Siapa?
Sudah berhari-hari Vio mendapatkan nomor telepon Chika, dan berhari-hari pula ia menimbang-nimbang untuk menghubungi gadis blasteran Indo-Surga itu atau tidak.
Di kantin kampus, Vio sibuk memandangi ponselnya yang gelap, tidak ia nyalakan. Hal itu membuat kedua sahabatnya saling beradu tatap, bertanya satu sama lain perihal Vio yang terlihat semakin aneh semenjak beres bernyanyi di Shevera cafe.
"Hai, kalian!" Flo dan Zahran menengadahkan kepala, saat Mira datang menyapa ketiganya.
"Si Badrun kenapa?" tanya Mira setelah menjatuhkan bokongnya di kursi samping Zahran yang kosong.
"Gak tau," jawab Flo singkat dan jujur. Tidak puas dengan jawaban Flo, Mira menatap ke arah Zahran, pemuda itu hanya mengangkat kedua bahunya, sama-sama tidak tahu apa yang terjadi dengan Vio.
"Ah, bingung gue!" Lagi dan lagi, Vio membuat teman-temannya kaget dengan seruan tiba-tiba.
Plak!
"Kebiasaan!" ucap Flo setelah dengan tidak sopannya melancarkan keplakan ke kepala belakang Vio.
"Tolongin gue. Gue bingung."
"Kenapa, Drun?
Vio menautkan kedua alisnya, ia baru sadar kalau ada Mira di hadapannya. "Eh, ada Amirah."
"Mata, woy. Mata! Calonnya gue ini!" tegur Zahran pada Vio yang malah asyik memandangi Mira.
"Eh, gue ada urusan. Duluan, ya!" Flo tiba-tiba beranjak dari duduknya, meninggalkan Vio, Zahran dan Mira.
"Goblok, Zahran!" Vio berteriak frustrasi dengan kelakuan sahabatnya yang satu ini. Sudah berapa kali ia tidak sadar kalau ucapannya merusak suasana hati Flo.
"Dah, dah. Gue juga mau balik!"
"Eh, eh. Lo belum cerita, lo kenapa akhir-akhir ini."
"Entar kalau udah waktunya. Bye!"
Vio tidak langsung pulang ke rumahnya, ia memilih berkeliling kota dengan motor tua miliknya yang baru saja diservis. Dalam perjalanannya, ia memikirkan bagaimana cara menyapa Chika terlebih dahulu. Pengecut memang, ia yang meminta nomor Chika terlebih dahulu, tapi masih belum berani memulai pembicaraan dengan gadis itu.
Vio membelokkan motornya, masuk ke dalam sebuah perumahan yang tidak terlalu mewah.
Sesampainya di depan pagar rumah yang dituju, Vio turun dari motornya lalu memencet bel rumah itu. Tidak lama kemudian, seorang pria berusia diatas kepala tiga dengan seragam khasnya keluar dari dalam sebuah pos kecil.
"Eh, Nak Vio." Pria penjaga rumah itu menbukakan pintu pagar untuk Vio masuk. "Masuk-masuk, Den Flo juga baru aja sampe."
Ya, tujuan Vio adalah rumah sahabatnya, Flo. Tapi, bukan pemuda itu yang ia cari melainkan orang lain yang ada di dalam rumah itu, orang yang bisa dibilang dapat membantu Vio.
Vio menolehkan kepala, lalu bernapas lega setelah mendapati mobil Honda Jazz berwarna merah terang terparkir di salah satu sudut halaman rumah itu.
"Punten, paket!" Vio mengetuk-ngetuk pintu berwarna coklat.
"Iya sebentar!" Terdengar suara dari dalam rumah menyahuti ucapan Vio.
Cklek!
Flo menatap heran ke arah Vio yang tersenyum lebar.
"Kakak lo ada, Flo?"
Blam!
Tidak ada ucapan yang keluar dari mulut Flo. Pemuda itu malah langsung menutup rapat pintu rumahnya. Membiarkan Vio tetap berdiri di tempatnya
"Astaga, hei, Flo. Kagak ada akhlak banget tamu dibiarin di luar. Woi!" Vio mengetuk-ngetuk lagi pintu rumah Flo, berharap sahabatnya itu menbukakan pintu untuknya.
Cklek!
Flo kini menelisik Vio, dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Lo ngapain nyari Kakak gue, Bang?"
"Ada urusan. Penting." Vio menekankan kalimat terakhirnya agar Flo percaya kalau ia sedang membutuhkan kakak dari sahabatnya itu.
"Mau modus, Lo, ya?"
"Suudzon banget anak kecil!"
"Yaudah, masuk."
"Assalamualaikum!"
Vio akhirnya masuk ke dalam rumah Flo, ia memang lebih sering berkunjung ke rumah Flo daripada ke rumah Zahran. Entah, Vio merasa rumah Flo lebih nyaman daripada rumah sahabatnya yang satu itu.
"Mau minum apa, Bang?"
"Apa aja, deh." Flo mengangguk. "Sekalian cemilannya, ya."
"Ngelunjak, Lo, Bang." Vio nyengir lebar, mendengar ucapan Flo.
Vio mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, memandang benda pipih yang layarnya sudah retak di segala sisi. Bukannya tidak ingin mengganti ponselnya dengan yang baru dan kekinian, tapi Vio sadar, uang yang ia miliki tidak banyak, dan ia tidak ingin meminta kepada kedua orangtuanya.
Vio memandangi satu kombinasi angka dengan kontak ID: Chika Tamara. ID kontak yang dituliskan oleh si empunya nomer, dan Vio belum sempat menggantinya.
"Nih!" Flo menyimpan minuman rasa jeruk di atas meja dengan satu toples kripik singkong di sebelahnya.
"Jadi, ada urusan apa sama kakak gue?"
"Entaran dulu, gue pengen ngobrol penting sama lo. Soal, persahabatan kita."
"Bang, seharusnya lo ngomong ke A' Zahran, bukan ke gue."
"Gue tau, lo masih sayang sama Mira, gue paham. Ya, walaupun gue belum pernah ada di posisi lo." Vio mengambil minuman di atas meja, menyesapnya sedikit untuk melegakan tenggorokannya yang terasa kering. "Tapi, demi persahabatan kita. Tolong, Flo."
Flo terdiam, sebenarnya ia sudah tahu tabiat salah satu sahabatnya itu, sering tebar jaring, goda cewek sana-sini. Tapi, ia masih belum bisa move on dari Mira, dan Zahran terlihat ingin memiliki mantannya itu.
"Liat entar, deh, Bang." Flo bangkit dari posisi duduknya. "Gue panggil Kak Feni dulu."
Vio menatap punggung Flo yang sedang berjalan menuju sebuah kamar yang tidak jauh dari ruang tamu.
Sambil menunggu, Vio lagi-lagi hanya menatap ponselnya yang menampilkan nomor kontak Chika. Ia menghela napas, ia merasa menjadi seorang pengecut, padahal hanya mengirimkan pesan pada seorang gadis.
"Ngelamun mulu, kesambet lo entar!"
"Eh, Kak Fen." Feni--kakak Flo-- duduk di sofa seberang, berhadapan dengan Vio.
"Ada apa?"
"Jadi gini...." Vio menjelaskan maksud dan tujuannya bertemu dengan Feni, ia ingin meminta saran, bagaimana cara memulai pembicaraan dengan seorang gadis.
Feni terlihat menahan tawa, ia tidak menyangka orang seperti Vio bisa juga menjadi seorang pengecut.
"Gitu doang, Drun? Astaga!" Akhirnya Feni tertawa lepas, menertawakan kebodohan Vio.
"Siniin hape lo!" Feni menengadahkan tangan. Vio pasrah memberikan hape butut miliknya pada kakak dari sahabatnya itu.
"Hape butut gini masih dipake, Drun, Drun. Entar gue kasih hape bekas gue deh. Kasian lama-lama sahabat adek gue merana gini. Kontaknya dia siapa?"
"Chika Tamara." Feni terdiam begitu mendengar nama yang disebutkan oleh Vio.
"Asli?" Vio mengangguk. "Pantesan lo mendadak ciut gini. Yang lo deketin bukan orang biasa, ckckck. Rejeki lo bagus emang, Drun."
"Amin, Kak."
Feni terlihat mengetikkan sesuatu di ponsel Vio. Tidak panjang, hanya ucapan salam dan perkenalan.
"Makasih, Kak, udah bantu gue lagi urusan cewek."
"Sama-sama, jangan sering-sering lo. Untung yang sekarang bukan masalah berat kayak lo bareng mantan lo itu ... siapa namanya?"
"Duh, kok mendadak amnesia gue, Kak."
~~~
Chika sedang bersandar di pohon rindang taman sekolahnya, tempat ia dan teman-temannya nongkrong selama bersekolah.
Chika kini sedang bereuni, setelah sebulan melewati Ujian Nasional. Ia dan teman-temannya kini tinggal menunggu surat kelulusan jadi hanya sesekali datang ke sekolah.
"Chik hayu liburan!" ajak Eli dengan logat sundanya yang kental.
"Liburan ke mana?" tanya Chika memandangi tiga teman yang ada di hadapannya.
"Puncak!"
"Labuan Bajo!"
"Jogja!"
Chika menimbang-nimbang ucapan teman-temannya, ia berpikir ke mana tempat yang lebih seru untuk dijadikan liburan yang kelewat panjang sambil menunggu masuk perguruan tinggi.
Tapi tiba-tiba ia ingat, pasti ketiga temannya ini membawa pasangan.
"Kalian pasti mau bawa pasangan kalian juga, kan?" tanya Chika menelisik. Ketiganya terkekeh menjawab pertanyaan Chika. "Ogah, deh. Males gue. Eli pasti bareng Gita terus, Dey pasti nempel-nempel bareng si Koma--"
"Febi!" Dey meralat ucapan Chika.
"Iya, iya. Febi si bawang. Terus Lala pasti bawa Azizi. Gue sama siapa?"
"Makanya cari cowok, Tamara!" cibir Lala.
"Lo, sih, pilih-pilih. Banyak banget cowok yang deketin lo, dan lo-nya malah nolak." Dey menambahkan ucapan Lala.
"Belom ada--"
Tring!
Ucapan Chika diinterupsi oleh notifikasi WhatsApp yang masuk ke dalam ponselnya.
+62877235xxxxx
Selamat sore, Chika. Gue Badrun.
"Badrun." Chika mengerenyitkan dahi, seingatnya ia tidak pernah memberikan nomer ponselnya pada orang lain.
"Kenapa lo?" tanya Lala yang melihat ekspresi Chika.
"Kalian kenal Badrun?"
"Badrun, saha?" Eli malah balik bertanya pada Chika.
Karena tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari ketiga temannya. Chika akhirnya memilih untuk bertanya pada orang yang mengirimkan WhatsApp padanya tadi.
+62877235xxxxx
Siapa?
Alhamdulillah dibales
Ini gue, Vio.
Chika akhirnya ingat, ia pernah memberikan nomor poselnya pada Vio Fadrin, penyanyi di cafe milik sahabat mamanya.
Kok tadi bilangnya Badrun?
Jadi ini, Badrun atau Kak Vio?
Vio, tapi orang-orang akhlakless sering manggil gue Badrun.
Chika terkekeh, lucu juga nama panggilan Vio.
Oke, Kak Badrun.
Aku simpen nomernya, ya.
"Lo kenapa? Tadi penasaran. Sekarang senyum-senyum sendiri. Khawatir gue, Chik. Masa model baru debut udah gila!" Dey bergidik melihat perubahan ekspresi Chika yang mendadak.
~~~~~~~~
Bener-bener enggak nyangka. Tapi ini (mungkin) jalan terbaik untuk JKT48.
Sekarang, yuk, dukung member-member yang terpaksa harus direstrukturisasi sampai akhirnya mereka bener-bener lulus dari JKT48. Masih ada (sedikit) waktu buat bikin memori indah dengan mereka. Dan juga, dukung terus mereka di luar JKT48.
Dan, masih ada 33 member lainnya yang butuh dukungan kita. Semangat!
R.
12 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top