23. Daftar Periksa Pranikah (2)
"Manakah dari tiga kategori ini yang kamu banget: Optimis, Realis, atau Pesimis?" tanya Sasa, kembali mengerjakan daftar periksanya dengan tekun ketika mereka berdua sudah di dalam kereta dan kini sedang melaju secara stabil menuju stasiun berikutnya. Yaka sedikit bersyukur dengan adanya daftar tersebut membuat mereka jadi tidak pernah kehabisan topik obrolan, setiap kali butuh bahan pembicaraan.
"Realis, kayaknya," gumam Yaka lirih. "Maksudku, selain dengan Mbak Sasa, aku enggak pernah bermimpi yang terlalu tinggi sampai-sampai nggak bisa digapai."
Sasa menonjok lengannya pelan, "Apaan, sih. Emangnya aku kenapa?"
"Mbak Sasa dengar sendiri lho, mulai budeku, mamiku, sampai adikku meragukan kalau aku bisa ngedapetin Mbak Sasa. Mami bahkan nuduh aku pakai pelet saking nggak percayanya anak beliau yang satu ini akhirnya menemukan seseorang yang mau dinikahi."
Sasa tertawa lirih mendengar alasannya. "Masa sih? Mas Yaka ganteng kok. Teman sekantorku aja sampai nanya, aku nemu Mas Yaka dari mana. Emangnya, selain yang kemarin, pengalaman punya pacar berapa kali?"
"Cuma satu itu."
Sasa membelalakkan matanya yang indah, "Serius? Kamu yang terlalu pemilih apa-"
"Nggak gitu, Mbak," sergah Yaka cepat. "Lebih ke, kalau nggak suka-suka banget sama orangnya, aku nggak mau mendekati dia kalau alasannya cuma sepele."
Sasa kini memicingkan mata. Yaka suka sekali wajahnya yang ekspresif, tidak ada yang ditutup-tutupi. "Alasan sepele itu kayak apa?"
"Rasa penasaran," jawab Yaka singkat.
Pada saat bersamaan, dua orang petugas restorasi kereta melintas di samping mereka untuk menjajakan makanan. Sasa memesan segelas teh hangat, sementara Yaka memesan mie instan dalam gelas rasa ayam bawang. Yaka menawari Sasa untuk pakai jaketnya, sebab saat tangan mereka tak sengaja bersentuhan waktu berebut membayar, ia merasakan betapa dingin jemari Sasa. Sasa menerima jaketnya dengan senang hati.
"Penasaran pengin ngedapetin seseorang, terus kalau udah dapet perasaannya dimainin?" gumam Sasa seraya menghela napas panjang. "Kayak kenal, deh."
"Keinget seseorang?" tanya Yaka. Ia julurkan tangan untuk mengusap kepala kekasihnya pelan. "Mbak Sasa nggak perlu takut, aku bukan orang kayak gitu. Mamiku sangat keras ke anak-anak laki-lakinya, berharap dengan begitu kami nggak akan main-main sama perempuan. Di keluarga beliau lebih banyak anak laki-laki ketimbang perempuan, jadi para ibu-ibu kompak mendisiplinkan kami dengan keras. Buktinya, sepanjang aku hidup, nggak pernah ada ceritanya sepupu-sepupuku menghamili perempuan di luar nikah, atau dilabrak dua perempuan karena ketahuan main belakang. Kenapa dari dulu aku nggak punya banyak pacar, karena aku cuma cari yang cocok di hati. Yang bikin ayem, enggak banyak berantem. Aku suka Mbak Sasa nggak cuma karena Mbak Sasa cantik atau jago bikin kue, tapi aku lihat Mbak Sasa dari jauh aja udah bikin hatiku damai."
Sasa mendengkus, ia buang muka untuk menatap ke luar jendela, namun Yaka tahu jika kekasihnya diam-diam menyeka sudut-sudut matanya yang basah. Yaka menyodorkan tisu untuk Sasa yang disambut dengan baik. Alangkah menariknya, seseorang yang hatinya telah dilukai berkali-kali jika dipertemukan dengan seseorang yang tidak ingin menyakiti perasaan seorang wanita. Mereka terlihat sepadan, namun belum tentu melengkapi satu sama lain. Luka di hati Sasa hanya dia yang bisa menyembuhkan sendiri. Begitu pula Yaka, tak perlu berusaha terlalu keras untuk membuktikan kalau dia orang baik. Yaka kini mengerti mengapa Sasa minta waktu dua tahun.
"Oh, terima kasih, Mbak," ucap Yaka pada pramugari yang mengantarkan pesanan mereka. Sasa menerima tehnya dengan dua tangan karena masih cukup panas, sementara Yaka membuka bungkus mie instannya hingga sepenuhnya terlepas agar cepat dingin.
"Mau coba?" tawar Yaka pada Sasa.
"Kamu duluan dong yang makan, baru ditawarin ke orang."
"Justru karena masih baru makanya-"
Sasa menggeleng. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Yaka untuk berbisik, "Justru, aku tertarik cobain kalau garpunya bekas kamu."
Yaka mengerti mengapa kata-kata itu tidak bisa diucapkan keras-keras. Salah tingkah, ia menyeruput kuah mie instannya lalu seketika menyesal karena lidahnya terbakar. Sasa mengulurkan botol tumbler-nya yang lagi-lagi ditempeli stiker Cardcaptor Sakura. Yaka menenggak air putih dari dalamnya untuk meredakan rasa panas di dalam rongga mulut.
"Hati-hati kalau makan."
"Aku kaget Mbak Sasa bilang gitu," ucap Yaka membela diri. Sasa terkikik lirih melihat reaksinya yang panik setiap kali digoda.
"Habisnya Mas Yaka lucu sih, jadi gemes." Sasa mengambil mie instan cup Yaka yang tadi dipindahkan ke meja kecil dekat jendela karena terjadi insiden, lalu menghirup sedikit kuahnya dari tempat yang sama di mana bibir Yaka tadinya mendarat. Kemudian ia mengembalikan cup tersebut pada Yaka dan mengambil cangkir tehnya yang sudah mulai dingin. Yaka sampai melongo dibuatnya, namun ia pun meminum kuah mie dari titik yang sama dengan bibir Sabria, sebab ada bekas lip tint-nya di sana, jadi lebih mudah ditandai. Bibir Sabria beraroma stroberi yang manis.
Yaka membantu membawakan barang-barang Sasa ketika mereka turun di Solobalapan pukul sebelas kurang lima belas menit. Mobilnya sudah terparkir di sana sejak siang, jadi lebih mudah bagi mereka untuk bepergian tanpa mencari taksi terlebih dahulu jam segini. Mami Yaka sepertinya belum tidur sebab beliau mengirim pesan pada Yaka setiap satu jam sekali untuk menanyakan posisi mereka sudah sampai mana. Yaka tinggal di Sukoharjo, sebuah kabupaten di pinggiran kota Surakarta yang jaraknya sekitar 12 kilometer. Jadi, kemungkinan mereka sampai rumah Yaka menjelang jam dua belas malam.
Sasa tampaknya mulai mengantuk, sebab ia beberapa kali berusaha menyembunyikan kuapannya di balik punggung tangan. Yaka mengatur posisi kursi penumpang depan agar sedikit landai sehingga Sasa bisa bersandar dengan nyaman.
"Kalau ngantuk tidur aja Mbak, nanti aku bangunkan kalau dekat rumah."
"Nggak apa-apa," balas Sasa. "Udah lama aku nggak pernah keluar rumah malam-malam gini, jadi aku pengin menikmati suasana."
"Kalau mamiku nggak nyuruh cepet-cepet ke rumah, aku pengin bawa Mbak Sasa nyobain kuliner malamnya Solo."
"Mungkin lain waktu ya, kan masih banyak kesempatan aku bisa ke sini," gumam Sasa. Kemudian ia duduk tegak lalu menghadap Yaka. "Kita nggak usah pacaran di Surabaya deh, ke Solo aja. Kalau sebulan sekali perginya kan cuma 500 ribu ongkos kereta pulang pergi. Seandainya naik ekonomi-"
"Jangan, Mbak. Ekonominya buat aku aja kalau jemput sama anterin pulang Mbak Sasa. Aku belikan tiketnya, aku udah punya aplikasi buat pesan tiket kereta demi memperlancar mondar-mandir ketemu Mbak Sasa."
"Jangan, Mas! Biar aku aja yang bayar. Aku juga punya uang sendiri kok, meski enggak sebanyak duitnya Mas Yaka. Lima ratus ribu tiap bulan, kalau setahun bisa enam jutaan lho. Duitnya bisa dipakai tambahan bayar gedung."
"Gedung di Solo sewanya nggak semahal di Surabaya kok," ucap Yaka. "Lagian, kayaknya ngunduh mantu nanti di rumah aja, halaman rumah mamiku luas banget, soalnya rumah lama warisan dari bapaknya Papi."
"Kalau gitu buat bulan madu aja enam jutanya. Round ticket sekitar empat jutaan per orang kalau ke Narita."
Yaka menjentikkan jari, "Itu aku setuju."
Sasa menggenggam pergelangan tangan Yaka yang berada di atas persneling sambil tersenyum dengan sangat manis. Meski ia mengaku tidak pakai makeup tebal karena sudah malam, namun bagi Yaka, ini penampilan terbaiknya.
"Kalau kita nikahnya bulan Syawal, ke Jepangnya bisa pas tuh, soalnya bulan Maret-April waktu sakura lagi mekar-mekarnya. Cari kamar hotel yang bisa lihat sakura dari jendela langsung ya, biar kalau lagi diapa-apain sama Mas Yaka rasanya kayak di bawah bunga sakura."
"Emangnya aku bakal ngapain?" Yaka tergelak mendengar Sasa mengutarakan fantasi terpendamnya secara terang-terangan. Dalam hati, Yaka bertekad untuk kerja lebih rajin dan mengumpulkan banyak uang demi mewujudkan keinginan tersebut.
Sasa mengangkat bahu, "Bikin anak?"
Yaka membelai rambut Sasa perlahan dengan penuh kelembutan, "Bikin anaknya di rumah aja. Di sana kita jalan-jalan. Mbak Sasa apa nggak pengin cosplay jadi anak Hogwarts?"
"Mau banget!" pekik Sasa histeris. "Tebak asramaku apa?"
"Slytherin?"
"Kok tahu?!"
Yaka tertawa. Semakin ia mengenalnya, rasa suka Yaka pada wanita ini kian menggebu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top