28. Semilir Angin yang Menyejukkan

Sore itu, Sabria menikmati kegiatan di Stadion Manahan bersama Nayaka dan dayang mereka, Ilyasa, sebab Mbak Anti terus-menerus mendorongnya untuk keluar rumah dan berkeliling kota, mumpung dia ada di tempat yang belum pernah ia datangi. Tadinya, Mami mau ikut mereka juga, sebab Mami setengah tidak rela jika Sabria pergi  hanya ditemani dua orang laki-laki dewasa, sebab Mbak Anti hanya singgah sebentar di rumah Mami sampai bagel Sabria matang, lalu membawa pulang beberapa untuk anaknya di rumah. Namun, karena beliau ada kegiatan arisan rutin di kampung pada sore hari ini, jadi beliau tidak bisa bergabung. Tetapi, jika acara arisan sudah selesai dan mereka bertiga belum pulang, Mami bilang akan menyusul mereka dengan Papi naik taksi daring.

Sabria sedang duduk di salah satu meja yang disediakan sambil menunggu makanan yang mereka pesan seluruhnya siap. Ia memesan zuppa soup dan dimsum dari penjaja food truck dekat sana yang sedang dimasak, sementara di hadapannya ada beberapa makanan lain seperti sebungkus kemasan ramah lingkungan tteokpokki dari stan makanan Korea, satu gelas kertas berisi dua batang eomuk, sebungkus telur gulung kesukaan Ilyasa sebab dia sedang diet tinggi protein, serta sekantong gorengan milik Nayaka. Berbeda dengan kakaknya yang baru-baru ini ikut gym, Ilyasa sudah jauh lebih dulu rajin olahraga. Hal tersebut terlihat dari pilihan makanan mereka di luar dari kue yang pernah Sabria buatkan untuk mereka. Ilyasa sedang berlari dua lap dengan Nayaka. Di sini, masih ada aktivitas orang yang berolahraga meski sudah malam. Tadinya, Sabria ingin ikut lari juga karena dilihatnya ada banyak pelari perempuan lain, namun kata Nayaka yang diamini oleh Ilyasa, mereka takut Mami marah kalau sampai dengar.

Sebelum mereka bertiga bertolak ke Manahan, Sabria sempat bertemu dengan Pak Husein, calon bapak mertuanya. Beliau seharian sibuk dengan kegiatan di balai desa, membantu proses renovasi di sana bersama warga-warga lain. Sabria pikir, ia mungkin akan canggung jika mengobrol dengan bapak-bapak yang belum pernah dia temui, namun ada alasan mengapa pria manula itu yang menjadi orang tua Nayaka. Beliau menyapa Sabria dengan hangat, mereka bersalaman, Sabria mencium punggung tangan beliau, sementara Pak Husein mengusap puncak kepalanya dengan lembut, namun tetap sopan. Bahkan, bapaknya sendiri tidak pernah mengusap kepala Sabria, sejauh yang dia ingat. Calon papi mertuanya bukanlah sosok yang mengerikan, meski selera humornya sangat receh, tetapi setidaknya beliau bukan seseorang yang mengingatkan Sabria akan traumanya dengan relasi anak perempuan dan ayah di masa kecil. Sabria sedikit bersyukur saat mengetahui tidak semua pria paruh baya meninggalkan trauma pada anak perempuan. Orang tersebut akan menjadi mertuanya dalam dua tahun ke depan.

"Air ... Air ..." terdengar keluhan Nayaka yang menghampiri Sabria dengan napas tersengal dan kaki terseok. Sabria buru-buru mengulurkan sebotol air mineral utuh pada kekasihnya. Nayaka menenggak habis minuman tersebut dalam beberapa teguk. Melihat ekspresi kepayahan sang pacar, Sabria jadi iba padanya.

"Kalau udah nggak kuat jangan dipaksain," hiburnya. "Mas Yaka kan masih baru sebulanan ini mulai olahraga lagi, jelas beda sama Yasa yang anak gym. Jangan ikut-ikutan, jangan mau juga kalau dia provokasi."

"I-ya," gumam Nayaka lirih. "Tadinya aku kira masih kuat satu putaran lagi, ternyata belum bisa."

Sabria menepuk sisi kosong di sebelah kanannya, mengisyaratkan Nayaka untuk duduk di sana. "Sini istirahat dulu. Mau aku belikan minuman dingin?"

Nayaka menggeleng, "Nggak perlu."

Sabria mengeluarkan kipas listrik kecil dari dalam tas, kemudian menepuk pahanya. "Sini, rebahan di pangkuanku biar aku kipasin."

Dalam kondisi normal, Nayaka tentu akan menolak tawaran ini mentah-mentah, namun karena ia sekarang berada di ambang rasa letih, jadi dia menurut saja diminta begitu. Nayaka melebarkan handuk kecil yang sudah ia persiapkan dari rumah karena memang tujuan mereka ke sini untuk berolahraga di pangkuan Sabria, lalu membaringkan tubuh di sana.

"Biar apa coba?" tanya Sabria.

"Biar baju kamu enggak kena keringatku," jawab Nayaka seraya memejamkan mata. "Maaf kalau bau, ya," gumamnya lirih. Sabria mengipasi wajah sang pacar dengan kipas di tangan, dan tangan lain menyeka keningnya dengan ujung handuk di pangkuan.

"Enggak apa-apa semisal bau juga, wajar orang berkeringat. Tapi, kamu tuh enggak bau kok," hibur Sabria. Ia tidak sedang berdusta, tentu saja. Meski berkeringat dan letih, parfum Nayaka yang beraroma kayu dan pohon pinus masih sesekali menguar dari tubuhnya saat terkena angin. Sabria suka sekali dengan aroma parfum Nayaka yang kalem seperti sang pemakai. Seolah-olah wewangian ini khusus diciptakan untuknya. Namun, Sabria tidak ingin mencari tahu produk apa itu, sebab dia hanya ingin mencium aromannya ketika sudah melekat di tubuh sang pacar saja.

"Dicariin dari tadi malah berduaan," terdengar hardikan Ilyasa yang menghampiri mereka berdua setelah menyelesaikan putaran larinya. "Berapa putaran tadi, Mas? Cuma 1?"

"Dua," jawab Nayaka singkat. Matanya masih terpejam, meski ia tahu ada Ilyasa di sini, dan ia harus cepat-cepat bangun dari pangkuan Sabria jika tidak ingin dilaporkan ke Mami.

"Empat dong kayak aku," seru Ilyasa. Ia mengambil botol air mineral di meja mereka yang masih utuh, kemudian meminum setengah. "Buruan bangun, Mami lagi otw ke sini sama Papi. Tadi ngabarin aku lewat WhatsUp, tapi aku nggak baca pesannya, cuma lihat dari pemberitahuan smartwatch aja." Pada Sabria, Ilyasa mengomelinya, "Mbak Sasa juga jangan mau dimanfaatkan sama kambing jantan ini. Dia tuh emang gitu, pura-pura lemah biar dapat simpati dari perempuan kaya independent woman kayak Mbak Sasa. Kayaknya Mbak Sasa perlu ikut seminarnya Mami Ais buat tahu trik menghadapi pria red carpet supaya tidak mudah diperdaya."

Handuk yang tadinya dipakai alas kepala Nayaka, kini dilemparkan persis mengenai muka Ilyasa. Sabria sendiri hanya bisa menertawakan kekonyolan Ilyasa saat me-roasting sang kakak, sebab Sabria tahu semua yang diucapkannya tidak benar. Nayaka mungkin mendekatinya dengan baik-baik. Meski sedikit agresif di awal, namun semakin ke sini justru Sabria lah yang getol menggodanya, sebab ia tahu ia bisa menjadi centil dengan aman tanpa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan ketika bersama Nayaka. Ia tidak perlu memakai pakaian ketat atau berdandan menor untuk mendapatkan seorang pria yang bersedia menerima dia apa adanya seperti Nayaka. Seseorang yang Sabria tidak yakin bisa ia dapatkan dalam kehidupan ini, tetapi rupanya Tuhan masih berbaik hati padanya dengan mengirimkan Nayaka secara dadakan dan tanpa diduga.

Benar kata Ilyasa, beberapa menit berselang mobil taksi daring yang membawa Mami dan Papi Nayaka berhenti di sekitar stadion, mengantarkan sepasang pasutri lanjut usia itu untuk menemui anak-anaknya. Kejadian seperti ini mungkin tidak pernah Sabria temui di keluarganya sendiri karena Ibu dan Bapak telah lama berpisah sejak Sandy masuk SD, tetapi melihat calon suaminya berasal dari 'keluarga cemara' saja sudah cukup. Setidaknya, salah satu dari mereka memiliki gambaran bagaimana contoh kehidupan rumah tangga yang semestinya.

"Mbak Sasa kok diajak jajan yang kayak gini, sih?" tanya Mami ketika beliau sudah dekat. "Minimal apa gitu, makanannya yang enak dikit."

"Ini enak kok Mih," dalih Sabria membela diri. Namun, enak menurut standar Mami dan dia sepertinya jauh berbeda.

"Ayo kita pergi makan ke Alamama Resto aja. Waktu Mami ikut reuni emas SMA di sana, Mami jatuh hati sama makanan-makanannya. Di sana enak-enak kok,  pilihan menunya ada makanan Eropa, ada makanan lokal. Yuk, yuk, kita jalan ke sana sebelum semakin malem."

"Mi, tapi aku masih keringetan," keluh Nayaka. Sambil melirik adiknya yang juga basah kuyup kena keringat, ia menunjuk Ilyasa. "Tuh, Yasa lebih parah, dia lari 4 putaran stadion."

Mami menghela napas panjang, lalu meminta tas jinjingnya yang tadi dibawakan oleh Papi, kemudian menyerahkan ke dua anak lelaki beliau. "Mami bawakan baju ganti buat kalian. Sana ke toilet, jangan lama-lama perginya, ya."

Nayaka dan Ilyasa pergi sebentar untuk berganti pakaian di toilet, sementara Mami duduk di samping Sabria dan mulai mencicipi sedikit demi sedikit makanan yang ada di meja sambil ngedumel pelan. Sebagian besar makanan di sana mungkin sedikit asing bagi lidah Mami yang jarang makan di pinggir jalan, namun setidaknya Mami masih menghargai penjual di sana dengan tidak mengomel terlalu keras agar tidak terdengar oleh mereka.

"Mbak Sasa doyan yang kayak gini?" tanya Mami. Sabria hanya tergelak melihat reaksi beliau.

"Lain kali saya mau ajak Mami ke restoran Korea asli ya, biar Mami tahu rasa otentiknya kayak gimana," bujuk Sabria. "Saya kan bakal sering-sering ke Solo buat ketemu sama Mas Yaka."

Wajah Mami berbinar mendengar tawaran tersebut, "Bener ya? Kalau Mbak Sasa mau main, bilang ke Mami aja. Udah punya nomornya Mami kan? Nanti biar Mami suruh Mas Yaka nyusul ke Surabaya. Jangan pergi sendiri jauh-jauh Memang Mbak Sasa orangnya pemberani dan mampu ke sana-kemari sendirian, tapi Mami khawatir nanti."

Sabria mengulum senyum tipis, "Pokoknya Mami orang pertama yang tahu kalau saya mau main ke Solo."

Mami tersenyum lebar mendengar pernyataan tersebut. "Terima kasih ya, Nak. Mami bener-bener berharap Mbak Sasa bisa jadi mantu Mami. Semoga langgeng terus sama Mas Yaka, ya. Mami sudah berusaha membesarkan anak-anak laki-laki Mami sebaik mungkin, tapi kalau ada yang salah dari cara asuh Mami, Mbak Sasa cerita ya, biar nanti Mami yang tegor langsung Mas Yaka."

Sabria meleleh mendengar pernyataan tersebut. Ia mendekap calon ibu mertuanya erat penuh rasa haru. Jika ia tidak punya cukup alasan untuk menikahi Mas Yaka, ia akan tetap menerima lamarannya karena Mami.

***
Halo teman-teman! Yang nunggu lanjutan spin-off bisa langsung ke NBJ ya!





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top