Bab 14 - Lamaran -

Adnan tidak bisa menahan senyumnya saat ini. Jujur, pria itu sangat bahagia karena Qila mau meneleponnya walau hanya sebentar. Dia benar-benar sangat merindukan suara calon istrinya itu.

Sebenarnya dia sedikit menyesal karena tidak sempat untuk merekam percakapannya dengan Qila. Dia juga bingung, kenapa calon istrinya itu mau meneleponnya. Semua pikiran anehnya saat ini sengaja dia buang jauh-jauh yang penting, akhirnya Adnan bisa mendengar suara Qila setelah berhari-hari tidak bertemu.

Malam ini, menjadi malam bersejarah bagi Adnan. Pria itu bahkan bisa tidur dengan nyenyak setelah melakukan panggilan telepon dengan Qila. Sepertinya suara calon istrinya itu memiliki obat tidur terbaik baginya.

Adnan sempat berpikir bahwa perjalanan bisnis ini hanya akan berlangsung tiga hari dan dia akan segera pulang. Namun, sekarang keinginan itu dia kubur dalam-dalam karena setelah mendengar suara Qila, dia seperti tengah diberi semangat yang berlipat ganda untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Sedari pagi, pria itu terus tersenyum sembari memandangi foto Qila yang dia jadikan sebagai wallpaper ponselnya. Setiap orang yang melihat sikap Adnan, hanya mampu menggelengkan kepala mereka karena selama ini Adnan jarang sekali tersenyum.

"Bos, Bos nggak pa-pa kan?" tanya sekretaris Adnan dengan wajah khawatir.

Lamunan Adnan menghilang dan menghasilkan kebingungan di benak pria itu. "Hah, kenapa?"

"Bos, nggak pa-pa kan?" tanya sekretaris Adnan lagi yang bernama Fani.

"Nggak pa-pa kok."

Adnan menjawab segala pertanyaan dengan senyuman dan hal itu tentu membuat Fani bingung. Beberapa kali Feni menggelengkan kepalanya karena tiba-tiba saja banyak pikiran aneh terlintas di benaknya setelah melihat sikap Adnan. Namun, tak lama kemudian bosnya itu kembali berbicara.

"Fen, saya mau nanya boleh?" tanya Adnan sembari memainkan ponselnya.

Feni menegakkan tubuhnya dan memperhatikan wajah bosnya lagi. "Boleh, Bos. Mau nanya apa?"

Adnan terdiam sejenak karena tengah berpikir, sebenarnya pertanyaan ini sudah sejak lama dia pikirkan. Namun, sampai sekarang dia masih belum mendapatkan jawabannya.

"Hmm, biasanya kalau seseorang lagi ulang tahun ke 17, dikasih kado apa?" tanya Adnan sembari menatap ke arah Feni. Feni yang bingung langsung memegang dagunya. Dia tengah berpikir jawaban yang tepat untuk bosnya.

"Hmm, memangnya yang ulang tahun cewek atau cowok, Bos?"

Memang benar pertanyaan Feni karena setiap anak memiliki keinginannya masing-masing. Keinginan cowok dan cewek tentu berbeda. Mau membeli kado yang bisa untuk semuanya pun susah.

"Cewek."

Feni kembali berpikir dan setelah cukup lama akhirnya dia mendapatkan jawaban yang terbaik. "Gimana kalau beliin dia ponsel baru?"

Feni sangat semangat saat menjawab pertanyaan bosnya itu. Namun, Adnan malah terlihat malas mendengar ucapan sekretaris itu. Perlahan dia menghela nafasnya sebelum menjawab ucapan Feni.

"Hmm, saya sudah belikan dia ponsel, minggu lalu."

Feni kembali terlihat bingung sekarang. Namun, beberapa detik kemudian wajahnya berubah. "Bos beliin ponsel baru buat dia? Emangnya dia siapa? Keponakan, Bos?"

Nyatanya sekarang ini Feni seperti detektif yang tengah memecahkan kasus dan Adnan menjadi bingung menjawab pertanyaan dari sekretarisnya itu. Kini, Adnan mulai memutar otaknya untuk memberi jawaban kepada Feni. Namun, entah kenapa tiba-tiba saja otaknya berenti beroperasi dan Adnan tidak dapat berbohong pada sekretarisnya itu.

Adnan menghela nafasnya sebelum kembali berbicara. Di sisinya kini, Feni terlihat begitu penasaran dengan jawaban bosnya.

"Saya mau jujur sama kamu, sebenarnya saya mau memberi kado untuk calon istri saya dan saya bingung mau memberi apa."

Feni mengerutkan dahinya karena bingung. Sejak lama dia mengenal Adnan, bosnya itu tidak pernah terlihat dekat dengan orang lain. Walaupun sudah beberapa kali dijodohkan. Namun, Adnan terus menolak.

"Calon istri?"

"Iya, calon istri saya."

"Hmm, gimana kalau bos ngelamar dia pas ulang tahun dia nanti?"

"Ngelamar ya?"

Adnan terdiam sesaat sembari membayangkan lamaran yang dimaksud oleh sekretarisnya itu. Sejak lama dia ingin melamar Qila dan melakukan pertunangan dengan perempuan itu.

"Atau, jangan-jangan Bos sudah ngelamar dia ya?"

Adnan langsung menggelengkan kepalanya untuk menolak ucapan Feni. "Enggak, saya belum ngelamar dia."

"Ya udah, lamar aja Bos. Lagi pula, calon Bos masih terlalu muda untuk Bos nikahi."

Adnan merasa bahwa ucapan Feni benar, Qila bahkan belum lulus SMA, tapi untuk melakukan pertunangan, mungkin bisa. Membayangkannya saja membuat Adnan bahagia.

"Hmm, kamu bisa bantuin saya buat urus semuanya?" tanya Adnan dengan hati-hati.

"Bisa dong, Bos. Serahin aja semuanya ke saya."

Feni memang selalu bisa Adnan andalkan, hal itulah yang membuat Adnan tidak mau memecat Feni. Sampai saat ini, perempuan itu sudah bekerja lebih dari lima tahun bersama Adnan.

Berhari-hari pun terlewati dengan baik. Syukurnya, Qila masih mau menghubungi pria itu bahkan katanya nanti dia akan menjemput Adnan di bandara.

Pesawat yang digunakan Adnan masih terbang di langit, mungkin sekitar 10 menit lagi mendarat dan Adnan sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Qila.

Sebelum sampai, Feni memberikan sebuah paper bag kepada Adnan. Tentu pria itu bingung dan mengangkat paper bag tersebut. "Ini buat apa?"

"Buat calonnya, Bos. Bilang aja, oleh-oleh dari Bos."

Adnan mengangguk paham dan menaruh paper bag tersebut di samping kursinya. Dia tidak pernah kepikiran untuk membelikan Qila oleh-oleh dan Syukurnya Feni sudah membeli sesuatu yang Adnan sendiri tidak tau.

Setelah turun dari pesawat, Adnan terlihat gugup. Langkahnya masih tegas. Namun, detak jantungnya tak karuan.

Di sisi pria itu, ada beberapa orang yang menjaga dan membantu semua urusannya. Sebelum sempat keluar, tiba-tiba saja Adnan dicegat oleh beberapa wartawan.

Pengawal pribadinya kemudian langsung melindungi pria itu dan menyuruh para wartawan untuk mundur menjauh dari bosnya. Satu persatu pertanyaan, Adnan jawab dan nyaris semuanya adalah pertanyaan tentang percintaan.

Saat tengah asyik menjawab, tiba-tiba saja matanya menangkap seorang perempuan cantik yang sangat dia kenali. Tanpa takut, Adnan berjalan ke arah perempuan itu dan para pengawalnya berusaha untuk membuka jalan untuk bosnya. Sesampai di depan perempuan yang dia rindukan itu, Adnan langsung memeluknya dengan erat.

"Saya kangen sama kamu," bisik Adnan yang berhasil membuat Qila terkejut.

Dia juga terkejut karena ada banyak wartawan mengelilinginya. Mereka semua kemudian melemparkan banyak pertanyaan pada Qila.

"Mbak, Mbak siapanya Mas Adnan ya?"

"Mbak, pacarnya?"

"Sudah berapa lama pacarannya, Mbak?"

Kepala Qila terasa pusing karena mendengar banyak pertanyaan yang masuk ke dalam telinganya. Tidak ada satupun dari pertanyaan itu yang mampu dia jawab. Keduanya kemudian di bawa ke dalam mobil yang sudah menunggu mereka.

Saat sudah berada di dalam mobil, Qila langsung memberi banyak pertanyaan pada Adnan.

"Lo ini sebenernya siapa sih? Kenapa itu tadi banyak wartawan datengin kita? Lo bukan artis kan? Atau lo itu lagi ada masalah di kepolisian? DPO ya lo!"

Tuduhan tak berdasar yang dilayangkan oleh Qila berhasil membuat Adnan tertawa. Dia bingung kenapa calon istrinya itu bisa memikirkan hal-hal aneh yang tak masuk akal.

"Kamu nggak perlu tau siapa saya yang penting, saya mencintai kamu."

Godaan yang dilontarkan oleh Adnan berhasil membuat Qila kesal. Tidak ada hubungan antara pertanyaan yang dia lontarkan dengan jawaban yang Adnan sampaikan.

"Bikin pusing banget sih lo!" oceh Qila sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Melihat hal itu, Adnan langsung mengusap kepala Qila hingga berakhir di pipi tembam perempuan itu. "Saya akan jelaskan semuanya di rumah."

Qila menoleh dan menatap ke arah Adnan. Perempuan itu tiba-tiba saja mengangkat tangannya dan menyodorkan jari kelingkingnya. "Janji?"

Adnan yang melihat hal itu hanya dapat tertawa kecil dan mengaitkan kelingkingnya ke kelingking calon istrinya tersebut. "Janji."

***

Jumlah kata : 1168

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top