Rinai

"Udah siap semuanya, Vi?" Anin memastikan barang-barang yang akan dibawa Vio untuk berangkat menuju Jepang.

"Udah, Mamaku tersayang. Seharian ini Mama udah lima belas kali nanya kaya tadi." Vio mendekati ibunya yang tengah duduk di bibir dipan tempat Vio biasa mengistirahatkan tubuhnya.

Anin mengelus kasur yang sudah rapi dan akan segera ditinggalkan oleh pemiliknya untuk waktu yang tidak pasti sampai kapan.

"Mama enggak nyangka, kalau jagoan Mama bakal pergi jauh dari rumah."

Vio terdiam mendengar ucapan Anin. Berat sebenarnya meninggalkan keluarganya untuk waktu yang cukup lama. Tapi, demi menyembuhkan luka hati dan melupakan Chika, Vio dengan yakin mengambil jalan yang sudah diberikan oleh Rion.

"Haaahh ... padahal Mama sama Papa sudah mewanti-wanti kamu buat enggak jatuh cinta sama anaknya Gracia. Tapi ... sudahlah, semuanya udah kejadian juga." Vio memeluk tubuh Anin dari samping. "Sehat-sehat kamu di sana, ya, Vi. Jangan lupa ibadah biar segala urusan kamu lancar."

"Iya, Ma. Doain Vio terus, ya. Maaf, kalau selama ini Vio belum bisa jadi anak yang baik dan berbakti buat Mama juga Papa."

Anin mengelus rambut Vio yang sudah mulai panjang, sejak masalah percintaannya dengan Chika, Vio terlihat malas merawat diri, bahkan untuk mencukur rambut saja ia tidak berminat sama sekali.

"Kamu, tuh, ya. Seharusnya kalau mau pergi-pergi rapi-rapi dulu. Rambut udah panjang gini, keliatan kayak gembel, tau, gak."

"Dih, anak sendiri dibilang gembel." Vio melepaskan pelukannya, duduk tegak menghadap ke arah ibunya. "Padahal aku tuh ganteng, pake banget, Ma."

Anin terkekeh melihat kelakuan anak sulungnya yang bergaya seperti seorang model shampo anti ketombe. "Sok cakep kamu!"

Rintik hujan yang baru saja turun membuat suasana terasa semakin haru. Kedua anak dan ibu itu saling berpelukan, sebelum waktunya tiba bagi mereka untuk berpisah.

Vio akan selalu merindukan rumahnya, tempat ia berlindung dari panas terik dan hujan. Tempatnya menyandarkan diri dari lelahnya hari yang sudah dilewati.

Vio akan selalu merindukan Anin, ibunya yang selalu memberi sentuhan lembut dikala ia butuh tempat untuk bersandar, dan selalu menjadi pendengar saat ia benar-benar perlu untuk mengeluarkan beban di hati dan pikirannya.

Vio juga pastinya akan merindukan Boy dan Adel, ayah dan juga adiknya yang selalu memberi support penuh dengan apa yang ia ingin lakukan.

Sejauh apapun Vio pergi, ia sudah pasti akan pulang, kembali ke rumahnya.

~~~

Chika menatap hujan dari pintu kaca penghubung kamar dan balkon, tangannya menggenggam segelas coklat panas. Ia sedang menikmati waktu liburnya, benar-benar berlibur meski hanya di dalam kamarnya saja. Bahkan ponselnya ia matikan sejak semalam, gadis itu benar-benar tidak ingin diganggu oleh siapapun.

Maklum, dalam beberapa bulan terakhir, jadwal kerja Chika cukup padat. Dalam masa istirahatnya pun tidak lepas dari sorot kamera paparazi yang terus menerus mengorek berita tentangnya, apalagi berita mengenai kisah cintanya bersama Gita.

"Kak Chika!" Chika masih larut dalam dunianya hingga tidak menyadari seruan dari luar kamarnya.

"Kak Chika, ih!"

Chika terlonjak kaget mendengar suara Christy yang tiba-tiba saja sudah ada di sebelahnya.

"Kiti, kenapa masuk ke kamar Kakak enggak ketuk pintu dulu!" Christy hanya mendengus kesal lalu duduk di bibir kasur milik Chika.

"Dari tadi, ya. Aku ketuk-ketuk kamar Kakak sambil teriak-teriak. Kakaknya aja yang mendadak budeg!"

Chika menatap tajam adiknya. "Sopan, kah, begitu sama Kakak sendiri?"

"Fakta!" jawab Christy.

Chika menggelengkan kepalanya, semakin dewasa adiknya ini semakin menyebalkan. 

"Ada apa kamu ke kamar Kakak?"

"Oh iya, lupa!" 

Christy langsung bangkit dari posisi duduknya, menarik Chika menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar.

"Eh ... eh ... eh. Mau apa ini, hei, Kiti!" Christy tidak mengacuhkan Chika yang berontak, ia dengan sekuat tenaga terus menarik kakaknya hingga akhirnya mendorong punggung Chika agar masuk ke kamar mandi, lalu mengunci pintunya dari luar.

"Kak Chika bau, harus mandi!" seru Christy begitu Chika sudah berada di dalam kamar mandi.

Chika yang sudah terjebak di dalam mau tidak mau harus melakukan apa yang Christy perintahkan. Padahal niatnya hari ini hanya ingin bermalas-malasan sambil menikmati udara  sejuk yang dihasilkan oleh hujan di sore ini.

Setelah yakin Chika benar-benar mandi, Christy membuka kembali kunci kamar mandi, lalu melangkah menuju lemari milik kakaknya dan mengeluarkan semua isinya.

Berselang lima belas menit, Chika akhirnya keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang terlihat lebih segar dari sebelumnya. Namun, Chika langsung melotot tajam ke arah Christy yang sedang mengeluarkan isi lemari pakaiannya.

"Kamu ngapain, Christy?!" Chika melihat kasur yang dipenuhi pakaian-pakaian miliknya yang baru saja dikeluarkan oleh Christy dari dalam lemari.

"Kak Chika enggak punya baju bagus apa?"

"Kamu ngapain, sih?" Christy tidak menjawab pertanyaan Chika, ia malah mengambil satu baju dan ditempelkan ke badan Chika untuk mencocokkannya. 

"Dah, pake, nih! Aku tunggu di bawah, enggak pake lama!" Christy menyerahkan sweater merah, pada Chika. "Bawahan sama dalemannya cari sendiri, Kiti pusing!"

Christy lalu meninggalkan Chika sendirian di dalam kamarnya. Meski masih diliputi kebingungan, Chika langsung memakai kemeja putih polos dengan luaran sweater merah yang diberikan oleh Christy, dipadu dengan rok selutut. Ia lalu berkaca, merias tipis wajah cantiknya sebelum keluar kamar.

Christy  sudah menunggu Chika di depan pintu rumah, kedua tangannya dilipat di depan dada melihat kakaknya dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Oke, sempurna!"

"Kamu bawa mobil?" Christy mengangguk. "Emang kita mau ke mana, Dek?" 

Christy tidak menjawab pertanyaan Chika, ia malah membuka pintu dan pergi menuju mobil yang terparkir di halaman rumah mereka. Chika mau tidak mau mengikuti langkah adiknya itu, meski kepalanya masih dipenuhi tanya.

Sepanjang perjalanan, tidak ada kata yang keluar dari Chika maupun Christy. Keduanya sibuk masing-masing, Christy yang fokus menyetir mobilnya sementara, Chika masih bertanya-tanya mau dibawa kemana ia oleh adiknya. Tapi, jika melihat jalur yang dilalui, sepertinya Christy tengah mengendarai mobil menuju bandara.

Tangan Christy terulur, menyalakan radio yang terpasang di mobil. Memang alam sedang tidak berpihak pada Chika, lagu-lagu yang berputar di radio lagu-lagu galau, meskipun sudah berkali-kali Christy mengganti channel.  Hingga ia menyerah, membiarkan lagu berputar untuk memecah keheningan diantara keduanya.

Chika menatap jalanan yang ramai dan basah oleh hujan. Gerimis masih mengguyur jalanan kota setelah tadi hujan yang cukup deras, beruntung tidak ada genangan yang menyebabkan banjir dan kemacetan parah.

Lagu Denting dari Melly Goeslaw yang berputar seketika membuat hati Chika kembali sesak. Padahal ia sudah mencoba melupakan semuanya dengan menyibukkan diri. Tapi, satu momen saja bisa membuatnya kembali mengingat kebersamaan ia dengan mantan kekasihnya itu.

Sayang kau dimana aku ingin bersama
Aku butuh semua untuk tepiskan rindu
Mungkinkah kau disana merasa yang sama
Seperti dinginku di malam ini

Chika memeluk tubuhnya yang terasa dingin, bulir-bulir air mata perlahan mengalir dari matanya. Kenangan-kenangan kebersamaan ia dan Vio tergambar jelas di benaknya saat ini.

"Kak, aku kangen," rintih Chika dalam hati. Badannya bergetar ia tidak bisa lagi menahan tangisnya.

Christy yang menyadari kakaknya menangis hanya bisa menghela napas, ia tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya gadis polos yang bahkan belum mengenal yang namanya jatuh cinta meski usianya sudah menginjak delapan belas tahun. Yang Christy tahu, ini akibat kesalahan papanya juga Chika sendiri yang sudah menyia-nyiakan pria sebaik Vio.

Rintik gerimis mengundang kekasih di malam ini
Kita menari dalam rindu yang indah
Sepi ku rasa hatiku saat ini oh sayangku
Jika kau disini aku tenang

Lagu yang berputar di radio berhenti sejenak, digantikan oleh suara adzan maghrib. Dan membuat Chika semakin menangis.

"Chik, kita ke rest area sebentar, ya," ucap Vio yang saat itu sedang menyetir mobil dalam perjalanan menuju Bandung saat suara adzan terdengar dari radio di dalam mobil yang mereka naiki.

"Mau maghriban, ya, Kak?" Vio mengangguk. Setelah itu, rest area terlihat di depan lalu Vio membelokkan mobilnya.

Setelah terparkir sempurna, Vio mengambil sarung dan peci dari tas yang disimpan di kursi penumpang belakang.

"Sebentar, ya!" Chika mengangguk lalu tersenyum.

~~~~

Setelah satu jam lebih melewati jalanan Ibu Kota yang dipenuhi dengan kemacetan, Christy memarkirkan mobilnya. Benar saja dugaan Chika, adiknya itu membawanya ke bandara.

"Kita mau ngapain, Dek? Papa sama Mama 'kan pulangnya minggu depan." Christy tidak menjawab pertanyaan Chika, ia malah menyerahkan topi, kacamata hitam dan juga masker.

"Pake, biar enggak ketauan paparazi." Lagi-lagi, Chika hanya bisa mengikuti ucapan adiknya itu.

"Adek gue cocok jadi bos. Pinter banget nyuruh-nyuruh!" keluh Chika dalam hatinya sebelum turun dari dalam mobil.

Chika mengernyitkan dahi, Christy tidak berjalan menuju terminal kedatangan, melainkan mengarah ke terminal keberangkatan Internasional. Namun rasa penasarannya mendadak hilang saat melihat orang-orang yang ia kenal tengah berkumpul.

"Kak Icha sama Mas Axel?" tanyanya dalam hati. Tapi, ia mendadak ingat seseorang.

"Eh, Christy!" suara sapaan dari seorang perempuan kepada adiknya membuyarkan lamunan Chika.

Chika menoleh, menemukan sosok Anin tengah melambaikan tangan ke arah mereka. Saat berada di dekat Anin, mereka disambut dengan hangat.

"Chika, apa kabar?" tanya Anin ramah setelah menyadari siapa orang yang berjalan di sebelah Christy.

"B--baik, Tante," jawab Chika lalu menyalami ibu dari mantan kekasihnya itu. 

Baru saja Chika mengangkat kepalanya, sebuah dorongan yang cukup kuat membuatnya terhuyung dan nyaris terjatuh kalau saja badannya tidak ditahan oleh Christy.

"Masih berani lo dateng, hah!" Seorang gadis berperawakan tinggi berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh emosi.

"Del, udah, Del. Malu diliatin orang." Vio menarik tangan Adel agar tidak berbuat hal yang lebih dari itu.

"Kak, jadi cowok jangan lembek, dong!"

"Sayang, sini. Udah, ya. Tenang." Flo ikut membantu menenangkan Adel yang terlihat sangat emosi melihat kedatangan Chika.

Vio menarik Chika menjauh dari Adel, menghindari keributan yang lebih besar. 

"Kak," ucap Chika lirih. Ia membuka topi dan juga kaca mata h lalu memeluk Vio.

Chika tidak peduli kalau ada paparazi atau netizen yang memotret kejadian ini. Apalagi saat ini nama Vio juga perlahan mulai dikenal setelah kolaborasinya bersama Nadila beberapa waktu yang lalu. Vio membalas pelukan Chika dan membuat gadis itu menangis. 

"Kak, maafin aku! Jangan pergi!"

Vio diam, tidak menjawab ucapan Chika, ia malah membalas dengan pelukan yang lebih erat. Rasa cinta Vio masih sangatlah besar pada Chika, tapi keadaanlah yang harus membuatnya menyerah.

Pelukan keduanya cukup lama, hingga terdengar panggilan untuk Vio segera melakukan boarding. Mau tidak mau Vio melepaskan pelukannya, memberi jarak diantara keduanya. Kedua tangan Vio berada di bahu Chika.

"Jangan nagis, Chik," ucap Vio, tangan kanannya menyeka air mata yang mengalir di pipi Chika.

"Kak," lirih Chika.

Vio menghela napas, ia kembali memeluk Chika sebagai tanda perpisahan. "Aku pamit, ya. Makasih udah pernah jadi orang yang mengisi hari-harinya aku. Kamu jaga diri, jaga kesehatan, jangan terlalu capek. Banyakin minum air putih, juga vitamin."

Kalimat 'Bandara telah banyak melihat pelukan tulus' memang  benar adanya. Chika dan Vio, meski keduanya sudah tidak lagi bersama tapi, keduanya melakukan pelukan penuh ketulusan dan juga dengan keikhlasan untuk melepaskan.

Vio akhirnya pergi, meninggalkan tanah kelahirannya. Dan Chika hanya bisa menatap punggung tegap mantan kekasihnya yang mulai hilang dibalik kerumunan orang-orang yang juga akan pergi, entah untuk sekedar bertamasya atau memang untuk mencari kehidupan yang baru di tanah orang.

~~~

R.

Wadaww Berdebu sekali di sini

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top