Pagi itu, Yaka menggulir layar komputernya dengan malas-malasan. Selesai menyelesaikan satu proyek yang dikebutnya pada H-1 Lebaran sehingga ia jadi kurang istirahat, sudah ada beberapa lagi surel tawaran pekerjaan yang masuk untuknya. Biasanya, Yaka selalu membaca dari bawah, sesuai urutan masuk. Namun, kali ini surat yang berada di paling atas begitu menarik minatnya.
Seraut wajah rupawan di samping nama pengirim Sabria Maharani dari Glamela membuat Yaka tertegun menatapnya. Tetapi, justru kalimat sapaannya yang membuat Yaka salah fokus.
Selamat pagi Pak Nayaka, perkenalkan saya Sasa dari Glamela. Kami adalah perusahaan rintisan yang bergerak di bidang fesyen, berangkat dari niatan sederhana untuk memajukan industri batik tulis yang dibuat oleh pengrajin lokal.
Ini pertama kali Yaka menerima tawaran dari jenama fesyen, terlebih lagi jika mereka mendapatkan info tentangnya dari linkedin, sebab dia selalu meletakkan portofolionya di situs bursa kerja lepas sejenis Freelancer atau Fiverr, kemudian ia mendapatkan tawaran dari sana. Namun, cara Sabria memperkenalkan dirinya sebagai 'Sasa' yang ditulis beberapa kali sebagai kata ganti orang ketiga, seolah membuat Yaka merasa diingatkan pada seseorang dengan nama panggilan serupa yang beberapa waktu silam mengobrol dengannya di Twitter X. Tetapi, ada berapa banyak orang di dunia ini yang punya nama Sasa, seperti yang ia kenal?
Yaka membaca dengan saksama surel tersebut tanpa tergesa. Pemilihan kosakata dari surat ini begitu bervariatif, seolah ditulis oleh seseorang yang memahami keindahan dan keragaman bahasa Indonesia. Tidak ada campuran bahasa asing dalam surel itu seperti bahasa ala Jaksel. Bahkan, Yaka baru tahu hari ini jika padanan untuk startup company adalah perusahaan rintisan.
Sebab saya melihat profil Pak Nayaka yang berdomisili di Jawa Tengah, sementara perusahaan kami berbasis di Jawa Timur, mungkin kita bisa menjadwalkan untuk pertemuan via Zoom, supaya CEO kami dapat menjelaskan penawaran ini secara langsung pada Pak Nayaka?
Sadar jika ia sudah sampai di bagian akhir surat, Yaka segera membaca ulang dari awal hingga selesai, lalu membutuhkan waktu sekian menit untuk merenungkan surat balasan. Dari profil perusahaan yang disampaikan oleh Sasa, Yaka bisa menangkap jika Glamela mendukung pembatik dan pengrajin kulit lokal agar produk-produk buatan mereka bisa memiliki gengsi yang tidak kalah besar dari produk luar sejenis Chanel, Gucci, atau Balenciaga. Yang berarti baik, sebab sudah saatnya industri kita memiliki barang dalam negeri dengan kualitas dan gengsi yang tidak kalah membanggakan dibanding produk luar.
Skala harga yang ditawarkan mungkin sedikit dibawah UMR Jawa Tengah, tentunya setara jika dianggap satu pengrajin di bawah naungan mereka hanya bisa menghasilkan 3-4 produk tas buatan tangan dengan bahan berkualitas, jahitan rapi dan desain modern sesuai konsep Glamela. Yaka mungkin lebih sering mendapat klien dari luar negeri, tetapi jauh di lubuk hatinya, ia akan lebih senang mendapat tawaran pekerjaan dari perusahaan lokal seperti ini. Hanya saja, ia mungkin perlu menyesuaikan tarifnya dengan mata uang rupiah, karena jika Yaka mematok harga normal untuk membangun sebuah aplikasi, mungkin perusahaan dalam negeri akan berpikir ulang dalam merekrutnya.
Terima kasih atas penawarannya, M̶b̶a̶k̶ Sasa.
Yaka menghapus kata 'Mbak' di depan nama Sasa, sebab panggilan tersebut mengingatkannya akan pemilik Baron Cakery & Cookies. Lantas, mau diganti apa? Bu? Kak? Ah, Yaka menjentikkan jari. Ms. Panggilan ini sudah yang paling aman untuk seorang wanita, karena bisa digunakan pada siapa saja.
Yaka mengatakan dalam balasannya jika ia tertarik untuk membicarakan penawaran ini lebih lanjut, namun alih-alih menerima tawaran konferensi melalui Zoom, ia melihat peluang untuk berkunjung ke Surabaya demi Baron Cakery sekaligus pelesir ke rumah budenya. Oleh karena itu, Yaka meminta apakah dia bisa berkunjung ke kantor Glamela dan membicarakan tawaran tersebut secara tatap muka? Dengan ini, Yaka bisa mengirim pesan pada Mbak Sasa untuk memesan kue. Jika perlu, membayar langsung di muka.
Surel darinya terbalas lagi beberapa jam setelah dikirim, yang mengatakan pihak Glamela menyambut hangat inisiatifnya untuk datang ke kantor. Disertakan juga alamat kantornya di Jalan Ahmad Yani, sekaligus titik lokasi di peta digital. Setelah mengonfirmasi dan sepakat jika pertemuan mereka akan dilangsungkan dua hari dari sekarang, Yaka langsung membuka aplikasi media sosial Baron Cakery & Cookies.
'Selamat siang Mbak Sasa, maaf mengganggu waktunya. Kalau saya mau pesan kue untuk hari Rabu tanggal 17 April besok apakah bisa? Kebetulan saya ada urusan pekerjaan di Surabaya.'
Pesan tersebut dibalas beberapa menit kemudian dengan ekspresi keterkejutan yang alami, tidak dibuat-buat.
'Mas? Mendadak banget? Emang mau pesan kue apa?'
'Ehehe maaf Mbak Sasa, mau kayak yang di foto kemarin.'
'Tiramisu?'
'Iya, sama cake wortel. Saya belum pernah makan kue yang ada wortelnya.'
'Lime cake juga belum pernah coba?'
'Asem banget nggak, Mbak? Saya punya GERD soalnya.'
'Enggak sih, kan ada gulanya. Cuma aromanya yang citrusy terus agak seger karena ada sedikit lime juice jadi nggak eneg kalau makan banyak-banyak.'
Yaka menelan ludah membaca semua deskripsi masing-masing kue yang diberikan Mbak Sasa. Ia ingin mencoba semua, namun, ia tidak tahu apakah ia sanggup untuk menghabiskan semuanya. Belum sempat Yaka menjawab, muncul balasan lagi dari Mbak Sasa.
'Maaf Mas, kayaknya kalau tiramisu belum bisa, soalnya saya belum beli keju mascarpone. Bisa sih beli dulu, tapi toko kue langganan saya baru buka tanggal 17 besok. Misal dibuatin Opera cake mau nggak? Kalau Opera cake pakai coffee buttercream.'
Yaka mengerutkan kening. Opera cake yang seperti apa? Apakah kue yang bisa bernyanyi? Namun, ia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri di hadapan Mbak Sasa dan memilih untuk mencari tahu sendiri lewat peramban internet. Begitu foto pertama muncul, rasanya Yaka ingin sekarang juga berangkat ke Surabaya demi menemui Mbak Sasa dan mencicipi segala jenis kue yang bisa ia buat.
'Mau, Mbak.'
'Oke, kalau gitu saya bawain ke kantor, ya.'
Yaka mengerjapkan mata saat membaca kalimat tersebut. Kantor apa?
'Maksudnya gimana, Mbak?'
'Mas? Kita barusan ngobrol di email lho beberapa menit lalu. Satu jam aja belum ada. Saya Sabria, asisten pribadinya Bu Amalia, CEO Glamela. Saya aja langsung ngeh sama Mas Naya dari handle twitternya yang sama dengan nama Linkedin.'
Yaka berani sumpah jika rahangnya menganga lebar membaca balasan itu. Jadi benar, alasan Sabria menyebut dirinya sendiri dengan 'Sasa' karena dia ingin Yaka mengenalinya dari surel tersebut. Pemilik paras rupawan di foto profil surel berisi penawaran kerja dengannya barusan, ternyata orang yang sama dengan yang berkomunikasi dengannya sejak seminggu lalu untuk membicarakan tentang kue. Dunia terasa sempit sekali.
'Maaf Mbak Sabria. Tadinya saya udah langsung keinget sama Mbak Sasa kok, pas baca email-nya. Tapi, saya kira di dunia ini yang nama panggilannya 'Sasa' kan bukan Panjenengan aja, jadi saya nggak mau sok akrab duluan.'
'Bener juga sih ...'
'Mbak, minta nomor Whatsup-nya boleh nggak? Kalau nggak mau ngasih juga nggak apa-apa, kok.'
'0822-0000-0000 ini ya, Mas.'
Yaka tertegun melihat begitu mudahnya Mbak Sasa memberikan nomor ponselnya pada orang lain, terutama karena mereka baru kenal beberapa hari. Tetapi, mungkin Mbak Sasa percaya padanya sebab ia keponakan Bude Aminah.
'Makasih ya Mbak. Nomor saya 0858-0000-0000 nanti habis ini saya kirim pesan.'
'Oke, Mas Naya. Terima kasih. Sampai ketemu hari Rabu besok di kantor. Kalau butuh apa-apa bisa kabarin saya aja.'
Oh, ternyata Mbak Sasa memberinya nomor sebab ia khawatir Yaka akan nyasar saat ke kantor Glamela besok lusa. Namun, apapun motivasi Mbak Sasa, yang penting Yaka sudah punya nomor kontaknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top