17. Laporan Camer

Ketika mobil yang dikendarai Yaka telah berhenti tepat di depan rumah keluarga Sasa, barulah ia mulai dilanda rasa gelisah hingga berkeringat dingin. Bagaimana ia bicara pada ibunya Sasa nanti? Mereka berdua sudah sama-sama cukup umur dan setiap orang tua akan bertambah kekhawatiran terhadap jodoh anak mereka semakin lama. Jika diminta melamar Sasa secepatnya, tentu ia akan menyanggupi perintah tersebut. Namun, apakah Sasa nanti berkenan menikah dengan orang yang baru dua minggu dikenalnya?

Melihat Yaka yang mematung di balik kemudi, Sasa menggenggam jemari Yaka yang terasa dingin seperti es, lalu mengusap punggung tangannya perlahan.

"Nggak usah takut, nggak bakal disuruh nikah besok kok sama ibuku," hiburnya. "Ayo turun, aku masakin."

Yaka membantu Sasa mengeluarkan koper dari bagasi dan beberapa oleh-oleh khas Solo yang mereka beli saat jalan-jalan. Sasa membuka pagar rumah, mempersilakan Yaka masuk ke halaman rumah.

"Kamu pergi dua hari kopernya gede amat kayak jamaah umrah," ucap Yaka. "Emangnya, bawa apa aja, Mbak?" Yaka buru-buru menutup mulutnya karena tersadar jika pertanyaan tersebut mungkin terdengar tidak sopan, tetapi Sasa tampaknya tidak tersinggung ditanya begitu.

"Habisnya, aku bingung bawa baju warna apa biar matching sama warna baju kamu." Sasa mendorong pintu depan, namun tertahan. Alisnya mengkerut, "lho, kok dikunci?"

"Eh? Mbak Sasa dihukum ibunya?" tanya Yaka panik. Namun, Sasa malah tertawa. Ia merogoh tas tangannya untuk mencari kunci, lalu membuka sendiri pintu tersebut.

"Aku bukan anak SMA lagi yang bisa ditakut-takuti pakai dikunciin pintu kalau main kemalaman," ucapnya. "Lagi pula, sekarang masih kurang dari jam setengah tujuh malam. Ini bahkan lebih sore dari jam malamku dulu waktu masih sekolah, jam delapan. Ibu mungkin lagi ada pengajian, biasanya juga gitu kalau tetangga ada acara hajatan, memperingati hari khusus seperti Isra Miraj, atau ada yang meninggal."

"Ooh, kukira Mbak Sasa pergi ke Solo nggak pamit, makanya dikunciin."

Sasa mendorong pintunya hingga terbuka lebar, lalu mempersilakan Yaka masuk. Ruang tamunya tidak seluas ruang tamu di rumah Yaka. Bisa dimaklumi, sebab rumah di kota memang lebih kecil dari pada rumah desa. Namun, ruangan tersebut tampak rapi minimalis, dengan sedikit perabotan dan warna dinding yang polos. Berbeda dengan dinding ruang tamu di rumah Yaka yang dicat ungu muda sebab maminya penggemar warna ungu.

"Duduk, Mas Yaka, mau minum apa? Kopi? Selama kita jalan, aku nggak pernah lihat Mas Yaka ngopi."

"Aku memang nggak terlalu suka ngopi kalau nggak kepepet, Mbak," sahut Yasa. "Air putih aja nggak apa-apa, biar sehat."

Sasa mendengkus geli mendengar ucapan tersebut. Jika Yaka seseorang yang bicara dalam bahasa satire, mungkin Sasa akan merasa jika Yaka sedang membalik ucapannya tadi siang, tentang keinginan memiliki suami yang tidak sakit-sakitan. Namun, Yaka selalu berbicara dengan lugas dan apa adanya, sebab itu Yaka yakin jika Sasa tidak akan salah sangka terhadapnya.

"Oke, aku ganti baju dulu ya, nanti baru aku masakin."

Sasa beranjak ke dapur, mengisi gelas dengan air putih dari galon, lalu kembali ke ruang tamu, meletakkan minuman tersebut ke hadapan Yaka. Pria tersebut tampak gelisah di tempat duduknya, karena beberapa kali melihat jam dinding.

"Mas Yaka kenapa? Mau ke toilet? Sini aku tunjukkan tempatnya."

"Numpang salat sekalian boleh? Di mana aja bebas, asalkan jangan kamarnya Mbak Sasa."

"Oh, bisa. Di ruang tengah aja ya, Mas. Aku siapin sajadahnya di sana."

Yaka mengikuti Sasa masuk lebih dalam ke rumahnya. Ia ditunjukkan letak kamar mandi yang dekat dengan dapur, lalu ruang tengah tempat salat, di mana ada televisi layar datar terpasang di dinding dan lantai beralas karpet tanpa sofa atau kursi. Hanya ruang nonton tivi sambil goler-goler saja.

Selesai Yaka mengambil wudu, sebuah sajadah sudah terbentang di sana, lengkap dengan arah kiblatnya. Mbak Sasa tidak terlihat di mana-mana, mungkin sedang ganti pakaian di kamar. Ia segera salat Magrib sebab waktunya sudah mepet Isya dengan fokus. Baru takbiratul ihram, terdengar suara langkah kaki turun dari anak tangga menuju dapur yang bersebelahan dengan ruang tengah tanpa sekat.

Terdengar suara kompor dinyalakan, lalu diikuti white noise aktivitas di dapur. Namun, karena arah kiblatnya membelakangi meja dapur, jadi ia tidak mengetahui apa yang calon istrinya sedang lakukan. Yaka salat dengan khusyuk dan tidak tergesa. Saat ia selesai berzikir seusai salat, bersamaan dengan azan Isya yang berkumandang dari arah pengeras suara masjid beberapa gang di belakang rumah, barulah Yaka mencium aroma sedap bawang bombay yang ditumis hingga layu dari arah dapur.

Yaka menghampiri Sasa di dapur setelah melipat sajadah dengan rapi. Sasa tampak mengenakan baju rumahan yang tertutup; piama setelan bergambar bebek lengan panjang dengan bawahan celana panjang semata kaki. Sedikit bernapas lega, karena Yaka khawatir jika Sasa ternyata hobi pakai daster di rumah, maka keimanannnya akan kembali teruji.

Yaka berdiri di hadapan Sasa, terpana melihat knife skill calon istrinya yang begitu cekatan dalam mengiris jamur dengan ketebalan sama dan kecepatan konstan. Tersadar sesuatu, ia menelan ludah.

"Aku harus memperlakukan Mbak Sasa dengan sangat baik kalau nggak mau jariku diiris tipis kayak jamur."

Sasa tergelak, meski konsentrasinya masih di memasak, tetapi ia bisa melakukan beberapa hal sekaligus dengan baik. Mungkin karena alasan ini, mengapa Bu Amalia tidak rela melepas Sasa jika mereka nanti menikah. Namun, Yaka rasa, tinggal di sini dengan istri dan ibu mertuanya pun tidak masalah, sebab ia hampir yakin calon ibu mertuanya memiliki selera lebih baik dari sang mami dilihat dari cara mereka menata rumah masing-masing.

"Tapi, serius deh. Yang menurut Mbak Sasa nggak bisa masak itu di mana standarnya sih? Megang pisau jago, mencincang bawang putih juga cepet banget kayak lagi nonton peserta ChefMaster. Kukira Mbak Sasa nggak bisa masak sama sekali di level bedain ketumbar ama merica aja nggak bisa."

"Aku cuma bisa menu-menu sederhana kayak gini," Sasa mencelupkan sendok sayur ke panci kaca untuk mengaduk-aduk sup tomat telur kemudian menuang di sendok yang terpegang pada tangan lain, dan meniup-niup hingga dingin. "Yang susah-susah kayak rawon, soto, apa lagi rendang, aku jelas nggak bisa."

Ia menyodorkan ke arah Yaka yang langsung memajukan leher dan membuka mulut menerima suapan. Yaka mencecap sup yang hangat dan gurih, serta ada sedikit rasa asam dari tomat untuk mengurangi aroma amis telur. Ini mungkin pertama kali Yaka mencicipi sup telur tomat meski beberapa kali resep tutorialnya lewat di linimasa media sosial Yaka, tetapi ia langsung jatuh cinta padanya. Sebagaimana Yaka yang jatuh terjungkal hingga berguling-guling di kaki Sasa ketika memakan kue buatannya. Kini, setelah bertemu dan memacari gadis ini secara langsung, Yaka senantiasa mempertanyakan amalan apa yang ia lakukan sampai bisa merencanakan pernikahan dengan wanita seistimewa dia.

"Jangankan Mbak Sasa, mamiku juga nggak bisa masak rendang. Beliau selalu bilang masak rendang di rumah, tapi ternyata krengsengan daging. Ngomong-ngomong, ini enak banget, Mbak," ucap Yaka. Sasa memasukkan sendok bekas Yaka ke dalam mulutnya terlebih dahulu, sebelum mencicipi langsung kuah sup itu.

"Nggak kurang asin?" tanyanya. Sasa mengambil botol dengan tutup berlubang-lubang berisi serbuk mirip butiran kaldu jamur lalu menaburkan sedikit di sana. Sasa kembali mengaduk, lalu mencicipi. Setelah sebuah senyum terkembang di bibirnya, ia sekali lagi menyuapi Yaka. Kali ini, Yaka sampai memejamkan mata dan melenguh 'hmm' lirih saking enaknya. Sasa tertawa melihat ekspresinya. Seraya bergumam lirih pada dirinya sendiri, meski Yaka masih bisa mendengar, "Jadi gitu ekspresimu kalau lagi orgasme."

"Gimana, Mbak?"

Sasa kembali tertawa, "Enggak, aku udah nggak mau mancing-mancing lagi."

Namun, alangkah kelirunya Yaka, sebab derai tawa Sasa yang terdengar bagai denting lonceng di telinganya saja sudah cukup untuk membuat tergoda. Sayup-sayup, terdengar suara gerbang dibuka, lalu diikuti dengan salam.

"Assalamualaikum, Mbak. Udah pulang, ya? Sepatunya ada di depan."

"Waalaikum salam," jawab Sasa dan Yaka bersamaan. Ibu Sasa mungkin sudah mulai curiga di awal karena ada dua pasang sepatu di teras, tetapi kini saat mendengar suara laki-laki di dalam, bisa jadi beliau semakin berpikiran jauh ke depan. Yaka buru-buru menghampiri wanita berkerudung yang muncul di ambang pintu depan untuk menyalami beliau secara refleks. Ibunya Sasa tampak bingung mengapa tiba-tiba ada pria asing yang mencium tangannya.

"Salam kenal Bu, saya Nayaka, biasa dipanggil Yaka," sapanya. "Saya ..."

Yaka menoleh ke arah dapur tempat Sasa berada seolah meminta bantuan. Kekasihnya itu sangat peka dengan keadaan ini, sehingga ia buru-buru menghampiri ibu dan sang pacar setelah memastikan kompornya mati.

"Dia ini pacar aku, Bu," kata Sasa seraya menyalami ibunya. "Orang Solo, kebetulan keponakannya Bu RT."

Sayup-sayup, terdengar rombongan ibu-ibu pengajian lain yang lewat di depan rumah seraya mengobrol asyik dan bercanda gurau. Yaka menyadari salah satu suara tersebut, dan tampaknya Ibu Sasa juga. Beliau langsung membalikkan badan untuk memanggil ke arah depan.

"Bu, Bu RT!" serunya. "Niki wonten ponakane sampeyan ngapeli anak kulo (Ini ada keponakannya Ibu lagi apel ke anak saya)."

Suara-suara di luar mendadak hening, kemudian terdengar Bude Aminah berseru cukup nyaring, "Lho, ada mobilnya Yaka."

Pintu pagar rumah ibunya Sasa dibuka, lalu langkah kaki budenya Yaka yang berdentam-dentam terdengar di halaman, lalu tiba di pintu depan.

"Lho, Mas Yaka ngapain sama Mbak Sasa?" serunya penuh kekagetan. "Ayo mulih, Le!"

Yaka hendak protes karena ia bahkan belum sempat mencicipi masakan Sasa yang dibuat khusus untuknya, namun Sasa menggenggam pergelangan tangan Yaka untuk menahannya pergi.

"Biar Mas Yaka makan dulu Bu, udah saya masakin tadi. Ibu mau sekalian makan juga? Saya masak agak banyak, kok. "

Kelopak mata Bude Aminah semakin membesar melihat Sasa menggandeng tangan Yaka. Seolah bisa membaca situasi di antara Yaka dan Sasa, Bude Aminah langsung bersedekap. Yaka menelan ludah, beliau terlihat marah.

"Makasih Mbak, tadi udah dikasih suguhan makan lontong opor di rumahnya Bu Yanto pas halal bihalal pengajian," ucapnya dengan lembut pada Sasa, berbeda sekali intonasi budenya saat bicara pada Yaka. "Tapi, kalau boleh, Ibu mau temani di dalam sambil ngobrol sama ibunya sampeyan, ya."

"Oh, boleh Bu, monggo (mari) masuk," sambut ibunya Sasa dengan ramah. Pada putrinya, beliau mengatakan, "Sana, siapkan makan buat Mas Yaka."

"Oh, nggak perlu repot-repot Bu," sergah Yaka cepat. Terutama ketika melihat budenya melotot karena gara-gara dia Sasa jadi disuruh-suruh. "Biar saya ambil sendiri."

"Ya udah, ayo."

Yaka mengikuti Sasa dengan patuh ke dapur. Ruang tamu dan dapur rumah ini terletak segaris lurus, sehingga kalau duduk di sofa ruang tamu, bisa langsung melihat ke arah dapur, hanya terhalang oleh partisi rotan meski hanya menutupi sepertiga ruangan saja. Tadinya, Yaka cukup percaya diri untuk bertemu calon mertuanya, tetapi keberadaan Bude Aminah di sana membuatnya sedikit cemas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top