32 - BIMBANG MENJAWAB
Di ruang televisi rumah orang tua Ratu.
Terkadang mengganti saluran acara televisi secara acak tanpa tahu apa yang ingin dinikmati bisa menjadi cara tersendiri saat kegalauan melanda. Saat keresahan ingin bertindak apa tak bisa dilakukan dan dikeluarkan. Duduk tanpa tahu apa yang ingin disaksikan menjadi pilihan paling jitu. Setidaknya itulah yang sedang Ratu lakukan.
Malam hari ini rumah terasa sepi. Oma Tiara sedang menginap di rumah sang paman Leo. Kakak satu-satunya yang sekarang berstatus pengantin baru sudah berpindah tempat ke kota kembang untuk jangka panjang.
Saudara sepupu kecil yang sangat ia sayangpun sepertinya dilarang menginap untuk beberapa hari oleh sang mommy. Raga dan Raka untuk beberapa hari harus pasrah berdiam diri di rumah karena kondisi tubuh mereka yang kurang baik. Keduanya mengalami kenaikan suhu tubuh dan badan yang mulai kurang fit. Beberapa hari ini kegiatan jalan-jalan mereka dengan Ratu dan Safir memang lumayan padat. Semua permintaan si kembar selalu dituruti Safir.
Mulai dari ke toko buku, wisata kebun binatang khusus untuk menjenguk Fredy si buaya seram, lalu arena bermain bola di suatu taman, belum lagi keseruan bermain di game center sebuah mall dan terakhir liburan seharian mereka di water park yang sangat melelahkan namun tetap mengasyikkan. Sungguh hampir satu minggu itu mereka benar-benar seperti keluarga kecil yang sedang menikmati liburan mengasyikkan. Raga dan Raka sangat bersemangat hingga tak memperdulikan kesehatan.
Kelelahan membuat daya tahan tubuh mereka melemah dan sakit pun tak terhindari. Mereka akhirnya tumbang setelah bermain seharian di water park. Ratu sendiri sudah menjenguk mereka. Walaupun dalam keadaan sakit mereka tetap ingin pergi kembali bersama Ratu dan Safir. Dan dengan tegas sang mommy Dalillah melarang, Raga dan Raka hanya bisa mengerucutkan bibirnya. Menurut akan titah sang mommy.
Dan sekarang Ratu kembali sendiri, sebenarnya kedua orang tuanya tadi mengajaknya untuk makan malam di luar tetapi Ratu menolak. Ia akan seperti obat nyamuk pada akhirnya jika ikut kedua orangtuanya berkencan.
Ingin berkunjung ke sebelah dimana sang saudara sepupu sudah menjadi menantu ternyata juga pergi berlibur ke kota kembang. Aries memang mengajak Rania berlibur ke Bandung. Menurut penjelasan mereka seperti itu. Ratu bukan orang yang mempunyai kebiasaan ingin tahu lebih dalam.
Dan kesepianpun kembali ia rasakan.
"Hufft.." Ratu masih mengganti saluran televisi. Apa yang harus dia lakukan? Menelphone Safir? Tapi, kemarin dia sudah menghubungi Safir perihal sakitnya si kembar dan Safir bilang dia akan menjenguk sendiri. Ratu tidak mungkin kan memaksa Safir agar ikut bersamanya. Ratu sadar, selama beberapa hari ini Safir hanya berkomunikasi dengannya perihal acara liburan si kembar. Tidak pernah membahas hubungan mereka.
Hubungan? Jangan sombong kamu Ratu, memangnya siapa yang kemarin menolak perjodohan itu?
"Hufft.." lagi-lagi Ratu menghela nafas bosan. Dulu ia merasa nyaman dengan keadaan ini. Kesendirian bukan masalah baginya, tetapi sekarang..
Ia merasa hampa, kosong dan butuh sesuatu yang bisa menutupi ruang kosong itu. Dan Safir...
"Tadi diajak papa dan mama nggak mau sih.." tiba-tiba tepukan tangan kokoh ia rasakan di pundak. Satria dan Rachel tersenyum sayang, kedua orangtua itu langsung duduk di samping kanan kiri Ratu. "Anak papa kenapa betah melamun? Daritadi kita panggil nggak bereaksi."
"Sepi pa. Nggak ada si galak rumah terasa aneh." jawab Ratu lesu.
"Ah kalo ada kakak kamu juga biasanya kamu di kamar." ledek Rachel. Ratu tahu sang mama tidak akan pernah mudah dibohongi. Sang mama juga tahu selama beberapa hari ini Ratu berpergian tidak hanya dengan si kembar, Safir ikut serta.
"Kamu nggak mau menjenguk kakak kamu di Bandung?" tanya Satria. Ratu menggeleng. "Nggak dikasih pa. Katanya ganggu, udah cukup Rania sama Abang Aries yang ganggu." jawabnya kembali lesu. Niatnya ia juga ingin ke sana, tetapi masih belum dapat izin dari si pemilik rumah. Dasar aneh.
"Mirip sekali dia sama kamu." ledek Rachel melirik suaminya yang ikut terkikik.
"Sudahlah, masih pengantin baru jadi kasih mereka kesempatan. Biar Raja bisa mengurus awal-awal rumah tangga mereka dengan benar. Aries pasti bisa membimbing." ucap Satria.
"Kenapa pulang cepat papa dan mama?"
"Kangen kamu.." Satria mencubit pipi putrinya yang memang mempunyai sifat pendiam. Entah menurun dari siapa.
"Oh iya, papa dengar kamu dapat tawaran dubber di film kartun terkenal?" tanya Satria, Ratu mengangguk.
"Iya pa tapi aku bingung."
"Terima saja, bukankah itu akan mempermudah kamu ke tempat selanjutnya?" tawaran itu memang menggiurkan, Ratu sudah cukup lama berfikir.
"Bertepatan kamu menerima tawaran belajar di London Film School." pernyataan Satria membuat Rachel menatap tak percaya putrinya.
Ratu terkadang hanya bisa terbuka dengan sang papa daripada dirinya. "Kenapa berita seperti ini kamu nggak kasih tahu mama?" ada guratan kecewa di suara Rachel.
"Maaf ma, aku belum punya waktu yang pas untuk memberi tahu mama." Ratu menunduk tak enak.
"Dan kamu akan meninggalkan mama?" Ratu berani menatap wajah Rachel.
"Sebenarnya dia sudah memberitahuku lama, cuma aku juga kurang setuju Chel.." bantu Satria menenangkan kekecewaan istrinya.
"Tapi semua papa serahkan kepada kamu Ratu. Masadepan kamu sendiri yang menentukan, keahlian kamu dan kesukaan kamu itu jangan disepelekan. Papa selalu ada di belakang kamu." dan Ratu kembali menunduk.
Sebenarnya ini impiannya. Menjadi sinematografer handal. Impian yang hanya diketahui Satria sang papa. Aneh memang Ratu menyukai bidang itu, tetapi ia benar-benar ingin menggelutinya.
Director of Photography atau yang lebih akrab disebut sinematografer sebenarnya bukanlah seorang kameramen. Sebenarnya mereka adalah orang yang bertanggung jawab atas semua hal visual dalam pembuatan sebuah film. Sinematografer juga bertugas untuk menyusun daftar perangkat kamera yang dibutuhkan seperti filter, lensa, jenis film, tata lampu dan tata kamera.
Sudah sejak lama Ratu ingin menggeluti bidang itu karena dirasa sebagai elemen penting dalam penilaian seseorang untuk sebuah karya. Tidak terlihat tapi pasti dilihat oleh penikmat visual. Sangat Ratu sekali. Tertutup tetapi terbuka di dalamnya.
Dan sekarang keinginan itu sedikit terganggu, awalnya ia memang yakin mau menerima terlebih ia sudah menolak dengan tegas acara perjodohan dengan Safir. Tetapi... Berdekatan normal dengan Safir dalam waktu beberapa hari ini mampu menggoyahkan isi hatinya. Cita-citanya seolah tidaklah yang utama.
Mungkin menetap di sini sebagai mahasiswa biasa yang bekerja sampingan sebagai pengisi suara dirasa lebih baik. Terlebih memiliki pacar dengan status yang direstui kedua keluarga. Bukankah itu menyenangkan? Mengalir apa adanya. Tapi sudah terlambat..
"Ratuuuu..." panggilan Rachel membuat ia tersadar dari lamunan nakalnya. Nakal? Sepertinya ia sudah jauh dari nakal. Hubungan dengan Safir sudah kembali normal belakangan.
Normal saat berurusan dengan Raga dan Raka. Selebihnya hubungan mereka tidak terjalin.
"Kenapa melamun sayang?" Ratu menggeleng serba salah. Ia jelas malu jika kembali mengungkit niat perjodohan. Usulan yang sudah ia tolak tanpa mau mencobanya.
"Pa, saat papa melamar apa waktu itu mama langsung menerima?" tiba-tiba Ratu bertanya serius menatap Satria. Mereka berdua sedikit terkejut, Ratu bukanlah pribadi yang gemar bermanja.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Mama dan papa menikah muda?" Ratu malah menambah pertanyaan.
"Papa melamar mama di usia yang sudah sangat mapan. Mama kamu juga sudah meminta papa untuk melamarnya." Rachel mencibir mendengar penjelasan suaminya. Sebenarnya mengingat masa lalu itu memalukan, karena jelas-jelas dirinya sangat agresif. Berbeda dengan sifat Ratu yang pasif.
"Mama kamu ngejar-ngejar papa." ledek Satria bangga. Rachel mendengus kesal, apa kata anak-anaknya kalau tahu ternyata dirinyalah yang aktif mendekati ayahnya.
"Tapi, walaupun mama aktif papa tetap suka. Bahkan jika mama tak berinisiatif papa yang akan aktif. Sudah kodratnya pria berjuang sayang." baik Ratu dan Rachel keduanya tersenyum mendengarnya.
"Memangnya kamu kenapa bertanya seperti itu? Apa ada yang sedang mendekati kamu?" selidik Satria. Rachel tahu ada yang sedang disembunyikan putrinya.
"Nggak pa, aku hanya bingung dengan keputusan kakak dan Rima. Mereka masih sangat muda untuk menikah." jawab Ratu menerawang.
"Raja sudah besar sayang. Pria jaman dahulu usia delapan belas saja sudah bisa dikatakan dewasa. Jangan terlalu terpaku dengan usia untuk memantapkan komitmen." Satria mencubit pipi Ratu.
"Lagipula kamu tidak melihat contoh paling jelas? Tetangga kita. Kamu sendiri tahu kan Tante Silla menikah dengan Om Ar diusia yang sangat muda. Sampai sekarang kamu lihat kan? Harmonis. Bahkan papa iri dengan mereka karena anak mereka Aries sudah sangat berumur." Ratu mengangguk sekali lagi.
"Tapi Rafa dan Ruby kenapa tidak diizinkan?" biar bagaimanapun ia tetap memiliki rasa penasaran. Untuk kasus ini sangat tidak masuk akal. Jelas Rafa dan Ruby sudah sangat siap.
"Untuk kasus mereka biar waktu yang menghakimi, papa percaya Rafa mampu menjalani berbagai syarat yang diminta papa dan mamanya." Satria berdiri sambil menepuk pundak Ratu. "Istirahat sayang, jangan terlalu banyak melamun."
Ratu melihat kepergian sang papa, dirasa sudah menjauh ia langsung berhambur memeluk Rachel yang masih setia di sampingnya. "Maaaa..."
Rachel tertawa, kecurigaannya memang tidak salah. Putrinya sedang dilanda kegalauan. "Kenapa? Menyesal menolak perjodohan?" Ratu duduk tegak kembali menatap Rachel.
"Aku bingung.." cicitnya pelan.
"Mama kan menawarkan perjodohan yang tidak memaksa. Kalian masih muda dan masih banyak impian yang bisa dicapai bersama-sama. Semua bisa dilalui seiring berjalan." Rachel mengusap pipi Ratu.
"Kamu tahu, saat mama seusia kamu. Mama menjalaninya dengan menikmati waktu sebisa mungkin untuk bersenang-senang. Dalam arti tahu batasan yang harus mama hindari.. Dan saat mama bertemu papa kamu, saat mama yakin sudah mencintai dia, dengan semangat mama berjuang mendapatkan hati dia."
"Tapi apa nggak dibilang genit atau agresif?" Rachel tertawa, untuk ukuran wanita dia memang terbilang nekat. Tetapi perjuangannya terbalas. Toh yang ia perjuangkan di zona yang aman.
"Agresif sama satu orang sih nggak masalah. Terlebih sama orang yang bisa sentuh hati kamu." ledek Rachel.
"Memang kamu sudah tersentuh hatinya sama Safir?" Ratu memalingkan wajahnya. Mamanya ini memang selalu tahu apa yang sedang difikirkan.
"Mama tahu loh kalian sering jalan bersama si kembar akhir-akhir ini..." Rachel mencubit pipi Ratu.
"Kami hanya berniat menyenangkan si kembar. Kasihan liburannya di rumah terus." Ratu tak bisa berkilah dari tatapan curiga Rachel.
"Mama hanya mau kalian akur walaupun tidak jadi dijodohkan. Beruntung belum sampai tahap dibahas didua keluarga." Ratu menghela nafasnya. Ada rasa menyesal menolak ini semua, tetapi ia ingat ucapan sebelumnya dari sang mama.
Agresif sedikit tidak masalah.
Mungkin saatnya dia keluar dari cangkang. Bebas dari kurungan rasa takut dan malu. Ratu akan mencoba.
"Mama masuk dulu yah. Kamu tahu awal mama nekat mendekati papa kamu itu mencari tahu nomor ponselnya." Rachel berdiri lalu pergi meninggalkan Ratu dengan satu pemikiran barunya. Ia harus coba memulai komunikasi.
Safir lagi dimana?
Ia memberanikan diri mengirimkan pesan singkat untuk Safir. Jika kemarin Safir lebih dulu mengirimkan pesan bertanya perihal rencana piknik si kembar, sekarang ia akan memulainya tanpa embel-embel si kembar.
Safir : jalan sama Razi, ada party.
Ratu melebarkan matanya membaca balasan Safir. Tiba-tiba rasa amarah berkobar di dada. Secara sadar ia kembali mengetik balasan.
Razi suruh pulang. Adik-adiknya sakit.
Dan pada akhirnya ia terlalu malu sendiri mengakui kalau ia sedikit cemburu. Memikirkan Safir sedang berada di sebuah party. Pasti akan ada banyak teman wanita di sana. Terlebih pergi bersama Razi, paket lengkap sekali, buaya berduet dengan buaya. Menyebalkan.
Lama Ratu menunggu balasan tetapi tak kunjung ia mendapat pesan balasan, padahal jelas-jelas status pesan itu terbaca. Apakah Safir merasa pesan ini tidaklah penting?
"Semangat Ratu, kamu masih muda dan masih punya banyak waktu." Ratu menatap ponselnya. Baiklah jika memang tidak ada balasan dari Safir, ia tidak perduli. Hanya satu yang sedang ia perdulikan saat ini..
"Hallo.." Ratu sedang menghubungi seseorang.
"Mom, Raga dan Raka masih panas tubuhnya?" Ratu menghubungi Dalilah.
"Sudah membaik sayang, kamu tenang saja mommy menjaga mereka di kamar. Yang jelas mereka dilarang keluar kamar.."
"Huuuu..."
Ratu terkikik mendengar suara protesan lemah dari si kembar.
"Iya mom, besok Ratu ke sana. Oh iya Razi ada di rumah mom?" pelan Ratu bertanya, menghindari kecurigaan.
"Tadi dia pergi sama Safir. Sepertinya mau datang acara party. Mereka rapi sekali sih tadi.." ingin rasanya Ratu membanting ponsel itu. Terlebih jika di depannya sekarang ada wajah Razi. Kenapa terasa menyenangkan melempar benda keras ke wajah tampan Razi?
"Ya sudah mom, selamat malam." Ratu langsung menutup panggilan itu dengan wajah lesuh. Mungkin tidur dirasa pilihan terbaik. Berharap ia bermimpi mendatangi party sialan yang sedang dihadiri Safir dan Razi, dan melemparkan aneka telur ke wajah mereka. Andai...
Sementara di lain tempat Safir dan Razi sedang asyik memainkan keahlian tangannya pada sebuah benda menyenangkan. Menggenggam erat dan menikmati sentuhan demi sentuhan dengan kemahiran tangan mereka demi mencapai puncak kenikmatan suatu pertandingan.
Ya Safir dan Razi sedang bertanding permainan bola pada layar televisi di kamar si kembar. Mereka sedang bermain Pro Evolution Soccer.
"Tante nggak mengerti kenapa kamu meminta tante berbohong sama Ratu?" tanya Dalilah yang sedang duduk di tepi tempat tidur si kembar. Razi dan Safir duduk bersandar di bawah tempat tidur beralaskan permadani. Sementara si kembar sedang tidur menelungkup dengan kepala fokus menatap layar televisi.
"Iseng aja tante.." jawab Safir tetap fokus bermain.
"Ada-ada aja.." Dalilah lalu menatap dua putranya yang masih belum pulih.
"Kalian belum mengantuk?" tanya Dalilah di sampingnya sambil menempelkan bergantian tangan di kening masing-masing.
"Belum mom, udahlah mom kita sudah sembuh." jawab Raga tetap fokus menatap layar televisi. Mereka sedang memberi dukungan untuk sang kakak Razi. Kedatangan sang mommy, dirasa mengganggu, karena mereka dipaksa untuk tidur.
"Biar Razi yang jaga mereka mom.."
"Ya sudah, mommy ambilkan puding yah? Sekalian untuk Safir."
"Nggak usah repot-repot tante.." sopan sekali Safir.
"Kak Bird sukanya sama Kak Ratu ma. Nggak suka puding." jawaban Raka membuat Safir hilang konsentrasi dan akhirnya dengan mudah Razi membobol gawang. Sialan..
Beruntung Dalilah tidak mendengar dan tetap berjalan ke luar kamar.
"Horeee.." teriak si kembar bangkit dan duduk di tempat tidur. Razi sendiri menyunggingkan senyum kemenangan.
"Kita mau dikalahin.." bangga Raga.
"Susah lah...." balas Raka. Sepertinya mereka sudah sembuh dari penyakitnya. Safir melirik jengkel tiga bersaudara ini. Ah kenapa ia bisa terdampar di sini. Mendengar si kembar sakit kenapa ia langsung panik dan berniat menjenguk mereka?
"Kak, nginap sini yah?" ajak Raga kepada Safir. Sekesal apapun Safir dengan tingkah si kembar ia tetap sayang pada mereka. Safir sudah menganggap mereka adiknya juga.
Safir mengangguk. "Oke.." si kembarpun bersorak gembira.
"Kita begadang yah Kak Razi, main bola terus.."
"Kalian nggak mau istirahat?" tanya Razi. Dan dengan semangat mereka meggeleng.
Razi dan Safir kembali melanjutkan pertandingan. "Izin sama mommy dulu.."
Si kembar tampak berfikir. "Kita pura-pura tidur aja pas mommy masuk." Safir terkikik. Dasar bocah nakal.
"Aku bilangin ah..." ledek Safir. Mendapat ancaman seperti itu Raka langsung menutup mata Safir. Mengecoh konsentrasi.
"Ah kalian curang..." merekapun kembali tertawa riang.
"Kalo diaduin kita bilang juga sama mommy kalau kak Bird pernah...."
"Iya-iya nggak usah tidur deh sampai pagi.. Ronda sekalian.." Safir pasrah terdampar dengan tiga bersaudara ini.
Malam panjang akan mereka lalui. Bukan ke sebuah pesta meriah dimana banyak tamu yang berdatangan tetapi keakraban yang sekarang mereka dapati. Party yang sesungguhnya, meriah di hati.
***
Malam yang sama, di Bandung.
"Tahan.." perintah Aries kepada Rania. Istrinya itu sedang menahan lengan Aries dan menguncinya. Peluh keringat sudah menguasai mereka berdua. Sudah hampir dua jam Aries mengajarkan Rania beladiri awal. Pertahanan dan antisipasi serangan mendadak.
"Untuk pemula kamu cukup cepat belajar." puji Aries.
"Tapi sayangnya bos masih belum bersedia membuka diri." sindiran halus. Aries tertawa.
"Bisa saja kamu mata-mata." Rania menghelas nafasnya. Memang harus bertahap menggali rahasia demi rahasia. Dasar pria pendiam yang manis, Rania sungguh tak rugi meminta arahan belajar bela diri bersama sang suami.
"Oke untuk malam ini kita sudahi. Kamu pasti sangat lelah sayang." Aries tiba-tiba memeluk Rania. Istrinya tampak risih karena merasa ia dalam keadaan basah karena peluh keringat.
"Ayo kita bersih-bersih bersama." ajakan Aries mulai disambut Rania. Inilah kenapa ia tidak akan bosan.
Mereka berjalan memasuki rumah. Tempat latihan memang lebih mirip paviliun terpisah dari rumah. Rumah ini memang baru dibeli oleh keluarga Raja. Letaknya dekat dengan tempat wisata milik keluarga Aries. Dan sudah beberapa malam ini Aries dan istri memang menginap di rumah baru itu. Menemani pengantin baru dan juga memenuhi keperluan yang diminta Rima.
"Kak besok kita pindah yuk. Aku mau ke resort dan wisata di sana." mereka berjalan sambil berangkulan.
"Kamu nggak mau lagi ganggu pengantin baru?" ajak Aries.
"Mereka sudah berkali-kali menyindir kita untuk menginap di sana kak. Kasihan mereka mau menikmati indahnya rumah berdua."
Ada sesuatu yang unik dari pasangan itu, mereka akan menunggu sepi jika ingin bermesraan walaupun sekedar berciuman pipi atau kening. Keduanya akan tampak risik jika ada satu orang berada di dekat mereka.
"Ah mereka saja yang seperti orang dulu. Terlalu kaku." balas Aries sambil terus berjalan memasuki rumah. Rumah yang tampak sepi di jam yang sudah memasuki waktu malam.
"Di kamar aja yuk..."
"Berisik lo, abang lo masih betah di sana sama Rania."
"Iya nanti kalo mereka datang gue jadi malu sendiri."
"Yah bilang aja lo yang sosor gue."
"Enak aja lo.."
"Yah terus musti gue gitu yang pasang badan? Yang colek-colek duluan gue siapa?"
"Dih, dasar kelainan, gue cuma colek pinggang aja tapi lo udah kayak kambing horny. Bisanya jago kandang aja lagi."
"Ini juga kandang gue toa, tapikan masih ada tamu. Ga bebas gue.."
"Lebay, tapi sekarang aja main sosor. Udah minggir! Gue mau turun."
"Entar aja, mereka masih lama."
"Bener nih lama?"
"Iya, udah sekarang diem toa! Gue mau cium lo.."
"Lo sih mau cium aja pake perintah."
"Ah berisik yah.."
"Jangan grepe-grepe.."
"Biasanya juga suka.."
"Iya tapi biasanya di kamar kuno.."
"Jadi mau nggak gue cium?"
"Pake tanya lagi..."
Rania dan Aries tak kuasa menahan tawa. Sepasang pengantin baru itu sedang bergumul mesra di atas meja pantry dapur. Posisi yang pernah dipergoki keduanya saat masih di Jakarta.
"Hh.." Rania menutup mulut Aries yang sebelumnya ingin bersuara mengagetkan mereka. Secara pelan Rania menarik Aries masuk ke dalam kamar tanpa perlu diketahui keberadaan mereka berdua karena telah hadir di dalam rumah.
"Kenapa tidak kita ganggu saja mereka?" Aries mengunci pintu kamar. Menatap istrinya dengan lirikan menggoda.
"Kasihan mereka suamiku kalau kita kagetkan.." Rania mundur karena Aries berjalan lurus ke arahnya. Bahaya menyenangkan akan segera terjadi.
"Mereka pernah memergoki kita dengan posisi itu, tetapi dengan seenaknya juga mereka mengacaukan."
"Itu berbeda, ayolah kak! Pasangan yang itu sungguh menggemaskan." Rania berhenti mundur karena ia sudah sampai di ujung meja rias.
"Kak.." sapa Rania ingin mengalihkan niat awal suaminya.
"Ceritakan Divisi itu apa?" Aries menaikkan alisnya.
"Jangan mengalihkan pembicaraan Rania. Kamu sadar sudah menyiksa kakak berhari-hari?" Rania tertawa geli. Suaminya memang sudah bersabar menerima penolakan berdalih masih belum pulih. Ia hanya ingin menguji kesabaran Aries.. Dan ternyata suaminya sangat extra sabar.
"Divisi adalah sesuatu yang nyata tetapi terkadang tidak terlihat." Aries menarik Rania ke dalam rengkuhan. Mempererat jarak mereka.
"Siapakah yang dibela Divisi? Keadilan atau keuntungan?" Rania fokus menatap mata Aries.
"Keadilan."
Rania meraba dada Aries. "Pihak berwajib atau di luarnya?"
"Terkadang kebenaran adanya di sebuah kesalahan. Ini tidak tentu sayang. Banyak yang bermain kotor.." Rania mengangguk sok mengerti.
"Siapa bos Divisi? Kak, Rania tahu ada yang mendanai Divisi secara sukarela dan sangat royal.." bisikan itu begitu membuat Aries sulit menjawab. Haruskah?
Pada akhirnya Aries bimbang menjawab, ini janji setianya kepada beliau. Memberi tahu Rania tak akan menyelesaikan masalah.
Belum saatnya.
"Kamu bau, ayo kita mandi." tanpa menjawab Aries langsung membopong Rania ke kamar mandi. Membiarkan protesan lucu dari Rania terus terngiang.
"Curang, kakak curang.."
"Kakak juga mencintaimu Rania.."
TBC...
Jumat, 24 Juni 2016
-mounalizza-
Mari kita ruwet bersama-sama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top