10. Kesepakatan Tidak Tertulis
Saat Sabria kembali masuk ruangan Bu Amalia untuk membawakan surat kontrak yang diminta, suasana di dalam tampak canggung dan agak tegang. Namun, ia mengira jika mereka berdua mungkin sedikit gugup karena hendak menandatangani surat kontrak. Sesekali pandangan Sabria dan Nayaka saling berserobok, kemudian mereka sibuk memalingkan wajah. Interaksi antara keduanya yang mencurigakan, tak luput dari pengamatan Bu Amalia sejak awal.
"Pagi Bu," sapa Sabria seraya memasuki ruangan sekitar satu jam silam, diikuti oleh seorang pria jangkung yang mengekorinya dengan patuh. Bu Amalia tampaknya sudah kembali pada rutinitas semula, yakni datang dua jam lebih awal dari jam masuk kantor, dan kini sedang memeriksa jahitan tunik batik di meja besar pada ruang karyawan.
"Pagi Sa," tanpa melirik arloji di pergelangan tangan, Bu Amalia bisa tahu jika Sabria datang lebih awal dari jam masuk kantor. "Tumben pagi? Ini bahkan lebih pagi dari Rara lho, padahal dia selalu jadi orang pertama yang datang karena indekosnya di belakang gedung kantor kita."
"Saya berangkat bareng Mas Yaka, programmer yang kemarin Ibu minta untuk dihubungi."
Mendengar ada nama baru yang disebut, Bu Amalia mulai menunjukkan ketertarikannya dengan mendongakkan kepala. Menatap langsung asisten pribadinya yang tampak salah tingkah sepagi ini dengan pria yang berkali-kali menatapnya secara terang-terangan, kecurigaan Bu Amalia seketika mencuat.
Kali ini pun, pembicaraan kecil antara mereka berdua yang tidak sengaja terdengar oleh Bu Amalia semakin menguatkan dugaan beliau akan sesuatu di antara Sabria dan Nayaka saat dia sedang membantu menunjukkan letak pembubuhan tanda tangan.
"Nanti pulangnya kereta ke Solo jam setengah 3 sore?" bisik Sabria pada Nayaka. "Di sini, Mas. Rangkap satu."
"Iya, Sri Tanjung."
"Ekonomi?"
"Sri Tanjung ekonomi semua gerbongnya. Kecuali berangkatnya kemarin malam Gaya Baru Malam Selatan, ada eksekutifnya, tapi aku tetap ambil yang ekonomi."
"Balik ke rumah Bu Aminah dulu, kan?"
Nayaka mengangguk, "Iya, pamitan dulu sama Bude."
Sabria membalik halaman surat kontrak kerja mereka kemudian menunjuk halaman paling terakhir. "Sama di sini juga."
"Tunggu," potong Bu Amalia sambil bersedekap. "Kalian ini udah saling kenal atau gimana? Pernah match di DateMe?"
Sabria dan Nayaka saling berpandangan, kemudian tertawa. "Ceritanya agak panjang," jawab Sabria kemudian. Bu Amalia menatap mereka secara bergantian, menunggu siapa yang mau cerita terlebih dahulu. Namun, sebagai pria jentelmen, Nayaka bicara untuk mereka berdua.
"Bude saya tetangganya Mbak Sasa," ungkapnya. "Karena Mbak Sasa jago bikin kue dan enak-enak semua, jadi setiap mudik ke Solo, Bude selalu pesan kue ke beliau."
Sabria dan Bu Amalia sama-sama mendengkus saat dengar bagaimana Nayaka menyebut 'beliau' sebagai kata ganti Sabria. Memang tidak ada yang salah dengan etika kesopanan, namun, Nayaka seseorang yang terlalu sopan untuk ukuran Sabria.
"Terus, kamu naksir dia karena suka kue buatannya?" tembak Bu Amalia tanpa tedeng aling-aling, tetapi keburu disergah oleh Sabria.
"Jangan gitu dong Bu!"
Namun, Nayaka seolah terpelatuk karena pancingan tersebut. Sebab ia menundukkan kepala, dan dengan suara sedikit bergetar menjawab, "Sejak awal saya memang selalu nunggu-nunggu kue buatan Mbak Sasa yang dibawakan bude waktu acara keluarga. Tapi kalau memang seiring berjalan waktu kami menemukan kecocokan, ya ndak apa-apa juga, kalau Mbak Sasa menghendaki."
Sabria mencelus mendengar ucapan tersebut. Waktu menjalani hubungan dengan Ajisaka, tidak pernah terlontar pernyataan mau dibawa ke mana arah kedekatan mereka. Meski semua orang di sekitarnya menganggap mereka berpacaran, Ajisaka tak juga kunjung ingin membenarkan tuduhan tersebut, meski tidak ada kesepakatan sebelumnya untuk berpacaran. Kedekatan mereka selama dua tahun yang tanpa status jelas, sepertinya sudah lazim terjadi pada orang-orang seusianya, sebab itu Sabria tidak ingin mempertanyakan ketegasan sikap Ajisaka. Sampai ia berangkat ke Melbourne pun dan jarak perlahan membuat mereka renggang, Sabria tidak pernah mencoba memperbaiki komunikasi mereka, sebab Ajisaka sendiri pun hanya menghubunginya saat ingat saja.
Melihat keseriusan dari Nayaka, keinginan Bu Amalia untuk merisaknya justru semakin menjadi-jadi. Sambil menatap tajam seolah sedang memeriksa kualitas produk Glamela sebelum dipasarkan, Bu Amalia kembali bertanya.
"Kamu tipe cowok yang gantungin hubungan, nggak, Mas Naka?"
Nayaka tergeragap ditodong begitu. Tentu saja, jika Sabria diundang ke satu tempat untuk membicarakan pekerjaan, tetapi berakhir diceng-cengin karena ia mengenal sekretaris bos itu, tentu tidak akan terbayangkan sama sekali olehnya.
"Udah Bu, jangan ledekin terus," sergah Sabria. "Mending Ibu tanda tangan aja di sini, sama di halaman belakang."
Bu Amalia sejenak menyibukkan diri dengan membubuhkan tanda tangan di tempat yang ditunjuk oleh Sabria. Setelah selesai mencoret-coret di beberapa titik, barulah Nayaka kembali buka suara. Kesopanan membuatnya menunggu lawan bicara untuk menyelesaikan aktivitas mereka terlebih dahulu sebelum melanjutkan obrolan.
"Saya orangnya serba pasti, karena kalau enggak, hasil kerja saya bisa berantakan. Jadi saya nggak akan membiarkan orang yang saya sukai menunggu-nunggu apakah perasaan kami bersambut atau tidak."
Bu Amalia tersenyum lebar, sementara Sabria membuang wajah sebab pernyataan tersebut membuatnya malu. Seolah mengingatkan akan luka lama yang pernah dijalinnya bersama Ajisaka. Sementara itu, Nayaka kembali menundukkan kepala, hingga membuat tubuhnya yang jangkung jadi terlihat kecil dan rapuh. Meski mereka sama-sama sudah dewasa dan Nayaka bahkan lebih tua dua tahunan dari Sabria, tetapi secara mental ia merasa jauh lebih kuat dari pria itu.
Bu Amalia bertepuk sekali, kemudian mengisyaratkan Sabria untuk membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja. Pembicaraan mereka hari ini sudah selesai, tampaknya beliau cukup puas dengan Nayaka; baik sebagai programmer lepas untuk aplikasi Glamela yang akan dirilis nanti pada ulang tahun ke-6 perusahaan startup ini, serta pada Nayaka yang secara terang-terangan menyodorkan hatinya dengan kedua belah tangan pada Sabria, melalui hasil desakan beliau. Apapun itu, pandangan Sabria terhadapnya kini mungkin sedikit bergeser.
Mereka berjabatan tangan kemudian Nayaka undur diri. Teman-teman Sabria di luar sudah datang semua dan kini menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing, ketika Sabria mengantarkan Nayaka ke luar. Tidak lupa, Sabria memberikan sekotak carrot cake yang semalam telah ia siapkan untuk Nayaka bawa pulang ke dalam kantong tote bag bergambar logo Baron Cakery & Cookies.
"Nanti saya pesanin ojeknya ya, Mas, langsung saya atur ke lokasi rumah Bu Aminah," ucap Sabria saat mereka menuruni tangga secara bersebelahan.
"Nggak perlu repot-repot kok, Mbak," sergah Nayaka. "Saya udah hafal rumah Bude."
"Nggak apa-apa Mas, soalnya kalau cuma masukin alamat aja nanti titiknya bisa nggak pas." Melihat Sabria yang memakai sepatu hak tinggi bertali tipis, Nayaka refleks mengulurkan tangan. Sabria menatapnya bingung.
"Barangkali Mbak Sasa butuh pegangan," katanya. Pada kondisi normal, Sabria bisa naik-turun tangga sebanyak empat lantai bersama Bu Amalia berkali-kali dalam sehari, dengan sepatu hak tinggi yang ujungnya runcing, dan ia tetap terlihat prima. Meski begitu, Sabria menerima niat baik Nayaka dengan menggenggam tangannya dan mereka bergandengan sepanjang lantai 3 hingga lantai dasar. Tangan Sabria yang agak dingin sebab ruangan kantornya ber-AC, beradu dengan tangan Nayaka yang selalu panas seperti orang demam, menghasilkan suhu hangat yang nyaman. Mereka memisahkan diri dengan canggung saat tiba di anak tangga paling bawah.
"Ojeknya sebentar lagi sampai," kata Sabria. Mereka saling berhadapan, sebelah tangan Nayaka menjinjing tote bag bergambar kucing, tetapi tidak mengurangi kemachoannya. Sabria mengulurkan tangan terlebih dahulu, kemudian dijabat erat oleh Nayaka.
"Terima kasih ya Mas."
"Terima kasih Mbak Sasa."
Saling berpandangan, mereka tertawa lepas. Nayaka mengeluarkan ponsel dari kantong depan celananya, sebuah ponsel logo buah seri 15 rilisan terbaru tahun ini, disejajarkan dengan ponsel Android lipat di tangan kiri Sabria yang membuka aplikasi ojek daring.
"Berapa harga kue wortelnya?" tanya Nayaka untuk mengusir canggung. "Saya transfer pakai Kris ya, Mbak?"
"Oh, enggak usah," sergah Sabria cepat. "Itu hadiah kok, buat dimakan bareng keluarga."
Nayaka mengangkat kepalanya dari layar ponsel. "Beneran, Mbak? Ini gara-gara saya naik kereta ekonomi ya, jadi Mbak Sasa kasihan ama saya?"
Sabria tertawa terbahak-bahak, "Bukan gitu, Mas. Saya tahu kok kalau gajinya Mas Yaka jauh lebih gede dari saya. Tapi, saya emang belum rilis di Barom C&C aja, belum sempat hitung semua biaya produksi dan lain-lain, jadi nggak bisa menentukan harga jualnya."
Nayaka memicingkan mata mendengar alasan tersebut. Kemudian ia menghela napas panjang, dan memasukkan kembali ponselnya ke kantong. "Ya udah kalau gitu terima kasih ya, Mbak. Semoga sehat-sehat selalu."
Ojek yang ia pesan sudah datang, dengan berat hati Sabria harus melepas Nayaka pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top