Tentang Rasa
Setelah hari itu, Vio dan Chika semakin intens berkomunikasi, bahkan keduanya sudah sering bertemu dan berjalan berdua. Ditambah lagi, Chika yang kini sudah mulai berkuliah, satu gedung kampus dengan pria yang memiliki pesona luar biasa di mata Chika, membuat keduanya mudah untuk bertemu.
Bahkan sesekali saat ada kesempatan, Vio sering menemani Chika pemotretan saat pemuda itu tidak memiliki urusan yang penting. Begitu pula Chika, ia sering sekali menemani Vio manggung di Shevera cafe.
Seperti hari ini, Chika tengah duduk di sudut Shevera cafe, memandangi Vio dengan sejuta pesonanya, tengah menyanyikan lagu-lagu dengan suaranya yang khas untuk menghibur para pengunjung di malam minggu.
"Chika, sendirian aja?" Seorang pemuda tiba-tiba menghampirinya, mengganggu kekhusyukan dirinya yang tengah menikmati senyum dan suara Vio.
"Eh, Jess!" Chika bangkit dari duduknya, menyalami pemuda yang ia panggil Jess itu. "Enggak, enggak sendirian. Banyak orang di sini, termasuk, lo, Jess."
"Bercanda mulu nih anaknya, haha." Jess terkekeh mendengar candaan Chika. "Em, boleh duduk di sini?"
"Boleh, boleh. Silakan." Jess menarik kursi di sebelah tempat duduk Chika, lalu ia menjatuhkan bokongnya di kursi kayu itu.
Chika mengembalikan fokusnya pada Vio yang kini menyanyikan lagu Tentang Rasa dari Astrid, senyumnya mengembang, hatinya menghangat mendengar setiap bait lagu yang dinyanyikan Vio.
Tanpa Chika sadari, pemuda yang duduk di sampingnya sedari tadi memandangi wajah samping Chika yang cantik apalagi ditambah dengan senyuman manis yang tidak pernah luntur sejak pertama kali ia masuk dan memandangi Chika yang tengah duduk sendirian.
Lagu yang dinyanyikan Vio telah selesai, Chika dan beberapa pengunjung bertepuk tangan, mengapresiasi Vio yang tampil luar biasa dengan tiga lagunya malam ini.
Chika menolehkan kepala, mendapati Jess tengah memandanginya.
"Lo kenapa liatin gue sampai segitunya, Jess?"
"Lo. Cantik," ucap Jess tanpa sadar.
"Hah?"
"E--eh, sorry. Kenapa?"
"Lo kenapa liatin gue sampai segitunya?"
"E--enggak, ah. Biasa aja. Perasaan lo aja kali."
Chika hanya menganggukkan kepala, mengiyakan ucapan Jess. Padahal ia tahu, ada yang Jess tutupi.
"Gue ke sana dulu, ya." Chika izin pamit pada Jess, hendak mendekati Vio yang sedang duduk bersama Vany juga Rion.
Jess memandang punggung Chika yang perlahan menjauh darinya, ada rasa yang aneh saat melihat Chika kini bisa dekat dengan laki-laki lain selain dirinya. Padahal, semasa sekolah, diantara puluhan laki-laki yang ada di sekolahnya, hanya dia yang bisa dekat dengan seorang Yessica Tamara.
"Hai, Chik. Sama siapa ke sini?" tanya Rion saat Chika berada di dekatnya.
"Hai, Kak Rion, Kak Vany!" Chika menyapa Rion dan Vany sebelum duduk di sebelah Vio yang baru saja selesai manggung. "Tadi ke sini bareng Kak Badrun."
"Badrun?" Rion mengerenyitkan dahi mendengar nama yang asing di telinganya.
"Eh, maksud aku, Kak Vio."
"Yaelah, Chik, Chik. Lo mah buka kartu." Vio memasang wajah sebal yang malah terlihat menjijikan.
"Jijik, Kak!" Ucapan Chika membuat Vany dan Rion tertawa keras.
Keempatnya terus berbincang-bincang hingga waktu cafe tutup tiba pukul dua belas malam, karena jam operasional cafe pada malam minggu hingga tengah malam.
"Kak, gue sama Chika balik duluan, ya!"
"Eh, bentar, Vi. Lo enggak mau nunggu gitu?"
"Nunggu apaan, Kak?"
"Nunggu diusir. Hahaha." Rion tertawa keras setelah menjahili Vio. Sementara si korban hanya memutar bola matanya malas.
"Dah Chik, tinggalin aja deh. Kayanya dia mulai gila." Tanpa sadar, Vio menarik pelan pergelangan tangan Chika meninggalkan Rion yang masih tertawa sendirian.
Chika tidak menolak sama sekali dengan perlakuan Vio, ia malah merasakan ada sesuatu yang menggelitik dadanya. Ia tersenyum tipis saat matanya melirik ke arah pergelangan tangannya yang masih digenggam oleh Vio.
Vio baru menyadari saat ia dan Chika sampai di depan si Legend, dan saat itu juga, Vio melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Chika.
"Eh, sorry, Chik. Sorry!" Vio kini terlihat gugup berhadapan dengan Chika, ia merasa tidak enak hati karena dengan lancangnya menggenggam tangan Chika. Sementara Chika, ia hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum menanggapi kegugupan Vio.
Vio mencoba menghilangkan kegugupannya dengan langsung memberikan helm pada Chika. Dan ia langsung memakai helmnya sendiri, menaiki motor dan langsung menyalakannya dengan terburu-buru.
"A--ayo, Chik." Chika masih terdiam di tempatnya, kesulitan memakaikan kancing helm Vio yang memang sudah tidak layak dipakai.
"Sini." Chika mendekat ke arah Vio, membungkukkan sedikit tubuhnya agar Vio mudah memasangkan kancing helm yang ia pakai. "Nah, udah."
Chika hendak duduk di jok belakang setelah kancing helmnya terpasang sempurna, tapi, Vio tiba-tiba menahan pergerakannya.
"Gue lupa, lo enggak bawa jaket," ucap Vio sambil melepaskan jaket yang ia pakai dan memberikannya pada Chika.
"Terus, lo gimana, Kak?" tanya Chika setelah menerima jaket milik Vio.
"Aman gue, mah. Udah biasa makan ati, apalagi makan angin. Udah kebal." Chika terkekeh mendengar jawaban Vio. "Dah, buruan naek. Keburu pagi, entar Bapak Gunawan menggal kepala gue."
Vio menjalankan motor tuanya, membelah jalanan kota Jakarta yang sepi. Embusan angin malam yang menusuk, Vio coba abaikan. Kesehatan dan keselamatan gadis blasteran Indo-Surga yang kini duduk di belakangnya lebih penting.
Chika menyadari sesekali badan Vio bergetar karena kedinginan. Bahkan saat berhenti saat lampu lalu lintas berwarna merah, Vio mengusap-usap bahunya sendiri untuk mengurangi rasa dingin yang menyerang tubuhnya.
Di tengah perjalanan Chika berinisiatif untuk memeluk Vio. Hal itu sontak membuat tubuh Vio menegang sesaat, ia tidak menyangka, kedua tangan Chika yang tadi hanya memegang erat ujung bajunya, kini melingkar di pinggangnya dan memberikan sedikit kehangatan.
"Maaf, Kak. Biar enggak terlalu dingin," ucap Chika sedikit kencang agar ucapannya terdengar oleh Vio.
Vio melirik ke kaca spion motornya, kecantikan Chika tetap terpancar walau hanya sedikit cahaya remang yang menyorot wajahnya. Chika adalah salah satu gadis yang membuatnya jatuh hati dengan cepat, namun dari pertemuan pertamanya dengan gadis yang sedang menikmati angin malam ini, hingga detik ini, Vio belum benar-benar berani mengungkapkan isi hatinya.
Vio sadar, ia berbeda dengan Chika.
"Chik." Vio memelankan sedikit laju motornya, ada hal yang benar-benar ingin ia tanyakan pada Chika.
"Ya, Kak?"
"Em...." Vio sedikit ragu untuk menanyakannya pada Chika. "Chik, apa lo enggak malu jalan sama gue?"
"Maksud Kakak?"
"Lo 'kan calon model terkenal, Tante Gracia bintang besar, Om Mario pengusaha terkenal. Sementara gue, cuman penyanyi cafe yang kemana-mana cuman pake motor tua yang butut. Apa, lo enggak malu, atau risih gitu?"
Chika terkekeh, "Kak, kalau gue malu, kalau gue risih, gue enggak akan nerima ajakan lo. Ajakan buat jalan berdua, ajakan buat anter jemput kalau gue ada pemotretan, atau ajakan buat nontonin lo manggung, Kak. Gue enggak liat siapa lo, Kak. Gue liatnya, lo orang baik. Itu udah cukup buat gue enggak perlu ngerasa malu atau pun risih."
"Makasih, Chik. Gue sayang sama lo." Tentu, Vio mengucapkan kalimat terakhirnya dengan pelan, sangat pelan berharap gadis yang kini memeluk tubuhnya tidak mendengar apa yang dia ucapkan.
~~~
R.
Bandung, 14/01/2021
Gimana keadaan hati kalian hari ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top