7 - Mengirim Balasan

Setelah beres-beres rumah dan menyiapkan makanan, Kinar masuk ke kamar untuk membaca surat yang ditemukannya tadi subuh. Isinya masih sama dengan surat-surat sebelumnya. Seberapa sering sebenarnya Sayuti menulis surat untuk Sukma? Bagaimana hubungan mereka sebelumnya? Kenapa harus berpisah? Rasanya semakin banyak tanda tanya yang terbentuk di benak Kinar sejak kemunculan surat-surat itu.

Meski belum menemukan bukti apa-apa, Kinar tetap yakin bahwa Nenek Muti yang menaruh surat-surat itu. Karena memang hanya itu kemungkinan yang paling logis. Namun, jika benar demikian, artinya dia punya banyak stok surat-surat Sayuti. Dapat dari mana? Dan di mana dia menyimpan sisanya? Untuk apa dimasukkan ke laci satu per satu?

Kinar benar-benar tidak akan tenang sebelum mengungkap semua keanehan ini.

***

"Kamu kenapa? Kok, tumben wajahnya lusuh gitu?" tanya Paula yang lagi-lagi melipir ke area Kinar. Padahal dia bertanggung jawab di area sepatu wanita.

Saat akan menjawab, Kinar malah menguap untuk kesekian kalinya. "Semalam kurang tidur, nih. Lemes banget rasanya."

"Berarti udah mutusin, dong. Kamu mau pilih Pak Ryan atau Arya?"

Kinar terbeliak. "Aku kurang tidur bukan gara-gara mikirin itu. Nggak penting banget."

"Terus? Nggak mungkin, dong, kamu kebagian jatah meronda."

Kinar memutar bola mata. Lalu, dia kepikiran untuk meminta pendapat Paula soal surat-surat itu.

"Eh, La, kamu pernah nggak ngalamin kejadian aneh?"

"Aneh gimana?"

Kinar kebingungan menjabarkannya. "Semacam tiba-tiba nemu sesuatu tapi nggak tahu asalnya dari mana."

Paula tampak berpikir sejenak. "Kayaknya nggak pernah, deh. Kalau di-ghosting cowok, sering."

"Itu mah bukan aneh, tapi sial!" Kinar menghela napas kesabaran. Kayaknya keanehan surat-surat itu memang tidak cocok dibicarakan dengan orang sejenis Paula.

Paula cekikikan. "Emang kamu nemu apa, sih?" tanyanya kemudian.

"Peta harta karun." Kinar sengaja merendahkan suaranya, seolah itu benar-benar rahasia besar yang jangan sampai orang-orang tahu.

"Serius?" Paula terbelalak.

Kinar tidak tahan. Akhirnya tawanya menyembur.

"Ih, bohong, ya?" Paula pura-pura ingin menabok kepala sahabatnya itu.

"Eh, Pak Ryan," sapa Kinar pura-pura sambil mengangguk ringan, seolah Ryan benar-benar ada di belakang Paula.

Hal itu sukses membuat Paula seketika terbirit-birit kembali ke areanya.

Kinar terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Padahal dia sudah sering mengerjai Paula menggunakan cara itu, tapi masih saja mempan.

***

Pukul 23.15 Kinar tiba di rumah. Ketika melintasi ruang tengah dan melihat meja tua itu lagi, keanehan yang menyertainya kembali berkelebat di benaknya. Malam ini juga dia harus melanjutkan misinya.

Berhubung besok dia sif pagi, kali ini Kinar menggunakan cara yang lebih cerdik. Dia menyandarkan beberapa nampan besi di pintu kamar Nenek Muti. Kalau pintunya dibuka, nampan itu akan berjatuhan dan memunculkan suara yang cukup gaduh di malam senyap seperti ini.

Kinar mengecek laci meja tua itu terlebih dahulu. Kosong. Artinya, kalau posisi nampan itu tidak berubah sampai besok pagi, tidak mungkin ada surat lagi di laci meja itu. Setelah semua persiapannya beres, Kinar pun masuk ke kamarnya dan bersiap untuk tidur.

Subuhnya, ketika alarm ponselnya berdering, Kinar buru-buru bangun dan melesat keluar. Pertama kali tatapannya langsung mengarah ke nampan yang disandarkan ke pintu kamar Nenek Muti. Semalam dia tidak mendengar suara gaduh sama sekali. Dia mendekat dan memperhatikan posisinya dengan seksama, memang tidak ada yang berubah. Artinya, Nenek Muti semalaman tidak keluar kamar.

Lalu, bagaimana dengan meja itu?

Kinar menoleh sambil menelan ludah kelat. Dia mendekati meja itu perlahan-lahan. Untuk sesaat dia hanya berdiri di depannya sambil menimbang, apakah harus mengecek lacinya atau tidak usah.

Pada akhirnya Kinar merasa perlu mengeceknya. Jika tidak ada surat lagi, dia bisa bernapas lega dan akan melupakan bagaimana surat-surat sebelumnya tiba-tiba muncul di sana. Namun, jika ternyata ada surat lagi, mungkin ini kode dari semesta yang harus dia pecahkan. Karena kejadian sekecil apa pun pasti ada maksud dan tujuannya.

Setelah menghela napas panjang beberapa kali, Kinar pun menarik laci meja itu perlahan. Jantungnya nyaris copot karena lagi-lagi ada surat di dalam sana.

Kinar tidak langsung mengambil surat itu. Kepalanya mendadak terasa berat dan persendiannya lemas seketika. Dia membiarkan tubuhnya merosot hingga kedua lututnya bertumpu di lantai. Kenapa harus dia yang berhadapan dengan keanehan ini? Ada apa dengan meja ini?

***

Hari-hari berikutnya, laci meja itu rutin mengeluarkan surat-surat dari Sayuti untuk Sukma. Kinar mulai terbiasa dan tidak sekaget di awal-awal. Dia pernah nongkrong di depan meja itu hanya untuk mencari tahu kapan pastinya laci itu akan mengeluarkan surat. Alhasil sekarang dia tahu, surat Sayuti akan tiba setelah lewat tengah malam. Penemuan itu juga menegaskan, bahwa memang bukan Nenek Muti yang iseng menaruh surat itu. Dia tidak tahu-menahu.

Lantas, siapa pelakunya?

Atau jangan-jangan makhluk halus?

Jujur, kadang Kinar takut dan merinding saat lewat di dekat meja tua itu. Namun, di sisi lain dia merasa punya teman baru, meskipun obrolannya dengan Sayuti hanya terjadi satu arah.

Meski dalam balutan kata-kata puitis yang mendayu-dayu, Sayuti cukup detail menuliskan kisah cintanya. Hal itu membuat Kinar benar-benar merasa terhubung dengan lelaki itu. Terlepas dia nyata atau tidak.

Kalau dia tidak nyata, artinya surat-suratnya juga tidak nyata. Mungkin Kinar hanya berhalusinasi. Namun, kalau memang dia nyata, ada di mana sekarang? Bagaimana bisa laci meja tua itu tiba-tiba jadi kotak pos pribadinya? Sayangnya, sejauh ini Sayuti tidak pernah mencantumkan alamat atau petunjuk apa pun di suratnya.

Merangkum semua surat yang Kinar terima hingga saat ini, kurang lebih dia bisa paham seperti apa latar belakang kehidupan Sayuti dan kisah cintanya dengan Sukma. Sayuti hanya pekerja biasa di pusat kerajinan mebel milik keluarga Sukma. Singkatnya, cinta mereka terhalang kasta. Hingga suatu hari mereka dipisahkan. Baru sebatas itu yang bisa Kinar simpulkan. Jujur, dia mulai tertarik dengan kisah mereka. Sayangnya, Kinar tidak bisa mengajukan pertanyaan untuk menuntaskan rasa penasarannya.

Hari ini, setelah membaca surat terbaru dari Sayuti, tiba-tiba sebuah pemikiran melintas di benak Kinar. Kalau surat yang datang entah dari mana ini bisa sampai kepadanya, barangkali dia juga bisa mengirim surat ke sana. Kenapa dia tidak mencoba membalas surat Sayuti?

Setelah menimbang hampir seharian, akhirnya Kinar memutuskan untuk mengirim balasan. Dia sempat bingung harus menulis apa. Ini seperti dipaksa membuka obrolan dengan orang yang baru pertama kali ketemu. Tentu saja canggungnya minta ampun.

Cukup lama Kinar merenung, tapi kertas di hadapannya masih kosong. Dia masih sibuk merumuskan kalimat yang cocok. Dia sempat ragu, karena Sayuti pasti akan beranggapan bahwa dia sangat lancang karena membaca surat yang bukan ditujukan padanya. Namun, itu bisa dijelaskan nanti.

Akhirnya, Kinar mulai menuang kalimat-kalimat sederhana yang bermunculan di kepalanya. Sebenarnya buat apa dipikirkan sampai sebegitunya? Belum tentu juga suratnya benar-benar terkirim. Setelah selesai, dia melipat dua kertasnya, sesuai bentuk surat-surat Sayuti yang diterimanya. Dia pun lekas membawanya ke meja tua itu. Setelah memasukkan suratnya ke laci, Kinar buru-buru beranjak dari sana. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

***

[Bersambung]

Apakah suratnya akan sampai ke Sayuti atau tidak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top