Kelab
Zahra menarik tangan Risa dan membawanya keluar dari kafe.
"Kenapa menghalangiku?" sentak Risa. Gadis itu terlihat tidak senang karena merasa Zahra menghalanginya untuk memberi pelajaran pada Anisa.
Zahra menarik napas panjang dan mengembuskannya secara kasar.
"Seharusnya aku yang marah dan bersikap seperti itu," jawabnya, seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Sekuat apa pun dia mencoba untuk tetap tegar dan tenang, lama kelamaan pertahanan dirinya hancur juga. Tubuhnya bergetar menahan gejolak emosi yang nyaris sampai ubun-ubun.
"Kamu tahu, Zah, aku sangat membenci yang namanya pengkhianatan. Bagiku, tidak ada kata maaf untuk kesalahan yang satu itu," ujar Risa berapi-api. Kedua tangannya terlihat mengepal erat.
Zahra diam tidak membalas karena saat ini ia benar-benar merasa hancur. Melihat itu, Risa menarik napasnya dan menghembuskannya kembali, mencoba untuk meredakan emosi yang menggelegak.
"Sebaiknya kita pergi dari sini, sebelum mereka keluar dan membuat emosiku semakin menjadi." ajak Risa.
Zahra tidak menolak ataupun mengiyakan ajakan Risa. Bahkan, saat tubuhnya di tarik dan di dorong masuk ke dalam mobil, Zahra hanya pasrah.
"Zah, pakai mobilku saja ya? Mobilmu biar nanti di ambil."
"Ris, antar aku ke kelab, ya?" Zahra menatap Risa dengan tatapan melas, berharap jika sahabatnya mau menuruti keinginannya kali.
''What? Jangan gila! Kalau ketahuan keluargamu, bisa habis kita!"
"Ayolah, Ris, sekali ini saja," mohon Zahra.
Risa mengusap wajahnya kasar. Ada perasaan takut di dalam hatinya tapi juga merasa kasihan pada Zahra yang tengah di landa kecewa.
Melihat Risa yang masih terdiam, Zahra kembali buka suara. "Ris, ayolah."
Risa berdecap kesal, pikirannya sangat bimbang. Menuruti keinginan Zahra atau menolaknya dan mengantarkan sahabatnya itu pulang? Batin Risa mencoba mempertimbangkan.
"Aku antar pulang saja, ya? Lebih baik kamu istirahat dan menenangkan diri di rumah," saran Risa. Nada suaranya terdengar pelan agar Zahra mau menurutinya untuk pulang ke rumah.
Zahra menggeleng lemah. "Jangan ke rumah sekarang, Ris. Aku mohon sekali ini saja, ya?" Zahra menangkup kedua tangannya di dada. Berharap Risa mau menuruti keinginannya untuk pergi ke kelab.
"Baiklah. Tapi kamu harus janji, jangan sampai menyentuh minuman beralkohol. Ingat itu! Aku masih ingin hidup dengan aman dan damai di dunia ini,"
Zahra terkekeh mendengar ucapan sahabatnya. Dia paham apa yang di takutkan oleh Risa. Keluarga besarnya yang sangat menjunjung tinggi norma dan tatakrama.
Bagi keluarga Zahra, norma sosial yang menjadi pedoman perilaku dalam keluarga. Segala tindakan serta tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat harus sesuai aturan atau kaidah.
Risa mengendarai mobil dengan kecepatan sedang menuju sebuah kelab malam tempat biasa Risa menikmati akhir pekan atau sekedar melepas penat. Tiba di kelab, Risa menghentikan mobilnya dan menatap Zahra.
"Zah, yakin mau masuk?"
Zahra mengangguk yakin. Tidak ada keraguan sedikitpun di hatinya. Kecewa dan sakit hati karena pengkhianatan yang di lakukan orang-orang terdekat secara bersamaan membuat Zahra tidak bisa berpikir jernih.
Keinginannya saat ini adalah melupakan segalanya, apa pun caranya Zahra tidak peduli.
Setelah mendapatkan jawaban dari Zahra, Risa kembali melajukan mobilnya menuju basement.
"Ayo, Ris, malah bengong." Bak kerbau di cucuk hidungnya, Risa mengikuti kemana pun Zahra melangkah.
Begitu memasuki ruangan, keduanya di suguhi hingar bingar lampu dan suara musik yang memekakan telinnga.
"Zah! Ingat ya, jangan sampai meminum minuman beralkohol!" teriak Risa.
"Iya, bawel!"
"Kita pesan minuman dulu!"
Zahra hanya mengangguk dan melangkah terlebih dahulu.
"What can i get for you?" Seorang pria muda yang tengah meracik minuman menoleh dan bertanya pada Zahra.
"Do you have anything light on tap?" Bukan Zahra yang berbicara. Tetapi Risa. Gadis itu masih merasa waswas jikalau membiarkan Zahra berbicara dan memesan minuman aneh-aneh.
"Pesan minuman yang enak-enak, Mas!" seru Zahra, seraya mendudukkan dirinya di kursi.
"Di sini enak semuanya. Mungkin ada pilihan?"
"Liqueurs." Zahra yang memang dalam keadaan stres berat menjawab dengan cepat.
"Gila aja! Enggak. Tequila Sunrise sama Margarita saja, Mas."
Zahra memutar bola mata jengah mendengar nama-nama minuman yang di pesan Risa. Sedangkan Risa melotot tajam karena Zahra menginginkan minuman dengan kadar alkohol tinggi.
"Sakit hati dan kecewa sah-sah aja, Zah, tapi jangan jadi bego juga kali. Mereka having fun di luar sana, situ malah mabok."
Zahra menatap sahabatnya dengan tatapan sendu. Apa yang di ucapkan Risa memang tidak salah. Akan tetapi, apa yang menimpanya beberapa menit lalu benar-benar membuatnya hampir gila.
Niat awal malam ini Zahra menemui Risa untuk membahas soal ulang tahun Anisa pupus karena perbuatan Anisa sendiri. Setidaknya, Zahra tahu jika Anisa bersahabat dengannya karena memiliki banyak motif.
"Ya, aku tahu. Makanya aku membawamu keluar dari sana dan kita bersenang-senang di sini," ucap Zahra.
"Apa yang akan kamu lakukan, Zah?"
Zahra menggeleng lemah.
"Enggak tahu. Enggak bisa berpikir."
"Makanya jangan terlalu cinta sama pacar. Ingat, dia itu cuma pacar, bukan keluarga atau suami. Enggak usah cinta-cinta banget," tukas Risa.
"Seandainya kamu yang ada di posisi aku, di khianati pacar dan sahabat, apa yang akan kamu lakukan, Ris?"
Risa bergidik ngeri. "Amit-amit! Makanya aku enggak mau dekat sama laki-laki. Enak hidup seperti ini, santai dan jauh dari sakit hati," jawabnya sambil menyesap minuman.
Zahra turun dari kursi dan melangkah menuju tengah ruangan. Bergabung bersama orang-orang yang tengah menikmati hingar bingar musik. Tubuhnya ikut meliuk mengikuti irama yang menghentak.
Setelah Zahra dan Risa keluar dari kafe. Xander dan Nisa masih menjadi bulan-bulanan para pengunjung di sana. Cibiran dan makian terdengar saling bersahutan. Mereka yang semula menatap kagum pada sikap Xander yang romantis pada Nisa, berubah menjadi tatapan benci.
"Duh, wajahnya manis. Tahu-tahu bengis juga. Pacar sahabat di embat."
"Laki perempuan sama saja. Ih, jadi takut kalau mau ngenalin pacar sama sahabat."
Anisa semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang Xander. Dia sangat malu karena di permalukan di hadapan umum.
Rasa bencinya terhadap Zahra semakin mengakar. Apalagi setelah Anisa mendengar Zahra yang mengungkit semua pemberiannya.
Anisa akui, hidupnya memang serba kekurangan. Bahkan untuk biaya makan dan membeli keperluan pribadi, uangnya dari Zahra. Ya, semua yang di idamkan kaum hawa ada pada diri sahabatnya itu.
"Kita keluar dari sini." Xander berusaha melewati orang-orang yang berkerumun dan membawa Nisa keluar kafe.
Xander tidak menyangka sama sekali kalau Zahra akan datang dan memergoki dirinya yang tengah menyatakan cinta pada Nisa.
Semula, Xander berpikir semuanya akan berjalan lancar. Karena dia tahu Zahra sedang berkumpul bersama keluarga besarnya.
"Aku antar kamu pulang," ujar Xander sedikit ketus. Entah kenapa perasaan menggebu dan bahagia yang beberapa menit lalu dia rasakan, hilang tak berbekas.
"Xander, bagaimana kalau Zahra ikut membully aku di kampus nanti?" Nisa menatap Xander dengan cemas. Takut jika ia akan menjadi bulan-bulanan di kampus besok.
"Kita pikirkan saja nanti. Sekarang aku antar kamu pulang."
Setelah itu tidak ada pembicaraan di antara keduanya. Keadaan di dalam mobil hening sampai akhirnya mobil Xander tiba di halaman depan rumah Anisa atau kerap disapa Nisa.
Apa keluarga Zahra jahat? Risa ketakutan gitu.
Kira-kira Bang Xander kenapa jadi kerus gitu?
Minta di santet onlen kayaknya 😌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top