02 | Tiga Hari Berlalu.

Sodiq tidak mau menganggap apa yang dia alami selama tiga hari terakhir ini sebagai bentuk cinta pada pandangan pertama. Menurutmya itu hal yang ... jelek. Di usianya yang kini menginjak 27 tahun, sudah bukan lagi masanya untuk mengalami cinta monyet. Dia ingin membuktikan bahwa pikirannya yang terfokus pada gadis di boncengannya kala itu akan berakhir dalam waktu dekat dan debaran di jantungnya hanyalah karena ia gerogi setelah sekian lama tidak pernah membonceng wanita.

Agaknya begitu yang dia pikirkan meski otaknya berkata lain dan bahkan memberikan bunga tidur indah berupa ia yang malah makan bersama dengan sang gadis. Di mimpinya bahkan ia melihat sang gadis yang duduk di ruang tengah rumahnya setelah membawakan dia semangkuk makanan ringan lalu menonton TV bersama.

Bangun dari tidur membuat dia keringat dingin. Mimpi macam apa itu? Dia jadi terngiang-ngiang dengan ucapan-ucapan pemuka agama yang pernah mengatakan bahwa mimpi itu bisa saja adalah pemberian Tuhan, bisa pula buatan setan, bisa pula adalah sebuah petunjuk. Dia lantas bergumam di kala shubuh ketika matanya baru saja terbuka, apakah mungkin ....

Sodiq mengenyahkan pemikiran itu sesegera mungkin lantas bergegas ke kamar mandi, menuntaskan membersihkan diri hingga beribadah pagi. Aktivitas paginya seperti biasa hingga sarapan lalu mulai melakukan pekerjaan.

Dekat dengan rumahnya, ia memiliki satu kandang besar berisikan lima ratus ekor ayam pedaging. Mempelajari bisnis itu dimulainya setelah lulus sekolah, belajar dari Suadi yang lebih dulu membuka bisnis peternakan dan sekarang sukses dengan ribuan ekor ayam. Sodiq memulai bisnis itu setelah cukup lama bekerja pabrik untuk mengumpulkan modal. Dengan mendapatkan bantuan dari sang adik kandung, ia memberikan makan 500 ekor ayam di kandang, mengganti gantungan tempat makan dan minumnya serta meneteskan vitamin pada setiap tempat minum.

"Cak, penghangatnya udah gak bisa diperbaiki ini," kata Lutfi, adiknya yang sekarang sedang mengotak-atik alat pemanas di tengah-tengah kandang besar untuk penghangat ayam.

Sodiq mendekat, melihat kondisi alat tersebut yang sudah rusak parah dan tidak bisa diperbaiki. Dia lantas menjawab, "Iya, Lut. Udah gak bisa dipakai ini."

"Kan ada simpanan yang satunya yang baru itu aja dipakai, Cak." Lutfi menanggapi.

Sodiq mengangguk. "Ya udah aku ke Pujer Baru dulu buat ngambil."

"Lah, ngapain sampai ngambilnya ke sana?" Lutfi bertanya terheran.

"Ada di kandangnya Cak Suadi, waktu itu dipinjam," jawabnya.

Tidak sampai setengah jam dari desa Penanggungan tempatnya menuju ke Pujer Baru, dia memarkirkan motornya di depan lokasi kandang Suadi. Dia memanggil dari luar dan tidak mendapatkan jawaban, sehingga ia mendorong pintu dan mendapati tidak dikunci. Maknanya, Suadi ada di dalam.

Kemudian, Sodiq memutuskan untuk langsung masuk. Area bagian depan dari kandang besar tersebut adalah bilik istirahat, tempat Suadi jikalau harus menginap ketika mengurus ayam-ayamnya yang masih memerlukan perawatan khusus di masa-masa awal. Dia melihat ke sana dan tidak menemukan sosok yang dimaksud. Lantas, kakinya bergegas naik ke tangga kayu yang mengarah langsung pada kandang utama.

Di sanalah Suadi sedang sibuk mengeluarkan banyak sekam dari dalam karung ke ember besar dengan keringat yang sudah mengucur hingga membuat bajunya basah.

"Cak," panggil Sodiq.

Lelaki yang lebih tua sepuluh tahun dari Sodiq itu lantas menoleh. Ada sedikit keterkejutan di wajahnya. "Lah, kamu kapan datangnya, Diq?"

"Baru aja. Dipanggil-panggil gak ada nyahut," balas Sodiq yang mendekat ke arah Suadi dan sekarang mulai membantu lelaki tersebut dengan sekam-sekamnya.

"Pyuh, ini masih ada delapan karung lagi di bawah. Cak Mad piyiknya datang hari ini jadi gak ada yang bantuin ini. Payah, kerja sendirian lagi aku." Suadi berkata panjang lebar menyerukan keluhan.

"Loh, Cak Ali kok gak bantuin?" Sodiq bertanya, mengingat Ali yang dimaksud bekerja pada Suadi di peternakan itu.

"Ali ngajar kalau pagi begini, katanya baru mau datang nanti sorean karena ada kegiatan," jawab Suadi sambil mengangkat ember besar berisi sekam dan mulai menaburkannya ke dasar kandang sebagai alas bagi DOC, Day Old Chick atau sebutan untuk anak ayam yang baru menetas.

Sodiq mengangkut ember-ember sekam lainnya, menuangkan dan meratakan sekam itu seperti yang dilakukan oleh Suadi. Sepanjang membantu pekerjaan orang yang sudah dia anggap saudara, mata Sodiq melirik sesekali pada Suadi. Dia menelan ludah lalu menggaruk kepala. Ingin dia berkata sesuatu tapi ragu.

"Apa? Curi-curi pandang aja kayak anak muda," kekeh Suadi menciduk Sodiq yang beberapa kali memperhatikan dia.

"Emang masih muda, Cak," balas Sodiq dengan nada jenaka.

Suadi tertawa kecil. "27 tahun kok muda. Udah cocok berumah tangga itu."

"Anu, Cak. Ngomong-ngomong ...," jeda Sodiq menarik napas dulu sebelum lanjut berkata, "sodaranya Cak Suadi yang waktu itu aku bonceng siapa, ya?"

"Eh eh eh, apaan ini? Kenapa tiba-tiba kamu nanyain ponakanku?" Suadi langsung memandang Sodiq dan meletakkan ember miliknya yang sudah kosong.

"Ya nanya aja masa gak boleh, Cak?" Sodiq menjawab dengan pertanyaan.

"Aneh aja tiba-tiba nanya ngepas nanyain ponakanku yang itu pas aku bahas rumah tangga. Jangan-jangan ... jangan-jangan ...."

Mendengar nada yang aneh dari si lawan bicara, Sodiq jadi memandangi Suadi dengan kening berkerut. Senyuman lelaki sepuluh tahun lebih tua darinya itu seperti sedang mencurigainya sesuatu, belum lagi alias hitam dari pria yang lebih tinggi darinya itu naik turun. Tanpa harus dilanjutkan ucapan Suadi barusan, Sodiq mengerti maksud candaan dari seniornya tersebut.

"Enggak lah. Apaan, sih, Cak Suadi ini. Cuma nanya, kok." Sodiq menjawab sambil melanjutkan kegiatannya.

"Itu Resti. Yang sering aku ceritain itu, loh." Suadi akhirnya menjawab serius.

"Hah? Yang bener, Cak? Resti yang itu?" Sodiq bertanya lagi dengan terkejut.

"Iya, emangnya ponakanku yang namanya Resti yang mana lagi?" balas Suadi.

Sodiq tidak menyangka, bahwa orang di boncengannya adalah orang yang sama dengan yang pernah dijumpainya dulu. Anak SMP beberapa tahun lalu yang sering pulang ke rumah Suadi ketika masih tinggal di Penanggungan, ketika mereka masih menjadi tetangga dan pernah berjumpa hingga pernah di-comblang-in khas remaja.

Dia tidak benar-benar mengenal secara amat dekat, tetapi Suadi bukan cuma sekali dua kali menceritakan tentang keponakan yang paling disayanginya, malah ratusan kali hingga Sodiq sampai hapal nama dan sepintas kisah hidup si gadis dari mulut seniornya itu.

.

.

Sabtu, 07 Desember 2024, 13:25 WIB.

A/N : Terlepas dari ini kisah nyata yang benar-benar nyata, ada beberapa yang mungkin nantinya akan dirahasiakan soalnya yang bersangkutan enggak mau bagian-bagian yang dimaksud dipublikasikan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top