12 - DITOLAK MENIKAH
Wuiihh part kmrn itu sungguh sesuatu yah. Giliran ada ehem-ehem melipir smua. Hahahah tp aku berharapnya setiap part. Jujur pas lihat banyak yg coment aku pgn lanjut tapi apa daya gigi cenat cenut dan obat peredanya bikin ngantuk jd aku ngambang.. Konsentrasi kacau. Hahaha.
Sorry for typo.
Pagi di rumah Rima.
"Ma ini udah selesai." jelas Rima dengan wajah puas kali ini, bahkan senyumannya mengandung arti berbeda. Rima baru saja membuat roti bakar cokelat keju dengan siraman susu kental manis. Sangat-sangat tumpah ruah isi cokelat di roti itu. Sarapan pagi yang sangat manis dengan tujuan si pemakan roti itu terkena diabetes.
Terlalu manis juga mengandung racun. Mengganggu kerja pankreas dan berindikasi pada penyakit lain. Kebaikan mengandung unsur. Hanya itu yang bisa Rima lakukan agar si penikmat hasil karya sarapan tiap paginya menyerah, lelah, kapok bahkan seharusnya trauma. Tapi...
"Kamu mau buat Raja potensi diabetes? Pria semanis Raja mau kamu jerumuskan ke bahaya kesehatan jangka panjang?" dan Rima menyesal telah menunjukan hasil karyanya. Jika tahu sang mama akan protes lebih baik tadi dia langsung pergi saja memberikan sarapan kepada manusia kuno itu. Toh apapun yang Rima buat Raja selalu memakannya. Entah lapar, doyan atau memang maruk. Rima tidak perduli.
"Buat lagi roti cokelat keju yang sederhana." perintah Prisilla. Rima menghentakkan kakinya. Kenapa hidup begitu tega kepadanya. Setiap pagi dia harus sibuk di dapur mengurusi sarapan pagi anak orang. Suami saja bukan. Rima bergidik ngeri berandai seperti itu.
"Ma di sebelah itu kan orang ber-ada. Pembantu punya, tinggal suruh juga bisa buat aneka macam sarapan. Terus nih ya ma kan ada Ratu adiknya si kuno. Kenapa aku ma? Ini namanya mengganggu kenikmatan dunia pagiku ma. Ini menyimpang dan bisa jadi sudah mengarah ke ketidakadilan hak azasi manusia." protes Rima sambil menyiramkan mesis pada selembar roti. Toh pada akhirnya dia akan menurut, baginya titah sang mama tak terbantahkan. Mau tidak mau, suka tidak suka harus dilaksanakan.
"Terus yang paling terlihat dari kacamata hatiku. Mama Rachel itu sangat handal memasak jadi besar kemungkinan pasokan sarapan buat si kuno itu aman ma. Masa nggak diperhatikan manusia maruk model Raja. Nggak mungkin mama Rachel sejahat itu." cerocosan panjang Rima terdengar seisi rumah.
"Ini namanya latihan." Prisilla tertawa di sampingnya. Tak lama Ibu Ipah, Bapak Dullah dan Ar masuk ke ruang makan. Mereka juga hendak sarapan pagi. Suara tanya jawab Rima dan Prisilla memang menjadi adegan wajib di keluarga itu.
"Rim abang lo belum bangun?" tanya Ar. Rima menggeleng tidak tahu dan Prisilla melirik jam dinding.
Ini sudah pukul delapan pagi. Kenapa putra disiplinnya tidak keluar kamar? Prisilla tersenyum lega. Tidak sia-sia ia meletakkan aneka roti, buah dan kudapan lainnya di kamar pengantin baru. Setidaknya jika mereka malas keluar kamar mereka tidak melupakan mengisi energi untuk melakukan aktifitas seru di sana.
Impian Prisilla menjadi mertua keren tercapai. Dia mau merubah citra mertua jahat dengan aneka sifat kejamnya. Dia memang mencontoh sikap Ibu Ipah kepadanya. Mertuanya selalu menganggap Prisilla sebagai anak perempuan yang tidak ia punya. Selain Kimberly yang memang yang memang berbagi air susu dengan suaminya, hanya Prisilla yang disayang Ibu Ipah.
"Biar Rima panggil." Prisilla menghalangi. "Eits..Urusan kamu dengan roti bakar ini lalu bertandanglah ke rumah sebelah." cerocos Prisilla.
"Besok bikin nasi uduk Rima buat Raja, jangan roti. Kemarin waktu nenek buat nasi uduk dia terlihat lahap sekali."
"Ah dia apa juga ditelen. Lagian nek masa pagi-pagi aku suruh sibuk buat nasi uduk kan rempong." cibir Rima kesal.
"Eh nenek dulu sebelum subuh aja sibuk buat itu buat jualan. Sekarang aja udah kagak boleh lagi sama dia tuh." lirik Ibu Ipah kepada Ar.
"Yah lagian emak kayak kurang duit aje masih mau jualan nasi uduk sama gado-gado lagi. Emangnya Ar anak durhaka." bela Ar. Prisilla juga mengangguk. "Gimana kalo Rima aja yang belajar cari duit dengan jualan gado-gado?" bukan hanya Ar yang menyemburkan makanannya Bapak Dullah tak kalah kagetnya.
"Heh, anak perawan gue mau lo suruh jualan gado-gado? Udah gila nih bini satu. Kurang dibelai ape lo sama gue?" Prisilla mencubit tangan suaminya.
"Bukan begitu." bela Prisilla. Rima yang berada disitu hanya diam saja. Dia sudah terbiasa dengan kata-kata menakjubkan sang mama.
"Di samping bengkel Raja kan ada kios kecil nah Rima bisa gunain buat jualan makanan mungkin. Ya bukan Rima yang buat gado-gado kan bisa perkerjakan orang tapi Rima yang ngurus semuanya. Daripada dia nggak ada kerjaan." adakah lagi ide sang mama yang tidak ada urusannya dengan si kuno? Sampai urusan gado-gado Raja ikut hadir. Raja memang pantas diuleg bersama cabai dan kacang.
"Rima kan sibuk punya blog ma. Rima juga punya tugas buat cerpen di salah satu majalah wanita. Nggak ada waktu ma buat urusan uleg-uleg bumbu kacang, tapi kalo mama izinin biar Raja-nya aja yang Rima uleg pake cabe juga Rima lakuin, tiap hari sebelum tidur bahkan pagi buta Rima rela." bela Rima serius.
"Karena kamu nulis kaya gitu mama ga setuju. Heh mama baca tulisan kamu yang menyayat hati. Sesak Rim, tega amat buat jalan cerita begitu. Sampai akhirnya mama buat satu kesimpulan kamu itu kurang dapat bumbu asmara makanya buat cerita kejam begitu." Prisilla mendekati putrinya.
"Mama, papa dan kakek nenek mau kamu punya pendamping kaya abang kamu sekarang." wajah Prisilla serius, diikuti para orangtua di sana. Bahkan sang papa juga terlihat mendukung. Rima menelan ludahnya. Ada yang tidak beres ini. Komplotan yang mencurigakan.
"Mama ini aneh, ini hanya urusan roti bakar lalu berubah menjadi nasi uduk. Terus aku disuruh jualan gado-gado kenapa jadi ujung-ujungnya ke pendamping hidup. Jadi menurut mama nanti saat aku lagi nguleg bumbu kacang tiba-tiba ada yang ngelamar aku gitu?" Prisilla menoel kepala putrinya.
"Maksud mama kamu itu harus jatuh cinta biar hobby menulis kamu tidak membuat yang baca malah sesak bahkan tambah stress. Cerita kamu itu kejam. Kamu harus tahu yang namanya jatuh cinta."
"Ya emang beginilah dunia. Masih banyak ketidakadilan di luar sana."
"Udah nanti aja kita lanjut bicaranya. Sekarang antarkan sarapan ini ke sebelah. Kasihan Raja nanti telat makan."
"Nggak mau ah. Suruh mbak aja." Rima mencari di mana keberadaan pembantu rumah tangga di rumahnya.
"Ya sudah kalo nggak mau, mama mau telephone Ruby aja. Biar dia yang buatkan untuk Raja. Kalau kamu nggak mau sama Raja masih ada yang lain. Kami mau mendekatkan mereka." ucap Prisilla ceria.
Mendekatkan siapa? Ruby? Kenapa para orangtua senang membuat anak-anaknya ruwet sih? Rima mendengus sebal. "Udah sini aku yang anter, sekalian pamit deh mau jalan ke kampus.." setelah bersalaman dengan para orangtua Rima berjalan ke luar ruangan sambil menggerutu. Prisilla tertawa menang.
"Lo itu kalo sama Rima kenapa selalu begitu sih?" Ar memakan kembali sarapannya.
"Biarin Jak. Anak perawan lo kurang lembut sama laki. Umuran segitu udah boleh dikawinin." bela Bapak Dullah yang daritadi diam saja.
"Sama aja ini mertua sama mantu."
"Tapi bener Jak, Rima itu harus segera dicarikan jodoh. Kalo dia kagak mau sama Raja juga nggak apa-apa yang penting dia kagak kesepian." Ibu Ipah bersuara. Prisilla mengangguk.
"Sendirian aja udah rame, kapan sih tuh anak pernah sepi suaranya?"
"Tapi aku maunya Raja yang jadi mantu.." Ar menggeleng melihat tingkah istrinya. Ini seperti obsesi Prisilla.
•••
Pagi di rumah Raja.
"Pagi, Oma sudah makan?" tanya Satria kepada Oma Tiara yang duduk di taman rumahnya. Tiara yang sudah renta memang sedang menginap di rumah sang cucu Rachel istri dari Satria. Walaupun sudah sangat tua tetapi kesehatan Tiara terjaga dengan baik. Hanya saja kepikunan mulai melanda.
"Belum, Oma belum di kasih makan." jawab Tiara seadanya. Rachel dan Ratu yang memang sedang duduk di sana saling menatap. "Oma baru lima menit Ratu bawa piring makan Oma." jelas Ratu bingung.
"Iya yah? Oma lupa." Satria dan Rachel memang sudah tahu perihal kepikunan Oma Tiara. Selagi kesehatan masih terjaga mereka akan merawat dan menjaga nenek kesayangan semua orang.
"Ma ko sarapanku lama amat datangnya? Mama nih pilih kasih. Masa sarapanku didatangkan dari rumah sebelah." Raja datang dan langsung duduk di samping Oma Tiara.
"Kamu ini sabar aja apa. Mungkin Rima masih sibuk."
"Ah sengaja dia lama-lamain biar aku mati kelaparan." cibir Raja. Satria menggeleng melirik Rachel sang istri.
"Kalian mau merencanakan apa sih sama Raja dan Rima?" bisik Satria. Dia sangat tahu isi kepala sang istri. "Diem aja kamu. Ini urusan para istri." Rachel mencubit pipi Satria.
"Ini siapa?" tanya Oma Tiara memegang tangan Raja. "Ya ampun dari semalam Oma tanya ini terus. Aku Raja cicit tergantengnya Oma." Raja memeluk manja sambil mencium pipi Oma Tiara.
"Raja anaknya Rachel kan?" tanya Oma Tiara. Raja mengangguk sambil tersenyum sangat tulus kepada harta berharga keluarganya.
"Pagii.." dan seketika senyum Raja pudar, hilang berganti dengan wajah sinis sambil melirik ke arah suara berasal. "Cih.."
"Eh Rima sayang ayo sini. Tumben jam segini baru datang?" panggil Rachel kepada Rima. Rachel menepuk kursi kosong di sebelahnya. "Sini sayang duduk. Sarapan Raja mana?" Rima duduk dan membuka tempat makan berisi roti buatannya.
"Iya ma maaf telat, Rima sibuk banget di rumah." jelasnya manis. Apa sok manis? batin Raja mencibir. Ia melihat tampilan Rima yang sudah sangat rapi, bahkan terbilang kerapian. Mau kemana yah si toa? Oh mungkin rapat karang taruna.
"Ini Raja sarapan kamu!"
"Nanti aja ma belum lapar."
"Tadi katanya kamu lapar."
"Hilang selera ma." Rima hanya menampilkan senyum. Kepalsuan sangat jelas di wajah Rima.
"Ya sudah kalau nggak mau buat papa saja yah. Kamu nih Raja aja yang dibuatkan sarapan, papa nggak?" goda Satria kepada Rima.
Heran dengan panggilan akrab Rima kepada mereka? Sudah sejak lama mereka memberlakukan itu khusus kepada Rima dan Raja.
"Papa mau? Besok-besok Rima buatin buat papa aja deh." Rima melirik sinis Raja yang sedang asyik duduk manja sambil memegang tangan Oma Tiara.
"Kamu bagian Raja saja. Kalau papa kewajiban mama sama Ratu." Raja malas mendengar ucapan sang mama. Keluarga yang aneh. Senangnya merecoki kehidupan anak-anaknya.
"Dia siapa?" tanya Oma Tiara menunjuk Rima.
"Pengungsi korban banjir. Ganggu emang Oma, banjir semata kaki aja ngungsi ke sini." jelas Raja asal. Rima mendengus jengkel. "Rima Oma. Masa lupa kemarin Rima buatin pudding buat Oma." sapa Rima yang berusaha tak menatap Raja di sebelah Oma Tiara.
"Oh iya ya..."
"'Pa, aku bawa mobil yah.." ucap Ratu sambil berdiri dan hendak bersalaman.
"Ratu hari ini mau ke mana?"
"Mau jalan sama Raga dan Raka. Nanti pulangnya aku nginap di rumah mereka aja yah ma ada urusan sama Razi." Satria dan Rachel mengangguk.
"Hati-hati.."
"Terus ini yang nemenin Oma nanti malam siapa? Mama sama papa ada undangan. Raja pulang jam berapa?"
"Yah ma Raja nggak tahu deh. Rania aja mintain tolong. Di sebelah ini.."
"Rania belum keluar kamar ma.. Rima denger sih hari ini mau pergi honeymoon..."
"Kalo Rima pulang jam berapa?" tanya Rachel mencari tahu.
"Sore juga ada di rumah." wajah Rachel senyum lebar.
"Temani Oma yah.. Tolongin mama, ada sih perawat tapi kalo nggak dipantau kan tidak baik. Kamu tenang saja Raja juga ada di rumah. Cuma kalo dia yang jaga pasti ada aja ngaconya." Rima dengan terpaksa mengangguk. Sebenarnya dia sangat sayang dan dekat dengan tetangga ini sejak dulu. Hanya kepada Raja saja entah kenapa mereka sudah bermusuhan walaupun tidak pernah tahu apa sebab musababnya.
Musuhan seperti mendarah daging bagi mereka berdua.
"Ya sudah mama bisa tenang perginya. Kalian berdua harus kompak jagain Oma Tiara. Oke.." Rachel menatap bergantian Rima dan Raja. Mereka malah sibuk dengan persiapan keberangkatannya masing-masing.
"Rima jalan dulu yah.."
"Kamu naik apa?" tanya Satria.
"Taxi.."
"Yah baguslah dari pada nebeng Raja naik sepeda, nanti kamu jadi hitam.." ledek Satria. Siapa juga yang mau jalan naik benda pusaka itu. Rima tertawa mengejek dalam hati. Rajapun berdiri ingin berpamitan.
"Aku jalan yah. Heh bawain bekal gue!" seenaknya Raja memerintah. Rima menurut karena malas berlatih vokal dipagi hari. Sesampainya di depan Rima berjalan terus tanpa melihat Raja yang sudah bersiap naik sepeda.
"Heh mana makanan gue!" teriak Raja, Rima menatap sinis Raja. "Buat sendiri sana, ini buat gue aja." Rima berjalan kesal ke luar rumah. Rajapun mengayuhkan sepedanya pelan di depan Rima.
"Mau beli aja ah sendiri makanan. Atau palingan pacar gue entar juga bawain ke bengkel. Bye..." sepeda dan pemilik menyebalkan itu pergi meninggalkan Rima dengan segala kekesalan. "Dasar kuno nggak tau diri." Rima berjalan kesal menghentakkan kakinya.
Tin .. Tin..
"Berisik.." ketus Rima karena suara klakson mobil mendekat ke arahnya. Rima menoleh dan melihat kaca mobil terbuka, menampakkan wajah seorang pria tampan sedang tersenyum.
"Hai Rimaa.." wajah Rima berubah bagai bunga merekah. Cerah berwarna dan memancarkan kebahagiaan.
"Ayo aku antar.." ajak pria itu. Rimapun membuka pintu dengan senang hati. Raja yang masih tak jauh dari tempat itu hanya bisa menghela nafas kesal. Entah kenapa Raja tidak mau Rima dekat dengan pria penuh tanda tanya itu. Pria yang masih diperkirakan ikut serta dalam bisnis kotor. Akbar, ya Raja tahu itu Akbar.
"Pake senyum lagi si Ima. Awas yah entar malam.." janji Raja pasti.
•••
Menjelang sore di kamar Aries.
"Ariess.. Kamu mau kurung istri nggak apa-apa tapi kasih amunisi dong. Kasihan Rania." suara Prisilla setengah terkikik berbicara di depan kamar putranya.
"Jadi ingat pengantin baru dulu yah.."
"Ah dulu gue yang lo kurung. Nempel aje kerjaannye."
"Yee yang bikin aku aneh jalannya kan kamu."
"Hallah seneng aja lo gue gituin."
Suara percakapan yang membuat Rania malu. Baiklah mungkin rasa malunya sudah mulai hilang karena Aries memperkenalkan rasa malu yang indah secara bersama.
"Kak aku malu, ini kalo ketahuan mama sama young ma pasti dimarahin. Masa di rumah mertua nggak keluar kamar seharian." rajuk Rania manja. Mereka baru saja mandi dan tadi sudah berpakaian santai tetapi sekarang kembali lagi polos hanya bertutupkan selimut. Rupanya sang suami masih belum puas menikmati rasanya sekamar berdua.
"Nggak usah malu. Mereka pasti mengerti." jawab Aries santai. Ia memeluk Rania yang sedang bersandar di dada polosnya. Situasi kamar masih remang karena jendela tidak dibuka oleh Aries. "Kuncinya mana?" tanya Rania sekali lagi.
Sebelumnya setelah mandi pagi Rania bergegas keluar kamar tetapi entah di mana Aries menyimpan kunci kamar. Aries seperti enggan menghirup udara di luar kamar. Ia lebih memilih berduaan dengan Rania.
Rania.. Wanita yang berstatus istrinya. Wanita yang sudah ia janjikan kebahagiaan dan tanggung jawab untuk kehidupannya kelak. Kisah mereka baru dimulai dan perjuangan akan dimulai. Aries memang sudah berjanji akan memulai semunya dari awal.
Belajar mencintai Rania. Itu tugas pertama yang akan ia sanggupi semampu hati. Rania akan menjadi tujuan utama ia pulang, tujuan utama ia tersenyum. Janji Aries dalam hati.
Aries sadar hatinya harus segera merelakan Alvina, apapun kondisi yang menimpa gadis kesayangannya itu. Dia berharap rasa ini tidak lantas menggoyahkan janjinya dengan Rania.
"Kak.. Coba cari tahu kabar Mbak Alvina?" cicit Rania hati-hati. Dia tidak akan pernah menganggap Alvina musuh karena memang tidak ada niat Rania mencampuradukan rasa ini dengan kebencian.
"Ayolah Kak.." Rania tahu Aries menghela nafas, mungkin suaminya sedang berfikir. Tangan nakal Aries sudah tidak mengelus punggung polosnya lagi. Rania berusaha tenang dengan perkataannya yang bisa saja membuat Aries berubah, tetapi memang ini yang harus ia coba. Kepercayaan mereka berdua harus diuji. Dan Rania akan memulai dari dirinya sendiri.
"Kenapa kak?" Rania mendongak. Mata mereka bertemu.
"Dari semalam kakak tidak menghidupkan ponsel. Rencananya sampai pulang dari honeymoon. Kakak mau kita fokus dengan hubungan kita." wajah Rania merona. Aries membelai pipi Rania. "Aku mau tahu kabar Mbak Alvina.." pinta Rania sekali lagi.
Aries menggeleng. "Keluarga kita banyak yang membantu mereka, lagipula aku yakin Dimas bukan pria bodoh yang akan meninggalkan Alvina."
"Kenapa kakak bisa yakin?"
"Dari tatapannya dan juga cara Alvina menatap Dimas." ada nada sedih disuara Aries. Rania tahu itu. Rania beranjak dari pelukan suaminya. Ia ingin bergegas kembali ke kamar mandi untuk kembali membersihkan diri. Menyiramkan kembali tubuhnya yang sudah penuh dengan tanda-tanda yang diberikan Aries kepadanya.
"Mau kemana?" tangan Aries memegang lengan Rania, satu tangan Rania menutupi tubuh polosnya dengan selimut. "Mandi aku lapar masa dari pagi cuma makan roti sama cake."
"Mau kakak kasih tahu sifat kamu yang harus kamu rubah?" Rania awalnya bingung tapi ia mengangguk untuk mencari tahu.
"Jangan memendam pemikiran. Bisa jadi yang kamu pikirkan itu tidak benar. Tapi karena kamu pendam pikiran itu seolah nyata. Yang sakit kamu juga." Aries mencubit pipi Rania.
"Kakak janji akan membuka diri untuk aku?" tanyanya hati-hati.
"Pakaian aja aku buka masa hati nggak mau. Aku tidak sebrengsek itu." jawabnya yakin.
Aries akhirnya melepaskan pada akhirnya ia juga sadar jika Rania sangat sabar menuruti permintaan terpendamnya selama ini. Waktu masih panjang dan dia harus bisa menahan hasrat menggebu-gebu yang dia punya.
Honeymoon bahkan belum terlaksana. Aries tersenyum sendiri. Pernikahan bukan hanyalah penyaluran nafsu belaka tetapi penyatuan dua kepala asing untuk bersama mencari satu persamaan dalam menjalani hidup. Jika ke kanan ajaklah bersama ke kanan. Jika ke kiri rangkullah berdua ke kiri tetapi yang pasti berjalanlah berdampingan ke arah depan. Menuju hari esok yang bernama masadepan.
Aries duduk mengambil celana yang tergeletak tak berdaya di bawah sana. Ia hanya memakai celana tanpa baju, dia juga akan membersihkan diri setelah ini. Aries menghidupkan ponselnya. Banyak pesan masuk yang menyambut. Satu diantara yang lain yang menjadi fokusnya. Pesan dari Alvina.
Hatinya berperang antara ingin melihat atau tidak sekali tekan dia akan tahu keadaan Alvina yang paling terbaru. Menikah atau batal..
Aries duduk dengan rasa penasaran luar biasa hingga suara gemericik air di kamar mandi mengembalikan kembali janjinya. Pada akhirnya Aries menekan tombol panggilan. Menghubungi seseorang.
"Safir di mana? Bisa ke rumah sebelum jam tujuh malam? Baik abang tunggu." selesai berbicara Aries melempar ponselnya di kasur, lebih tepatnya mematikan kembali ponsel itu. Aries lalu berjalan ke kamar mandi. Kembali membersihkan diri bersama istri manisnya.
•••
Malamnya di rumah Raja.
"Haduh denger kabar pengantin baru keluar kamar sore hari yah?" goda Rachel yang sudah bersiap diri bersama suami untuk acara jamuan makan malam. Aries dan Rania mengunjugi rumah sebelah. Mereka mau menjenguk Oma Tiara dan juga pamit berbulan madu.
Waktu menunjukan pukul enam lebih lima menit. Ini sudah petang dan langit mulai gelap. "Mama mau pergi sama papa?" tanya Rania. Rachel mengangguk.
"Tadinya mama mau minta tolong kamu temani Oma, tapi ternyata kamu mau berangkat honeymoon yah malam ini?" Rania mengangguk malu, tersenyum kepada tantenya. "Tapi ada Rima yang mau bantuin mama, Ratu lagi nginap di rumah Razi." Rachel melirik Rima yang sedang duduk menyuapi pudding kepada Oma Tiara. Mereka cukup akrab ternyata.
"Mau honeymoon kemana bang?" timpal Raja. Aries ingin bersuara tetapi Satria melarang dengan gerakan tangan.
"Saran om jangan pernah membuka jalan kepada para pengacau mengganggu honeymoon kalian. Biarlah hanya kalian yang tahu. Kamu tahu acara honeymoon Om dulu kacau berantakan karena ulah mertua kamu." jelas Satria. Rania dan Aries terkikik geli.
"Kalo aku sih pa nggak akan ganggu. Tuh si toa yang pasti ganggu acara honeymoon kakaknya." Raja melirik Rima sebal. Sebenarnya Raja hanya mengetes tingkat emosional Rima masih standar versi dirinya atau tidak. Sejak datang sampai sekarang wajah Rima terus berseri seolah ia baru saja mendapat undian penuh harapan dari acara sayembara sabun cuci.
Raja tidak tenang dengan wajah ceria yang terpancar dari Rima. Dia tidak suka wajah itu tersenyum tanpa alasan yang jelas. Lihat saja sekarang, saat Raja mengajaknya bersilat lidah Rima hanya membalas dengan senyuman cantik dan menggemaskan. Itu bukan Rima dan ia tidak suka. Siapa yang membuat Rima tersenyum indah?
"Ya sudah kami berangkat dulu yah selamat bersenang-senang dan pulang membawa calon keturunan." sekali lagi wajah Rania merona.
"Ingat pesan Om jangan pernah memberitahukan lokasi kalian." Satria mengedipkan matanya. Rania memeluk Satria dengan sayang. "Kamu tahu saat mama kamu mengidam, papa ini selalu diganggu mama kamu setiap pagi. Mudah-mudahan nanti saat kamu ngidam kebiasaan aneh itu tidak menular."
"Wah masa udah ngidam aja baru beberapa hari tempur. Tokcer sekali abang kita ini..." Safir memang selalu bersuara tiba-tiba. Pria tampan itu hadir di ruang keluarga dengan wajah khawatir. Ia masuk sambil meneliti isi ruangan. Khawatir ada pengganggu konsentrasi.
"Kamu juga Fir. Mama kamu waktu ngidam senengnya gangguin suami tante." Rachel mencubit lengan Safir.
"Ah masa sih?" tanya Safir tak percaya. Rachel mengangguk.
"Mama papa kamu sudah berangkat?" Safir mengangguk.
"Bang bener nih Rania udah hamil?" tanya Safir.
"Belom ngaco, baru juga dijebol." goda Raja melirik Rania yang sudah melepas pelukan dan mendekati Raja lalu mencubit tangannya. "Aw.."
"Nanti kalo aku ngidam aku akan gangguin kamu." tanpa sadar Rania berkata polos. Aries menatap wajah istrinya. Tiba-tiba isi kepalanya menerawang, bagaiamana saat perut Rania membesar dan di dalam sana sedang tumbuh keturunannya. Pasti indah.
"Jiaaahh udah niat ngidam." goda Safir. Rachel kembali merangkul lengan Safir.
"Asal anaknya nanti jangan jadi korban kaya kamu sama Ruby. Kalian kan korban cubitan Raja sama Rima." Safir mengangguk.
"Ah iya tante, waktu itu aku pernah melihat foto masa kecil perasaan aku sama Ruby nangis mulu kalo foto dekat sama Raja Rima. Kami benar-benar ditindas dari kecil sama mereka." keluh Safir.
"Ah lo mang dari kecil pantas ditindas.." Raja melirik kembali Rima. Tapi kekecewaan melanda Raja, karena Rima terlihat tak memperhatikan.
Rima seperti berada di dunianya sendiri. Gadis itu tersenyum menatap piring kecil dan sendok. Apa pemandangan itu lebih menarik dari pada kami yang ada di ruangan? Raja semakin geram. Pasti si Akbar ulahnya.
"Ayo kami harus berangkat." Rachel dan Satria berpamitan.
"Rima kalau Oma sudah tidur kamu pulang saja istirahat atau tidur di kamar Ratu. Kalau kamu takut pulang sendiri minta anterin Raja." pesan Rachel.
"Ah repot tinggal di lempar aja langsung sampe rumahnya. Kuntilanak takut sama dia ma." sekali lagi Rima hanya mengangguk dan kembali tersenyum. Baiklah sesuai prediksi, ini pasti karena acara jemputan mobil tadi pagi.
"Tunggu sini dulu yah.." ucap Aries menatap istrinya. Aries lalu memberikan kode mata agar Raja dan Safir mengikutinya ke halaman depan. Mungkin Aries ingin memberikan pesan sepatah dua patah.
"Ran gila lo seharian kagak keluar kamar. Diapain aja sama abang?" tanya Rima antusias mendekati Rania.
"Apaan sih?" Rania malu. Rima lalu meneliti. Rambut masih setengah basah dan tidak ketinggalan cap khas para pecinta. Rania memang menutupinya dengan baju berkerah tinggi, tetapi bukan Rima namanya jika tidak menyelidik secara rinci.
"Wah abang ini. Diam-diam menghanyutkan." Rima terkikik sendiri mendengar ucapannya. Membayangkan abang tersayang dengan segala sifat diam yang sangat membosankan. Dia saja mati bosan seharian bersama sang kakak. Mungkin kalau bersama istri akan lebih seru bermainnya yah? Membayangkannya saja membuat hati ngiri.
"Hihihi jadi mau.." Rania menyenggol lengan Rima. "Mupeng."
"Ayo kita berangkat.." Aries sudah berada di belakang Rania dan menepuk pundak istrinya.
"Ja titip Rima juga yah." ucap Aries.
"Titip sih bisa tapi kalo orangnya nolak susah bang. Akbar lebih utama." Raja tidak menyindir. Dia langsung apa adanya tanpa main belakang.
"Abang peringatkan jangan pernah kamu dekat dengan Akbar. Raja akan memantau kamu kalo kamu masih tidak nurut." Aries menepuk pundak Rima dengan wajah seriusnya.
"Dasar ember bocor." desis Rima menatap Raja. Matanya sudah melebar, nyalang dan penuh emosi. Mendadak Raja bahagia, Rima-nya telah kembali.
"Aku pergi dulu deh semua. Mau ke rumah Mbak Alvina. Kasihan pernikahannya benar-benar gagal." Safir dengan segala mulut tak tahu waktunya.
Aries menegang, Raniapun menatap sang suami.
"Permisi semua." Safir pergi meninggalkan rasa yang tak biasa. Aries dilanda kebimbangan. Rania sadar itu.
"Kak mau ke rumah Mbak dulu?" Rania pada akhirnya yang bersuara. Aries menggeleng. "Ayo pesawatnya yang terakhir. Tapi jalanan takut macet." Aries menarik pinggang Rania.
"Kita mau kemana kak..?" tanya Rania masih penasaran. Aries memang merahasiakan tujuan mereka. Memang semenjak sebulan sebelumnya berbagai persiapan honeymoon telah disiapkan Prisilla. Aries dan Rania tinggal menikmatinya saja.
"Nanti saja kejutannya." Rania akhirnya tersenyum. Dia memang sedang belajar percaya dengan sang suami.
"Rima.." panggil Oma Tiara.
"Nyalakan acara berita di tv." Rima menghidupkan televisi. Raja berjalan cepat saat Rima ingin duduk di samping Oma Tiara. Hampir bersamaan tapi Rima kalah cepat menempatkan bokong indahnya. Si kuno sudah duduk manis di sana.
"Minggir gue di sini." ketus Raja menyenggol tubuh Rima di sebelahnya. Tangan Raja memegang tangan Oma Tiara.
"Oma mau minum?" tanya Rima di samping Raja. Mereka sangat nempel sekali posisinya. Oma menggeleng dia menatap televisi yang entah dimengerti atau tidak yang jelas dia ingin menonton.
"Gue mau minum." jujur Raja. "Bodo amat." Rima menyandarkan tubuhnya di sofa. Raja ikut seperti yang Rima lakukan. Bahkan matanya tanpa tahu malu memeriksa yang Rima kerjakan di ponselnya. Apalagi melihat Rima kembali tertawa menatap layar ponsel.
"Gue nggak main-main kalo lo masih dekat sama Akbar." ancam Raja, Rima mencibir dan pura-pura menonton televisi. Sebenarnya ia risih karena Raja berada di sampingnya tapi rasa bahagia seharian bersama Akbar membuatnya lupa membenci Raja. Hilang sih tidak cuma kadarnya berkurang khusus malam ini.
"Oma kalau butuh apa-apa bilang sama Rima yah." sapa Rima sekali lagi dengan ceria. Raja merengut jengkel.
"Minggir apa Jaa tempat luas gini. Nyelip di sini." sikut Rima. Ia tidak leluasa membalas chat Akbar karena Raja benar-benar ingin tahu. Matanya sinis menatap Rima, alisnya ia naikkan dan wajah khas Raja tercetak jelas-jelas di depannya. Ini namanya menganggu konsentrasi. Rima ingin berteriak.
"Jangan sama Akbar. Lo nggak kenal dia." teriak Raja. Rima melirik Oma Tiara sekilas, pendengaran Oma Tiara memang sedikit bermasalah. Dia tetap fokus menatap televisi.
"Kenapa sih lo repot ngurusin Akbar?" Raja tidak bisa memberitahukan yang sebenarnya. Ini sudah janji mereka sebagai anggota divisi.
"Pokoknya nggak boleh." Rima tidak habis fikir dengan pemikiran Raja bahkan abangnya sekalipun.
"Terserah." Rima memalingkan wajahnya. "Sini hape lo.." Raja menarik paksa ponsel Rima. Terlebih ada suara pesan masuk. Rima kalang kabut takut Raja membaca.
"Hmm.. balikin Raja." panggil Rima berusaha mengambil. Terlambat, tangan Raja sudah berhasil membuka pesan masuk. Matanya melebar menatap isi pesan yang terbaru. Ia lalu menatap tak percaya wajah Rima.
"Ini benar Imaa..?" suara Raja tercekat tak percaya. Rima diam dengan ucapan Raja. Ia lalu membaca pesan dan sama kagetnya seperti Raja. Ia menggeleng pelan pada akhirnya.
"Ini kayanya ada yang nggak beres deh." jelas Raja lagi. Rima ikut setuju. "Dari kemarin gue juga mikir gitu." merekapun seperti akur tanpa sadar.
"Masa sih mereka ditolak menikah?" tanya Rima tak percaya dengan tulisan di ponselnya.
"Kita harus bersatu kali ini.." ajak Raja, Rima mengangguk. "Dan tetap gue akan mengacaukan lo dekat sama Akbar." Raja tidak akan lupa kekesalannya dengan Akbar.
Rafa : rim besok jalan yuk. Gue emang ditolak menikah sama Ruby. Tapi gue tetep mau nikah muda. Ruby setuju gue sama lo. Yuk kita pendekatan..xoxo
TBC..
Sabtu, 27 Februari 2016
-mounalizza-
Mari kita ruwet bersama.
Ini aku cut krn . Klo kepanjangan ga fokus. Cukup main diwaktu aja yg ini. Selanjutnya nyusul. Ini part masa tennang krn yg nulis sedang butuh ketenangan. Sakit gigi bo.. Hahaahh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top