kinar tiba di King Foot, tiba-tiba hujan turun. Mau singgah untuk sekadar mengenakan mantel rasanya sangat tanggung. Akhirnya Kinar memutuskan untuk menerobos.
Setibanya, dia buru-buru memarkir motornya dan lekas berlari melintasi halaman toko berpaving itu. Masih setengah jalan dari pintu utama, tiba-tiba derap langkah terburu-buru lainnya terdengar dari belakang. Tentu saja Kinar tidak sempat mengecek siapa itu yang baru datang juga. Namun, orang itu berhasil menyejajari langkah Kinar dan langsung membentangkan sebuah jaket untuk melindungi Kinar dari hujan.
Tentu saja Kinar kaget. Siapa yang tiba-tiba memayunginya? Sambil tetap lari-lari kecil, dia menoleh dan mendapati wajah Arya berhiaskan bintik-bintik air hujan.
Mereka berhenti di teras toko untuk sekadar merapikan penampilan sebelum masuk.
"Kok, malah mayungin aku, sih? Kamu sendiri jadi basah, tuh," ujar Kinar setengah terkekeh sambil menyeka lengannya yang basah dengan telapak tangan.
"Kalau cowok, mah, basah dikit nggak masalah," balas Arya sambil mengibaskan jaketnya agar bintik-bintik air yang belum meresap bisa terlepas, "tapi kalau cewek, kan, kasihan. Nanti bedaknya luntur, rambutnya lepek, bulu matanya copot, dan lain-lain. Mana dandannya lama, kan?"
"Dasar!"
Mereka tertawa.
"Jadi, aku harus bilang makasih, nih?"
"Seikhlasnya aja."
Kinar tertawa lagi. Sebenarnya dia hanya sedang menjaga momen itu agar tetap cair. Dia tahu kalau Arya menyukainya, sementara hatinya masih dikuasai oleh Ryan. Jangan sampai ada kecanggungan, agar mereka tetap terlihat selayaknya teman atau rekan kerja biasa.
"Baiklah. Makasih, ya, Ar, atas pengorbanannya," ujar Kinar dengan intonasi yang sengaja dibikin jenaka.
Pundak Arya terguncang menahan tawa. "Lain kali kalau butuh pertolongan apa pun, sebut namaku tiga kali, aku akan datang kapan pun dan di mana pun."
Meski kalimat itu disampaikan dengan nada bercanda, Kinar tetap bisa merasakan kesungguhan di dalamnya. Andai mudah mengalihkan perasaan, dia pasti akan memberikan kesempatan kepada cowok ini.
"Tunggu, kayaknya hari ini kamu lebih banyak bicara, deh, daripada biasanya." Kinar menatap Arya lebih serius, seolah benar-benar sedang menganalisis cowok itu. Padahal, dia hanya mencegah pikirannya agar tidak menakar hal yang sama berulang kali. Sebab, hingga saat ini masih sangat jelas kepada siapa hatinya berkiblat.
"Aku emang lebih aktif, sih, kalau lagi hujan gini," ujar Arya sekenanya, alih-alih menanggapi guyonan Kinar.
"Berarti lebih bagus hujan terus, ya."
"Jangan! Ntar orang-orang nggak datang dan penjualan turun. Kita nggak dapat bonus, deh."
"Betul betul betul."
Mereka terbahak lagi.
"Kalian romantis banget, ya." Suara yang sudah sangat mereka kenali itu tiba-tiba menyela.
Saat keduanya menoleh, tahu-tahu Ryan sudah berdiri di belakang mereka.
"Eh, Pak," sapa mereka nyaris bersamaan.
"Habis hujan-hujanan terus ketawa-ketawa bareng. Kayak drakor, deh." Supervisor yang ketampanannya paripurna itu tersenyum geli. "Kalian pacaran, ya?"
Pertanyaan tambahan itu sukses membuat Kinar terbelalak. "Nggak nggak nggak!" jawabnya buru-buru yang dipertegas dengan gerakan tangan.
Arya juga ingin menjawab sama, tapi tidak perlu sepanik itu. Hatinya seketika mencelus. Setakut itu Kinar mereka disangka pacaran.
"Pacaran juga nggak apa-apa. Perusahaan nggak melarang, kok. Yang penting kalian bisa tetap profesional. Jangan pacaran di toko."
"Kami beneran nggak ada apa-apa, kok, Pak." Arya mengambil alih. "Saya izin masuk duluan, Pak." Dia menunjuk ke dalam dengan gestur tubuh setengah membungkuk.
Ryan mengangguk menyilakan.
Arya pun beranjak dengan langkah panjang-panjang. Dia benci hatinya yang seperti ini. Kenapa hingga detik ini dia masih belum bisa mengontrol kecemburuannya? Padahal jelas-jelas Ryan memang lebih dalam segala hal dibanding dirinya untuk mendapatkan perhatian Kinar.
Arya sudah berusaha ikhlas, tapi perasaannya menolak untuk dicampakkan begitu saja. Itulah mengapa perhatian-perhatian kecilnya masih mengalir untuk Kinar.
***
Sepulang kerja, Kinar buru-buru masuk ke rumah dan langsung menghampiri meja tua itu. Dia menarik lacinya, tapi tidak apa-apa di sana. Wajar, ini memang belum lewat tengah malam. Dia hanya setidak sabar itu untuk tahu apa yang akan dikatakan Sayuti.
Setelah bersih-bersih diri dan mengenakan pakaian rumahan, Kinar memutuskan untuk menunggu hingga lewat tengah malam. Sekitar 30 menit lagi. Lagian, dipaksakan pun dia tidak akan bisa tidur selagi menanggung rasa penasaran sebesar itu.
Begitu lewat tengah malam, Kinar langsung keluar dan mengecek laci meja itu. Namun, tidak ada apa-apa di sana.
"Kok?" Kinar mengernyit samar.
Dia pun kembali ke kamar dan memutuskan untuk menunggu beberapa saat lagi.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Kinar kembali mengecek laci meja tua itu. Rupanya masih kosong. Kinar tidak ingin menyerah. Dia kembali ke kamar dan memperpanjang masa tunggunya.
Beberapa saat kemudian Kinar keluar lagi untuk mengecek. Tetap masih kosong. Karena mulai kesal, dia sampai membuka tutup laci itu berkali-kali, tapi tetap tidak mengeluarkan apa-apa. Kenapa jadi begini?
Kinar tidak kembali lagi ke kamar. Dia memutuskan menunggu langsung di depan meja tua itu. Namun, hingga pukul 01.30, surat Sayuti tak kunjung datang. Kinar pun menyerah dan kembali ke kamar dengan perasaan kecewa yang sulit dijelaskan. Ini bukan sekadar kecewa. Dia baru pertama kali merasakannya.
Subuhnya, saat bangun untuk salat, kepala Kinar terasa berat karena kurang tidur. Dia terus kepikiran kenapa laci itu tidak mengeluarkan surat lagi. Saat hendak ke kamar mandi untuk wudu, Kinar mengecek laci meja tua itu sekali lagi. Tidak ada apa-apa di sana.
Sebenarnya apa yang salah? Apakah meja itu kehilangan unsur magic-nya gara-gara Kinar nekat mengirimkan balasan? Atau ada semacam hukum yang dia kacaukan?
Tiba-tiba Kinar merasa kehilangan. Bagaimana kelanjutan kisah cinta Sayuti? Apakah dia benar-benar tidak bisa bersatu dengan Sukma? Andai ada cara untuk mengembalikan meja ini seperti semula, Kinar akan melakukannya.
***
[Bersambung]
Kira-kira kenapa, ya, tidak ada lagi surat dari Sayuti?
Apakah dia memang tidak menulis surat lagi?
Atau mejanya rusak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top