14. Daftar Periksa Pranikah (1)

Nayaka membawa Sabria makan pagi di Soto Seger Hj. Fatimah seraya mengerjakan daftar periksa yang telah disiapkan Sabria sebelum ia berangkat ke Solo. Ada sederet pertanyaan pada satu halaman, kemudian studi kasus pada halaman berikutnya, dan beberapa lembar lain yang hanya perlu memilih antara dua opsi; yes atau no. Sabria sudah mempertimbangkan banyak hal jika Nayaka benar-benar serius ingin menjalin hubungan dengannya, dengan menilik terlebih dahulu dari destinasi kencan yang telah ia siapkan untuk Sabria dalam sehari. Sejauh ini, Sabria bisa melihat kesungguhan Nayaka untuk mencoba menyesuaikan selera mereka, dan menurut Sabria, Nayaka sudah lolos di tahap awal.

Seiring bertambah usia, Sabria mulai merasa jika ia tidak begitu ingin mengejar tempat estetik untuk diunggah ke media sosial, atau restoran yang sedang naik daun dan antreannya mengular hingga berjam-jam. Sabria lebih suka tempat-tempat yang tenang, akan ada nilai plus jika memiliki nilai budaya atau ada pertunjukan seni daerahnya, sebab bekerja di Glamela membuat Sabria jadi lebih bisa mengapresiasi kesenian dan budaya setempat.

Jika ada seseorang yang bertanya mengapa Sabria mau pacaran dengan cowok STEM macam Nayaka, ia akan dengan senang hati menjelaskan kalau Nayaka sangat peduli terhadap detail kecil; baik yang terlihat maupun tidak. Seperti sekarang misalnya. Nayaka rela mondar-mandir memesankan makanan, mendekatkan botol kecap dan saus sambal untuk Sabria, serta dengan sigap mengambilkan tisu saat kuah soto Sabria tumpah ketika dihidangkan, lalu mengelap meja sampai bersih.

Sambil menunggu sotonya agak dingin karena masih terlalu panas, Sabria membuka tas untuk mengeluarkan salinan dokumen daftar periksa pranikah yang telah dia siapkan untuk Nayaka. Nayaka yang tadinya hendak menyuap soto panas-panas jadi mengurungkan niat dan mengeluarkan salinan miliknya.

"Mau mulai sekarang?" tanya Nayaka. Sabria mengangguk.

"The sooner, the better."

"I agree." Nayaka melirik kertas Sabria, dan membalik bundelan di tangannya pada halaman pertama, menyamakan dengan milik sang kekasih.

"Dari gaya hidup dulu, ya. Morning person apa night person?" tanya Sabria. Pulpennya sudah siap di tangan kanan untuk mencatat perbandingan jawaban mereka.

"Bit of both," ucap Nayaka. "Meski aku sering kerja sampai malam, tapi pagi pasti bangun buat subuhan dulu. Seandainya mau tidur lagi, minimal aku gangguin Mami dulu buat minta sarapan, baru tidur kalau nggak ada kerjaan yang mendesak."

"Aku lumayan morning person karena masuk kantor pagi."

"Kalau akhir pekan atau tanggal merah bangun siang, ya?" ledek Nayaka.

Sabria mendekatkan bibirnya ke telinga Nayaka untuk berbisik, "Kenapa? Mau guling-guling di kasur berdua?"

Nayaka memicingkan mata, "Lihat aja nanti kalau kita sudah halal."

Baik Sabria dan Nayaka mengisi daftar milik masing-masing di area yang kosong setelah tiap pertanyaan.

"Suka bersih-bersih nggak?" tanya Sabria, beranjak ke pertanyaan berikutnya.

"Kalau lagi fokus kerja mungkin sedikit berantakan. Buku-buku, baju kotor, bahkan mungkin nggak sempat cukuran. Tapi setelahnya aku bakal beberes kamar, nyapu, ngepel, cuci baju, mandi yang bersih."

Sabria mengangguk puas, "Sama, aku juga kalau lagi fokus baking kadang nggak sadar udah bikin kotor rumah. Tapi, kalau udah selesai, aku rapihin lagi satu-persatu, mulai cuci wadah kotor bekas mixing adonan dan loyang bekas pakai, bahan-bahan kue sisanya ditata lagi ke lemari, nyapu lantai bekas tumpahan tepung, ngepel lantai biar nggak licin karena butter atau telur."

Nayaka menatap Sabria lekat-lekat, menunggunya selesai bicara sebelum bertanya, "Ngomong-ngomong soal kue, tahun depan mau ke Solo pas lebaran hari kedua nggak? Aku mau pesan kue, tapi bikinnya di rumahku. Mbak Sasa mau oven kayak gimana, nanti aku belikan."

Sabria tertegun ditodong begitu. Lebaran baru saja seminggu berlalu, tetapi ia sudah ditanya soal rencananya tahun depan. Sambil menatap jahil pada Nayaka, Sabria melontarkan pertanyaan balik.

"Kalau habis lebaran tahun berikutnya kita akad nikah, aku mau. Masa udah dibawa ke keluarga kamu, tapi nggak ada kepastian kapan dinikahi, sih?"

"Deal!" Nayaka menyeringai lebar. Ia membuka ponselnya lalu memasukkan kata kunci pada aplikasi perbankan. "Aku juga kalau udah cocok nggak mau gantung Mbak Sasa kelamaan. Keluarga aku juga nggak susah kok minta restunya, apa lagi mereka udah kenal Mbak Sasa lewat kue-kue buatan Mbak Sasa. Aku punya seratus lima belas juta, belum termasuk pembayaran dari Glamela nanti yang nilai kontraknya dua puluh juta, mau resepsi adat apa?"

"Solo Putri."

"Basahan?"

"Enggak, nanti aku kedinginan kalau pakai baju dodot."

"Oke, siap. Sama sih, nggak kebayang kalau aku harus telanjang dada selama beberapa jam." Nayaka terkekeh lirih, mungkin sudah terbayang bagaimana rupa mereka kalau di pelaminan nanti. "Mahar emas atau uang?"

"Logam mulia dan kalung."

"Kalungnya emas?"

"Berlian." Sabria menatap Nayaka lekat untuk melihat ekspresinya. Tetapi wajah pria ini tidak tampak seperti sedang bercanda.

"Mau sebesar apa?"

"Kecil aja, karena bentuk leherku nggak cocok kalau liontinnya gede."

Nayaka mengamati kekasihnya lekat-kekat dari depan, samping, dan belakang. "Enggak kok, Mbak Sasa cantik-cantik aja pakai segala jenis kalung."

Sabria memutar bola mata sambil memukul pelan pundak Nayaka. Meski pria ini mengaku jika dia hampir jarang berolahraga, tetapi bentuk tubuhnya lumayan bagus. Bahu lebar dan dada bidang, perut yang tidak terlalu buncit, serta otot lengan yang cukup keras.

"Lanjut pertanyaan berikutnya," ucap Nayaka seraya berdeham. Teringat topik awal yang membuat mereka membicarakan tentang pernikahan, Sabria tiba-tiba memotong.

"Tunggu, balik dulu ke topik sebelumnya. Aku mau bikinin kue buat keluarganya Mas Yaka, tapi nggak mau dibayar. Nanti bahannya apa aja biar Mas Yaka yang beli, terus aku bikinin di sana."

"Kok gitu?"

"Kalau kita mau menikah, keluarganya Mas Yaka kan bakal jadi keluargaku juga, jadi anggap aja aku juga ikut bantu tenaga buat minta restu ke keluarganya Mas Yaka."

"Kalau gitu aku cium aja, ya, sebagai tanda terima kasih. Terus, tiket keretanya aku yang pesankan. Tenang aja, bukan ekonomi kok, kalau buat Mbak Sasa."

"Boleh, tapi maunya di bibir," goda Sabria. Nayaka langsung cemberut setiap kali bercandaan Sabria menjurus ke kontak fisik yang lebih intim. Ia menyandarkan kepala di lengan Nayaka dengan manja, "Ekonomi juga nggak apa-apa, asalkan perginya bareng Mas Yaka."

"Aku jemput ke Surabaya-nya? Deal, tapi kita tetap naik Ekse. Aku naik Ekonomi karena udah biasa naik kereta sejak muda, tapi kalau sama Mbak Sasa, aku maunya Mbak Sasa bisa nyaman selama di perjalanan."

Kali ini gantian Sabria yang cemberut. Setidaknya, ia tidak sendirian selama perjalanan mudik tahun depan. Ia membaca kembali kertasnya, masih banyak yang perlu dibicarakan dengan Nayaka, tetapi sotonya kini sudah mencapai suhu yang paling nyaman dimakan; tidak terlalu panas, tidak juga dingin. Seperti hubungannya dengan Nayaka.

"Makan dulu yuk, nanti lanjut lagi," ajak Nayaka, seolah bisa membaca pikirannya. Sabria menatap lamat-lamat pria yang sedang berdoa di sebelahnya, kemudian ia turut mengikuti contoh yang diberikan si calon imam.

Pertemuan mereka sangat singkat, namun sejauh ini Sabria merasa jika mereka sudah saling kenal sejak lama.

***
Yang kalian tunggu-tunggu sudah ada! Silakan meluncur ke laman web nihbuatjajan dot com (link Spin-off sudah disematkan di halaman profil Wattpad-ku), lalu ikuti saja petunjuknya. Metode pembayarannya bisa dilihat pada gambar tangkapan layar ke-2. Selamat membaca!

P.S. ada yang mau list-nya Mbak Sasa buat persiapan pranikah?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top