JSD •|• 02

"LUKANYA enggak terlalu parah, saya akan memberi obat pereda rasa sakit dan sebaiknya istirahat dulu untuk beberapa hari sampai kondisinya membaik," ujar seorang dokter wanita yang menangani Nayla dan Damn saat mereka sampai di rumah sakit.

"Makasih, ya, Dok!" balas Nayla, kali ini ia bisa tersenyum lega, karena sahabat baiknya ternyata baik-baik saja.

"Gue bakal tetap kerja," kata-kata itu membuat dua wanita yang kira-kira memiliki umur yang sama menoleh ke arah Damn yang sudah turun dari brankar. "Luka ini nggak dalam. Tadi mobil itu cuma nyerempet sedikit, jadi nggak sampai bikin luka berlebihan."

"Tapi, kan—" Nayla sudah bersiap menyangkal.

"Jangan remehin kekuatan cowok, Nay. Gue masih sehat lahir batin kalau cuma buat masak di restoran lo."

Nayla sudah siap mendebat, bibirnya bahkan mulai mengerucut pertanda ia menahan kekesalannya, tapi dokter muda itu membungkam bibirnya lebih dulu. "Kalau memang dirasa bisa, enggak apa-apa, tapi kalau ada gejala sakit lainnya, semisal pusing dan lain-lain, silakan datang lagi kemari!"

Damn tersenyum pada dokter itu. "Terima kasih, tapi saya tidak apa-apa."

Dokter itu pun tersenyum. Sepertinya ia pun menyakini, jika Damn tidak kenapa-kenapa, melihat pria itu masih bisa berdiri kokoh di hadapannya. Sedangkan Nayla ingin berceramah, tapi ia mencoba menahannya.

Setidaknya ... sampai mereka tiba di restorannya, jadi ia bebas mengomeli Damian dengan leluasa.

***

Kedatangan Nayla dan Damn yang keningnya dibebat kapas membuat karyawan restoran lainnya panik. Damn mencoba tersenyum santai dan menjelaskan, jika memang tidak ada masalah berarti yang perlu dikhawatirkan, sedang hal itu menjadi sebuah kesempatan untuk Nayla.

"Dia itu abis keserempet mobil. Sama dokter disuruh istirahat, tapi tetap aja maksa buat kerja. Emang sok-sokan kuat, awas aja kalau sampai tumbang, gue injek-injek aja sekalian!"

Beberapa karyawan yang mendengar kata-kata Nayla hanya bisa tersenyum masam. Mereka memang sudah memperkirakan, jika bos cantik mereka dan Damn ada sebuah hubungan spesial. Namun, entahlah ... sampai sekarang keduanya tak memiliki hubungan lebih daripada teman.

"Ayo, mulai kerja ayo! Jangan ngerumpi, apalagi cari-cari alasan sakit lagi!" perintah Nayla setelah membuka pintu restoran dan membuat semua anak buahnya mengambil tempat masing-masing.

Restoran Nayla tidak bisa dibilang besar, tapi tempat itu termasuk cukup ramai pengunjung. Namun, bukan berarti dia sering membuka restoran di pagi hari. Tidak sama sekali. Ia terbiasa buka pukul sepuluh atau lebih, karena sasaran pelanggannya adalah para pekerja kantoran di seberang restoran yang mencari tempat nyaman untuk istirahat siang.

Maka dari itu, ia tidak pernah terburu-buru untuk membuka restoran. Dia terlalu santai melakukan segala hal, agar hasilnya tidak terkesan seperti sedang dipaksakan atau malah mengecewakan. Namun, sepertinya kali ini ia harus mengalami mode masak ngebut gila yang jarang-jarang ia tunjukkan.

"Damn, kalau lo ngerasa pusing kasih tahu gue!" Ia menatap Damn yang hanya menunjukkan jempolnya sebagai isyarat setuju. Lalu, tatapannya beralih ke arah Nando. "Nan, gercep dikit, ya?"

"Ntar kalau kurang matang gimana?" jawab Nando agak bercanda.

Nayla memang perfeksionis dalam pekerjaannya, tapi bukan berarti dia galak seperti bos yang nggak bisa diajak bercanda sama sekali. Bahkan sebaliknya, Nayla sudah menganggap para pegawainya seperti sahabat karibnya dan alhasil, mereka terbiasa bercengkerama layaknya teman, bukannya atasan maupun bawahan.

"Alah, maksud gue, ya, potong-potongnya, lah! Kalau masaknya masih sesuai prosedur. Lo gimana, sih?" balas Nayla, sedikit bercanda, tapi serius.

"Kali aja, kan? Lo minta apinya digedein biar dagingnya cepet empuk dan kawan-kawan," sahut Nando sambil terkikik geli.

"Gue timpuk cabe, nih!" balas Nayla yang malah sukses membuat Nando terbahak-bahak.

"Udah, lo berdua kalau banyak ngoceh mulu, gue kasih makan pare baru tahu rasa!" ancaman Damn membuat Nayla mendelik ke arahnya.

Sebenarnya, yang head koki di sini dia apa Damn, sih?

***

"Orang yang tadi pagi ... bakal baik-baik aja nggak, ya?"

"Lo serius amat. Dia bilang nggak apa-apa, berarti, ya, enggak apa-apa. Jangan bikin gue takut gini dong, Than!"

Ethan melirik sinis ke arah sepupunya. Tatapan dingin yang sukses membuat Raffa membungkam mulutnya rapat-rapat. Raffa lupa dirinya sedang berhadapan dengan siapa. Beruang kutub yang memiliki tatapan dingin dan intimidasi yang luar biasa.

"Harusnya, kamu paksa dia ke rumah sakit, sebelum ngizinin dia pergi," ceramah Ethan.

"Dia kelihatannya lagi buru-buru. Biarin ajalah, jangan bahas dia lagi!" balas Raffa merasa tak suka dan enggan. Ia sadar, itu kesalahannya, tapi ia sedang mencoba untuk melupakan kejadian tadi pagi.

"Kamu mau, dia bareng pengacaranya nyamperin kamu?"

Raffa mendelik ke arah Ethan. Pria itu biasanya dingin dan jarang bicara, tapi entah kenapa kali ini dia mulai mengoceh panjang kali lebar pada Raffa, karena mereka baru saja menyerempet seorang pria di jalan tadi pagi.

Raffa bukannya sengaja, dia sedikit meleng dan tanpa sadar menggesekkan mobil mulusnya ke sepeda motor pria itu. Pria itu tidak memperpanjang masalah dan pamit padanya, tapi masalahnya ... Raffa dan Ethan tahu jelas, jika ada darah mengalir di pelipis pria tak dikenal tersebut.

"Udah deh, jangan nakut-nakutin gue mulu! Sekarang waktunya makan siang. Gue direkomendasiin sama sekretaris gue buat makan di sini. Katanya, makanannya enak-enak!"

"Kamu ada affair sama sekretarismu?" tebak Ethan, tanpa banyak ancang-ancang.

Raffa tersedak salivanya. "Mulut lo bisa direm dikit nggak kalau ngomong sama gue?"

Ethan menggeleng pelan dan mendesah kasar. Dia tahu sejak lama tentang peringai adik sepupunya yang terkenal playboy kelas kakap. Bukannya dia iri, tidak sama sekali. Ethan termasuk pria yang digilai banyak wanita juga, tapi dia bukan sosok yang mudah membuka diri seperti Raffa.

Ethan pria tertutup. Dia tidak pernah pacaran, dekat dengan wanita saja ia enggan. Terutama ... setelah mantan istrinya menduakannya.

Ethan tidak pernah menyalahkan siapa pun atas masalah yang pernah menimpa hidupnya. Karena sadar atau tidak, itulah buah yang harus ia panen setelah menuai benih yang salah, yakni buah masalah.

Mereka mengambil meja di sudut restoran yang tidak bisa dibilang besar, tapi Ethan merasa nyaman di sana. Hadirnya pohon-pohon kecil berdaun hijau yang menghiasi sudut-sudut ruangan, juga bunga yang entah apa namanya di atas meja, membuat ia merasa adanya suatu kesan natural di restoran itu.

"Mau pesan apa, Pak?" Seorang pelayan cantik tampak menghampiri meja mereka dengan senyum ramah membayang di bibirnya.

Raffa sudah bersiap menggoda gadis itu, tapi Ethan dengan sengaja menabok wajah sepupunya dengan buku menu. "Pesan dan jangan banyak ulah," ujarnya sekalem mungkin.

Raffa merengut, tapi tetap menurut. Dia mulai menyuarakan pesanan dan Ethan menyamakan isi pesanan mereka. Menunggu cukup lama, sebuah masakan ayam bumbu pedas khas masakan rumahan disertai minumannya sampai di hadapan.

Ethan memperhatikan makanan itu sejenak, mengamati bentuknya sebelum mulai menyantap.

Enak. Dia merasa makanan itu begitu nikmat di lidahnya. Bumbu-bumbunya terasa pas, ada asam, manis, dan pedas yang menyatu nikmat di lidah. Rasa enak yang mengingatkan Ethan akan masakan ibunya dulu.

Laki-laki itu tersenyum tipis. Senyum yang hampir tak pernah lagi menghiasi bibirnya. Namun, saat matanya melirik adik sepupunya yang tampak mengernyitkan dahi dengan mengunyah makanan pelan-pelan, Ethan mulai menaruh rasa curiga padanya.

Jangan sampai ....

Jangan sampai Raffa membuat ulah di sini.

Ethan baru saja membuka mulut hendak mencegah Raffa bersuara, saat suara melengking keras, lebih dulu mengalun dan memenuhi isi restoran.

"Apa-apaan ini!"

____

APA-APAAN INI!!!!

Nggak apa-apa, Om. 😂😂😂

Baca kelanjutannya di DREAME!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top