38 - SAKITNYA BERPISAH
Aku pernah bilang sama beberapa readers setiap aku nulis cerita ttg Ratu dan Safir selalu dengerin lagu ini. Yup.. Judika -Aku yang tersakiti.. So inilah klimaks kisah mereka. Jangan protes dengan kisahnya, emang begini dr awal dibayanganku.. 😅😜
***
"Aku sudah berhasil mencintaimu.."
"Maaf, aku mau kita putus."
Keduanya terdiam. Mereka baru saja mengutarakan isi hati masing-masing. Suara hati terdalam dimana kejujuran sangat kental terasa, terdalam sakitnya pula bagi mereka setelah mendengar kenyataan bertentangan itu. Cinta dan putus..
Namun... Benarkah itu kejujuran dari hati?
Mereka saling menatap, tak percaya jika bersamaan saling mengucap. Dua isi hati yang bersebrangan. Ratu bergerak gelisah. Sepertinya ia baru saja mendengar suatu kebohongan. Ratu sadar itu. Begitu juga dengan Safir. Ratu sedang melantur.
"Kenapa kamu mau putus Ratu?" ucap Safir serak, tak percaya akan permintaan gadis di sampingnya. Ratu meminta putus hubungan? Dengan mata penuh kasih sayang itu? Mustahil.
"Kenapa kamu bilang mencintaiku?" tanya Ratu tanpa perlu menjawab pertanyaan untuknya. Keduanya terus menatap dan bersamaan pula saling memalingkan wajah. Duduk bersandar kembali di kursi masing-masing, memejamkan mata sambil mengatur nafas. Tak menduga akan bersamaan bersuara. Berbeda pula maksud pernyataannya.
"Kenapa kamu minta putus Ratu?" sekali lagi Safir bertanya. Ia masih setia memejamkan mata. Tangannya memegang kemudi. Mencengkram dengan kuat.
"Aku hanya sedang membaca isi hati kamu Safir..." Ratu menunduk sambil menautkan jarinya. "Aku sadar sepertinya cintaku bertepuk sebelah tangan." walau berat Ratu tetap menyelesaikan kata-kata nelangsa itu. "Benar bukan?" tanya Ratu. Secara bersamaan itu berarti Ratu mengakui sudah mulai mencintai Safir dan tidak mendapat balasan.
Miris sekali nasib Ratu.
Safir menghela nafas lalu mengangguk, walaupun Ratu tidak melihat bahasa tubuh Safir. "Ya.. Dan akupun melakukan hal yang sama.." Safir duduk tegak. Ia melirik Ratu, dengan tenang ia menggengam tangan dingin Ratu. "Jangan mencintaiku Ratu. Aku ini pria brengsek."
Ratu menoleh ke arah Safir. Pria itu terlihat sama tegangnya. "Jadi benarkan?" lirih Ratu ingin meyakinkan. Semula ia memang nekat berkata itu, tatapan mata Safir seolah berbicara ingin menyudahi hubungan.
"Maaf Rainha..." Ratu berusaha menarik tangannya dari genggaman Safir. Namun sulit sekali. Safir benar-benar kuat menggengan tangan Ratu. Ia mau menyerah hawa dingin Ratu. Ia mau malam ini selesai dengan baik-baik.
"Semua ini karena aku kecewa dengan kamu. Kamu menolak perjodohan kita..." ucap Safir akhirnya.
Ratu terdiam, mencari sudut kebohongan dari suara Safir, namun ia merasa ini dari hati Safir terdalam. Ini tidak direkayasa.
"Ki-kita masih muda. Maaf saat itu aku langsung menolak tanpa mau mencoba.." suara Ratu bergetar. Ia tidak menduga penolakan rencana perjodohan sudah diketahui Safir. Bukankah sang mama belum memberikan lampu hijau untuk keluarga lain tahu?
"Kamu pasti bingung kenapa aku bisa tahu perjodohan ini? Aku tidak sengaja mendengarnya Ratu. Maaf.." seolah sadar Ratu diam dengan pikirannya.
"Aku tak siap mendengar penolakan kamu Ratu. Lebih tepatnya tidak terima." Safir menatap wajah Ratu serius. Ia harus memberitahu yang sebenarnya, jika semua ini harus diselesaikan, jiwa kekanakan Safir harus disudahi. Ratu tidak pantas menerima ini semua. Dan dengan senang hati ia mengakui sifat negatifnya.
"Lalu aku mencoba ingin mendekati kamu. Jika sudah berhasil keadaan berbalik, aku mau menolak sama seperti kamu waktu itu." Ratu menggeleng berharap Safir tidak memberitahukan niat terselubungnya. Ia tidak butuh kejujuran Safir jika tahu ternyata ini karena niat balas dendan
"Dan inilah waktunya kamu menolak aku bukan?" tanya Ratu, Safir menggeleng. "Aku tidak akan melanjutkan permainan ini lagi."
"Maksud kamu?"
"Aku mau berdamai dengan keadaan sebelum kita semakin jauh bermain dengan perasaan." Ratu tidak mengerti penjelasan Safir. Perasaan?
Ia sudah jatuh cinta. Perasaannya sudah pasti terbawa. Tidak mengertikah Safir? Ia sudah patah hati sebelum semua terjadi. Bahkan tidak pantas dikatakan patah hati. Ini cinta bertepuk sebelah tangan. Terlambat untuk berhenti karena korban sudah didapat.
"Cukup sampai di sini kamu mencoba mencintai aku. Pria di hadapanmu ini tidak lebih dari pria brengsek. Bahkan memasuki level sialan di atas Razi." Ratu menepis tangan Safir yang ingin mengusap air mata yang tak sengaja jatuh dari mata Ratu. Bahkan kacamata andalan Ratu tidak mampu menutupi kesedihan Ratu. Ia benci kondisinya saat ini.
Inilah resiko bermain hati. Ratu sejak dulu malas bermain hati karena ia tahu akan melewati fase ini. Dan kali ini ia lalai dalam membentengi hati. Sebenarnya ia hanya ingin mencicipi masa muda dengan manisnya cinta.
"Kamu sudah mulai mencintaiku?" pertanyaan bodoh Safir terdengar mengejek di telinga Ratu. Dan Ratu dengan bodohnya mengangguk. Tetesan air mata Ratu jatuh di tangan. Isakan terdengar miris. Safir meringis sendiri. Ia sudah berhasil menyakiti Ratu.
Dendam itu sama saja menyakiti diri sendiri. Tidak ada yang menang, melainkan hancur bersama-sama.
"Maaf Ratu, Rainha.." Ratu menepis tangan Safir. Ia menelan ludahnya sambil kembali memejamkan mata. Mengumpulkan ketenangan yang selalu mampu menjadi benteng pertahanan Ratu selama ini.
Ini bisa dilalui. Ratu pasti bisa. Cinta hanya permainan hati. Permainan hidup lebih penting. Rasa sakit ini hanya sesaat, pasti bisa diobati kecewa ini.
Begini rasanya patah hati. Ratu tertawa mengejek di dalam hati. Ternyata dia termasuk salah satu korban cinta sepihak.
"Nggak apa-apa. Aku saja yang terlalu melankolis. Mungkin karena aku belum pernah merasakan moment seperti ini sebelumnya, jadi terkesan sakit banget yah? Tapi nggak apa-apa aku hargai kejujuran kamu. Aku harap kita jangan berubah di depan keluarga yah?" Safir semakin meringis. Ingin rasanya ia memeluk Ratu. Tetapi rasa tak pantas semakin mengisi jalan pikirannya. Sama saja ia mempermainkan Ratu.
"Aku sayang kamu Ratu. Karena itu jauhi aku dulu." Ratu memalingkan wajah. Jangan mengasihaninya, jelas-jelas ini penolakan halus. Ia cukup sadar diri. Safir tidak mencintainya, berbeda dengan dirinya. Ia benar-benar mencintai Safir dengan segala keunikan yang pria itu punya. Ini bukan rasa penasaran. Safir kisah cinta pertamanya. Sadarkah Safir ia belum pernah jatuh cinta?
"Kita keluar yuk.." Ratu membuka pintu mobil dan setengah berlari ke tengah lapangan sepi. Hujan rintik-rintik membuat suasana dingin semakin ia rasakan sama seperti hatinya yang mulai demam. Safir mengikuti Ratu dari belakang hingga mereka duduk di sebuah gazebo. Mereka berteduh di sana.
"Maafkan aku sekali lagi Ratu." Ratu tertawa tanpa suara.
Minta maaf? Untuk apa? Karena telah menolak perjodohan? Harusnya ia yang minta maaf. Karena pemikiran labilnya ia membentuk jiwa Safir yang sekarang. Jiwa sakit hati.
"Kalau saat itu aku mau menerima rencana perjodohan, apakah kamu akan menerima?" dengan harap-harap cemas Ratu bertanya. Safir tersenyum dan mengangguk.
"Mama kamu bertanya dengan kamu itu sudah pasti setelah ada persetujuan dari pihak aku. Lebih tepatnya setelah mama bertanya dengan ku dan aku secara sadar menyetujuinya." Ratu tak percaya. Mungkinkah ini karma karena menyepelekan niat baik keluarga? Tetapi kenapa tidak berakhir bahagia? Terlanjur sakit menerima kenyataan. Bukan seperti ini seharusnya.
"Sialnya aku mendengar penolakan kamu. Entah kenapa aku kesal dan merasa tak terima. Dan jiwa kekanakan seorang Safir menguasai. Aku mau kamu juga merasakan rasanya ditolak." ucap Safir lugas.
Kejujuran yang menyakitkan.
"Cukup..." Ratu sudah mengerti arah perkataan Safir. Ia tidak mau mendengar kronologi kebodohan demi kebodohan yang sudah ia lakukan kemarin. Ditarik ulur dan dengan sukarela menyerahkan hatinya untuk Safir. Bertahan dan berusaha mengerti Safir. Itu semua karena ia merasa cinta untuk Safir sudah tumbuh. Bukankah cinta butuh pengorbanan? Semula ia berfikir bisa kembali memulai rencana perjodohan. Bersama merintis cita-cita. Dan sepertinya sekarang hanya angan ia sepihak. Safir jelas tidak sejalan dengannya. Pria di sampingnya justru sekarang yang tidak mau rencana perjodohan.
"Tinggalkan aku sendiri di sini." Ratu memalingkan wajah. Ia ingin berteriak. Ini memalukan.
Baiklah, sampai di sini kisah diam-diam mereka. Esok jika bertemu, bertingkahlah seperti biasa. Masalah selesai. Dua keluarga tetap harmonis. Kuburlah rasa cinta ini dalam-dalam. Jangan berlebihan Ratu!
"Izinkah aku menemani kamu Ratu." ucapan Safir ditertawakan Ratu.
"Supaya dendam kamu terlihat sempurna, akan lebih seru sekarang ucapkan kata putus. Toh peristiwa yang kamu harapkan sedang berlangsung.." sindir Ratu. Matanya kembali berkaca-kaca. "Cepat katakan!!! Lalu pergi." emosi Ratu mulai keluar.
"Maafkan aku Ratu.. Aku hanya bisa jujur tentang niat sebelumnya dan sekarang aku berusaha menghormati kamu." Safir tetap tak perduli dengan pengusiran Ratu, Safir bersimpuh di depan Ratu. Menggenggam tangan Ratu. Kepalanya mendongak ke arah Ratu. Ia merasa bersalah.
"Awalnya aku penasaran sama kamu. Kita pernah khilaf bersama Ratu.." Safir kembali ingin menjelaskan aneka kronologi mereka sampai pada titik hubungan. Awal mereka ingin dekat memang timbul dari rasa penasaran. Penasaran akan gairah mungkin. Ratu malu sendiri mengingatnya.
"Cukup! Aku tidak mau dengar.." Ratu ingin berdiri tetapi Safir menahan posisi itu.
"Dan saat mama menawarkan rencana baik itu aku setuju. Karena itu aku mulai mengikis rasa penasaran. Aku bahkan takut menyentuh kamu. Karena hatiku berkata kamu berharga." Ratu tertawa mendengarnya.
Omong kosong, semua sudah terlambat bukan? Safir terlanjur sakit hati dan terjadilah permainan hati untuknya. Selamat, Safir menang walaupun ia menolak diberikan piala. Sayangnya keputusan juri sudah ditentukan. Safir tetap menjadi juara.
Ratu sakit hati. Itu hasil akhir yang diinginkan Safir. Permainan selesai dan bonus hadiah cinta Ratu tidak perlu diberikan. Safir tidak menyukai hadiah tambahan.
Benarkah Safir tidak mau? Ratu yakin akan jawaban hatinya jika Safir tidak punya rasa cinta untuknya.
"Saat itu, saat kamu setuju apa kamu punya rasa dengan aku?" kebodohan Ratu semakin menjadi. Rasa penasaran memang masih hinggap di kepala. Semua perasaan bercampur menjadi satu. Persetan dengan rasa malu. Ia sudah terlanjur mempermalukan diri.
"Saat itu aku mau belajar mencintai kamu." Dan lagi-lagi Ratu kembali tertawa. Ia yang bertanya, ia pula yang tak menduga jawaban Safir. Mendengar kenyataan itu seolah pertanda jika ia wajib menyesali kebodohan sepihaknya saat itu. Menolak Safir. Itu kesalahan diawal.
Tapi, apa harus seperti ini balasan yang ia terima? Sebagian orang mungkin menganggap Ratu berlebihan tetapi hati ini sungguh sakit.
"Tapi sayangnya karena kebodohanku rasa itu semakin pudar bukan?" Safir diam. Jika tatapan kecewa seperti ini pada akhirnya yang Ratu perlihatkan, sungguh lebih baik ia tidak mengenal Ratu. Wajah cantik Ratu tidak pantas memasang ekpresi miris.
Menyesal pasti datang belakangan.
"Selamanya kita tetap bersaudara." Ratu tetap menggeleng mendengar ucapan Safir. Munafik jika ia mengangguk.
Setelah semua ini bisakah ia berdekatan dengan Safir? Bahkan satu ruangan saja ia belum siap. Seperti yang Safir bilang, menjauh untuk beberapa saat mungkin solusi. Ratu akan mengikuti saran Safir. Menjauh..
"Aku mau sendiri sekarang..." Safir sadar memaksa Ratu sekarang adalah kebodohan paling jahat. Jelas wanita itu butuh sendiri.
"Sekali lagi, maafkan aku. Semua ini karena kesalahanku. Jiwa egoisku dan harga diri yang aku agungkan. Kamu tidak salah, kamu punya hak untuk menolak saat itu. Maafkan aku." Ratu mengangguk, ia terus menunduk. Tak sanggup bersuara. Cukup untuk kali ini. Ia sedang tidak berminat menatap atau mendengar seorang Safir. "Pergi.."
Safir mundur dari hadapan Ratu. Ia berjalan pelan sambil menoleh Ratu. Amankah Ratu ditinggal sendiri di taman itu?
Ratu diam sambil menautkan jari dinginnya. Jadi semua sudah selesai? Aneka pertimbangan untuk masa depan Ratu sia-sia? Ratu menggeleng, semua harus bisa diobati dengan hal yang bermamfaat.
Mungkin masalah cinta bisa dilenyapkan dengan pengalihan lainnya? Secara sadar ia mencari ponsel dari tas yang ia bawa. Dengan buru-buru ia ingin menghubungi seseorang. Nafasnya masih tersendat, kondisi sendiripun ia berusaha menahan tangis.
"Hallo.. Kak tawaran yang kemarin masih bisa aku ambil?" tanpa basa-basi Ratu berbicara. Ia menelan ludahnya saat mendengar suara di seberang sana.
"Maaf Ratu, pengisi suara sudah di dapat dan mengenai beasiswa saat kamu menolak kandidat yang lain langsung menerima. Kalau kamu mau bisa dengan jalur lain. Tapi mungkin tahun depan."
Ratu memejamkan mata, ini hari tersial dalam hidupnya. Jadikan ini sebagai pengalaman. Ratu mengangguk dan tanpa mendengar suara teman di seberang sana ia mematikan ponsel.
Sejenak ia menunduk menatap ponselnya. Gantungan angry bird masih setia menempel di ujung ponselnya. Ini memang pemberian si kembar tetapi Safir juga punya, haruskah dilepas? Tidak, Ratu bukan pribadi seperti itu.
Ratu kembali menyalakan ponsel, mungkin menghapus aneka sosial media milik Safir bisa membuat ia tenang. Ya, layaknya cerita mantan kekasih. Hapus semua kenangan dari sosial media. Tetapi memangnya mereka mengumbar status melalui media sosial? Ini hubungan rahasia.
Beberapa akun media sosial Safir berhasil ia hapus dari pertemanan dan satu akun milik Safir semakin membuat ia tak kuasa menahan tangis. Ratu memang jarang memeriksa akun media sosial, kenapa ia begitu bodoh tidak melihat aktivitas kekasihnya dari akun media sosial.
"Bodoh kamu Ratu." ucapnya sendiri tertawa miris menatap layar ponsel. Sebuah foto menandai keberadaan Safir dengan seorang wanita terpampang jelas di sana. Itu foto Safir sedang menikmati makan malam di sebuah kafe tenda malam. Kisaran kejadian beberapa waktu yang lalu. Album foto itu bertuliskan kencan indah.
"Hiks.."
Cukup! Ia wanita yang diperbolehkan mengeluarkan tangis bukan? Menatap foto itu sungguh membuat hati perih, merasa dikhianati dan diselingkuhi.
Safir benar, dia memang brengsek ulung.
Safir benar, dia tidak pantas untuk Ratu. Tetapi Ratu mencintainya. Siapa yang bisa mengatur perasaan berlabuh kemana?
"Sabar Ratu.. Ini pengalaman cinta pertama kamu. Masih ada lagi cinta terakhir.. Waktu masih bergulir." ucap Ratu sambil melenyapkan semua akun media sosial Safir dari pertemanan. Bahkan nomor ponsel Safir ia enggan menyimpannya.
"Semangatt..." ucapnya sambil meneteskan air mata.
Di dalam mobil Safir terus menatap Ratu duduk di kejauhan.
"Menang?" tanya Safir pada diri sendiri. Tentu tidak, ia menyesal. Permainan ini juga menyakitkan bagi dirinya. Ratu benar mencintainya. Ia memang berharap Ratu terpesona, bukan serta merta cinta untuknya. Sekarang sudah terlanjur.
Tapi, apakah ia juga mencintai Ratu? Safir mengacak rambutnya sendiri. Ia merasa tidak pantas, Ratu tidak pantas membalas cintanya.
Lama ia menatap Ratu yang masih betah duduk tanpa mau berlalu, hanya gerakan pelan sambil tertunduk yang Ratu lakukan. Safir hanya melihat Ratu sedang memainkan ponselnya. Ia akan memberikan waktu bagi Ratu.
"Hallo.." Safir menghubungi seseorang dengan ponselnya. Tatapannya tetap pada satu titik di kejauhan, Ratu.
"Zi, tolong jemput Ratu. Gue mundur dan janji gue sama lo, Ratu nggak akan dapat gangguan dari gue. Gue kirim share location. Sekarang Zi.." belum sempat Razi bersuara, Safir sudah mematikan ponselnya. Bersiap meninggalkan taman dan segala kenangan manis milik Ratu.
Untuk sementara ini Safir memaklumi jika Ratu ingin menjauh dengannya. Wajar dan sangat manusiawi. Dia baru saja menjadi pria brengsek untuk seorang lugu seperti Ratu. Dan secara sadar ia mengakui, ia tidak pantas untuk Ratu.
"Bye Rainha..."
***
Di taman dekat rumah Ruby dan Safir.
"Fir.. Kamu kenapa?" tanya Ruby yang baru saja keluar dari mobil Rafa. Berhambur mendekati saudara kembarnya. Rafa memang sedang mengantarkan Ruby pulang setelah menemani pengantin baru berangkat bulan madu.
Sekilas mereka melihat mobil Safir di dekat taman. Safir sedang duduk di halaman taman. Malam sudah semakin gelap dan rintik hujan masih saja setia menemani bumi. Tatapan mata Safir menerawang dalam keheningan. Ruby tahu saudara kembarnya tidak dalam keadaan baik-baik saja.
"Fir.." Ruby memegang pipi dingin Safir. Lampu yang tidak terlalu terang tak menyulitkan Ruby untuk sadar jika Safir berwajah pucat.
"Fir lo kenapa?" Rafa berdiri di bekakang Ruby. Safir tetap diam.
"Kamu kenapa? Ayo pulang, kamu bisa meriang kalau kena rintik hujan terus.." Ruby menarik Safir berdiri. Saudaranya itu mau tak mau menuruti permintaan Ruby.
"Aku bawa mobil Safir saja Raf.. Terimakasih yah." ucap Ruby pelan. Rafa mengangguk faham. Safir berdiri tepat di depan Rafa. Safir ingin bersuara kepada Rafa.
Drt.. Drt..
Suara ponsel Rafa memotong niat Safir.
"Tunggu, Razi telephone..." Rafa mengangkat panggilan itu. Safir memejamkan mata. Sebentar lagi pasti Rafa akan murka dengannya. Ia siap jika pukulan dilayangkan untuknya. Ia pantas mendapatkannya.
"Apa?" Rafa terlihat panik menatap Safir. Inilah saatnya, batin Safir pasrah.
"Oke gue ke sana." ucap Rafa. Safir tetap berdiri di depannya. Satu pukulan sudah siap ia terima.
"Ada apa?" tanya Ruby di samping Safir. Baiklah, sekarang saatnya pukulan itu ia terima, Safir memejamkan mata.
"Fir.." bukan pukulan tetapi cengkraman tangan kuat ia terima dari Rafa. Raut wajah Rafa sungguh panik.
"Razi bilang, Ratu hampir diperkosa Akbar..." pemberitaan di luar pemikiran Safir.
Bagai tersambar petir, segenap tulang yang melekat di tubuh Safir terasa rapuh dan menunggu kehancuran. Seperti luruh menjadi pasir
"Apa? Akbar yang pernah dekat sama Rima?" tanya Ruby ikut panik. Rafa mengangguk.
"Dia punya dendam sama Raja.." Rafa bersiap pergi. "Ayo aku mau susul mereka..."
"Aku ikut Raf.." Ruby memegang tangan Rafa. Sementara Safir masih diam tak berdaya. Apa lagi ini?
"Fir lo mau ikut nggak?" lamunan Safir terhempas. Kenyataan sekarang harus ia utamakan. Keadaan Ratu.
"Ratu di bawa ke apartement Abang Aries. Ayo...!" Safir mengangguk dan ikut berjalan. Ruby kembali mendekati Safir. "Biar aku yang bawa mobil kamu, kondisi kamu kayaknya mau sakit.." Safir hanya mengangguk lalu memberikan kunci mobil kepada Ruby.
Mobil Safir dan Rafa beriringan menuju apartment Aries. Sepanjang perjalanan Safir hanya diam bagai patung. Ruby sesekali melirik Safir, ia menduga Safir memang sedang sakit. Iapun membiarkan Safir diam bersama lamunannya.
Setibanya di tempat parkir apartment, Razi menyambut di halaman sepi itu. Hanya mobil-mobil tak berpenghuni menjadi saksi berdirinya Razi dengan wajah murka. Safir bisa menebak kemarahan itu untuk siapa. Bukan hanya untuk Akbar.
Rafa mendekat. "Ratu gimana keadaannya?" tanyanya khawatir. Tatapan Razi tertuju pada Safir di belakang Rafa. Ruby berada di sampingnya.
"Di atas, sedang diobati Rania. Abang Aries yang urus Akbar ke pihak yang berwajib." ucap Razi dengan nada tegas. Pelan tetapi dapat terasa aura kemarahan. Matanya tertuju pada Safir.
"Luka? Ratu diapain aja sama Akbar sialan?" tanya Rafa yang juga mulai tersulut emosi.
"Pas gue datang, Ratu sedang diseret Akbar naik ke mobilnya. Gue ikutin mobilnya sambil hubungi Abang Aries." Razi menjawab terus menatap Safir. Ruby meringis mendengar sekilas, ia berjalan meninggalkan yang lain. Ia ingin melihat Ratu di atas. Belum sempat Ruby meninggalkan halaman itu, tiba-tiba suara pukulan terdengar di belakang.
Bugh.. Safir terjatuh karena pukulan kencang di perutnya. Ia tidak melawan, Safir pasrah. Ini salahnya, seandainya ia menunggu sampai Razi datang. Mungkin kedatangan Akbar bisa ia prediksi. Dan Ratu tidak menjadi korban.
"Brengsek lo Fir!!! Kenapa lo tinggalin Ratu di taman sepi begitu? Gue bilang tunggu sampai gue datang." teriak Razi yang sudah berada di atas tubuh Safir sambil memukul Safir terus menerus.
Bugh.. Kali ini wajah Safir menjadi sasaran pukulan Razi. Safir menikmati kesakitan itu. Darah segar keluar dari indera penciuman miliknya.
"Zi lo kenapa?" tanya Rafa bingung. Ia sulit memisahkan Razi di atas Safir. Tenaga Razi entah datang darimana. Ruby mendekati mereka. "Razi jangan!!!" teriak Ruby.
"Gue udah bilang, jangan sakiti Ratu. Dia itu polos.. Kenapa lo buat dia patah hati sialan!!!" Razi berteriak sambil terus memukul. "Bangsat lo Fir.. Dia sakit hati karena penolakan lo..." Razi terus berteriak marah.
"Rafa tolongin.." pinta Ruby. Rafa menarik paksa Razi dari atas tubuh Safir. Mereka berdua terpental. Ruby mendekati Safir. "Safirrrr..."
"Lo kenapa Zi?" Rafa penasaran dengan situasi yang terjadi. Ia memeluk Razi yang masih dikuasai amarah.
"Si brengsek itu mainin Ratu yang polos. Dia yang tinggalin Ratu sendirian di taman dan akhirnya Ratu ketemu Akbar." Rafa menatap bergantian Razi dan Safir. Pria itu sedang dibantu duduk oleh Ruby.
"Iya gue salah, awalnya gue sengaja mainin Ratu karena dia menolak rencana perjodohan, tapi gue nggak menduga Ratu terbawa perasaan.." ucapan jujur Safir membuat Razi semakin geram. Ia berusaha menerjang Safir. Rafa menahan sekuat tenaga.
"Bangsat lo!!! Terbawa perasan?!" Razi ingin sekali menghabisi wajah Safir.
"Dia rela korbanin cita-citanya demi lo sialan!!!" teriak Razi tak tahan. "Lo cinta pertama dia brengsek!!! Dia belum pernah jatuh cinta, dia adik gue yang paling polos. Sadar nggak sih lo!!!" teriak Razi kesal.
Bugh..
Sekarang Rafa yang tak bisa menahan emosinya. Tanpa perduli Ruby berteriak, ia memukul bertubi-tubi Safir tanpa perlawanan yang berarti.
"Rafa jangan..." pinta Ruby panik. Safir sudah habis babak belur mendapat sentuhan ala Rafa dan Razi.
"Aku pantas By.." lirih Safir di bawah Rafa. Mulutnya sudah mengeluarkan darah. Ruby menggeleng, dengan nekat ia berhambur di tubuh Safir. Rafa diam sesaat ketika wajah memelas Ruby meminta permohonan untuk berhenti.
"Aku mohon jangan!!!" pinta Ruby sambil terisak. Ia pilu melihat kondisi babak beluk Safir. Batinnya ikut sakit.
"Raf udahlah.." Razi ikut duduk di samping mereka. Razi sadar, Safir mengakui kebodohan paling fatalnya kali ini.
"Ratu beda sama yang lain. Dia nggak pernah jatuh cinta. Dan mengetahui lo cinta pertamanya yang ternyata rekayasa lo..." Rafa tidak sanggup melanjutkan. Ia masih ada di atas Safir dengan pemandangan Ruby sedih di hadapannnya. Dilema untuk memilih.
"Gue salah, gue minta maaf. Pukul gue sepuasnya.." lirih Safir yang sudah memejamkan mata, sesekali ia terbatuk dengan ringisan tak tahan. Memar yang sudah membiru ditambah membengkak menjadi pemandangan Safir saat ini, babak belur.
"Kenapa lo tolak Ratu disaat dia udah cinta sama lo?" tanya Razi sambil menarik Rafa dari atas Safir. Perlahan Rafa duduk di sampingnya, Ruby membantu mencari posisi duduk untuk Safir.
"Gue nggak pantas menerima cinta Ratu."
Bugh.
Rafa kembali memukul perut Safir. Kesakitan kembali diterima Safir. "Itu sama aja lo buat dia patah hati brengsek.." Rafa kembali diam karena tatapan Ruby memohon.
"Aku mohon jangan pukul Safir lagi.. Dia sudah mengaku salah." mohon Ruby berkaca-kaca.
"Kita kenal dari kecil Fir, tega banget lo mainin Ratu." Rafa tak percaya Safir berniat jahat.
"Gue ngaku salah, By aku pantas terima ini.." Safir berusaha menenangkan Ruby di sampingnya.
"Ratu gadis baik-baik dan gue pria brengsek. Gue sadar itu." ucapan Safir terbata. Seluruh tubuhnya sakit. Rafa dan Razi saling menatap, pukulan untuk Safir dirasa sudah cukup.
"Maaf mas-mas ada apa yah di sini?" pihak penjaga keamaan apartment tiba-tiba datang, ia mendengar suara ribut di waktu malam. Sudah tugas mereka mencari tahu.
"Ada apa ini?" tanya bapak-bapak itu sekali lagi. Mereka yang sedang duduk dengan berbagai kondisi dan emosi itu malas menjelaskan. Kemarahan dan kekecewaan sedang mereka rasakan, tidak ada waktu untuk menjelaskan dengan orang asing.
"Biar saya yang urus pak. Mereka teman-teman saya yang sedang latihan bela diri. Maaf tidak lihat tempat.." Aries berdiri sedikit membungkuk di depan bapak penjaga.
"Wah jadi mas Aries kenal, tolong jangan latihan di sini. Takutnya orang salah persepsi." Aries mengajak pihak penjaga itu menjauh. Ruby membantu Safir berdiri. Rafa dan Razi juga ikut berdiri.
"Ayo kita ke rumah sakit." ajak Ruby.
"Aku mau lihat Ratu.." ucap Safir pelan menahan sakit. Lebih mirip permohanan.
"No..." ucap Razi dan Rafa bersamaan.
"Gue mau minta maaf sekali lagi." Safir benar-benar meringis, ia tak sanggup banyak berkata-kata. Sekujur tubuhnya terasa sakit tak berdaya.
"Jangan sekarang!!!" ucap Razi. "Lebih baik lo obatin diri lo sendiri.."
"Razi benar sebaiknya kamu obati luka." Aries sudah berdiri di antara mereka. Pihak keamanan sudah diselesaikan. Dan sekarang ia ingin menyelesaikan uruaan Safir dan Ratu.
Aries juga menatap Safir kecewa, saat perjalanan pulang Rania sudah memberi kabar sekilas perihal kisah Ratu dan Safir. Tentang permainan Safir untuk Ratu.
"Sebaiknya jangan sekarang. Ruby bawa Safir ke rumah sakit saja. Abang akan bilang sama papa dan mama kalau kita mendadak liburan." ide Aries agar para orangtua tidak khawatir, mengingat kondisi Safir yang bisa dibilang babak belur.
"Iya bang.." jawab Ruby berusaha memapah beban tubuh Safir. Rafa melihat namun ia enggan menolong. Tidak munafik ia masih kesal dengan Safir.
"Maaf By aku mau lihat Ratu di atas. Nanti setelah ini aku menyusul ke rumah sakit yah?" pamit Rafa, pada akhirnya ia hanya mengangguk. Sebenarnya Ruby merasa malu dengan kondisi ini. Ruby sadar saudaranya berbuat salah. Dan Rafa berhak kecewa. Ia juga tidak meminta Rafa ikut dengannya.
Ruby ingin menangis saat Rafa berlalu begitu saja. "Aku ke atas dulu bang." Rafa pun pergi secepat kilat meninggalkan semua.
"Fir, jangan pernah lagi kamu punya ide bermain seperti itu. Kamu mempertaruhkan keharmonisan keluarga." Aries mendekati Safir. "Iya bang, maaf."
Bugh.
Pukulan cukup kencang Aries berikan di lengan Safir. "Kamu kuat.." ada sedikit senyuman di wajah Aries. Mungkin itu hukuman juga buat Safir.
"Akbar bagaimana?" tanya Safir penasaran. "Sudah aman di tempat seharusnya. Rupanya dia mengikuti kalian dari tempat acara. Dia hanya ingin membalaskan dendam kepada Raja. Sialnya Ratu menjadi santapan." Safir berjanji, setelah ia kuat, tangannya sendiri yang akan membalas Akbar.
"Sebaiknya obati lukamu sekarang, abang akan menyusul setelah melihat ke atas. Aktifkan terus ponsel kamu By." Ruby dan Safir mengangguk. Ia berjalan pelan menuju mobil Safir. Aries dan Razi melihat kepergian saudara kembar itu.
"Raja usahakan jangan sampai tahu dulu. Biar mereka bersenang-senang di sana." Razi mengangguk. Ia masih terus menatap jalan pelan Ruby dan Safir.
"Ayo ke atas. Abang mau jelaskan urusan Akbar.." ajak Aries. Razi ikut berjalan namun ia kembali berbalik menyusul Safir dan Ruby.
"Aku antar mereka dulu deh bang. Biar Rafa yang di sini sama abang." Aries tersenyum melihat keputusan Razi. Sebelumnya ia memang sedikit khawatir dengan keharmonisan antara Razi, Rafa kepada Safir setelah kejadian ini. Kekompakan mereka menjadi taruhannya.
Dan sikap Razi membuat ia bernafas lega. Mereka masih ditutupi kabut emosi, seiring berjalan pasti akan menipis.
Ruby yang baru saja meletakkan Safir di kursi belakang dikagetkan dengan tarikan sebuah tangan di lengannya. "Kamu di belakang aja, pegangin tuh saudara sinting kamu.." ucap Razi sedikit jengkel namun tetap duduk di kursi kemudi. Ruby bernafas lega dan segera membuka pintu belakang. Bukan marah karena Razi memanggil sinting, ia lebih memilih tersenyum ringan. Biar bagaimanapun Safir memang salah kali ini.
"Thanks Zi..." ucap Safir meringis sambil merebahkan tubuhnya. Ruby memeluk lengan Safir dengan sayang.
"Jangan bangga lo. Gue lakuin ini demi Ruby..." bentak Razi. Ia menoleh ke arah samping untuk siap menjalankan mobil. "Nakal kamu Fir." Ruby pun mencubit lengan Safir. Ia juga gemas karena seenaknya Safir mempermainkan Ratu. Perasaan wanita itu lembut, terlebih pribadi Ratu yang terkenal diam. Ini pasti pengalaman menyedihkan Ratu.
"By jangan marah sama Rafa. Dia sama terkejutnya kayak aku. Nanti dia akan susul kamu pasti.." ucap Razi menatap kaca kecil di tengah mobil dimana ia melihat Ruby sedikit termenung. Razi seolah sadar kejadian ini mungkin berpengaruh dengan hubungan Rafa dan Ruby. Gadis itu hanya mengangguk malas menduga-duga. Dan lagi-lagi Safir semakin merasa bersalah. Ia tidak menduga jika kesalahannya kali ini bisa berpengaruh pada semua pihak.
Biarkan ia sendiri yang merasakan sakitnya berpisah dengan seseorang yang berhasil mengganggu hati, jangan Ruby saudara tersayang. Ruby dan Rafa pantas berbahagia. Mereka saling mencinta.
***
TBC..
Minggu, 31 Juli 2016
-mounalizza-
Mari kita ruwet bersama-sama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top