16. Ke Mana Perginya Kekayaan Sabria
"Skincare sebulan berapa, Mbak? Atau kosmetik dan printilan lain, misalnya pengin jajan cetakan kue gemes-gemes tiap tanggal dobel di e-commerce?" tanya Nayaka meski pandangannya fokus pada jalanan. "Nanti biar aku tahu harus ngasih uang jajan berapa di luar biaya hidup bulanan kita."
"Nggak perlu, aku bisa beli sendiri," sahut Sabria singkat sambil terus menambahkan catatan baru di kertasnya yang mulai lecek.
"Aku tahu, tapi aku pengin belikan, sebagai suami yang baik."
"Aku cari suami bukan buat belikan skincare, tapi mau yang bisa dijadikan pasangan sehidup semati."
"Kalau bisa dijadikan pasangan, sekaligus belikan skincare gimana?" laju kendaraan Nayaka melambat saat mendekati pintu tol.
Sabria mengangkat bahu, "Kalau kamu maksa ya udah, tapi jangan kaget ya nantinya."
"Ooh, aku ngerti sekarang. Mbak Sasa nggak mau ngasih tahu karena harganya mahal ya, bukan karena nggak mau ngerepotin? Nggak apa-apa, Insya Allah aku siap kok. Jangan sampai Mbak Sasa kelihatan lebih kucel setelah nikah sama aku, nanti aku digebukin Mami sampai tulangku patah."
Sabria tidak menjawab, ia malah mengajukan pertanyaan berikutnya, "Punya investasi jangka panjang atau udah ada rencana mau investasi apa? Reksa dana, mungkin?"
"Sejujurnya, aku nggak menemukan di mana serunya beli saham atau obligasi, jadi aku nggak berminat mempelajari itu lebih lanjut selain coba-coba di awal. Selama ini aku cuma simpan uang di deposito aja, sama punya rekening saving di bank digital yang terpisah dari rekening utama," jawab Nayaka. Ketika ia hendak membayar tol, Sabria menyodorkan tongkat tol miliknya yang sudah terisi dengan kartu e-money di dalam.
"Aku aja yang bayar. Habis, kamu enggak mau diganti uang bensinnya."
"Ya nggak apa-apa, kan aku yang—" Nayaka terdiam saat menerima tongkat milik Sabria. Yang menarik perhatian Nayaka hingga ia mematung bukanlah kenyataan jika Sabria ingin membayar tol, melainkan desain tongkatnya yang anime banget.
"Hah, gemesnya. Kenapa barang cewek lucu-lucu banget perintilannya?" seru Nayaka sambil membolak-balikkan tongkat e-toll di tangannya. Untung saja jalanan sangat lengang meski sekarang hari Minggu dan tidak ada penumpukan mobil lain di belakang kendaraan Nayaka selama dia mengagumi tongkat tersebut.
"Well, I have adult money," jawab Sabria singkat. "Udah, buruan bayar, nanti diklaksonin orang kalau kelamaan berhenti."
Nayaka memindai kartu tol tersebut kemudian mengembalikan pada Sabria. "Kok lucu sih? Aku berasa jadi Kinomoto Sakura waktu nge-scan kartunya."
Cahaya matahari di sore hari memantul pada bola mata Nayaka, membuatnya tampak berbinar dengan rasa antusias membuncah dan euforia. Sabria jadi teringat pada mantan-mantan yang menertawakan hobinya dalam hal mengumpulkan pernak-pernik lucu. Katanya, mereka sudah bukan anak-anak lagi, jadi bersikaplah seperti selayaknya orang dewasa. Tetapi, Nayaka di sini bahkan sampai tahu nama tokoh utama dari film kartun kesukaan Sabria di masa kecil. Memang terlihat jelas jika Nayaka memiliki kecenderungan ke arah wibu, hanya saja, Sabria merasa dihargai oleh calon suaminya karena hal sekecil itu. Semakin dia menjadi dewasa, Sabria tidak lagi memandang dunia dalam skala lebih besar, terutama soal ekspektasi terhadap pasangan. Memiliki seseorang yang mendukung hobinya saja ternyata sudah cukup.
"Kalau kamu mau, nanti aku belikan juga biar kita kembar," tawar Sabria.
"Boleh! Tapi kalau ada yang desain kayak paruh burung yang dipakai Sakura buat menyegel kartu, aku bakal lebih suka lagi."
"Oh, aku tahu! Bentar," Sabria mengutak-atik ponselnya kemudian membalik layar ke hadapan Nayaka yang hanya melirik sepersekian detik sebelum kembali fokus menatap jalanan di depan. "Kayak gitu?"
"Iyaaa bener banget!" seru Nayaka riang. "Ih, kalau aku punya tongkat e-toll gemoy kayak gitu, kira-kira direbut sama keponakanku nggak ya?"
Sabria tertawa, "Kalau ada anak-anak juga enggak aku pakai, aku keluarkan kartunya aja."
"Iya juga ya, pinter banget akalnya Mbak Sasa."
"Aku belikan ya, nanti kalau ketemu lagi aja aku kasih ke Mas Yaka."
"Aku transfer, Mbak. Kalau mau jajan yang lain-lain lagi boleh juga lho. Oh iya, aku perlu catat nomor rekening Mbak Sasa mulai sekarang, kalau perlu dihafalin biar nanti gampang kalau mau kasih uang jajan."
"Biar apa coba? Nanti aja H-7 akad nikah aku kasih tahu," sahut Sabria ketus.
Mendengar itu, Nayaka jadi tertunduk lesu. Jika tidak sedang digoda secara sensual, Nayaka rupanya banyak berceloteh dan memiliki rasa keingintahuan yang besar untuk mengenal Sabria lebih dekat. Suara baritonnya yang terdengar merdu pun selalu konstan berada pada nada rendah dan penuh kesantunan saat berbicara, meski sedang antusias. Sabria menyukai laki-laki yang tidak mudah meninggikan suara, sebab hal tersebut akan memantik traumanya pada ingatan masa kecil setiap kali bapak dan ibunya bertengkar.
Saat ini Sabria sedang berpikir keras, kapan saat yang tepat untuk memberitahu Nayaka bahwa ia tidak dibesarkan dalam keluarga cemara, sebagaimana lingkungan tempat calon suaminya tumbuh. Apakah hal ini akan menjadi deal breaker sebab tidak semua orang tua rela anaknya menikahi seseorang dari keluarga broken home seperti Sabria.
"Mbak Sasa nggak nanya-nanya lagi?" tanya Nayaka. "Aku siap kok, meski lagi nyetir."
Sabria menatap speedometer di hadapan Nayaka yang selalu konstan pada 80 km/jam. Tadinya, Sabria sedikit kesal karena Nayaka memuji dia sebagai pengemudi yang andal, tetapi rupanya Nayaka juga tidak kalah hebat soal berkendara. Bahkan mungkin lebih stabil dari Sabria, sebab Sabria tidak pernah menyetir dalam radius lebih dari 100 kilometer.
Sabria memeriksa daftarnya kembali, namun ia sedang tidak ingin melanjutkan diskusi mereka. Sabria melipat kertasnya lalu memasukkan kembali dalam tas.
"Aku boleh tidur sebentar?" tanyanya.
"Boleh, Mbak. Mau bantal? Kayaknya di jok tengah ada bantal leher yang gambarnya bebek. Cari aja, itu punyaku kok."
"Nggak perlu," Sabria menggelengkan kepala. "Nanti minta tolong berhenti di area peristirahatan ya, Mas. Aku mau cari toilet."
Nayaka memeriksa petanya untuk mencari tahu area peristirahatan terdekat. Saat ini mereka sudah berada di ruas Ngawi - Kertosono yang terdapat 3 titik area peristirahatan pada KM 597 A, KM 575 A, dan KM 519 A. Butuh waktu sekitar sepuluh menitan lagi sebelum tiba di tempat peristirahatan terdekat.
"Mbak Sasa kebelet banget nggak? Kalau iya, aku bisa agak ngebut dik—"
"Nggak usah, Mas, enggak apa-apa kok. Jangan ngebut-ngebut, nanti aku enggak bisa tidur."
"Oh, ya udah kalau gitu Mbak Sasa istirahat aja. Pasti capek dua hari ini aku ajak main di sekitar Solo."
Sebentuk tangan terulur untuk mengusap rambut Sabria sekejap. Tadinya ia tidak ingin tertidur karena Sabria hanya merasa sedikit sentimental jika teringat kondisi keluarganya. Namun, usapan singkat di rambut dan keningnya dari Nayaka, membuat Sabria jadi tertidur. Ia baru bangun sekitar lima belas menit kemudian karena mobil yang ditumpanginya berhenti bergerak.
"Mau sekalian makan nggak, Mbak?" ajak Nayaka saat mereka berjalan beriringan ke tujuan masing-masing. Sabria ke toilet, Nayaka ke musala. "Minimal jajan apa gitu, biar nggak lapar di jalan."
Sabria memandang berkeliling ke area tenant-tenant yang menjajakan makanan, kemudian menggeleng pelan. Ia tidak lapar, sebab dari tadi perutnya sudah terisi berbagai macam makanan dan camilan yang Nayaka siapkan untuknya. Sambil menarik lengan baju Nayaka, Sabria menahannya agar tidak menjauh.
"Nanti kalau sampai Surabaya nggak kemalaman, aku masakin di rumah, ya."
"Mbak Sasa mau masak apa?"
Sabria mengangkat bahu, "Kalau yang gampang kayak sup tomat telur atau tumis ayam jamur sih aku bisa."
"Boleh banget, Mbak. Aku salat Asar dulu ya, mumpung udah azan."
Nayaka segera beranjak ke arah musala. Ia tidak pernah mempertanyakan keimanan Sabria atau menyuruh-nyuruh untuk salat. Yang dia pedulikan hanya dirinya sendiri. Namun, karena itu Sabria jadi menyusul ke musala setelah selesai dari kamar mandi. Jika Nayaka begitu getol ingin bisa sepadan dengannya, maka ia pun perlu untuk menyamakan langkah mereka agar selaras. Nayaka tidak ada di sana sebab ia berada di saf laki-laki, tetapi Sabria tidak perlu diawasi sebab kali ini keinginan untuk beribadah dengan lebih rajin dan tepat waktu datang dari dirinya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top