Bab 20 - Pernyataan -
Ruangan yang didominasi warna putih dan abu itu tidak begitu menarik di mata Qila. Sudah nyaris setengah jam perempuan itu menunggu kedatangan Adnan. Namun, pria itu tak kunjung kembali ke ruangannya.
"Apa belum selesai ya rapatnya?" tanya Qila sembari menatap pintu ruangan Adnan yang masih tertutup rapat. Dia sudah sangat bosan menunggu Adnan, apalagi sekarang ini dia tengah menggunakan baju yang benar-benar bukan seleranya.
Saat dijemput tadi, Qila tidak langsung diantar ke perusahaan Adnan, melainkan Pak Hasan membawanya pergi ke sebuah butik. Qila tentu sangat terkejut dan juga penasaran dengan tujuan Adnan mengajaknya jalan, padahal sebelumnya pria itu hanya berjanji untuk menjemputnya.
Tidak hanya sampai di situ, Qila juga cukup terkejut saat sampai di perusahaan milik Adnan. Sebelumnya, dia pikir Adnan adalah pengusaha biasa. Namun, setelah melihat gedung perusahaan milik pria itu, Qila yakin bahwa Adnan bukanlah orang sembarangan bahkan dia sampai bertanya-tanya berapa gaji dari pria itu setiap bulannya.
Ketika tengah asik melamun, tiba-tiba saja pintu ruangan Adnan terbuka. Qila segera mengangkat wajahnya dan melihat dengan jelas seorang pria yang tengah masuk ke dalam ruangan itu. Qila bangun dari duduknya dan berjalan ke arah Adnan. Entah kenapa wajah pria itu terlihat sedikit berbeda.
"Lo kenapa?" tanya Qila yang berhasil menyita perhatian Adnan. Pria itu tersenyum kecil sembari mengelus pundak terbuka milik Qila.
"Kamu cantik banget pakai gaun ini."
Qila bersemu malu setelah mendapat pujian dari Adnan, tapi sedetik kemudian wajahnya berubah kesal. "Jadi, kalau nggak pakai gaun ini gue nggak cantik dong!"
Adnan hanya mampu menghembuskan nafasnya karena salah berbicara pada Qila, dia sendiri tau bahwa akhir-akhir ini Qila selalu saja mempermasalahan hal-hal kecil dan akhirnya malah memicu permasalahan baru.
"Enggak kok, setiap hari kamu cantik."
Keduanya kemudian terdiam dengan pikirannya masing-masing. Namun, Qila sesekali melirik ke arah Adnan yang terlihat begitu tertekan. "Lo nggak pa-pa, kan?"
Adnan tersenyum kecil sembari mengajak Qila untuk duduk di sofa yang sebelumnya dia duduki. "Yuk, duduk dulu. Saya mau ngomong sesuatu."
Qila mengikuti apa yang diperintahkan oleh Adnan. Namun, saat duduk tiba-tiba saja Adnan berlulut di hadapannya dan perlahan mengeluarkan sebuah kotak dari balik jasnya.
"Saya tau, ini semua jauh dari kata romantis. Jujur, sudah mempersiapkan banyak hal sebelumnya, tapi nyatanya tidak ada satupun yang berhasil. Kini, saya berlutut di hadapan kamu untuk mengikatmu dengan cincin sederhana ini. Saya tidak tau kapan lagi mendapatkan kesempatan berduaan dengan kamu. Qila, maukah kamu memakai cincin ini?"
Qila dibuat bingung oleh pernyataan dari Adnan dia benar-benar tidak menyangka akan dilamar seperti ini. Perlahan tangan Qila terangkat dan menutup kotak cincin itu dengan pelan. Mata Qila tak berani untuk menatap ke arah Adnan karena jujur, dia belum siap untuk memiliki hubungan serius dengan Adnan.
"Sorry, gue belum siap," jawab Qila singkat yang langsung membuat Adnan menggenggam tangannya.
"Kenapa? Kita nggak nikah sekarang kok, saya cuman mau perjodohan kita ada pengikatnya."
Qila tidak bisa menjawab ucapan Adnan, entah kenapa tiba-tiba saja pikirannya kosong. Dia bingung harus menjawab apa dan dia merasa bahwa semuanya terlalu tiba-tiba.
"Qil, apa yang ngebuat kamu nggak siap?" tanya Adnan lagi.
"Gue nggak tau, gue nggak bisa."
Suara Qila bergetar saat menjawab ucapan Adnan karena tiba-tiba saja bayangan Nenek Rida kembali datang. Padahal sebelumnya, Qila tidak pernah kepikiran neneknya lagi. Selain karena dia sudah ikhlas neneknya pergi, dia juga tidak mau merasakan kesedihan lagi.
Satu demi satu tetes air mata lolos membasahi pipi Qila dan jatuh ke atas gaun yang dia gunakan, Adnan yang melihat hal itu langsung membawa Qila ke dalam pelukannya. "Jangan nangis, please. Kalau kamu nggak mau, saya nggak akan maksa kamu."
"Boleh kasih waktu gue buat mikir?" bisik Qila yang langsung dibalas dengan anggukan oleh Adnan.
Saat ini Qila ingin memikirkan semuanya, dia tidak mau langsung menjawab karena terbawa suasana. Dia juga takut salah jawab dan malah membuat masalah baru dikemudian hari. Apalagi, ini bukan sekedar pacaran, melainkan hubungan yang lebih serius.
Di sisi lain, Adnan memberi waktu untuk Qila sampai dia mau berbicara dengannya lagi. Bahkan pria itu memutuskan untuk kembali ke apartemennya agar tidak bertemu dengan Qila.
Selama beberapa hari ini, keduanya sama-sama memikirkan satu sama lain. Mereka merasa ada yang berbeda apalagi Adnan, pria itu bahkan tidak bisa tidur nyenyak beberapa hari ini karena kepikiran dengan Qila. Rasa rindu yang teramat begitu mengganggunya bahkan pekerjaannya.
Jelas terlihat bahwa setumpuk berkas di atas meja Adnan tidak bergerak sedikitpun, bahkan sang pemiliknya malah tengah melamun sembari memperhatikan jauh keluar jendela ruangannya.
Di luar sana tengah hujan deras dan Adnan sedikit penasaran dengan apa yang Qila lakukan. Biasanya perempuan itu akan menggunakan headset untuk meredam suara hujan yang sebenarnya dia tidak sukai dan benar saja, kini Qila tengah menggunakan headset dan menyalakan lagi dengan suara yang cukup kencang sehingga membuat suara hujan di luar sana tak lagi terdengar.
Mata perempuan itu menerawang ke atas langit-langit kamarnya dan tiba-tiba saja wajah Adnan muncul di sana. Beberapa kali Qila mengusap matanya agar bayangan wajah Adnan menghilang, sampai akhirnya perempuan itu memutuskan untuk bangun dari tidurnya.
"Kenapa gue kepikiran dia sih?" tanyanya entah pada siapa karena tidak ada orang lain di kamarnya, selain dia sendiri.
Sampai sekarang, Qila masih belum tau mau menjawab apa tentang pernyataan Adnan beberapa hari yang lalu. Ada banyak hal yang dia pikiran sehingga membuatnya bimbang.
Saat tengah berpikir, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Nama Aira tertulis jelas di layar ponselnya dan Qila langsung mengangkatnya.
"Iya, halo, Ra. Kenapa? Tumben nelpon?" tanya Qila sesaat setelah panggilan itu dia angkat.
"Nggak pa-pa, gue gabut aja nih liburan nggak kemana-mana."
"Ihh, kok sama sih. Gue juga."
Memang benar, bahwa Qila sekarang ini tengah libur semester dan dia hanya akan menghabiskan hari liburnya di rumah. Dia juga bingung mau kemana dan sama siapa.
"Gimana kalau kita jalan-jalan, ajak Mas Adnan sekalian," ucap Aira yang malah membuat Qila terdiam.
Cukup lama perempuan itu tidak menjawab ucapan teman sebangkunya itu sehingga membuat Aira kebingungan. "Qil, lo masih di sana kan?"
Qila yang baru saja sadar itupun langsung merespon dengan singkat ucapan teman sebangkunya itu. "Hah, iya, gue masih di sini kok."
"Lo nggak pa-pa, kan?"
"Hmm, gimana ya, Adnan udah nggak tinggal di sini lagi."
"Maksudnya?"
Qila pun menjelaskan tentang pernyataan dari Adnan dan tentu Aira sangat terkejut. "Terus, lo jawab apa?" tanya Aira dengan penuh penasaran.
"Gue belum jawab apa-apa. Gue minta waktu sama dia."
"Tapi, lo suka dia?"
"Hmm, jujur, gue juga nggak tau."
"Kalau enggak, tolak aja." Tentu Aira memiliki niatan lain saat mengatakan ini, apalagi dia masih memiliki perasaan pada pria itu.
"Gue nggak bisa nolak dia, dia udah banyak bantuin gue."
"Tapi, lo nggak bisa maksain perasaan lo!" Suara Aira terdengar sedikit nyaring dan membuat Qila bingung.
"Kok, lo marah-marah gini?"
"Nggak, gue nggak marah, gue cuman nggak mau lo terima dia karena kepaksa."
Qila terdiam kembali sembari memikirkan apa yang teman sebangkunya itu katanya. Ucapan Aira memang ada benarnya. Namun, entah kenapa hatinya menolak jika berkata tidak.
"Ya udah, gue pikirin dulu lah."
***
Jumlah kata : 1157
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top