24 - IKHLAS TERSIKSA

Hai semua. Maaf yah lama bgt. Aku hanya bilang aku sedang semi hiatus. Alasan dunia nyataku memang menjadi sebabnya selain aku sedang dlm masa berkabung,dll

Nggak perlu aku ceritain disini apa dan kenapa nya. Sama2 berdoa aja semoga kesehatan selalu menyertai kita semua yah. Part ini entahlah galau atau apa. Aku sendiri jg bingung.^_^

•••

Mulmed : Charlie Puth - One call away

I"ll be there to save the day
Superman got nothing on me
I'm only one call away

•••

Masih di rumah keluarga Satria.

"Heh toa kemana lo..." teriak Raja di dalam kamarnya. Raja duduk di tengah ranjang sambil menguap panjang. Ia melirik arah pintu kamarnya. Pintu kamar itu memang tidak tertutup rapat. Mungkinkah Rima masih ada di rumah?

"Toaa..." Raja yang masih belum benar-benar terjaga, segera meneliti setiap sudut di kamarnya dan turun dari tempat tidur. Mendesah kesal, Raja keluar kamar.

Waktu memang hampir menjelang sore, suasana di rumah keluarganya tampak sepi dan tak berpenghuni. Raja meneliti ruangan demi ruangan di rumahnya. Sepi, kemana perginya Rima? Bahkan Ratu tak terlihat. Dijam segini ia biasa melihat Ratu duduk menyaksikan layar televisi di ruang keluarga, tapi sekarang Ratu tidak berada di sana.

"Ratuu, Rimaa..." teriaknya. Salahnya memang tadi langsung tertidur saat Rafa dan Ruby berpamitan. Pusing di kepala membuat ia mengantuk. Hatinya terasa lega saat melihat Rima menjenguknya dan sekarang Raja merasa bodoh membiarkan Rima tak ada saat matanya terbuka.

"Tadi katanya mau temenin gue." gerutu Raja sendiri sambil menghentakkan kakinya.

Samar-samar ia mendengar suara di ruang makan rumahnya, tepatnya di dapur. Raja melangkah ke sana. Wajahnya masih kusut khas orang bangun tidur. "Ima.." panggilnya.

Raja tak berkedip saat melihat Rima yang sedang asyik sendiri di dapur sang mama. Gadis itu berdiri membelakanginya. Rima sedang membuat makanan sepertinya.

"Ima.." panggil Raja pelan. Rima tetap tidak menoleh, bahkan tetap sibuk dengan sesuatu yang sedang ia aduk. Raja mendekatinya. "Imaa.." Rima masih tidak bergeming. Gadis itu memakai celana jeans panjang dan kaos santai bergaya Bali. Rima menyukai sesuatu yang sederhana.

Puk..

"Heh toa.." tepukan di pundak kiri membuat Rima hampir saja melempar mangkuk berisi adonan yang sedang ia aduk. "Lagi ngapain sih?" tanya Raja lagi. Rima menggeram kesal.

"Bisa nggak sih nggak bikin orang jantungan?" ucap Rima sambil melepas hand free di telinganya. Sebelumnya kedua tangan Rima sedang mengaduk adonan. Raja melihat arah tangan Rima.

"Lagi buat apa lo?" tanya Raja menyelidik.

"Martabak." Rima kembali melanjutkan mengaduk, ia sedikit risih karena lilitan handfree yang masih ada di sekitar leher. Dengan santainya Rima meletakkan hand free dan music player di sampingnya.

Raja memperhatikan.

Tangan Rima merapikan sesuatu yang sepertinya ia kenal. Rima menggulungnya pelan dan meletakkan sebuah music player yang sepertinya juga ia kenal. Sangat kenal karena beberapa malam, alat music player itu selalu berada di dalam genggaman tangannya. Dan sekarang benda itu berada di genggaman Rima lalu diletakkan di atas meja.

Di tangan Rima?

Rima memegang music player? Apa memang ia sudah memberikannya? Tapi kapan? Bukankah tadi dirinya sedang tertidur? Kebablasan tertidur.

"Heh toa.." selidik Raja. Rima membalas menatap Raja. "Apa?"

Rima tahu mata Raja terus melihat music player itu, ia berusaha tenang.

"Itu punya guekan? Yang ada di sepeda." bodohnya Raja menjelaskan. Rima ingin menahan tawanya.

"Tapikan tulisannya buat gue. Ada nama gue di situ kuno.." Rima tetap asyik mengaduk adonan lalu menghidupkan kompor guna membuat martabak.

"Lo udah denger?" Raja menarik lengan Rima penasaran. "Udah.." anggukan menyebalkan batin Raja, kenapa Rima bisa tenang menjawab? Tidak bergetarkah si wanita ramai ini? Raja berharap Rima terguncang dan seperti wanita kebanyakan. Histeris sambil memeluk dirinya, tapi ini Rima. Harap dimaklumi.

"Jadi..?" Raja harap-harap cemas. Sekarang ia yang merasa terguncang menunggu jawaban.

"Dasar kuno.." ledek Rima. Gadis itu mendorong Raja yang menghalangi jalannya. Rima ingin mengambil piring saji yang terletak di belakang Raja. "Minggir.."

"Jadi gimana?" Gadis aneh pikir Raja. Sangat aneh dan langka. Tidak salah jika ia mencintainya. Tapi tunggu, tahan jangan sampai penolakan terjadi. Raja sungguh menahan gejolak dihatinya.

"Heh toa.. Ditanya malah nggak dijawab. Jadi gimana?"

Rima mendelik menatap Raja, jika bisa Rima berteriak sebenarnya ia ingin sekali, pria macam apa ini? Sudah melamar dirinya dengan cara unik tetapi meminta jawaban seperti ini. Perlukah kepala Raja dibenturkan di dinding?

Wanita butuh dirayu, bukan ditanya ala tahanan seperti ini. Memangnya Rima tahanan cinta? Rima berusaha sabar menanti rayuan Raja. Gadis itu lalu menggeleng kencang karena isi kepalanya sudah mulai aneh-aneh. Jiwa mewek ala lebay Rima sepertinya bangun dari tidurnya.

"Kenapa lo geleng-geleng?" Raja masih betah menatap, meneliti dan terus fokus kepada Rima. Dasar pria kuno.. Tidak pernahkah Raja menyaksikan drama korea dengan adegan manisnya? Kenapa Raja selalu sibuk menonton acara lawas ala Charlie Chaplin?

"Emang nggak boleh geleng-geleng? Dilarang? Ada denda?" sekarang Raja yang ingin membenturkan kepala Rima.

"Itu, music player punya gue buat lo. Gue tanya lo udah denger?" secara pelan dan penuh penekanan Raja bertanya. Rima mengangguk, Raja kembali menaikkan alisnya. "Terus...?" tanya Raja tak sabar.

"Udah." jawab Rima datar. Ia menunggu Raja melakukan aksi rayuan seperti adegan drama yang sebelumnya ia saksikan.

Rima, hampir seumur hidup kamu sudah mengenal Raja, kenapa mengharapkan Raja merayu? Dia bukan si brengsek Razi atau si sialan Safir dengan segala keahlian merayu. Predikat Raja dikenal kuno dalam urusan mengolah kata indah sehingga bisa terbentuk kalimat yang mampu mendebarkan jantungnya. Raja terkenal manusia langka, tidak ingatkah kau Rima? Dia ahlinya berucap galak. Merayu bukan bidangnya.

Mereka saling bertatapan. Rima memasang wajah cemberut sedangkan Raja tetap pada pendirian menaikkan alisnya. Pemikiran mereka sebenarnya sama. Mereka sama-sama setuju.

"Heh toa gimana..?" ketus Raja lagi. Rima menyerah.

"Tau ah.. Udah sana mandi, cuci muka kek. Kusut muka lo, bikin ilang selera gue aja." Rima sibuk dengan kompornya. Andai Raja bisa ia cincang bersama adonan.

"Lo serius udah dengar rekaman gue buat lo?" akhirnya suara Raja mulai melembut. Bahkan Rima dibuat merinding karena Raja tepat berada di sampingnya.

"Lo suka?" tanya Raja lagi super pelan dan sangat menghanyutkan. Mendadak Rima gugup. Rima berusaha fokus dengan adonan martabak. "Suka nggak?" adegan Korea dimulai, Rima ingin sekali merekam dan akan ia saksikan berulang kali setiap malam.

Rima mengangguk malu. Kenapa rasanya sungguh asing? Ini bukan dirinya, dan ini juga bukan kebiasaan mereka.

"Ini.." tanpa izin Raja sudah melakukan aksi nekatnya. Ia memasangkan kembali hand free dikedua telinga Rima. Menyelipkan music player di saku jeans Rima. Satu telinga Rima masih belum di pakaikan hand free. Rupanya Raja ingin membisikan sesuatu.

"Dengerin lagi yah! Gue mau mandi dulu dan setelah itu kita sudahi permusuhan aneh ini menjadi lebih terarah. Gue mau lo jadi musuh yang akan setia mendampingi gue dalam suka dan duka sampai maut memisahkan." Rima diam sebelum akhirnya suara Raja menghilang, berganti dengan alunan gitar sederhana lagu Syahdu. Rima tidak berani menoleh, ia tidak siap menatap wajah Raja. Sedikit berkurang ketika ia sadar Raja sudah tidak ada dalam satu ruangan dengannya.

"Huffff... Gimana ini?" Rima bingung menanti kembali kehadiran Raja. Sesuai keputusan yang sudah ia pikirkan matang-matang sebelumnya. Ia akan menerimanya.

Rima sudah selesai membuat martabak dan sudah menyiapkan teh hangat untuk Raja. Menunggu di ruangan televisi keluarga Satria. Sepi tanpa penghuni, hanya pelayan rumah yang tadi sempat membantu Rima.

Rima melirik arah kamar Raja yang tertutup rapat. Ini sudah lima belas menit Raja membersihkan diri, haruskah ia masuk ke sana? Rima menggeleng, tidak baik memasuki kamar seorang pria dewasa. Walaupun ia sudah mengenal pria itu sejak kecil.

"Capek ah dengerin ini terus." pada akhirnya ia menggerutu sendiri mendengar alunan syahdu ala Raja. Rima melempar music player di samping sofa empuk. Ia menyandarkan tubuhnya. Berfikir detik selanjutnya akan seperti apa. Akankah status mereka akan berbeda setelah ini?

Sekarangkah ia harus memberikan keputusan? Orangtuanya sudah memberikan pilihan dan tidak akan memaksa untuk menerima Raja jika memang tidak setuju, tetapi tetap ia harus segera mencari pendamping hidup.

Jika begini adanya, Rima tidak mau mencari atau berkenalan lagi. Pendekatan dengan aneka macam pria? Sungguh ia sudah tidak tertarik. Dan pada akhirnya pilihan yang dirasa memang tepat adalah..

Ia memilih menikah dengan Raja? Senyum manis terukir di wajah Rima.

Raja pria yang sangat mengenal dirinya. Rima tidak perlu tampil palsu di hadapan Raja, cukup menjadi Rima apa adanya saja sudah diterima oleh Raja. Mereka memang sering berkelahi tetapi tidak ada rasa dendam atau kebencian bermakna negatif. Bertengkar adalah kebiasaan akrab mereka. Itu alami bagi mereka.

Rima terus saja melamun menunggu calon Imamnya kelak.

"Heh..." Raja menyenggol kaki Rima lalu duduk di samping Rima sambil mengambil secangkir teh hangat. Rima membenarkan posisi duduknya. Tanpa diminta Rima meletakkan dua potongan martabak di piring kecil lalu ia serahkan ke tangan Raja. Mereka terlihat serasi, kompak dan sangat-sangat alami layaknya pasangan yang sedang menikmati sore indah. Ini seperti berlatih agar terbiasa.

"Ratu mana? Dia belum pulang?" tanya Raja sambil mengunyah martabak. Rima menggeleng. "Lo nggak makan?" Rima kembali menggeleng.

Raja menatap Rima serius. "Lo kurusan toa.." ucapnya jujur. "Jelek ah.." bahkan terdengar ketus. Kembali ketus.

"Aneh.." cibir Rima. Ia lalu menoleh ke arah music player itu. Raja juga mengikuti arah mata Rima. Kemudian tangan Raja menyikut lengan Rima. "Gimana keputusan lo?" pertanyaan ini lagi?

Kenapa Raja bersikap sangat biasa ketika membicarakan ini? Ini demi masa depan mereka, takdir mereka selanjutnya. Rima butuh dorongan dan kemantapan berfikir.

"Lo mau gue jadi istri lo gitu Ja?" kenapa pertanyaan itu yang keluar. Rima ingin sekali menjedoti kepalanya, tetapi berbicara dengan Raja memang tidak perlu basa-basi. Raja saja bisa mengutarakan melalui lagu. Apa ia juga harus membalas sambil bernyanyi ala BCL? Ah itu bukan Rima.

"Iya lo jadi istri gue dan jadi mama buat anak-anak gue kelak." pipi Rima memanas tanpa diperintah. Rasanya seperti diterpa sinar matahari langsung tanpa perlindungan. Rima juga wanita yang butuh penangkal. Ia juga mempunyai rasa alami. Kegugupan ini tiba-tiba tak bisa dicegah. Raja baru saja berbicara urusan keturunan? Ini terlalu jauh dan di luar pemikiran Rima. Kenapa ruwet sekali membicarakan ini?

Tanpa sadar Rima menggeleng, Raja menaikkan alisnya bingung. "Kenapa? Lo nggak mau jadi mama buat anak kita?" Rima semakin risih mendengar ucapan Raja. Tanpa basa-basi, apalagi Malu. Sangat khas Raja.

Kapan dirayunya? Teriakan Rima di dalam hati.

"Ni-nikah?" cicit Rima. Hei Rima mencicit?

Menikah memang salah satunya adalah mendapatkan penerus keturunan. Raja terlalu cepat membicarakan ini.

"Kecepetan Ja kalo langsung punya anak." gerutu Rima dengan sangat jujur. Kenapa Rima menjawab seperti ini?  Semakin ruwet.

Seulas senyum muncul di wajah Raja. Artinya jawaban Rima sudah sangat jelas, wanita super berisik ini setuju hanya saja tidak mau terburu-buru mempunyai keturunan. Baiklah Raja bisa bernafas lega. Langsung pada membahas intinya memang kebiasaan mereka. Rasanya Raja tidak perlu mengulang terus menerus hasil pendengaran lagu Syahdu untuk Rima. Itu ungkapan cinta dan Rima harus mengerti itu kejujuran Raja.

"Tapi Ja..." Raja berusaha tenang saat raut wajah Rima masih kebingungan. "Hmm..." timpal Raja. Ia sendiri bingung Rima akan berkata apa.

"Cara kita berkomunikasi kan nggak kaya Rafa, Ruby. Bahkan kita nggak semesra Abang sama Rania. Masa mau membina rumah tangga." keluh Rima.

"Heh toa, jadi lo mau kita mesra-mesraan?" Rima memukul lengan Raja. "Gue butuh kepastian. Ja gue mau menikah sekali dan nggak mau menyesal dikemudian hari." Kali ini Raja sedikit mengerti, Rima butuh kemantapan niat darinya. Rima ingin dirayu? Nanti saja setelah menikah, batin Raja ingin tertawa.

"Gue serius Ja." kali ini harapan dirayu sudah pupus. Ia hanya ingin diberi dorongan paling ampuh.

"Menikah bagi gue ibadah Ima, kenapa gue mau terima acara perjodohan ini? Karena gue tahu wanita yang dipilih mama gue adalah wanita yang sayang sama beliau. Selain Ratu dan keponakan mama yang lain, lo wanita di luar keluarga gue yang mampu membuat mama tersenyum dengan indah." Raja menarik tangan Rima. Menggenggam satu tangan itu dengan kehangatan yang belum pernah Rima dapatkan. Raja bisa lembut juga, kenapa Rima ingin bersorak gembira.

Diralat, Rima kembali berharap dirayu.

"Jika mama bisa tersenyum bahagia karena menatap wajah lo, gue yakin senyuman itu akan menular sama gue." Rima tidak berani menatap wajah Raja yang sedang fokus menatap wajahnya. Wajah Rima sudah bukan merah lagi, rasanya seperti mendidih. Ia merasa tersanjung.

Tapi, tunggu..

"Jadi lo mau sama gue karena mama? Bukan karena diri lo sendiri?" Rima merajuk sedikit, ada rasa kecewa tetapi ia bukan anak kecil lagi. Tidak baik membandingkan.

"Surga gue ada di telapak kaki mama." ucap Raja mantap. "Tujuan hidup gue harus diawalin oleh senyum beliau."

"Jadi kalo mama meminta lo sama wanita lain lo akan terima?" Kenapa Rima kembali bertanya dari awal. Membingungkan. Raj tidak akan terbuai oleh keruwetan yang Rima ciptakan.

"Jangan berandai-andai. Mama dari awal sudah memilih lo sebagai calon menantu. Udah mau nggak? Dasar toa." Raja menoel kepala Rima, ia mulai gemas karena Rima memperlama waktu denga aneka pertanyaan.

Dasar tidak peka, Rima hanya bisa gerutu dalam hati.

"Imaa... Kalo lo mengharapkan kata-kata cinta dari gue, lo harus hilangkan itu dari angan-angan." sekarang Rima berani menatap wajah Raja. Kenapa terasa sakit mendengarnya. Apa Rima jambak saja kepala bodoh Raja? Jelas-jelas setiap wanita yang akan dilamar pasti meminta kemantapan cinta calon suaminya. Rima bukan tokoh sinetron atau novel cinta menohok hati yang hanya memendam rasa dan kisah cinta akan bergulir mengharu biru. Hei ini demi kebahagiaannya.

Dia tidak mau menikah dan memendam rasa cinta dengan suaminya. Dari awal harus jelas, kedua belah pihak mempunyai rasa. Cinta memang bisa dipupuk tetapi tidak ada salahnya sejak awal sudah saling diperkenalkan. Tidak semua takdir berakhir indah, tidak ada salahnya berusaha mencari yang indah.

"Dengerin dulu.." sadar Rima hampir tersulut. "Sekarang gue tanya balik, lo cinta nggak sama gue?"

Manusia kuno dengan tingkat kepekaan di bawah rata-rata. Daya tangkapnya sangat lemah. Tidak heran, Rima sudah kenal Raja sejak dulu. Sebenarnya Raja ingin membicarakan apa sih? Oh tidak hanya Raja, Rimapun tak kalah ruwet-nya.

"Jadi mau main salah-salahan?" ketus Rima.

Dan tiba-tiba Raja tertawa. "Duh sayangku ini kalo gugup ditanya muter-muter." Ia menarik dagu Rima agar menatap tepat di mata mereka. Rima mendadak gugup. Mata Raja menguasai tatapan.

"Gu-gue juga mau tahu rasanya dicintai Ja. Apalagi sama suami sendiri." cicit Rima. Hatinya mengucap syukur jika sekarang hanya ada mereka berdua di rumah ini. Entah seperti apa wajah-wajah anggota keluarga yang lain jika melihat mereka seperti ini. Saling meminta penjelasan akan hatinya.

Raja tersenyum manis kepada Rima. Ini langka dan sangat jarang Rima melihatnya. Rasanya sulit diungkapkan. Rima tersihir oleh senyuman itu.

"Ungkapan cinta bagi kita berdua tidaklah penting. Karena cinta kita terbina sudah dari dulu, sadar nggak sih lo? Tidak terlihat karena sudah terpendam di dalam hati. Tidak bisa dilepas atau diperlihatkan hanya saja bisa kita rasakan. Itu udah cukup Ima. Kita nggak perlu pusing mencari keberadaan di mana letak cinta kita berdua, karena sudah hidup di hati kita masing-masing. Ayolah Ima jangan membohongi diri kita sendiri. Sekarang cuma ada kita berdua."

Apa Raja baru saja menjelaskan hal aneh yang memang sedang Rima cari? Rima memang sedang bingung di mana letak cinta Raja dihatinya. Tidak terlihat tetapi selalu ia rasakan dan sampai detik ini semakin tumbuh. Apakah Raja juga merasakannya?

Raja mengangguk, seolah faham isi kepala Rima. "Gue juga akhirnya sadar kedudukan lo di hati gue." Raja meletakkan tangan Rima di dada Raja. Rima dapat merasakan debaran kencang di sana. Rupanya Raja juga bisa merasakan gugup.

"Cinta lo ada di sini. Tidur abadi di hati gue. Kalaupun dia bangun kita akan melangkah bersama. Membinanya sampai usia semakin bertambah." mendadak Rima ingin pingsan. Ini Raja yang sedang meyakinkan dirinya?

"Terus kalau kita sudah menikah, apa keadaan kita akan berubah?" Rima menarik tangannya dari dada Raja. Debaran jantungnya juga sama dengan Raja.

"Seperti papa dan mama kita. Bahagia berdampingan sampai usia semakin bertambah. Udah jalanin aja, lagian lo ga peka amat udah gue kasih lagu juga.." kejujuran Raja memang sudah ia utarakan dalam sebuah lagu. Tidak puaskah kamu Rima?

"Jadi gimana? Setuju yah?" tanya Raja pelan. Rima melirik Raja. Gadis itu menunduk sambil mengangguk malu. Ah Rima si suara berisik itu bisa juga malu.

"Deal ?" Raja mengajak Rima berjabat tangan? Baiklah kesepakatan cinta mereka memang unik. "Kita belum halal, jadi adegan kecupan atau yang sedang lo perkirakan nggak akan terjadi." ejek Raja kembali dengan sifat asalnya. Rima melepas pertautan tangan mereka. Keahlian Raja membuat Rima cemberut lebih dominan.

"Ya udah sekarang mana ponsel lo?" pinta Raja. Rima menutup mata dan berusaha tenang seperti Raja. Anggap ini seperti biasanya, hanya saja status mereka sudah terikat.

Tapi tunggu, Raja tidak memberikan dirinya cincin. Hanya sebuah lagu dan sepeda lalu berjabat tangan? Apakah itu normal?

"Buat apa?" tanya Rima penasaran.

"Lo kan sekarang calon istri gue dan sudah seharusnya lo menghapus semua kontak pria yang nggak gue kenal, kemungkinan berindikasi mengganggu keputusan lo." Raja tetap saja egois dan tanpa basa-basi.

"Dasar kuno, nggak peka?" Rima berusaha meredam emosinya. Karena Raja bersikap biasa dia pun harus bisa seperti Raja. "Cincinnya mana?" cibir Rima.

"Yah nanti kalo mama papa udah pulang. Lo nggak sabar amat?! Ada gitu cewek nagih cincin?" mereka kembali saling sewot. Dan kali ini menatap tajam.

"Ya iyalah ngajak nikah anak orang ya harus siapin cincin dong." balas Rima tak mau kalah. Mereka saling berpandangan, membagi ketajaman mata dalam melihat. Upaya telephati pun terasa mencekam, entah apa yang membuat mereka tidak pernah bosan bertengkar.

"Hahaha..." lalu secara bersamaan mereka tertawa. Raja mengacak rambut Rima yang dibalas pukulan di lengan Raja. "Janji yah jangan berubah?" pinta Raja, Rima mengangguk lalu mereka kembali menikmati acara makan bersama. Sesekali mereka saling menyikut dan berbagi minuman bersama.

Tanpa suara sahut menyahut dan ketusan khas ala mereka berdua, sore itu begitu intim bagi mereka. Tidak ada kecupan mesra bahkan ciuman panas ala pasangan dimabuk cinta. Hanya tawa dan senyum yang hadir menemani mereka. Ini sudah lebih dari cukup.

Drt.. Drt.. Drt.. Rafa

Rima menatap layar ponsenya. Raja melirik layar ponsel itu dan mengambil alih ponsel milik Rima. Menerima panggilan itu tanpa izin Rima.

"Hallo..." jawab Raja ketus. Rima tidak heran. Raja tetaplah Raja.

"Ada apa lo telephone Rima?"

"...."

"Iya ponsel gue di kamar..." Rima tetap diam, dia berdiri hendak ke arah dapur. Mungkin Rafa memang ingin berbicara dengan Raja.

"Apa?" suara Raja meninggi, membuat Rima berbalik menatap wajah tegang Raja.

"Ada apaan?" Rima penasaran mendekati Raja.

"Oke, gue sama Rima ke sana." setelah mematikan ponsel Raja menatap Rima. Pandangan Raja sangat tegang.

"Ada apaan?" Rima tak sabar.

"Abang sama Rania kena musibah." ucap Raja. "Ayo kita ke rumah sakit." Raja menarik tangan Rima.

"Musibah apa?" Raja tidak menjawab, ia mengambil kunci mobil dan dompet serta ponsel di dalam kamar. Rima mengekori Raja. Mendadak hatinya merasa takut.

"Kenapa Ja? Jangan bikin panik dong!" bentak Rima kesal. Raja akhirnya berhenti dan menatap Rima. Ia tahu diam tidak akan memecahkan kebingungan.

"Gue juga nggak tahu kronologisnya seperti apa, yang jelas mereka berdua terluka cukup parah. Ayo! Kita ditunggu di rumah sakit." Rima hanya diam sambil mengekori Raja kembali. Sebelumnya Raja memberikan pesan kepada penjaga rumah untuk memberitahukan jika ia akan pergi dengan Rima.

"Rania gimana?" sebelum Raja mengemudikan mobilnya Rima kembali bertanya. Raja diam menatap Rima. Raja tidak baik menganggantung informasi. Rima berhak tahu keadaan abang kandung dan istrinya.

"Kemungkinan janinnya tidak akan selamat. Sorry Rafa masih sulit ditanya Ima. Nanti di rumah sakit aja yah kita cari tahu." Raja mengusap kepala Rima lalu mengelus pipi Rima pelan. Ia tahu Rima khawatir dan ia ingin sedikit membantu menenangkan kegelisahan.

"Lo bisa bawa mobil?" tanya Rima mulai tenang, Rima juga tahu Raja masih dalam kondisi tidak sehat, begitupun dirinya.

Raja terpaksa tersenyum menguatkan Rima. "Bisalah toa. Gue udah baikkan. Oke sebaiknya jangan beritahu papa dan mama dulu yah. Nanti saja setelah di rumah sakit, kita kabari mereka." sekali lagi Raja mengusap kepala Rima.

"Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa." hibur Raja sambil mengemudikan mobil.

"Tadi sebelum berangkat mereka terlihat baik-baik aja." ucap Rima. Raja menerawang mendengar penjelasan Rafa di sambungan telephone sebelumnya.

"Ada yang menghubungi Razi sama gue melalui ponsel Abang. Dia bilang jemput secepatnya suami istri ini sebelum menyesal. Dan saat gue datang, Razi udah di sana sambil menggendong Rania dalam keadaan pingsan, Abang sendiri berdiri dalam keadaan berdarah di sekitar wajah dan luka di tubuhnya."

•••

Di sebuah rumah sakit.

"Gimana keadaan mereka?" tanya Raja panik. Rima dan Raja baru sampai di rumah sakit, tepatnya di depan ruang rawat Rania dan Aries. Rafa berdiri kaku memandang kedatangan mereka, Ruby memeluk lengan Rafa. Selain itu ada Ratu dan Safir duduk berdampingan dengan wajah tegang dan Razi berdiri bersandar di dinding samping pintu ruang rawat.

Mendadak Rima dan Raja berfikir ini buruk.

"Raf..." pinta Rima. Ia menunggu jawaban.

"Rania harus merelakan janinnya." suara Rafa tercekat. Ia enggan melanjutkan. Ruby terus mengusap lengan Rafa.

"Ke-kenapa? Apa yang terjadi?" Rima menggeleng tak percaya. Baru dalam hitungan jam Rima melihat senyuman manja Rania kepada Aries.

"Abang?" sadar Rafa tidak bisa memberikan jawaban lengkap ia melompat pertanyaan.

"Banyak lebam di wajahnya. Sempat tak sadarkan diri tetapi fisik abang cukup kuat. Bahkan setelah dibersihkan luka-lukanya ia mau duduk di samping Rania.  Menunggu Rania sadar." Ruby lebih bisa menjelaskan walaupun suaranya bergetar.

"Rania belum sadar?" Rima malas menunggu jawaban dari mereka. Ia menerobos masuk ke ruang perawatan. Rima bergetar melangkah, Raja menggenggam tangan Rima sambil melangkah. Menatap arah di depannya. Rania terbaring memejamkan mata. Wajahnya pucat. Sementara Aries duduk di sampingnya sambil menggenggam tangan sang istri.

"Abang..." Rima mendekati Aries. Suara kencang Rima membuat Aries terkejut. Wajah Aries sungguh membuat siapa saja yang melihat miris. Jelas pukulan bertubi-tubi dilayangkan di wajah Aries.

"Kenapa bang?" Rima memeluk Aries yang berusaha berdiri menyambut Rima.

"Abang gagal jadi calon ayah. Semua karena kesalahan abang." suara Aries miris menyayat hati. Raja berdiri kaku melihat keterpurukan Abang yang sangat ia hormati.

"Rania tidak pantas menerima ini. Abang ikhlas tersiksa seumur hidup asal istri dan orang-orang yang abang sayang nggak menderita." Rima memeluk erat Aries. Ia tahu sekarang kewajibannya memberikan kekuatan untuk sang kakak.

"Ini mungkin teguran buat abang." lirih Aries sekali lagi. Raja mendekati Rania yang masih memejamkan mata. Aries dan Rima memperhatikan. Aries kembali duduk dan menggenggam kembali satu tangan istrinya.

"Rania bang..?" Rima tak kuat melihat wajah sendu kakak iparnya lemah di tempat tidur.

"Dia belum tahu..." jelas Aries parau.

Aries masih teringat dengan jelas saat sebelum Rania pingsan, Rania berlari menghampirinya dan jatuh tersungkur karena tak kuasa menahan tangis melihat dirinya mendapat pukulan dan hantaman bertubi-tubi. Ia masih mengingat teriakan ketakutan Rania tak berdaya saar itu. Rania jelas kebingungan.

Saat dimana ia mengetahui sisi lain dari suami yang sangat dibanggakannya. Sanggupkah Aries memperlihatkan wajahnya setelah ini? Ia mulai merasa tidak pantas. Bahkan ia tidak mampu menjaga dua cahaya hidup barunya. Dan sekarang ia ikhlas tersiksa jika kebahagiaan Rania adalah ganjarannya.

TBC...
Jumat, 29 April 2016
-mounalizza-
Mari Ruwet bersama-sama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top