3 - Sesuatu di dalam Laci

Hari ini Kinar sif pagi. Meskipun semalam dia kurang tidur karena terus-terusan kepikiran Ibu, sebisa mungkin dia tetap on time. Pasti rasanya tidak enak banget setelah izin tidak masuk malah terlambat.

Ketika akhirnya tadi malam Ibu berkabar telah sampai di Malaysia, Kinar berusaha sekuat tenaga menelan tangisnya dan memperdegarkan suara seantusias mungkin.

"Halo, Nak. Alhamdulillah, Ibu sudah sampai."

"Alhamdulillah. Jadi, gimana Malaysia, Bu?" Kinar terkekeh ringan, meski air matanya sudah menggenang.

"Sama ajalah. Ibu hanya bisa berharap semoga bisa bertemu orang-orang baik di sini."

"Kinar turut doain Ibu."

"Kalau gitu udah dulu, ya, Nak. Ini mau langsung lanjut ke tempatnya Bu Dian."

"Oke. Hati-hati, ya, Bu."

"Kamu baik-baik, ya, di sana. Jangan sering begadang."

"Siap."

Setelah sambungan terputus, barulah tangis Kinar kembali tumpah. Padahal dia bukan anak kecil lagi, tapi ditinggal Ibu rasanya tetap saja semenyesakkan ini. Namun, sekeras apa pun dia menangis, Ibu sudah telanjur di sana. Setidaknya dia harus memberi dukungan dengan tidak terlihat rapuh agar kepergian Ibu tidak sia-sia.

Begitu motornya memasuki pelataran Toko King Foot, Kinar terbelalak melihat mobil Pak Ryan sudah terparkir di sana. Pintu kemudi terbuka, berarti dia masih di dalam.

Kinar mengerem mendadak dan buru-buru menyingkap ujung lengan sweater-nya untuk mengecek jam. Dia tidak terlambat. Ini baru pukul 06.45, sementara toko sepatu tempatnya bekerja sejak lulus SMA ini mulai beroperasi pukul 07.15. Entah ada angin apa si supervisor yang vibes-nya bak aktor-aktor Thailand itu datang sepagi ini. Bikin panik saja.

Kinar memarkir motornya di tempat biasa. Baru ada motor Pak Satpam dan Mbak Lala-karyawan paling senior-di sana. Mereka berdua memang terkenal paling disiplin. Kinar melepas helm dan merapikan rambutnya sebelum turun. Lewat di depan Pak Ryan tidak boleh berantakan. Kenapa juga dia harus parkir di depan pintu, bukan langsung ke parkiran roda empat?

Di sisi lain Kinar senang. Jarang-jarang paginya mendapat sambutan seperti ini. Syukur-syukur kalau bisa disenyumin Pak Ryan lebih awal. Lumayan buat asupan energi.

Dari parkiran roda dua, Kinar melintasi pekarangan toko dengan gestur yang dibuat sesantai mungkin. Padahal jantungnya mulai jumpalitan menyadari makhluk terganteng di King Foot sedang ada di depan sana dan mungkin sedang melihatnya.

"Kin!"

Panggilan itu nyaris menggugurkan jantung Kinar. Entahlah, tapi sepagi ini suara Pak Ryan terdengar lebih merdu dari biasanya.

"Ya, Pak." Kinar yang sebelah kakinya sudah menapak di undakan, terpaksa berbalik kembali. Dia tersenyum sopan sambil berusaha menormalkan detak jantungnya. Mereka sudah setahun kerja bareng, rasanya tidak wajar kalau interaksi semacam ini pakai gugup segala.

Ryan turun dari mobilnya sambil menenteng wadah kotak yang langsung ditebak-tebak oleh Kinar. Apa itu?

Seperti biasa, cowok berumur 25 tahun itu tampak elegan di balik seragam kerjanya. Kemeja lengan panjang serta celana panjang hitam pekat yang dipermanis dengan sentuhan dasi silver. Auranya terlihat matang.

"Kamu udah sarapan belum?" tanya Ryan sambil tersenyum tipis. Tolong banget, senyumnya itu salah satu penunjang grafik penjualan cabang King Foot yang dipegangnya sekarang terus naik sejak dia bergabung.

Biasanya Kinar memang malas sarapan. Tapi karena sekarang ada Nenek Muti, tadi subuh dia menyempatkan bikin nasi goreng yang dicukupkan untuk sampai siang. Meskipun saat diajak sarapan tadi, Nenek Muti hanya menatap kosong piringnya. Hal itu membuat Kinar semakin tidak tega meninggalkan perempuan renta itu sendirian. Namun, dia tidak punya pilihan lain.

"Belum, Pak." Melihat Pak Ryan tampak ingin memberikan sesuatu, Kinar memilih berbohong demi tidak merusak suasana.

"Ini, ada sarapan buat kamu," ujar Ryan sambil menyodorkan kotak di tangannya.

Kinar melongo sekian detik, sebelum menerimanya dengan tangan gemetar samar-samar. Ini tidak salah, kan? Otaknya langsung sibuk menafsirkan apa maksud di balik sekotak sarapan ini. "Kok, pakai repot-repot segala, Pak?"

"Repot itu kalau setiap hari. Ini nggak, kan?" Ryan tertawa pelan. Nada tawanya adalah melodi terindah yang pernah mampir ke telinga Kinar.

"Makasih, ya, Pak."

"Sama-sama." Ryan mengangguk ringan.

Ini juga yang membuat Kinar jatuh hati kepada atasannya itu, sopannya tidak pandang bulu. Dia memperlakukan semua orang sama. Terhadap customer jangan ditanya lagi. Entah sudah berapa banyak yang hatinya dibikin meleleh. Bahkan, ada beberapa pelanggan cewek yang mengaku setiap bulan beli sepatu di King Foot hanya demi bisa berbincang sekenanya dengan Ryan.

"Jadi, sekarang Ibumu sudah di Malaysia?"

Kinar sama sekali tidak menyangka Pak Ryan akan menanyakan soal Ibunya. Dia jadi semakin kikuk. "Iya, Pak."

"Rencananya berapa lama di sana?"

"Belum tahu juga, sih, Pak." Sebelum salting, Kinar memutuskan untuk menyudahi obrolan itu. "Saya izin masuk duluan, Pak."

Ryan mengangguk menyilakan.

Saat berjalan masuk, Kinar tidak yakin kakinya benar-benar menapak. Langkahnya terasa sangat ringan, seiring alunan lagu-lagu romantis yang terputar di hatinya. Memang semenyenangkan ini ketika Tuhan tiba-tiba menghadiahkan momen bersama orang yang dicintai.

Setibanya di dalam, Kinar menemukan Mbak Lala yang mulai berkutat di area sales, melakukan rutinitas pagi jelang buka toko.

"Selamat pagi, Mbak Lala," sapa Kinar. Perasaan bahagia atas momen singkat di luar tadi membuat suaranya terdengar lebih riang dari biasanya.

"Selamat pagi, Kin," balas Mbak Lala. Dia menoleh sejenak untuk membalas senyum Kinar.

Kinar melanjutkan langkahnya ke mes karyawan untuk menaruh tasnya terlebih dahulu dan tentu saja menikmati menu sarapan dari Pak Ryan. Sebenarnya dia masih kenyang, tapi karena ini dari seseorang yang spesial, pasti ada ruang lebih di lambungnya.

Kinar sementara menikmati makanannya dengan perasaan berbunga-bunga khas orang kasmaran, ketika Paula, rekan kerja yang merangkap jadi sahabatnya di toko itu, datang.

"Yuhuuu .... Selamat pagi, Kinar syantik!" Paula memang seberisik itu.

Kinar mengangkat pandangannya dan nyaris tersedak ketika melihat Paula menenteng kotak yang sama. "Loh, kamu dapat juga?"

"Iya, dong. Emang kamu pikir, kamu doang yang dikasih?" Paula terkekeh sambil mengibaskan tangan. "Pak Satpam dan Mbak Lala juga dikasih kali. Artinya semua karyawan hari ini dapat jatah sarapan dari Pak Ryan."

Kemeriahan hati Kinar senyap seketika.

"Eh, tapi kira-kira dalam rangka apa, ya, Pak Ryan tiba-tiba bagiin sarapan gini. Tumben banget, kan?" Paula duduk di depan Kinar dan bersiap menyantap sarapannya juga. "Mana pas banget lagi aku belum sarapan." Dia tampak sangat berselera.

Kinar tidak merespons. Tiba-tiba dia merasa sangat kenyang. Nafsu makannya lenyap tak berbekas. Bisa-bisanya dia berpikir sejauh tadi. Nyatanya, Pak Ryan memang cowok santun seperti yang dia kenal di awal, yang baik terhadap semua orang.

Kupikir aku istimewa ....

***

Sekitar pukul empat sore, Kinar baru tiba di rumah. Dia langsung bergegas ke dalam untuk mengecek keberadaan Nenek Muti. Tidak bisa dipungkiri, hari ini pikirannya benar-benar bercabang. Mulai dari insiden kotak sarapan, mikirin Ibu, ditambah lagi mikirin Nenek Muti yang sendirian di rumah. Untungnya, Kinar menemukan perempuan renta itu tengah berbaring tenang di kamarnya. Entah tidur atau apa. Kinar tidak bisa memastikan karena Nenek Muti membelakangi pintu.

Kinar lanjut ke dapur, mengecek makanan yang tadi disiapkannya. Alhamdulillah berkurang banyak. Artinya, Nenek Muti sudah makan. Kinar lega.

Merasa semuanya baik-baik saja, Kinar beranjak ke kamarnya untuk melepas pakaian dan lekas mandi. Badannya sudah sangat lengket. Namun, setibanya di ruang tengah, tatapannya tertuju ke meja kesayangan Nenek Muti. Entah kenapa, dia merasakan sesuatu yang sulit dijabarkan setiap kali melihat meja itu.

Kinar mendekat sambil memandanginya lekat-lekat. Sejak awal dia merasa bentuk meja itu tidak seharusnya begini. Salah satu sisinya tidak rata, membentuk lekukan yang menyerupai ujung keping puzzle. Atau jangan-jangan awalnya meja ini memang dibuat berpasangan dan bisa disambung?

Kinar meraba permukaannya. Keseluruhan catnya nyaris terkelupas. Entah seperti apa warna aslinya dulu. Dia iseng menarik lacinya, dan seketika mengernyit mendapati sesuatu di dalam sana.

Apa ini?

***

[Bersambung]

Kira-kira apa yang ditemukan Kinar? 🤔🧐

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top