21 - MENYERAH BERJUANG
(Part ini khusus Raja Rima)
Mulmed : One Direction - You and I
You and I
We could make it if we try
•••
Siang di Cafe, di sebuah Mall.
"Maaf telat yah Rim.." seorang pria duduk di depan Rima yang sudah menunggunya sekitar beberapa menit yang lalu. Rima hanya mengangguk dan menyunggingkan senyum manis untuk Jhonatan. Sore ini mereka sudah janjian untuk bertemu.
Rima sudah empat hari keluar dari rumah sakit dan luka di tangannya sudah semakin membaik, walaupun masih dibalut perban tetapi Rima tidak merasakan sakit terlalu. Kepalanya sudah membaik, lukanya memang tidak terlalu parah. Ia cukup beruntung pemulihannya berlangsung cepat.
"Gimana tangan kamu?" tanya Jhonatan membalas senyuman untuk Rima. "Aku baik-baik saja." Rima menatap Jhonatan duduk di hadapannya.
"Maaf yah tadi seharusnya aku menjemput kamu." sesal Jhonatan, Rima memakluminya. Bisa bertemu dengan pria ini sudah lebih dari cukup. Baru hari ini ia diperbolehkan pergi keluar rumah, itupun ia berbohong dengan alasan pergi dengan Ruby.
"Aku tadi diantar Ruby saudaraku." ucap Rima malu-malu. Kenapa berdekatan dengannya ia menjadi gugup dan sulit bersuara? Tersiksa memang, tetapi mungkin dengan sendirinya akan terbiasa. Harus..
Bagaimana jika ini akan berlangsung lama? Sedangkan janji jawaban ia untuk Raja tinggal menghitung hari? Tidak, tidak ini harus dibiasakan.
"Sudah makan?" tanya Jhonatan. Rima menggeleng. Jhonatan mengambil buku menu yang memang sudah tersedia. Ia membacanya, sementara Rima hanya sibuk memandangi wajah sempurna Jhonatan.
Kulitnya cokelat dengan alis tebal yang tampak syahdu. Matanya membuat siapa saja yang menatap terkagum. Mata itu tidak menatap sinis seperti milik Raja. Rima menggeleng karena wajah Raja berseliweran tanpa diundang di isi kepalanya.
Mata Raja memang terkenal jutek tetapi mata itu mampu membuat ia nyaman. Merasa tenang dan aman jika mata itu menjaganya. Sedangkan mata Jhonatan seperti mata pria kebanyakan.
Memangnya Raja bukan pria?
"Kamu pesan salad aja yah? Aku lihat kamu sedikit tembam setelah sembuh. Mungkin obatnya membuat kamu mudah lapar." ucap Jhonatan. Rima hanya diam karena ia terlalu sibuk memikirkan perbedaan mata Raja dan Jhonatan.
Enyahlah kau kuno!!! Teriak Rima dihati.
"Oke aku akan pesankan makanan. Kamu tunggu di sini yah. Sepertinya pelayannya sedang sibuk." Jhonatan berdiri menjauh. Rima melihat tubuh itu menjauh.
"Kenapa gue dipesenin salad?" gerutu Rima tersadar. Ia merapikan tatanan rambut dan menyeka cairan yang keluar sedikit di bagian hidungnya. Entah kenapa ia merasa akan terserang flu. Cuaca memang selalu mendung sejak kemarin. Rima sadar ia memaksakan kehendak untuk menemui Jhonatan. Ini sebagai salah satu bahan pertimbangan agar ia semakin yakin.
Yakin memberikan jawaban untuk Raja.
"Aku udah pesankan salad, juga air mineral buat kamu. Ini penting buat kamu." ucap Jhonatan lembut kembali duduk di hadapannya. Rima segera luluh menatap senyuman itu.
Aji gile nih cowok.
Mungkin niat Jhonatan memang baik. Siapa yang akan mengingatkan dirinya merawat diri kecuali orang yang sayang dengannya.
"Kamu pesan apa?" balas Rima mencoba lembut. Sebenarnya hatinya sudah tertawa dengan tingkah lugu ini. Terang saja karena ini bukan dirinya, tetapi berdekatan dengan Jhonatan membuat ia merasa harus menjadi Rima yang berbeda. Rima yang lebih perempuan.
"Aku sudah makan. Tidak pesan apa-apa." jawab Jhonatan santai. Rima merasa bingung. Terakhir kali mereka bertemu pun Jhonatan tidak memesan makanan, hanya minuman. Apa memamg pola jam makannya sangat ketat?
"Yah kalau begitu kenapa kamu memesan untuk aku aja?" Rima merasa tak enak hati. Seakan dirinya membebani. Rima menarik tangan Jhonatan agar melihat pandangan menyesalnya.
"Hmm..." tiba-tiba Jhonatan mengalihkan wajahnya.
"Kamu nggak mau ke kamar mandi?" mendengar pertanyaan Jhonatan yang aneh Rima menjadi bingung. Ia menggeleng pelan. Ke kamar mandi?
Apa memang setiap wanita terbiasa pergi sejenak ke kamar mandi? Ia memang gugup tetapi tidak mengurangi rasa beraninya. Pertemuan seperti ini harus dibiasakan bukan?
Rima harus lekas mencari tahu keputusan apa yang harus ia pilih. Beberapa hari ini semenjak Raja menemaninya di rumah sakit ia memang meminta Raja menjauhinya. Awalnya Raja menolak tetapi Rafa dan Ruby membantu dirinya agar Raja setuju.
"Ga bisa, oke gue setuju waktu lo satu minggu tapi kita tetap bertemu."
"Terus gimana gue bisa yakin kuno?"
"Ah lo belagu yah lama-lama toa. Mau kagak?"
"Tapikan kalo kata orang dijauhkan dulu baru kita tahu nilai kedekatannya."
"Lo kira gue layangan. Ga bisa toa, lo lagi cedera belum lagi cowok yang foto bareng sama lo bisa aja ganggu konsentrasi lo."
"Yee kan emang gue sedang memilih."
"Nggak setuju. Titik."
"Gue juga sama. Titik.."
"Ya udah di pending aja."
"Ya udah ga masalah. Dasar kuno."
"Haduh.. Sabar saudara-saudara. Tenangkan diri kalian. Rima cantik jangan marah sama Raja. Saudara gue niatnya baik.."
"Iya Raja tampan. Maksudnya Rima bener kok. Dia butuh waktu, lagian lo tenang aja. Ada gue yang selalu memantau. Percaya sama si Ruby ini. Gue kan juga maunya Rima sama lo."
"Ko lo jadi bela dia si By. Gue kan saudara lo?"
"Heh toa, Ruby tahu mana yang bener mana yang salah."
"Udah Ja. Lo percaya sama kita. Minggu depan keputusannya. Biar gue sama Ruby yang jaga Rima. Oke.."
Kenapa sekarang Rima semakin memikirkan Raja. Sudah empat hari ia tidak bertemu. Mendengar suara ketusnya. Nyanyian kunonya pun kenapa terasa ia rindukan.
Tapi sekarang di hadapan Rima duduk dengan tampannya seorang Jhonatan. Untuk apa lagi memikirkan Raja, walaupun Jhonatan bertingkah aneh. Mengurangi nilai di mata Rima.
"Hmmm.. Rim maaf aku pergi yah ada urusan mendadak." ucap Jhonatan berdiri sambil meletakkan satu lembar uang kertas berwarna biru di sekitar meja. Bahkan makanan yang dipesan saja belum datang.
Baiklah, nilai kesopanan pria ini semakin buruk di mata Rima.
"Loh kamu mau kemana? Kan kita sudah janji mau nonton?" Jhonatan hanya menatap sekilas lalu kembali memalingkan wajah. "Maaf banget, aku buru-buru. Bye..." pria itu berjalan cepat seolah takut terkejar. Rima tetap duduk menatap kepergian Jhonatan.
Kenapa pria itu pergi tiba-tiba? Apa ini pertanda agar keputusannya semakin mengarah untuk Raja. Tapi...?
Bisa dinilai sendiri tingkah Jhonatan diluar dari kata perhatian. Bahkan meremehkan waktu. Terlebih caranya memilihkan menu makanan. Tidakkah kamu tersinggung Rima?
Bayangkan jika Raja? Rima masih terus bertarung dengan dirinya sendiri. Perihal meyakinkan keputusan yang akan ia ambil.
Jika ia sedang duduk makan bersama dengan Raja, hal pertama yang akan dipersilahkan oleh Raja adalah..
"Lo mau pesen apa? Pesen yang lo mau. Jangan ambil makanan milik gue, jadi kalau lo mau pesen double nggak masalah. Eh tapi jangan deh, sayang kalo entar nggak diabisin sama lo. Lo boleh cobain makanan gue tapi jangan banyak-banyak. Terus jangan pesan kerang. Lo kan alergi sama kerang. Gue nggak mau gendong lo kalo abis makan nanti lo klenger terus muntah-muntah. Toa udik."
"Iye bawel banget. Belum juga makan udah kenyang sama ocehan lo."
Rima tertawa sendiri menatap salad yang baru saja datang. Ia mengingat Raja kembali.
"Sok model lo ah pesen salad doang. Makan nasi aja. Entar lo sakit toa."
Ledekan ketus yang selalu terjadi itu bagai nyanyian rindu. Jika semakin ia pikirkan ada rasa nyeri di dada yang ia sendiri tidak mengerti rasa apa itu.
"Ck.. Sialan lo kuno." ucapnya sendiri. Ia mengaduk-aduk salad itu dengan malas. Lebih baik ia keluar dari mall ini. Mencari taxi dan segera pulang.
Sebenarnya Ruby sudah berpesan agar menghubunginya jika ia merasa tidak betah atau gagal kencan. Tetapi..
Rasanya ia malu jika mengatakan kencan kali ini benar-benar gagal. Bahkan ia tidak tahu di mana letak kesalahannya. Dipastikan Ruby dan Rafa akan kembali menceramahinya membandingkan setiap pria dengan Raja si kuno itu.
Lama berjalan, Rima duduk di kursi dekat tangga jalan mall itu. Suasana mall siang itu sedikit sepi, selain bukan waktu weekend tetapi memang suasana hatinya juga sepi. Ditambah Rima merasa tangannya sedikit nyeri. Mungkin memang ia belum diperbolehkan banyak gerak dan pergi terlalu jauh. Ini mungkin karma karena ia membohongi sang mama keluar rumah.
Rasanya lengkap sudah. Kecewa, nyeri dan rasa rindu menjadi satu. Ia merindukan Raja. Ia ingin menatap wajah galak itu. Masih ada beberapa hari lagi mereka bisa bertemu.
"Kencan lo gagal?" Rima tersentak oleh sebuah suara. Ia mendongak menatap arah di depannya. Berdiri menjulang sosok yang ia rindukan. Raja sedang menaikkan alisnya sambil menatapnya tajam. Apa Rima sedang bermimpi?
Pria ini berdiri sombong di depannya? Seharusnya ia tersinggung tetapi ia merasa wajah ini mampu menjadi obat rasa kecewanya. "Heh toa kenapa senyum?" bahkan suara ketus ini semakin membuat ia bahagia. Rima, sepertinya isi kepalamu butuh pencerahan.
Dan tanpa di duga Raja menarik ujung t-shirt miliknya sendiri, menjadikannya saputangan. "Ck..lo jadi cewek nggak ada rapinya yah." tanpa diminta Raja membersihkan bagian hidung Rima.
Rima yang tak siap mendadak diam tak bergerak. Wajahnya tepat berada di depan perut Raja. Bahkan ia bisa melihat kulit bagian dalam di sekitar perut Raja.
Gerakan Raja seperti ia sedang membersihkan hidung seorang anak kecil yang kotor.
"Apaan sih.." Rima menepis kegiatan Raja. Ia menjauhkan kepalanya, matanya baru saja menatap fokus perut Raja. Bukannya ia tidak pernah melihat dada telanjang Raja, hanya saja kenapa kali ini ia merasa risih.
"Ada kotoran tuh di sini tadi.." Raja duduk di samping Rima sambil merapikan rambut gadis itu.
"Hah? Serius lo gue ada upil?" tanya Rima terkejut sambil mengambil kaca kecil di dalam tasnya. "Kenapa nggak bilang dari tadi sih lo. Ini pasti alasannya Jhonatan nggak mau lihat muka gue." gerutu Rima sambil menatap wajahnya. Benar-benar memalukan.
"Ini gara-gara lo sih Ja." desis Rima kesal menatap Raja.
"Dih dasar toa. Mana bisa gue lihat dari jauh upil lo." Raja menoel kepala Rima.
"Terus gimana dong!!! Nggak keren banget kencan gue gagal gara-gara ada penampakan upil." rengek Rima.
"Lagian dasar aja Jhonatan pengecut. Apa salahnya jujur kalo lo jorok." Rima cemberut lalu menutup matanya.
"Malu gue.. Biasanya gue selalu cek tampilan gue. Tapi tadi gue lupa."
"Yah ilah toa. Orang upilan itu wajar kali. Yang aneh itu orang yang kabur karena teman kencannya upilan. Bilang aja jujur kalau di hidung lo ada kotoran. Susah amat." Rima masih memejamkan mata. Ia baru ingat tadi Jhonatan menyuruhnya ke kamar mandi. Mungkin ini maksudnya.
"Ah memalukan.." Rima pasrah, mungkin jawabannya semakin jelas. Jhonatan tidak bisa dijadikan pilihan. Hanya karena kotoran hidung saja ia beranjak menjauh. Bahkan memberitahu saja tidak sudi.
Berbeda dengan pria di sebelahnya justru tanpa risih dan geli mengorbankan ujung pakaiannya untuk membersihkan kotoran itu.
"Lo belum makankan? Yuk makan gue laper." Raja berdiri dan menarik tangan Rima. Ia melirik tangan Rima yang satu lagi, masih dibalut perban.
"Masih sakit?" tanyanya pelan. Rima menggeleng. Ia pasrah ditarik oleh Raja. Isi kepalanya masih merasa malu perihal kotoran hidung yang mengganggu.
"Eh.. Ko lo bisa tahu gue kencan? Kan sesuai perjanjian kita nggak boleh ketemu." Rima tersadar, kehadiran Raja bukan hal tak disengaja.
Luas ibukota ini cukup besar. Mustahil Raja kebetulan berada di dalam mall yang sama. Terlebih Raja bukan tipe pria pengunjung mall sejati. Ia kenal kebiasaan Raja.
"Tadi gue telephone Ruby. Terus dia bilang lo lagi kencan." jawab Raja jujur. Bahkan terkesan menyudutkan bagi Rima. Mata Raja menatap tajam. Ini yang Rima rindukan.
Rima tahu, Raja selalu memantau dirinya melalui Ruby. Tak jarang suara ledekan Ruby terdengar saat Rima tak sengaja mendengar perbincangan mereka di telephone. Rubypun memang pribadi iseng yang senang sekali membuat Raja marah, karena jawaban Ruby yang tidak membuatnya puas.
"Udah ayo makan! Atau mau gue adukan ke mama kalo sebenarnya hari ini lo bohong mau pergi sama Ruby?" ancam Raja. Rima memalingkan wajahnya. Raja memang selalu tahu kelemahannya. Membayangkan kemarahan sang mama dipastikan akan berdampak di kelanjutan kisah hidupnya. Terpenjara dan semakin terkekang. Rima tidak akan membiarkan.
"Ayo." Raja menggandeng tangan Rima.
"Makan steak yuk." Rima hanya mengangguk dan mengikuti arah Raja berjalan.
Tangan Raja sungguh hangat. Kenapa Rima baru menyadarinya. Tangan ini sudah ia kenal sejak kecil. Bukan hanya mengusap atau tanpa sungkan membersihkan seperti kejadian sebelumnya. Tetapi tangan ini juga yang pernah mencubit pipi tembamnya saat ia masih balita. Menampar dan menjambak saat mereka sedang bertengkar. Bahkan tangan ini yang pernah membuatnya gugup karena usapan lembut beberapa waktu yang lalu.
Rima terkikik sendiri dengan kenangan yang tiba-tiba hadir di kepalanya. Ia bahkan mengingat betapa mereka berdua kompak mengganggu baby Safir dan Ruby. Tidak jarang mereka menjadi team kompak menangisi si kembar anugerah berharga milik Papa Kevin dan Mama Kimiiy. Si kembar itu penghalang mereka berdua saat masih balita.
"Heh toa, kenapa lo ketawa?" tanya Raja melirik Rima cengengesan.
"Gue kangen nyiksa Ruby sama Safir." Raja menaikkan alisnya. Rima sepertinya sedang mengalami kerusakan otak. Oh mungkin kepalanya tertiban toa. Tapi tetap manis di mata Raja.
Raja mengacak rambut Rima. "Oke gue juga lagi dendam sama sikembar. Nanti kita cari cara." Raja mengedipkan matanya. Sesuatu yang jarang Rima lihat. Akankah ini suatu pertanda?
Mereka sampai di sebuah restoran yang menyediakan macam-macam menu. Raja memesan steak dan cream soup sedangkan Rima memesan pasta.
"Lo lagi diet ko tadi gue liat lo pesen salad?" Rima hanya diam tak menjawab. Malas ia mengingat kencan anehnya tadi. Masih dibilang kencankah? Pertemuan tidak sampai sepuluh menit.
"Udah, orang kalo baru sembuh sakit harus kuat. Lagian lo nggak gendut, gue nggak suka wanita sok diet.." kenapa Raja seperti ini. Batinya Rima semakin menjadi-jadi.
Suka? Jadi Raja suka sama Rima? Karena itu dia mau tampil apa adanya, terbukti Raja menerimanya apa adanya. Rima menggelengkan kepala, mendadak ia gelisah. Apa ia juga suka dengan Raja? Cara Raja mengkhawatirkannya selalu ia suka.
"Heh toa.." Raja mengganggu lamunannya. Rima sendiri baru sadar jika makanan yang ia pesan sudah tersedia. Posisi mereka berhadapan dan tiba-tiba Raja berpindah tempat di sebelahnya. Ia menarik hotplate steak miliknya.
"Ayo makan." Raja mengambil garpu untuk Rima menikmati pasta pesanannya. Ia juga menyodorkan cream soup. Raja rupanya ingat kesukaan Rima. Selain shusi, Rima selalu menyukai cream soup.
"Ini cream soup juga buat lo." Rima menatap Raja. Kenapa ia ingin memeluk pria di hadapannya. Sejujurnya selama ini selain Aries sang kakak hanya Raja yang selalu ingat makanan kesukaannya cream soup.
Rima, hanya karena cream soup? Lantas kau mau memeluk Raja? Alasan aneh.
"Heh toa kenapa jadi liatin gue?" Raja menaikkan alisnya. Bahkan alis itu mampu membuatnya tersihir.
Rima sadar, kamu lapar dan butuh asupan makanan agar konsentrasi lebih fokus.
"I- iya.." Rima memalingkan wajah dan mengaduk-aduk pasta itu. Ia menelan terlebih dahulu satu sendok soup hangat. Kehangatan menjalar di tubuhnya. Perasaan ini nyata tetapi kenapa ia seperti bermimpi.
Baru ia sadari berdekatan dengan Raja selalu menghangatkan hatinya. Mendidih kadang-kadang.
"Nih.." baru saja Rima membuka mulut ingin memasukan pasta dari sendoknya, Raja sudah menyuapinya satu potong daging steak dari garpu miliknya. Rima tanpa sadar menyambut suapan itu. Menguyah potongan daging itu.
"Gue sebenarnya nggak suka berbagi makanan, tapi lo kan butuh energi lebih kuat. Jadi asupan daging lo harus ada." ucap Raja pelan. Ia lalu kembali memotong-motong steak itu.
"Lo mau kentang gorengnya?" tawar Raja sambil menunjuk kentang goreng di sekitar hotplate. Rima menggeleng, rasanya Rima ingin menangis.
Baiklah Rima, mungkin efek kepala pusing dan sedikit demam mampu merubah sifat lo sekarang. Tahan Rima.. Tapi Raja...
"Gue kangen sama lo Ja." suara pelan itu mampu di dengar Raja. Versi pelan Rima masih dalam ukuran suara bervolume sedang. Pendengaran Raja masih normal hanya untuk mendengar suara Rima.
Rima menggigit bibirnya. Ia sudah terlanjur mengatakan.
"Gue juga." balas Raja tanpa menatap wajah Rima. Ia sedang menikmati daging panas penuh energi. Rima kembali menikmati makanannya. Lebih tepatnya mereka, tanpa menatap dan tetap fokus kepada makanan masing-masing.
"Lo mau pasta Ja?" andai semua orang yang mengenalnya melihat betapa akurnya mereka mungkin tawa dan ledekan akan menggema. Di hati mereka yang terdalam mereka sungguh bersyukur jika saat ini tidak ada orang yang dikenal.
Ini sebenarnya kondisi tercanggung mereka, tetapi tidak ada canggung di dalam kamus Raja dan Rima.
"Nih.." baik Raja dan Rima saat ini sedang memberikan makanannya di piring masing-masing. Raja meletakan satu potong daging cukup besar di piring pasta milik Rima. Sedangkan Rima memberikan selilit pasta di hotplate itu. Terlihat akur bak pasangan berbagi.
"Thanks.." jawab mereka bersamaan, lalu keduanya saling melemparkan senyum.
Mereka sadar akan satu hal.
"Kita nggak cocok Ja begini." Rima geli sendiri melihat tingkahnya saat ini. Raja mengangguk. "Aneh yah?"
Sebenarnya ini normal bagi kebanyakan pasangan, tapi tidak bagi mereka.
Mereka kembali menikmati makanan. Terasa nikmat dan sangat lezat. Mungkin si pembuat makanan ini sedang jatuh cinta, pikir mereka berdua. Jika memang seperti ini rasanya jatuh cinta dan membaginya kepada semua, Rima mungkin mau merasakan jatuh cinta.
"Nih minum.." Raja menyodorkan milkshake cokelat untuk Rima.
"Minum air mineral dulu, lo minum obat kan?" Rima membuka tasnya. Sadar Rima sedikit kesusahan karena satu tangannya masih dibalut,Raja menarik tas itu dan mengambil satu kotak kecil berisi obat. Ia lalu membuka kotak bertuliskan 'siang'. Dengan teliti Raja membuka bungkus obat itu. Meletakkannya lansung ke arah mulut Rima.
"Obatnya mengandung obat tidur?" Rima menggeleng.
"Malah lapar terus.." Raja tertawa lalu mengacak rambut Rima.
Tertawa? Rima seperti asing menatap perlakukan Raja yang manis. Ia bergidik ngeri. Antara tak percaya dan juga takut. Apa ini nyata? Bisakah mereka seperti ini selamanya?
"Lo pulang naik taxi aja yah. Gue naik sepeda soalnya." Raja menarik Rima pelan setelah selesai urusan di kasir. Rima tidak bersuara ia hanya mengikuti genggaman tangan Raja. Nyaman, hangat dan terasa dilindungi. Mereka berjalan ke arah lobby untuk mencari taxi.
Bugh.
Raja tiba-tiba berhenti dan Rima yang sedang melamun menubruk tubuh Raja. Rima baru saja ingin berteriak kesal karena tangannya sedikit nyeri tetapi Raja justru menarik tubuh Rima ke tempat di mana ia meletakkan sepeda.
"Haduh Ja. Gue kan naik taxi kata lo, kenapa lo seret gue ke tempat parkir sepeda?" kebetulan tempat parkir sepeda berada di depan lobby utara. Sebelumnya mereka menuju lobby timur.
Wajah Raja tampak murung, sesekali ia melirik arah kanan kirinya. Raja terdiam saat berada di depan sepeda miliknya. Rima masih menunggu penjelasan dari Raja.
"Hmm.. Gini, lo bareng gue dulu tapi nanti kalo situasi aman, lo cari taxi dan pulang. Oke..?"
Aman? Kenapa wajah Raja tiba-tiba berubah?
Bip.
Razi : dimana Ja? Hati2 gue diikutin sama mereka. Sedikit cedera..
"Sial.." gerutu Raja yang ingin sekali membanting ponselnya. Dia dan Razi memang sudah diberikan peringatan oleh Aries, jika mereka bertiga harus berhati-hati. Ini akibat keusilan mereka beberapa waktu yang lalu.
"Ayo lo bareng gue." beruntung sepeda yang dipakai Raja memiliki tempat duduk di belakang. Rima duduk menyamping saat Raja mulai mengayuhkan sepeda. Rima sedikit bertanya, kenapa Raja membawanya di jalanan sepi dan sempit. Ini bukan jalan utama.
"Ja kenapa lewat sini sih?" tanya Rima bingung. Ia memeluk pinggang Raja dengan satu tangannya. Raja tetap mengayuhkan sepedanya cemas. Sesekali ia melirik ke arah kanan kirinya.
"Iya jalan utama pasti macet." Raja melewati jalur yang sulit diikuti mereka yang mengendarai roda empat.
"Ja.." tanya Rima lagi. Sesungguhnya ia merasa nyeri di tangannya. "Nanti aja yah lo tanya-tanya lebih lanjut." Raja tidak membentak tapi tidak juga santai saat mengatakannya. Rima merasa semakin sakit di bagian tangan. Ia lebih memilih kembali diam. Raja pasti punya alasan dan Rima harus mempercayainya.
"Isshh..." rintihan Rima terdengar jelas oleh Raja, terlebih pelukan dipinggangnya terasa kuat. Rima mencengkramnya dengan keras. Sadar ia sudah terlalu lama mengayuh, Raja berhenti.
"Kenapa Ima?" Raja memegang tangan Rima di pinggangnya. Sungguh tangan Rima terasa dingin. Ia menoleh ke arah belakang. Matanya melebar saat melihat wajah Rima pucat dan keringat keluar dengan mudah di wajah. Raja turun sambil terus memegang tubuh Rima. Suasana di jalan itu memang sepi.
"Ima badan lo dingin." Raja memeriksa di dahinya. Ia menengadah ke atas langit. Mendung sudah semakin gelap dan di sepanjang jalan kecil itu urung dilihatnya tempat berteduh yang layak. Berdiam di sanapun dikhawatirkan bisa dilacak oleh orang yang sedang mengikuti mereka.
Tempat sepi dan tidak adanya bantuan bukankah hal yang orang-orang itu inginkan? Raja tidak pengecut, ia hanya khawatir Rima terluka. Konsentrasinya dipastikan terpecah.
"Tangan gue nyeri Ja." ucap Rima parau. Raja memeluk Rima sebagai penopangnya.
Rintikan hujan mulai turun dari atas langit. Raja harus bisa mengambil keputusan. "Duduk di sini dulu." ia membantu Rima duduk di tepi jalan. Raja membuka tas kebutuhannya yang memang selalu ia bawa. Ia mengeluarkan perlengkapan jas hujannya. Raja membuka jas hujan dan ia pakaiankan di tubuh Rima.
"Gue nggak mau pakai ini Ja." gerutu Rima yang ditarik berdiri kembali oleh Raja lalu dipasangkan jas hujan. Rima menurut karena ia merasa sudah tak bertenaga. Seluruh ototnya terasa lemas tak kuat bergerak aktif.
"Ayo lo duduk di depan aja!" Raja meletakkan handuk kecil miliknya sebagai alas agar Rima merasa sedikit nyaman duduk menyamping.
"Gue di belakang aja." Rima berkata lemah. Raja sudah menduga jika kondisi Rima semakin menurun.
"Nanti lo jatuh Ima." tarikan lembut Raja disambut Rima. Rasa tegang merambat di tengah tubuh lemasnya. Ia sudah pasrah. Jantungnya berdegub kencang karena posisinya sangat rentan. Antara sadar dan tidak Rima duduk di depan Raja.
"Peluk gue aja kalo lo ngerasa takut. Gue mau ngebut nih." ucap Raja sebelum mengayuhkan sepeda kembali. Dada Rima terasa sesak. Ia sulit bernafas terlebih menatap dada Raja yang siap menantinya untuk bersandar di sana.
Rima fokus! Ucap Rima dalam hati. Tersadar pengendalian dirinya hari ini kacau karena kehadiran Raja. Rima menatap jalanan samping dan sesekali tangannya ia letakkan di tangan Raja yang berada di depannya. Rintikan air hujan membuat sedikit wajahnya basah lalu air hujan turun semakin banyak.
"Ja lo keujanan?" tanyanya merasa tak enak. Kepala dan tubuh Raja sudah basah kuyup akibat guyuran hujan. Tetapi pria itu masih saja mengayuhkan sepeda tanpa perlu repot menjawab pertanyaan Rima. Dirinya sudah terlanjur basah jadi untuk apa disesali. Prioritas utamanya adalah Rima tidak terkena hujan.
Tanpa sadar tangan Rima memeluk Raja. Menyandarkan kepalanya di dada basah Raja. Semakin lama matanya terasa berat dan gelap menyambutnya.
"Imaa..." teriak Raja yang tersadar karena pelukan Rima dipinggang terlepas. Raja semakin mempercepat laju sepedanya. Ia menembus hujan yang begitu deras tanpa perduli akan keadaan dirinya. Ia tidak akan menyerah untuk memperjuangkan musuh abadinya.
"Nggak.. Gue nggak akan menyerah berjuang dapetin lo Ima.." ucapnya semakin kencang menembus hujan bersama Rima berada di dalam dekapannya.
TBC..
Sabtu, 09 April 2016
-mounalizza-
Mari kita ruwet bersama-sama.
Maaf yg menanti pasangan lain, antri saudara-saudara semua sesuai alur..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top