1. Hasil Gibahan Tetangga

"Tetangga masa gini amat."

Mika menyentak kepalanya berulang kali. Dia sudah tidak tahan dengan tabuhan gendang yang meramaikan halaman rumah tetangganya.

Jiwa dangdutnya meronta-ronta.

Salahkan kedua orang tuanya yang meracuni telinganya sejak kecil dengan suara emas para legend seperti Ida Laila.

"Tetangga masa gini amat. Tahu aja, nih pundak udah pegel minta direlaksasi." Mika mempercepat langkah menuju gerombolan manusia yang tengah sibuk dengan piring dan sendok. Perutnya berkhianat malah berdendang seirama lengkingan seruling. Wangi kecap inggris bercampur mentega turut menusuk hidungnya yang seharian buntu. Baiklah, lupakan niatan awal untuk berjoget dengan Om Wawan.

"Heii! Tega kalian ninggalin aku." Keluhnya dengan bibir terlipat seraya menyentak kaki kanan.

Semua orang membeku menatapnya, lalu mereka tertawa.

"Masih ada sisa, kok. Eh, bukan sisa, sih. Tuh, masih banyak sosis bakarnya. Habisin kalau bisa. Lagian pulang kerja malah kelayapan." Wina berjalan mendekat dengan piring di tangan yang dipenuhi bungkusan daun pisang. "Tante Hera masak nasi bakar, buruan mandi sana."

Mika menelan ludah, aroma ayam dan kemangi yang beradu dengan daun pisang yang terbakar mengunci matanya. Gadis itu mengedip sedikit cepat membuat Wina, sang ibu mengalah.

"Ya sudah, cuci tangan dulu sana."

Tanpa menunggu perintah dua kali, gadis dengan kaos oblong hitam dan celana jin robek di bagian lutut itu melempar tote bag dan jaket rajut ke sofa. Setelah mencuci tangan di wastafel depan rumahnya, Mika menyerbu sumber asap. Matanya menyala saat sosis yang berkilauan mendesis membuat liurnya menetes. Satu tangannya mengambil garpu dan menusuknya pada sosis yang sudah membengkak.

"Ini enak banget, sumpah! Siapa yang ngasih ide beginian, Yah?"

Pandu yang tengah mengoles saus menengadah, menatap putri semata wayangnya yang berlepotan. "Pelan-pelan, Ka. Tadi sore Miko pulang, bawa oleh-oleh bakar-bakaran ini. Dia baru aja masuk buat mandi, dari tadi dia yang bakar semuanya."

Sesaat, mulut Mika membeku namun tak lama dia kembali mengunyah. Sesekali matanya menelisik seisi halaman, dan mengernyit ketika tidak menemukan apa pun.

"Lah, terus Ayah ngapain aja dari tadi?"

"Ayah? Ya bantuin ngipasin, lah. Enggak kayak kamu, dateng-dateng main nyaplok aja."

Pria pertengahan abad itu menggeleng, walau gadis di depannya sudah dewasa, tetap saja ada kelakuannya yang serupa anak kecil. Apalagi jika urusan makanan. Benar-benar seperti dirinya. Pandu seketika memukul keningnya.

"Darah tinggi Ayah kumat?"

"Eh?"

"Itu kenapa kepalanya ditabok? Pusing?" Mika mengambil sepotong sosis yang masih berada di atas bakaran. Tak peduli walau masih panas, Mika tetap lancar mengunyah.

Selagi dia belum datang, puas-puasin deh.

Pandu berdecap, ingin sekali memukul anaknya dengan kipas bambu yang dia pegang. "Kepala Ayah pusing mikirin kamu. Udah tua masih aja kayak anak kecil. Tak nikahin kapok, kamu."

Hera menggiring orang-orang menuju tikar yang sudah digelar tepat di bawah pohon mangga. Mereka duduk bersila dengan rapi. Mika menghitung, hanya ada kedua orang tuanya, Tante Hera dan Om Setiawan, juga dirinya. Gadis itu menepis pikirannya, ngapain juga mencarinya?

"Ario enggak pulang, Tan?" Mika menunggu giliran teko berisi teh hangat, sebuah gelas hadiah teh sudah dia genggam. Satu tangannya lagi mencomot bakso bakar. Dahinya berkeringat menahan pedas, Mika ingin minum secepatnya.

"Belum bisa pulang dia, Ka. Tahu tuh, kerjaan enggak jelas. Disuruh nerusin usaha keluarga malah ditolak. Untung ada kamu yang mau bantuin Tante."

Mika meringis, kalau Tante Hera sudah mengomel susah berhenti. "Ya gapapa dong, Tan. Mumpung masih muda, buat nambah pengalaman hidup juga."

"Entar kalau sudah nikah, bingung pasti dia. Masa istrinya ditinggal-tinggal terus." Wina menyahut sambil menjumput ikan suwir di piringnya. Makan tanpa sendok sepertinya sudah menjadi kebiasaan Wina.

"Lah, Ario sama Miko kerjanya memang enggak ada yang tetap. Terus siapa dong, yang mau jadi istrinya?" Pandu terkekeh turut menimpali.

"Nah itu, Win. Kan aku juga mikirnya begitu. Eh, bentar-bentar. Gimana kalau Mika jadi mantuku aja? Kalau ditinggal-tinggal kan, Mika masih ada kita-kita." Senyum merekah di wajah Hera, dia menatap wajah tetangga dan suaminya satu per satu.

Mika yang sibuk mengunyah nasi bakar, tersedak. Buru-buru Pandu memberinya minum.

"Kamu ini, Her. Kok tiba-tiba kepikiran begitu?" Wina menyahut setelah menelan nasi bakar dengan sempurna. "Kamu sudah ngebet pengen punya cucu?"

"Iya, Mama ini kenapa tiba-tiba kepikiran begitu, sih? Iya kalau Pak Pandu dan Bu Wina mau. Kalau enggak, kan, Mama yang malu." Wawan alias Setiawan, suami Hera penasaran dengan niat istrinya. Karena tidak kali ini saja, Hera memiliki pemikiran absurd. Wawan lalu melirik Mika yang masih anteng melahap nasi bakar. Gadis itu tak ikut heboh maupun terkejut. Wawan menatap Pandu dan memberi kode dengan alisnya.

"Sebentar, diam dulu." Bukannya menjawab, Hera justru semakin absurd. Wina menatap suaminya, dan mendapati Pandu mengangkat kedua bahu.


🎵
Duh aduh memang asyik

Punya pacar tetangga

Biaya apel pun irit

Enggak usah buang duit
🎵


"Sudah denger, kan?" Hera menatap bergantian, lalu menarik napas dan bibirnya. "Gara-gara seharian aku dengerin lagu ini pas masak ayam suwir, aku jadi kepikiran buat kita besanan, Win. Kan asik, tuh, kalau kita jadi besan. Enggak usah rebutan cucu, enggak usah mudik-mudikan. Hemat biaya pula."

Pandu dan Wawan saling tatap, mereka kompak menggeleng. Sedangkan Wina justru melebarkan mata.

"Waah kenapa aku enggak kepikiran juga, ya. Nah, Ka, kamu pasti mau, dong, jadi anaknya Tante Hera?"

Mika menelan satu suapan terakhir dengan susah payah. Sengaja dia tidak ingin nimbrung dengan obrolan para orang tua, tapi ujung-ujungnya dia kena juga. Merasa masih terasa berat, Mika mengambil teko es jeruk dan memindahkannya ke gelas. Tanpa memedulikan empat pasang mata yang mengawasinya, Mika memusatkan pikirannya minum dengan perlahan.

"Eiiiggghhh ... Mika kenyang. Mika pamit, ya. Belum mandi, bau." Selepas sendawa dengan berisik, gadis seperempat abad itu mengangguk dan memasang senyum tiga jari. Saat Mika hendak berdiri, pantatnya tiba-tiba berat. Tepat di depannya, Miko sudah duduk manis dengan segelas teh hangat dan sepotong sosis. Kapan laki-laki itu datang?

"Nah, Miko sudah ada. Ayo lanjut makan." Hera mengambilkan makanan untuk sulungnya yang kebetulan pulang. Pembahasan soal pacar lima langkah, secepat kilat berubah dengan interogasi terselubung . Siapa lagi korbannya kalau bukan Miko.

Merasa jalan menuju kebebasan berada di ambang mata, Mika berdiri dan pamit sekali lagi gadis itu berjalan secepat kilat menuju rumahnya melalui pagar pembatas yang dipasang pintu penghubung.

"Ma, jangan kelewatan kalau bercanda. Kasihan itu anak orang." Suara Wawan masih terdengar walau samar. Mika tak peduli. Toh, besok Tante Hera pasti lupa.

Mengenal sejak kecil bagaimana karakter tetangga sebelah rumahnya membuat Mika yakin, jika firasatnya benar. Acara makan malam sebulan kali dengan bergantian tempat itu tak lagi asyik karena guyonan Tante Hera. Biasanya. Mika lah yang meledek habis-habisan para orang tua.

"Aargh! Fix ini karma buatku!" Bahu Mika bergoyang dengan tempo yang cepat. Karena masih belum terlalu kenyang, dia berlari menuju jendela. Mengintip memang sudah menjadi hobinya sejak kecil. Kepala gadis itu menempel ke kaca dengan dahi berkerut. Kali ini Mika beruntung, karena apa yang diincarnya masih berserakan. Buru-buru Mika mengambil ponselnya dan mencari daftar kontak.

"Ma, bungkusin Mika nasi bakar sama sosis, ya?... Enggak, cuma buat jaga-jaga kalau tengah malem laper. Dah, makasih, Mama. Luph-luph."

Senyum Mika membeku saat melihat sepasang mata yang menatapnya dari bawah.

"Oh, no!"

***

Hai, semangat hari Senin eperibadeh.

Cung di sini yang sudah koleksi #SongSeries nya kami.

Siap melayang dengan playlist yang ada di bab intro? Cuz, meluncur.

Yang masih mau lanjut seru-seruan sama Mika dan Miko, segera merapat.

Sampai jumpa Senin depan.

Bye bye
Vita

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top