5 - SEBENARNYA SAYANG

Sorry for typo.

Di depan rumah Rania.

Hati Rania mendadak bahagia saat mendapat pesan di layar ponselnya satu jam yang lalu. Terang saja ia tak percaya, Aries yang mengirimkan pesan.

Kak Aries. : satu jam lagi kakak jemput kamu di rumah. Kata Rafa seharian ini kamu nggak pergi.

Rania hanya membalas "iya" tanpa bertanya tujuan Aries ingin menjemputnya. Jiwanya mengatakan mau dengan perintah Aries. Secepat kilat Rania membersihkan diri, tampil secantik mungkin, tapi tidak berlebihan. Ia tahu Aries kurang suka make up tebal. Kurang suka pusat perhatian.

Rania berdiri dengan raut wajah bahagia bercampur cemas menunggu jemputan itu tiba. Bahkan ia sudah menghafal tema pembicaraan apa yang akan ia jadikan obrolan saat mereka sedang berdua. Rania menjadikan pelajaran saat beberapa waktu lalu hanya hening yang menemani. Dia tidak akan membiarkan sebuah lagu merusak suasana. Cukup saat itu aja. Tidak ada lagi pupus atau bertepuk sebelah tangan sebuah alunan lagu.

Rania melambaikan tangan saat mobil Aries mendekati pagar rumahnya. Secepat kilat ia berlari, Aries hendak turun tapi Rania melarang dengan kode tangan.

"Di rumah nggak ada orang." kata Rania saat ia sudah duduk di samping Aries. Rania memberikan senyum indah kepada Aries.

"Sudah makan?" tanya Aries tanpa basa-basi. Rania menggeleng.

"Waktu kakak sms aku langsung buru-buru mandi." jawabnya polos.

"Kakak juga belum." Aries melajukan mobilnya begitu saja. Rania mengakui hari ini Aries sangat tampan. Memangnya kapan ia pernah melihat Aries tidak menarik di matanya? Kakaknya ini memakai kemeja hitam dan celana jeans, walaupun ia belum turun dari mobil tapi hanya sekilas Rania dapat tahu jika penampilan Aries membuatnya tersipu.

"Kamu suka makan apa?" tanya Aries datar. Benak Rania bertanya-tanya, sebenarnya ada tujuan apa Aries mengajaknya jalan.

"Aku lagi mau masakan Padang." cicitnya malu-malu. Aries kembali mengangguk dan fokus dengan jalanan. Sejenak hening kembali terjadi, hingga ponsel Aries berbunyi. Awalnya Aries malas mengangkat tetapi karena panggilan itu berkali-kali dan tidak ada jeda berhenti Aries menepikan mobil.

"Mungkin penting kali kak." sambung Rania. Aries hanya diam membaca nama di layar ponselnya, Mama.

"Diangkat kak!"

"Hallo?" jawab Aries pelan.

"Kamu ini yah sengaja mau buat mama malu sama teman senam mama. Udah tahu sore ini kita janjian ketemu di rumahnya. Mama kan cuma kasih opsi untuk kenalan dulu. Jangan bilang kamu mau kabur lagi ke Bandung? Kapan sih kamu buat mama bahagia Aries? Mama khawatir kamu menyimpang." Aries menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak. Suara kencang sang mama membuat sakit di telinga.

"Maaf ma."

"Maaf terus. Buktikan kali ini kamu punya calon!? Mama sedih Aries. Kamu selalu bohongin mama. Sekarang mama harus bilang apa sama temen mama?"

"Bilang dibatalkan saja kan bisa." jawab Aries tenang. Rania sedikit penasaran. Batalkan apa?

"Mama mau mogok makan kalau kamu nggak bawa calon kamu. Minimal teman kencan."

Tuut..

Aries mendesah saat panggilan ponselnya diputus sepihak. Mamanya hendak mogok makan? Yang benar saja, hanya karena anaknya tidak mau menikah.

"Kenapa mama kakak?" Aries menatap Rania yang penasaran. "Nanti habis makan ke rumah kakak mau?" tanya Aries hati-hati.

"Ada apa?"

"Nanti kakak jelaskan." Aries kembali menyetir dan sibuk dengan pemikirannya sendiri. Rania dilanda serba salah. Kenapa mau ke rumahnya? Rania tidak gugup bertemu keluarga Aries, mereka sudah cukup dekat dan saling kenal dari kecil, tetapi kenapa tiba-tiba mengajak dirinya?

Dan lagi-lagi fokus Rania untuk bisa santai saat berduaan dengan Aries gagal total. Lidahnya seolah terpatri kuat tidak berniat membantunya membuka suara. Macam-macam bahan pembicaraan yang bahkan ada di note smarthphone-nya kabur terbawa rasa gugup. Rania merutuki kelemahannya. Sungguh rasa seperti ini harus bisa ia hilangkan segera.

"Alvina marah sama kakak." akhirnya Aries membuka suara. Macet di jalanan membuat waktu semakin terasa lama jika mereka hanya berdiam diri. Rania sedang berusaha konsentrasi mencerna kata-kata Aries.

"Ya..?" yakin Rania sekali lagi.

"Vina marah sama kakak kemarin.." Aries sekarang berani menatap Rania. Membuat si gadis pendiam itu berdebar tak karuan. Aries menepikan mobilnya di depan mini market.

"Abang, kata Tante Silla abang nggak mau nikah? Kenapa begitu? Apa karena Vina?"

"Kamu bicara apa sih?"

"Vina kasihan lihat tante yang uring-uringan tadi saat ke rumah. Dia takut abang seperti Uncle Kevin di masa lalu."

"Mama hyperbola."

"Tapi Vina juga sama pemikiran seperti tante. Kalau abang belum mau menikah, Vina juga akan menunda pernikahan. Vina nggak mau melihat abang sendiri."

"Vina bicara apa sih? Jangan campur adukan masalah sepele ini dengan kebahagiaan kamu!"

Rania hanya mengangguk perihal konyol yang dijelaskan Aries. Apa perlunya ia tahu dan mamfaatnya apa? Ingin menegaskan jika jalinan erat diantara mereka seperti itu? Rania menelan ludahnya sendiri. Bingung harus menjawab apa.

"Menurut kamu gimana?" tanya Aries tanpa dosa, tapi Rania memang harus menjawab.

"Ya tunjukkan saja kalau kakak bahagia." Rania gelisah dengan jawaban asalnya.

"Oh." Aries memejamkan matanya bersandar di kursi mobil. Rania melihat bahasa tubuh Aries dilanda kegundahan. Kenapa dengan kakak? Bukankah bagus Alvina menunda pernikahan? Batinnya terus menduga-duga.

"Aku mau melihat Alvina bahagia dengan pilihannya." lirih Aries. Rania pun memikirkan hal yang sama, dia juga mau pria di sampingnya bahagia dengan pilihannya.

"Rania.."

Degh.. Kakak menyebut namaku?

"Bantu kakak mau?" Aries memiringkan kepalanya menatap Rania. "Apa?"

"Terus berada di samping kakak." Rania sedikit tersenyum. "Kan aku sudah bilang kapanpun kakak butuh sebisa mungkin aku akan membantu semampunya." Aries duduk tegak dan menghadap Rania.

"Maksud kakak jadi pendamping hidup kakak." Rania melebarkan matanya. Apa ia tidak salah dengar? Ini lamaran tersirat kah? Atau pelampiasan? Sudah pasti pelampiasan dari rasa kecewa, Rania bukan anak kemarin sore.

"Menikahlah dengan kakak!" kepala Rania hampir pecah dibuatnya. Sebenarnya bukan seperti ini yang ia mau. Bukan wajah penuh kebingungan dan hilang arah. Ini bukan jalan pulang, ini lebih mirip keterpaksaan.

"Rania." ucap Aries sekali lagi. Jangan ditanya hati Rania yang tiba-tiba berbunga, tapi sayangnya bunga itu tersebar duri. Ini menyakitkan.

"Kak.." suara Rania bergetar.

"Kakak tadi bertemu Rafa dan yang lain, lalu bertanya tentang kamu."

"Aku..?" Aries mengangguk.

"Kamu sudah nggak melanjutkan pendidikan. Kamu mau coba usaha, tapi kamu bingungkan?" dimana letak hubungannya dengan ajakan nikah? Rania berusaha menenangkan hati.

"Kita melangkah berdua mau?"

"Kakak kenapa?" Rania balik bertanya. Ini pembicaraan aneh.

"Aku bingung Rania." suara Aries terdengar frustasi.

"Jangan jadikan Rania pelampiasan!"
ucap Rania tegas, Aries kembali bersandar.

"Maaf.." ucap Aries pelan.

"Ayo sebaiknya kita makan dulu, konsentrasi harus bagus." Aries melajukan kembali mobilnya. Rania diam menahan tangis. Bodohkah dia menolak Aries? Tapi bukan seperti ini yang ia mau. Ia mau melihat Aries tersenyum bahagia dengannya atau dengan yang lain sekalipun.

"Maaf kakak langsung bertanya seperti tadi." Aries tidak bisa diam begitu saja.

"Memangnya kakak tidak punya pacar?" Rania harus bisa tenang dan ia memilih menormalkan rasa gugupnya. Diam bukan jawaban.

"No."

"Teman kencan?"

"Kamukan tahu sifat kakak." Aries lebih memilih menjawab dengan pernyataan, karena Rania dirasa cukup kenal dengan dirinya.

"Lalu jika.. Kita menikah apa semua akan kembali baik-baik saja?" ucapnya sepelan mungkin.

"Minimal Alvina tidak menunda pernikahan, mamaku tidak terus meneror bahkan melakukan aksi mogok makan." jawab Aries sambil terus fokus ke jalanan.

"Mogok makan?" ada sedikit raut wajah geli di wajah Aries, Rania dapat melihatnya sekilas. "Kamukan kenal dekat dengan mamaku?"  Rania pada akhirnya mengangguk. Baiklah semakin bergulir pembicaraan ini bisa diterima.

"Lalu kenapa aku?" susah payah Rania nekat bertanya ini. Ia sudah memikirkan jawaban paling menyakitkan yang akan ia dengar.

"Karena kamu mengerti kakak." jawab Aries menatap Rania serius. Tidak buruk menurut Rania jawaban yang ia dengar.

"Saat malam pertunangan Vina kamu tahu kenapa kakak ada di tempat ayunan?"

"Karena nggak mau lihat kebahagiaan di dalam." jawab Rania yakin.

"Bukan nggak mau tapi belum siap." ralat Aries.

"Sama saja." Rania terus berusaha tenang.

"Sebenarnya kakak ingat kejadian yang lalu-lalu. Saat Vina minta ditemani ke lapangan basket dan bertemu temannya lalu pada akhirnya Vina pergi dengan teman-temannya." cerita Aries, Rania tahu itu.

"Lalu kamu datang dengan manja mendekati kakak. Kakak ingat itu." Rania tertawa mengingat masa kecilnya yang sok manja dengan Aries.

"Iya saat itu aku malas main dengan yang lain. Melihat Raja dan Rima yang selalu musuhan bukan pemandangan yang seru." Aries tertawa ringan. Wanita di sampingnya ini memang dari dulu selalu manja dengannya. Ia mau kemanjaan itu kembali hadir.

"Kakak kangen kamu sebenarnya." pernyataan jujur dari Aries, Rania dibuat bingung dengan jalan pikiran Aries. Karena rindukah lalu mengajak menikah?

"Kenapa kakak yakin Rania mengerti kakak?"

"Kamu memang mengerti kakak bukan?" Rania diam tidak berniat mengangguk, ia takut salah.

"Kalau kakak apa mengerti Rania juga?" Aries diam. Mereka sama-sama takut salah.

"Kakak akan berusaha mengerti."

"Aku masih muda, sangat muda dengan segala kekurangan. Belum tentu papa dan mama izinkan." Aries tersenyum melirik Rania.

"Kamu kira kakak remaja labil?"

"Iya." Rania mengangguk polos.

"Sebelum kakak berani berbicara ini, kemungkinan itu sudah kakak urus."

"Maksudnya?"

"Kakak sudah meminta restu sama papa mama kamu. Bahkan kakek dan nenek kamu."

"Apa?" Rania dilanda gugup tiba-tiba.

"Mereka tadi sedang di rumah sebelah.  Sebagai tetangga yang baik kakak menyalami mereka semua."

"Dan meminta restu?" yakin Rania tak percaya. "Iya..."

"Kenapa?" Rania masih dibuat ragu.

"Karena cuma kamu yang ada dipikiran kakak. Maaf kalau kamu mengira ini bentuk pelarian, pelampiasan atau apapun itu. Tapi kamu harus tahu, kakak yakin kamu bisa menemani kakak selamanya."

"Selamanya?" cicit Rania.

"Kalau itu yang kamu mau." Aries dengan segala pernyataan ambigunya.

"Lalu papa bicara apa?" ada rasa malu nantinya saat ia bertemu sang papa.

"Om Leo bilang semua terserah Rania. Dia akan mendukung." rona merah di pipi tak bisa Rania halangi.

"Jika kita tidak bisa bertahan?"

"Kakak janji sama kamu akan bertahan dengan kondisi ini, tapi jika kamu tidak sanggup semua kakak serahkan sama kamu."

"Kenapa seperti itu?"

"Karena jika kamu memilih mencari kebahagiaan di luar tidak dengan kakak, mengalah mungkin itu solusi." Rania diam. Mendengarnya sedikit memilukan, ia berharap kata-kata berjuang bukan menyerah.

Ini membingungkan dirinya.

"Lalu akan seperti apa pernikahan ini kak?"

"Anggap saja kita berpacaran tetapi dalam ikatan halal." Rania menggelengkan kepala. Isi pemikiran Aries di luar jangkauannya.

"Kakak aneh." cibir Rania bingung.

"Maaf kalau kamu bingung, tetapi isi kepala kakak sedang kacau. Dan kakak merasa kamu mampu merapikan kekacauan ini." bisakah ini dikatakan pujian? Kenapa mendadak Rania tersanjung?

"Kakak mohon! Kamu mau temani kakak kedepannya." ada nada permohonan tulus di sana.

"Rania takut ini salah."

"Kita bisa atasi berdua." sekali lagi Rania harus meyakinkan ini. Dia berhak dan butuh kepastian.

"Apa yang kakak rasakan memangnya sama Rania?"

"Sebenarnya kakak sayang sama kamu." Aries memegang tangan Rania.

Sebenarnya sayang? Apa yang harus Rania yakinkan lagi? Tapi ini ikatan sakral? Apakah ini yang harus Rania perjuangkan? Ia akan berusaha merapikan isi kepala Aries. Menata ulang posisi dirinya di hati Aries dan meletakkannya paling utama di atas segala-galanya. Rania harus yakin ia bisa menata komitmen ini menjadi komitmen cinta didua pihak.

"Rania mau tidak menemani kakak menjadi pendamping hidup?"

"Iya." anggukan kepala Rania yang sangat ditunggu Aries. "Terimakasih." ucap Aries lega.

"Sehabis ini kita ke rumah kakak dan juga paman kamu. Semua keluarga pasti sedang berkumpul." Aries dengan berani meremas tangan Rania. Menggenggam erat.

"Benarkah ini?" batin Rania bertanya-tanya. Keputusan ini harus ia terima dan yakini.

TBC..
Senin, 08 Februari 2016
-mounalizza-

Sedikit aja part ini.
Maaf aga slowupdate lagi krn seminggu ini aku akan sibuk. Doakan yang terbaik yah buat aku...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top