39 - BERPISAH SEMENTARA
Judul part kali ini dipersembahkan oleh doramika_ hehehe thx yah say sdh memberikan aku banyak pilihan berpisah.. Hahahah😘😍
***
Maafkan kata yang telah terucap
Akan kuhapus jika ku mampu
Andai ku dapat meyakinkanmu
Ku hapus hitamku
Andra and the back bone
***
Di apartment Aries.
"Maaf yah Fir, Ratu benar-benar nggak mau ketemu kamu.." Rania memasang ekpresi menyesal menatap Safir. Ini sudah dua hari Ratu menginap di tempat itu. Rania dan suami menemaninya serta Rafa dan Razi.
Siang ini Safir ditemani Ruby berkunjung. Waktu yang pas karena Aries, Rafa terlebih Razi tidak ada di tempat. Rania lebih bisa menahan emosi dibanding saudaranya yang lain. Biar bagaimanapun Safir dan Ratu memang harus berbicara kembali. Semua kesalahpahaman yang hinggap di pikiran Ratu. Terlebih penampilan Safir yang sangat kacau. Memar-memar di wajahnya masih dapat terlihat jelas. Rania meringis membayangkan kejadian yang suaminya ceritakan.
Safir memang pantas mendapatkan sentuhan Razi dan Rafa.
"Tapi kamu tenang saja, gosip yang dikatakan Akbar sudah diklarifikasi oleh Kak Aries bahkan Razi dan Kak Rafa juga membenarkan ucapan Kak Aries.." mendengar itu Safir meringis malu. Ia begitu bodoh layaknya anak-anak ngambek. Semua sudah terjadi dan ia hanya bisa mengikuti waktu berjalan.
"Ayo Fir sebaiknya kita pulang, sebelum Rafa dan Razi datang.." semua ini berdampak pada Ruby ternyata. Sudah dua hari ini ia ingin menjauh dari Rafa. Adegan yang Rafa lakukan sungguh membuat ia kecewa dan malu menjadi satu. Seumur hidup ia mengenal Rafa, baru malam itu Rafa memperlihatkan emosinya.
Dan itu sungguh menyeramkan. Terlebih yang menjadi lawan Rafa adalah Safir. Dua orang yang sangat ia cintai dengan cara berbeda. Ruby tidak bisa memilih.
"By.. Jangan gitu dong. Gue juga faham lo malu atau kecewa sama Kak Rafa. Ini semua bisa dibicarakan.." Rania memegang tangan Ruby di sampingnya. "Gue jadi minder sendiri Ran.." jujur Ruby.
Safir tak kuasa menahan nyeri di hati. Dia benar-benar membuat kacau jalinan yang lain. Terutama pada seorang gadis di balik pintu yang sekarang sedang Safir tatap nanar.
"Dia baik-baik saja?" tanya Safir tetap menatap pintu. Rania tahu siapa yang dimaksud Safir.
"Sudah membaik, walaupun masih banyak diam jika ditinggal sendirian. Dia kuat.." balas Rania menenangkan hati Safir.
"Aku sempat hampir percaya saat pertama Ratu menjelaskan. Akbar disuruh kamu untuk temani dia yang sendiri di taman? Lalu dia mulai risih saat Akbar mendekat dan sangat berani menyentuh.." Rania tidak sanggup menjelaskan. Begitupun Safir yang menggeleng seolah tak kuat mendengar kronologi kejadian.
Itu selang beberapa waktu setelah Safir meninggalkan Ratu sendiri di taman. Lalai memang menjadi kesialan tersendiri. Kebodohan yang berakibat fatal.
"Ratu butuh waktu Fir. Dia malu..." Safir mengangguk, sangat memaklumi. Rania terus menatap wajah bersalah Safir.
"By.. Kita keluar sebentar, antarkan gue ke mini market di bawah.." tanpa meminta persetujuan, Rania menarik tangan Ruby. Sebelum keluar Rania pelan bersuara melirik Safir. "Ratu mungkin sedang mendengarkan di balik pintu." Safir tersenyum lega. Ini kesempatan terakhir yang harus ia gunakan sebaik-baiknya. Andai Rania bisa ia peluk.
Setelah yakin Rania dan Ruby sudah menutup pintu, kesunyian hadir di ruangan itu. Dengan gugup Safir berdiri, berjalan pelan mendekati pintu. Ia menatap bingung saat sudah berada tepat di depan daun pintu. Mendadak rasa sakit yang sudah mereda di sekujur tubuh hadir kembali. Kegugupan tak diundang datang.
Haruskah ia mengetuk pintu? Ratu pasti menjadi panik. Cukup di sekitar saja.
"Ratu.." panggilnya pelan di depan pintu. Tidak ada balasan ataupun suara-suara dari balik pintu. Dengarkah Ratu?
Safir tidak perduli, begini saja tidak masalah. Ia hanya ingin mengutarakan isi hati. Permohonan maaf karena lalai menjaga. Meninggalkan Ratu sendiri di taman.
"Rainha..." Safir tertawa miris. Ia sudah tidak berhak memanggil Ratu dengan sebutan itu. Siapa dirinya? Dia bukan penguasa hati Ratu lagi. Dia pembawa kesedihan paling ulung.
"Aku tidak pernah berteman dengan Akbar apalagi meminta ia mendekati kamu." ucap Safir di depan daun pintu tanpa diminta.
Sunyi.
"Semoga kamu baik-baik saja. Aku berjanji akan memberikan balasan untuk Akbar. Dia harus menghadapi aku setelah ini." Safir berjanji Akbar harus menerima ganjaran langsung dari tangannya.
"Kamu tahu meninggalkan kamu saat itu ternyata benar-benar membuat aku semakin yakin, aku manusia bodoh." tidak ada aktivitas berarti di balik pintu itu. Mungkin Ratu menjauhkan dirinya. Bisa jadi Ratu tak sudi mendengarkan suara Safir.
Lama Safir menunggu, ia berbalik tidak menatap daun pintu. Tubuhnya luruh di lantai, sambil memejamkan mata Safir duduk bersandar di daun pintu. Satu kaki ia tekuk untung menopang lengan dan jari-jari tangan mengusap dahi. Pose khas yang selalu ditampilkan manusia frustasi.
"Kamu wanita baik Ratu. Wanita indah dengan segala sifat tertutup yang sangat manis. Aku nggak akan bisa lupa berbagai moment yang pernah kita lalui berdua." lirih Safir seorang diri. Ia tidak mengharap Ratu mendengar, ini hanya ungkapan kata yang ingin ia keluarkan sendiri tanpa paksaan.
"Kamu lembut dan punya keunikan yang orang lain nggak tahu. Kamu punya tekad kuat.." Safir semakin bersandar di daun pintu. Sesekali kepalanya ia bentur di daun pintu. Andai ia bisa membenturkan keras-keras. Ingin sekali agar isi kepala bodohnya terurai dan bisa ia buang jauh-jauh.
"Kamu boleh benci aku semampu kamu, tapi aku mohon jangan benci saudaraku tersayang. Ruby nggak tahu apa-apa." Safir merutuki jika sekarang kehidupan cinta Ruby ikut berpengaruh. Karena dirinya.
"Aku yang salah. Kecuali aku, yang lain tidak tahu dan aku harap jangan disangkutpautkan." Safir masih memejamkan mata. Ia berceloteh seolah Ratu mendengar.
"Kamu tahu jiwa kekanakkanku yang menyelimuti hati saat tau kamu menolak, jujur itu membuat penyesalan tersendiri." Safir membenturkan kembali kepalanya ke arah belakang.
"Aku mau kamu merasakan sakit hati, aku mau kita bermain dan setelah itu aku akan puas." Safir tertawa miris. Ia menyadari, Ratu memang berhak menolak.
"Ironisnya aku ikut merasakan sakit." Safir diam enggan berkata-kata lagi, tetapi waktu berharga ini mungkin tidak akan pernah terjadi lagi. Ia harus bisa menggunakan sebaik-baiknya.
"Mungkin kamu tak percaya, tetapi aku memang mulai..." Safir tidak melanjutkan. Ratu tidak perlu tahu isi hatinya. Ratu tidak pantas ia tambahi beban. Ratu bukan untuknya dan tidak layak untuknya. Ratu wanita baik-baik, tidak sebanding dengan dirinya yang nista.
"Aku berharap kamu kuat. Mengenai Akbar, aku memberikan jaminan. Kamu akan baik-baik saja." Safir memiringkan kepalanya. Menempelkan telinga di daun pintu. Ia merasa mendengar pergerakan di balik pintu.
Apa Ratu mendengarkan?
"Rainha.. Maafkan aku." lirihnya. Bermain hati ternyata sangat beresiko dasyat untuk dirinya juga. "Ratu..." sekali lagi Safir memanggil penuh permohonan. Berharap pintu itu terbuka. Ia mau melihat Ratu. Menatap gadis dengan keunikan yang tidak dimiliki gadis-gadis yang pernah dengan Safir.
Ratu memang spesial. Ratu langka di hatinya. Ironisnya Ratu satu-satunya wanita yang juga dibuat menangis oleh Safir. Bahkan sudah direncanakan.
"Ratuu..."
Srrt... Selembar kertas putih muncul di bawah pintu. Letaknya pas di dekat tubuh Safir duduk. Safir menatap nanar lembar kertas itu.
Satu lembar kertas tidak begitu besar, bahkan mirip robekan tak berarti. Terdapat kalimat dengan goresan pemerah bibir. Mungkin tidak ada alat tulis di dalam sana. Warna merah dengan garis yang tidak rapi namun cukup bisa dimengerti untuk dibaca maksud kalimat itu. Safir mengambil lembaran itu. Membacanya dengan hati-hati dan bergetar. Singkat dan lugas.
Jauhi aku! Bertobatlah!
Tidak ada balasan maaf dari Ratu untuknya. Safir tertawa miris. Ia harus bisa menerimanya. Keputusan Ratu mutlak harus dimaklumi. Safir memegang lembaran itu, ia lipat pelan dan dengan senyum lega ia menyimpan di dalam saku celana.
Sambil menatap daun pintu itu, Safir berdiri. Ia yakin Ratu akan mendengarnya kali ini. "Maaf sekali lagi Ratu. Aku harap kamu selalu baik-baik saja. Setelah ini jangan mengurung diri lagi, carilah kebahagiaan. Kamu masih muda dan berhak berbahagia." Safir benar-benar mendekatkan suaranya. Tidak masalah Ratu tidak membalas, ia hanya mau Ratu mendengar.
Tangannya meraba daun pintu. "Rainha.. Aku sudah berhasil mencin.." Safir berhenti mengucap dan tertawa mengejek. Sudah terlambat, percuma. Bisa jadi Ratu berprasangka lain. Tidak menutup kemungkinan Ratu anggap itu suatu kebohongan belaka.
"Semoga kamu berbahagia." Safir meraba daun pintu itu lagi sebelum akhirnya berjalan menjauh, meninggalkan Ratu dan segala perasaan yang sudah hadir. Sia-sia dan tidak perlu diutarakan kembali.
Jauhi aku! Bertobatlah!
Itu yang akan ia lakukan.
Dan gadis nelangsa di balik pintu pun hanya duduk bersandar dengan posisi yang sama sebelumnya seperti Safir. Ia mendengar semua kata-kata Safir. Suara yang ia rindukan dan benci bersamaan.
Semua bukan salah pria itu 100%. Ratu juga bersalah, ia juga terpancing dan memancing Safir karena rasa penasaran. Tetapi keputusan sudah ditentukan, ia ingin menjauh dari semua yang berhubungan dengan Safir. Bukan karena dendam, ini lebih ke perasaan malu. Biar bagaimanapun ini lebih mirip cinta bertepuk sebelah tangan. Hanya dirinya yang mencintai Safir.
"Safir.. My ovo.." Ratu memegang ponselnya. Melihat dengan seksama gantungan kunci angry bird. Hanya ini yang akan ia simpan kenangan indah bersama Safir. Harus diakui secara tidak langsung Safir mengajarkan dirinya rasa percaya diri. Safir juga mengajak dirinya mengenal dunia santai dimana tidak ada ruang kebosanan. Hidupnya berwarna saat Safir dekat dengannya.
"Hiks.. Kamu kuat Ratu." ucapnya sendiri. "Kamu bisa bahagia.." Ratu terus duduk menikmati kesedihan.
Tuk.. Tuk..
"Ratu..." suara Rania di luar kamar. "Buka! Safir dan Ruby sudah pergi.." Ratu menyeka air matanya. Ia membuka pintu dan sosok lembut Rania sudah siap menerima pelukan darinya.
"Gue mau pergi menjauh. Gue butuh suasana baru Ran.." Rania mengangguk dan membiarkan Ratu memeluknya erat. Ratu sedang mengalami fase patah hati. Ia harus bisa menemani semampunya.
"Liburan mungkin bisa membuat kamu lupa.." Rania yakin waktu akan berjalan menemani kesakitan Ratu dan membantu mengobati.
***
Dua bulan kemudian.
Di ruang olahraga Divisi.
"Tahan..." perintah Aries kepada Safir. Ia sedang melatih kebugaran langsung untuk Safir. Khusus kali ini Aries ingin benar-benar memantau. Aktivitas Safir belakangan memang menjadi perbincangan beberapa orang terdekat.
Ia tidak fokus, mudah menyerah bahkan bisa berdampak terbongkarnya aneka penyamaran anggota rahasia Divisi yang lain. Ini membahayakan untuk semua dan yang pasti untuk dirinya sendiri. Safir seolah menantang kematiannya.
"Tahan Safirrr...!!!" perintah Aries lagi. Safir sedang memegang beban seberat satu hewan kambing besar, antara berdiri dan duduk. Posisi ini sungguh membuat kaki terasa berat bertumpu. Safir tetap bertahan.
"Fokus!!!" ucap Aries lagi. Safir sadar kelalaiannya belakangan memang meresahkan setiap orang.
"Kamu bukan pengecut!!! Kenapa terus meratap!!!" bentak Aries lalu menarik Safir untuk berdiri berhadapan dengannya. Aries menantang Safir berduel satu lawan satu. Ia mau Safir kembali seperti semula.
Tidak jauh dari mereka, ada Razi dan Rafa sedang memperhatikan.
"Mau gue paksa gimana juga kalau liat Safir kayak gini susah untuk benci." gerutu Rafa sendiri, Razi tanpa sadar mengangguk. Safir memang melakukan kesalahan, tetapi melihat tingkahnya akhir-akhir ini siapapun orang tahu Safir sedang menyiksa dirinya sendiri.
Beberapa malam sebelumnya Razi menemukan Safir kembali babak belur karena membuat gaduh di sebuah klub malam. Safir tidak melawan, ia bahkan memancing kemarahan beberapa pihak. Beruntung Razi berada di tempat yang sama. Safir ia seret keluar dari klub.
"Lo tahu Zi, kemarin gue lihat dia juga kayak orang aneh. Dia datang ke gue memohon untuk kembali sama Ruby." Rafa berbicara sambil melihat Safir yang sedang berduel dengan Aries.
"Waktu kemarin pas gue temuin dia lagi nggak sadar, ngeracau panggil nama lo sama Ruby. Gue jadi kasihan sama dia." desah Razi ikut menatap ke arah Safir. Ia bahkan meringis melihat Safir kalah telak oleh Aries.
"Separah itukah dia menyesal?" Rafa ragu untuk melanjutkan aksi marahnya untuk Safir.
"Sialan tuh anak. Dibenci salah, dilirik tapi ngeselin." rasa kecewa untuk Safir memang semakin pudar berganti kasihan. Tanpa diminta Safir sudah menghukum kesalahannya sendiri. Tanpa mereka sadari, Rania sedang berdiri di belakang tubuh mereka.
"Seharusnya Safir itu dirangkul, bukan di jauhi." Razi dan Rafa menoleh ke belakang. Pemandangan paling cantik menjadi cerita baru di tempat latihan. Anggota baru yang mendapat pelatihan khusus langsung dari Aries.
"Tapi kalau ingat sedihnya Ratu aku masih nggak terima sama Safir." Razi masih ingat rintihan ketakutan Ratu dan isakan memanggil nama Safir. Pria bodoh macam apa yang tega meninggalkan Ratu bersama Akbar?
"Yang jahat itu kenapa dia tega mempermainkan Ratu. Di antara kita Ratu paling berbeda dalam urusan cinta." Sambar Rafa. Rania tetap berdiri di belakang dua kakak tersayangnya.
"Semua bukan salah Safir, Ratu juga salah. Lagipula Ratu mengakui, ia memang sakit hati tetapi perasaan malu yang paling menguasai. Kita mungkin melihat dari sudut pandang Ratu. Sekarang lihat! Kalau Safir tidak juga menggunakan perasaan, apa mungkin ia rela terima kesakitan seperti sekarang?" Rafa dan Razi menatap Safir. Wajah pria itu jelas frustasi dan hilang arah.
"Safir juga punya perasaan. Nggak ada yang jahat,hanya salah dalam membalas suatu perasaan." suara lembut Rania terus terngiang di telinga keduanya.
"Tapi dia tetap salah. Dia sendiri mengakui." Razi tetap tak terima.
"Ratu sudah semakin membaik dan mau bangkit, tapi Safir? Lihat dia sekarang!" ucap Rania pelan.
"Aku juga susah benci Safir." desah Rafa.
"Antara ngenekin and ngasihanin. Aneh kan?" Razi juga tak habis pikir. Ia tidak bisa membenci Safir.
"Dan kakak.. Masalah ini nggak ada kaitannya dengan Ruby. Kenapa kakak menjauh?" sebenarnya Rania datang ke tempat latihan memang ingin bertemu Rafa.
"Kakak nggak menghindar, Ruby sendiri yang semakin menjauh. Dia malu.." jawaban jujur dari Rafa. Setelah kejadian Safir, Ruby memang semakin memilih untuk menjauh. Rafa sendiri menyadari satu hal, hubungan mereka memang butuh masa rehat sejenak. Mungkin sekarang saatnya.
"Dasar aneh si kembar." Razi berceloteh. Tak lama kemudian Aries datang sambil merangkul Safir.
"Kalah Fir?" sapa Rania. Safir hanya mengangguk dengan senyuman lelah. Razi melempar handuk kecil untuk Safir. Rafa melempar satu botol air minum.
"Kamu nanti latihannya di ruang khusus!" perintah Aries melirik Rania. Istrinya itu memang resmi menjadi anggota tetapi untuk aneka pelatihan hanya Aries yang langsung turun tangan, jika tidak sempat Rafa yang menggantikan posisinya.
"Hari ini aku libur." ledek Rania. Aries hanya menyipitkan matanya. Rania satu-satunya anggota yang selalu membangkang. Dan berbagai hukuman spesial selalu diberikan Rania.
"Anggota nakal.." suara Raja membuat semua mata menoleh. Raja baru beberapa hari ini pulang dari acara bulan madu terlama. Entah mereka berpetualang kemana. Perubahan warna kulit dan bentuk tubuh sangat jelas terlihat. Wajah-wajah pasangan pengantin bahagia masih terpancar.
"Dari mana lo? Kenapa lama banget! Pengantin basi." sindir Rafa memecah kecanggungan. Berharap Raja tidak mendengar. Razi hanya menatap Raja. Aries sudah berada di samping Rania. Safir duduk tidak menatap Raja.
"Gue abis urus surat-surat kepindahan Ratu. Dia mau belajar di luar negeri." ucap Raja sambil membuka baju. Menyisahkan pakaian dalam berwarna putih. Ia juga sudah menggunakan sepatu olahraganya. "Ratu akan tinggal lama di luar negeri."
Semua yang berada di sana menatap Raja tak percaya. Hanya Safir yang duduk seolah menatap botol minuman itu hal yang paling penting.
"Kenapa mendadak?" tanya Razi.
"Sebenarnya nggak mendadak. Beberapa bulan lalu tawaran beasiswa dan pengisi suara bergengsi sudah dia terima. Tapi entah kenapa Ratu menolak. Dia mau di sini bersama pacarnya..." ucapan Raja membuat Safir sesak nafas. Ia memejamkan matanya. Semua ini salahnya. Ratu pernah bertanya tentang hubungan jarak jauh dan dia menjawab bukan gayanya.
"Waktu itu gue juga curiga. Ratu sedang menjalin hubungan, sampai tawaran impian ia tolak tanpa pikir panjang. Dan sekarang dia mau memulai dari awal. Mama dan papa mendukung selama itu yang terbaik. Gue juga sama, selama dia bahagia gue akan mendukung." Semua mata kecuali Raja melirik sekilas Safir.
"Udah ah gue mau keluarin keringat.." Raja meninggalkan mereka. Ia merenggangkan tangan lalu menuju beberapa alat olahraga.
Meninggalkan keheningan. Safir orang pertama yang berdiri hendak meninggalkan tempat. Seolah tahu tempat yang ingin dihampiri Safir, Aries menghalau lengan Safir. "Mau ngapain?"
Safir menatap Raja di depannya. "Aku mau jujur sama dia." ucap Safir yakin. Razi dan Rafa ikut menghalau kenekatan yang bisa menjadi masalah baru.
"Reaksi Raja bisa lebih parah dibanding kita bego!" bentak Razi seolah sudah jengah dengan isi kepala Safir.
"Jangan tambah masalah Fir." tambah Rafa. Aries melepas halauan di tubuh Safir. Tatapan mata Safir sangat serius. Itu tatapan tak terbantahkan.
"Kalau itu bisa buat kamu lega dan lepas dari rasa bersalah. Hadapi! Jangan jadi pengecut..." Safir mengangguk dan menepis tangan Razi dan Rafa. Safir berjalan ke arah Raja. Pria itu sedang bersiap memukul samsak gantung. Tangannya sudah sangat siap untuk bermain tinju.
"Gila tuh anak." geleng Razi masa bodoh.
"Raja dalam kondisi fit banget itu." masih dibayangkan saja sudah membuat Rafa meringis.
"Biarin dia luapkan rasa kecewa itu. Nanti saatnya dia bangkit, baru kita dekati. Abang hanya mau kalian tetap kompak apapun yang terjadi." Aries dan yang lainnya memperhatikan saat Safir berdiri berhadapan dengan Raja.
Safir sedang berbicara tentang kebodohannya untuk adik tersayang Raja. "Siap-siap Raja murka.." Razi memperhatikan raut wajah Raja yang sudah mulai berubah.
"Brengsek...."
Bugh..
Raja benar-benar marah, inilah reaksi yang ditakutkan Rafa dan Razi. Pria itu sudah menghantam tubuh Safir dengan keras dan emosi memuncak. Beberapa anggota yang juga sedang berada di sana ingin melerai, Aries melarang dengan tangannya. Ini urusan pribadi Raja dan Safir. Mereka hanya ikut meringis membayangkan pukulan demi pukulan yang didapat Safir sukarela tanpa balasan.
"Balas gue brengsek!!!" tantang Raja sambil memukul Safir. Ia lalu berdiri dan menendang Safir dengan kaki. Safir masih terkapar, menikmati kesakitan. Seolah meminta pengampunan. Membayangkan Ratu mengorbankan cita-cita demi dirinya yang begitu sinting mempermainkan perasaan sungguh tidak dapat dimaafkan. Safir menyesal.
Ratu benar, ia harus bertobat.
"Maafin gue Ratu..." lirih Safir sambil memegang perutnya. Ia tak sanggup merasakan sakit.
"Kenapa lo tega sialan!!! Kita kenal dari kecil..." teriak Raja. Melihat Safir diam membuat ia geram. Raja kembali menarik kerah baju Safir. Melihat wajah babak belur Safir.
"Gue nggak pantes buat dia.." jujur Safir.
"Kenapa lo kasih tahu gue?!" bentak Raja. Ia sudah siap mencekik leher Safir yang pasrah. Rafa dan Razi menghampiri. Menarik tubuh Raja. Safir kembali terjatuh. Ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama.
"Lo semua tahu?" tanya Raja geram. Keduanya mengangguk.
"Udahlah Ja, semua udah terjadi dan Safir udah menebus kesalahan." tenang Rafa. Razi juga menepuk pundak Raja. "Semua salah paham." mereka berusaha menenangkan emosi Raja yang masih tetap meluap.
"Minggir..." Raja berbalik dan pergi begitu saja meninggalkan ruangan. Ia sempat berhenti di depan Aries dan Rania. Seolah sadar Raja memberikan alasan ia pergi. "Maaf bang, kalau aku masih di sini mungkin nyawa Safir bisa terancam.." seolah sadar ia belum bisa menahan kemarahanya, lebih baik Raja menghindar.
"Iya nggak apa-apa. Safir memang salah dan tanpa perlu dihukum dia sudah menghukum dirinya sendiri. Rafa dan Razi sudah bertindak sebelum kamu." Raja melirik sekilas Safir. Ia sedang dipapah oleh Razi. Mengenaskan, itulah yang ia lihat dari Safir.
"Mereka berdua bersalah. Ratu yang meminta hubungan mereka rahasia. Sebaiknya tutup masalah ini Ja. Nggak perlu ditanya lagi sama Ratu." Rania memegang lengan Raja.
"Iya..." jawab Raja seadanya lalu pergi dengan cepat. Ia juga sedang menahan gejolak emosi.
"Hubungi Rima. Jelaskan reaksi Raja. Rima pasti tahu cara membuat emosi Raja reda." Rania mengangguk dan menuruti perintah suaminya. Ia pergi mengambil ponsel yang diletakkan di ruangan pribadi Aries.
"Dasar bego lo ah. Nyusahin..." Safir tertawa pelan dalam pegangan Razi. Mulai sekarang ia harus berubah. Ia akan menjadi manusia baik-baik. Bertaubat seperti perintah Ratu. Safir berjanji.
***
Di depan halaman sekolah Raga dan Raka.
Zi, gue jemput sikembar. Tenang aja gue anter sampai rumah dengan selamat.
Safir menatap ponsel di tangan. Ia duduk di depan mobil sedan miliknya. Menunggu dua perusuh cilik yang akhir-akhir ini menemani jiwa barunya.
Ini sudah seminggu semenjak kepergian Ratu dari tanah air. Entah kemana Ratu pergi, Safir enggan bertanya dan merasa tidak berhak tahu. Anggota keluarga yang lain pun seolah mengerti untuk tidak membahas Ratu di depan Safir. Diam demi kebaikan bersama.
Semenjak kejadian bersama Raja di area latihan Safir benar-benar menjauh. Ia berhenti menjadi penyiar radio. Ia malas mengeluarkan kemampuan bersuara. Seolah tak mampu berbagi kisah. Safir menjadi pendiam. Safir memilih fokus untuk menyelesaikan kuliah lalu terjun ke dunia property yang dijalankan sang papa. Tidak ada kata bermain-main bagi Safir.
Razi : oke.. Mereka pasti minta anter lo ke game station. Jangan sampai sore. Main di rumah aja.
"Kak Bird... " teriakan Raga sudah sangat jelas dikenal Safir. "Asyik dijemput Kak Bird.. Jadi bisa main balap mobil dulu..." Raka menimpali. Safir berdiri menyambut dua orang menyebalkan sekaligus menyenangkan.
Perusuh cilik.
"Kita makan dulu baru main..." tanpa di suruh mereka memeluk Safir. Mereka juga menyayangi kakak Safir yang sekarang sangat perhatian dengannya.
"Aku di depan." teriak Raka. Ia berusaha masuk di bagian depan mobil. "Ah aku juga mau." mereka mulai berebut posisi.
Safir tertawa ringan, seandainya ada Ratu, posisi di depan adalah miliknya dan dengan riang mereka masuk ke dalam mobil dengan suara bising yang tak akan berhenti sampai Ratu memberikan ultimatum.
Safir merindukan itu.
"Nanti pulangnya gantian aku yang di depan." Raga akhirnya mengalah dengan rayuan Raka. Safir kembali terkikik, karena pada akhirnya Raka yang selalu menguasai. Raga pribadi mengalah.
"Kalau ada Kak Ratu kamu juga duduk di belakang." gerutu Raga lalu masuk ke dalam mobil bagian tengah. Safir hanya mendengarkan dalam diam.
Berpisah sementara atau selamanya sekarang sudah terlambat, sekarang ia mau hidup lebih baik sendiri dan tanpa Ratu.
"Kak Razi lagi sibuk jadi koki." adu Raka saat Safir menjalankan mobil.
"Kak Bird tahu, mommy dan youngma dibuat pusing karena dapur berantakan. Kak Razi lagi belajar masak." Raka berbicara layaknya teman. Raga duduk di tengah dan ikut mengangguk. Mereka bergosip dan berceloteh perihal kelakuan sang kakak.
"Katanya Kak Razi sekarang mau jadi koki handal." Safir hanya bisa terkekeh. Benar yang Razi bilang.
Jangan pernah sia-siakan waktu. Tersenyumlah sebelum senyum itu sulit didapat.
"Kak besok kan libur, nanti nginap di rumah lagi yah. Tanding sama kita and Kak Razi..." ajak Raka antusias.
"Siap.. Kumpulkan kekuatan. Kalian pasti kalah sama kakak..." ucap Safir mengejek. Senyum terukir ringan. Ia harus bisa bangkit. Karena ia sudah bertaubat dan akan seperti ini selamanya.
Selamat berbahagia Ratu.
But if you love me, why'd you leave me? Take my body... All i want is.. And all i need is.. To find somebody.. I''ll find somebody..
TBC...
Jumat, 05 Agustus 2016
-mounalizza-
Mari kita ruwet bersama-sama.
Mulmed akhir itu Kodaline -All I want. Entah kenapa pas lihat video terlebih liriknya aku ngerasa sedih. Seolah pecundang yang ga berhak hidup bahagia.. Itulah penggambaran Safir saat ini... Hahaha kejaaam..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top