Menatapmu, Selamat Tinggal
Hari yang benar-benar dinanti tiba. Vio dengan jas almamater kampusnya sedang bersiap menunggu di depan ruang sidang skripsi. Ditemani oleh Flo, Zahran dan juga Mira tentunya.
Keempatnya berbincang-bincang ringan, sesekali melempar candaan yang mengundang tawa. Tawa yang sebenarnya mengganggu konsentrasi beberapa mahasiswa lain yang sama-sama tengah menunggu untuk disidang. Tapi, Vio dan ketiga sahabatnya tidak memedulikan orang lain, yang penting mereka bahagia.
Berbicara tentang Flo, Zahran dan Mira. Ketiganya sudah kembali akur, semenjak Flo bisa melupakan perasaannya pada Mira dan akhirnya menjatuhkan hati pada Adel. Memang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk Flo melupakan Mira, tapi berkat bantuan Vio, pemuda itu bisa dengan lega melepas Mira pada Zahran.
Tidak lama kemudian, nama Vio dipanggil ke dalam ruangan. Sebelum melangkah masuk, Vio menarik napas dalam, lalu membuangnya perlahan sambil menutup matanya.
"Semangat, Drun. Gue yakin lo bisa!" ucap Mira sambil memeluk erat Vio
"Semangat, Bang!" Flo menepuk bahu sahabat yang sekaligus kakak dari kekasihnya itu.
"Yakin, Bro. Bisa ... bisa ... bisa!" Zahran pun ikut menyemangati sahabatnya.
"Thanks, Flo, Mir, Ran." Vio membalas pelukan Mira, mengelus puncak kepala Flo dan tersenyum ke arah Zahran. "Doain gue, ya!"
"Pasti!" jawab ketiga sahabatnya serentak.
Vio melangkahkan kakinya menuju ruangan, dengan penuh keyakinan ia siap menghadapi sidang skripsi sebagai langkah akhir dari pendidikan strata satunya.
~~~
"Besok Kak Vio sidang skripsi. Kalau Kakak masih sayang sama Kak Vio. Datang, kasih support dari dekat. Jangan cuman mikirin karir. Jangan pikirin nama besar Mama. Kakak perlu egois!"
Chika terlihat sangat gelisah. Bayang-bayang ucapan Christy kemarin malam membuatnya tidak tenang. Bahkan, adiknya itu mengancam tidak akan pernah mau berbicara lagi padanya jika tidak datang untuk men-support Vio.
"Aku masih baik dengan ngasih tau Kakak. Kalau Kakak enggak datang, aku enggak akan mau nganggap Kakak sebagai Kakakku lagi!"
"Chika, kamu kenapa, Sayang?" tanya Gita saat keduanya sedang break. Ia bingung, tidak biasanya Chika seperti ini. Gadisnya itu selalu terlihat profesional meski dalam kondisi apa pun.
"E--eh, enggak apa-apa, Kak." Chika menjawab pertanyaan Gita dengan gugup.
"Enggak apa-apanya cewek itu, pasti ada apa-apanya."
Gita mendekap tubuh Chika dari samping, lalu memberikan kecupan singkat di puncak kepala gadisnya itu.
"Kalau ada apa-apa cerita aja, Chik. Aku 'kan pacar kamu."
Mendengar kalimat itu bukannya membuat Chika tenang, malah menambah sesak di dadanya. Kebohongan pada Gita dan pengkhianatan pada Vio membuatnya bingung dan akhirnya menyakiti dirinya sendiri secara tidak langsung.
Setelah Gita mengungkapkan perasaannya malam itu, Chika langsung mencoba menghubungi Vio untuk menjelaskan semuanya. Tapi, sejak hari itu juga, Vio benar-benar tidak bisa dihubungi dan terkesan menghindari Chika. Berkali-kali gadis itu berkunjung ke kampus untuk mencari keberadaan Vio, tapi ia sama sekali tidak bisa menemuinya, pun di Shevera, sudah lebih dari seminggu Vio tidak datang ke cafe tempatnya biasa menyumbang suara, itu informasi yang Chika dapat dari pegawai yang bekerja di sana.
Chika sempat menanyakan kabar Vio pada Christy, tapi adiknya itu memilih menulikan telinganya. Ia kecewa, sangat kecewa pada Chika yang berani mengkhianati ketulusan cinta Vio. Chika juga bertanya pada Flo, Zahran, keduanya pun bungkam, enggan memberitahu bagaimana keadaan Vio.
Bahkan Mira, sempat memarahi habis-habisan Chika. Jika Zahran dan Flo bisa memendam emosi mereka, berbeda dengan Mira. Sumpah serapah dan bahasa kebun binatang keluar dari mulut sahabat Vio itu.
"Kak. Ini kita break sampai jam berapa?" tanya Chika.
Gita menggelengkan kepala, "Enggak tau, Chik. Kenapa gitu?"
"A--aku ada urusan di kampus, Kak," jawab Chika asal, agar dirinya bisa pergi dari lokasi syuting
"Bukannya kamu lagi ambil cuti, ya?" Gita mengernyitkan dahi, sedikit curiga dengan apa yang Chika ucap barusan.
"E--eh. Emmm. Temenku hari ini sidang, Kak."
"Oh, gitu. Tanya dulu Pak Axel, kalau masih lama breaknya aku anter."
"Enggak usah, Kak. Aku pergi sendiri aja," tolak Chika. "Aku permisi mau ke tempat Mas Axel dulu."
Chika pergi dengan terburu-buru, meninggalkan Gita yang kebingungan dengan sikap kekasihnya.
"Eh, Chika. Sini masuk!" Suara lembut seorang wanita langsung menyambut kedatangan Chika di ruangan tempat sang sutradara mengistirahatkan diri.
Namun Chika malah terdiam di depan pintu ruangan yang terbuka. Sang sutradara sedang asyik menyantap makanannya sambil disuapi oleh istrinya yang juga sebagai penulis naskah film yang ia bintangi.
"Lanjut dulu aja, Kak Icha, Mas Axel. Maaf ganggu." Chika yang tidak enak hati hendak menjauh dari ruangan tersebut, membiarkan sepasang suami istri itu menikmati waktunya berdua.
"Ya elah, enggak apa-apa, Chik. Kayak sama siapa aja kamu, tuh! Sini-sini, masuk!"
Chika akhirnya masuk ke dalam ruangan, duduk di kursi kosong seberang sofa yang diduduki oleh Axel dan Icha.
Ketiganya memang cukup dekat, bahkan Icha sudah menganggap Chika seperti saudaranya sendiri. Ditambah, Icha yang merupakan kakak sepupu Rion membuat mereka sering bertemu di Shevera. Sesekali keduanya sempat berbelanja bersama, menikmati girls day.
"Sebentar, Chik. Saya habiskan makanan enak buatan istri saya dulu," ucap Axel sambil tersenyum ramah.
"Bukan buatan aku, btw. Ini buatan Mama. Hahaha. Kebetulan Mama lagi ke sini."
"Yeu, dasar. Aku kira buatan kamu, Cha."
Chika tersenyum, melihat interaksi sepasang suami istri itu, mereka masih terlihat layaknya dua anak muda yang baru saja merajut cinta. Padahal, usia pernikahan mereka sudah menginjak dua tahun dan sudah dikaruniai sepasang anak kembar.
Ia membayangkan, bagaimana bahagianya menjalin pernikahan dengan orang yang dicintai. Menikmati waktu berdua, bercengkrama sebelum tidur di depan balkon kamar sambil menikmati semilir angin, saling berpelukan dan ditemani secangkir minuman hangat yang dinikmati berdua. Lalu terbangun di pagi hari, saling melempar senyum meski wajah masih terlihat kusam dan berantakan.
Chika menghela napas, berharap mimpinya hidup bersama Vio menjadi nyata, bukan hanya sesuatu yang semu, dan berujung dengan jalan cinta masing-masing.
"Jadi, ada apa, Chik?" tanya Axel begitu ia selesai dengan makanannya.
"Break syuting hari ini masih lama, Mas?"
"Tinggal sepuluh menitan lagi, lah. Kenapa gitu?"
Chika langsung menundukkan kepalanya, ia tidak akan sempat menemui dan memberi support pada Vio.
"Vi--vio sidang skripsi, Mas, hari ini."
"Wah, ya sudah, sana pergi!" Chika menengadahkan kepalanya.
"Aku ikut Chika, ya, Sayang. Sekalian mau ngucapin selamat sama Vio. Terus, ada yang mau aku obrolin juga sama Chika."
"Oke, tapi, kalau udah beres langsung balikin Chika ke sini, scene-nya dia masih banyak. Jangan kelamaan, Sayang!"
"Enggak! Aku mau girls time sama Chika. Sehari ini aku mau culik Chika!" Icha berkacak pinggang, menatap tajam suaminya. "Shoot scene yang lain dulu, ya, Sayang. Hari ini, Chika-nya mau aku ajak jalan-jalan."
Axel hanya bisa pasrah, ia tahu ia tidak akan bisa menang kalau mendebat istrinya. "Hah, iya, deh. Sana. Selamat menikmati waktu berdua. Sekalian titip salam sama Vio."
"Nah, gitu, dong. Jadi makin sayang. Haha." Icha mengecup pipi kiri suaminya sebagai tanda terima kasih karena sudah memperbolehkannya membawa Chika. "Sekalian pinjem mobil, ya."
"Eh, Kak. Pake mobil aku aja."
"Oh, oke deh. Nanti kamu jemput aku di Shevera, ya. Janji 'kan hari ini mau pulang ke Bandung dulu? Anak-anak udah kangen sama Babahnya."
Setelah membereskan peralatan makan bekas Axel, Icha langsung berpamitan pada suaminya, bersiap untuk pergi menemani Chika menuju kampus gadis itu untuk bertemu dengan Vio.
Dari kejauhan, Gita melihat Chika bersama Icha meninggalkan lokasi syuting. Pemuda itu hendak menyusul, namun ditahan oleh salah satu crew karena sebentar lagi waktu break akan berakhir.
"Mas Git mau ke mana? Ayo, sebentar lagi take scene Mas Gita."
"Bukannya sekarang scene aku bareng Chika, ya? Tapi itu Chika malah pergi sama Bu Icha."
"Kata Pa Axel, mereka ada urusan, Mas. Jadi, scene Mbak Chika hari ini di skip dulu."
~~~
Suasana di dalam mobil tidak sehangat biasanya, Icha yang biasanya menanyakan perihal syuting dan sebagainya, hari ini hanya diam. Fokus mengendarai mobil yang ditumpangi keduanya. Chika pun sama, di dalam kepalanya masih sibuk memikirkan rangkaian kata yang tepat untuk menjelaskan semuanya kepada Vio saat mereka berjumpa nanti.
"Chik, jujur, saya kecewa sama kamu," ucap Icha memecah keheningan. Nada bicara dan kalimat yang keluar dari bibirnya terdengar serius.
Chika menoleh, menatap Icha dengan dahi yang dikernyitkan. "Ma--maksud Kakak?"
"Apa aku enggak sesuai dengan karakter yang Kak Icha tulis di script?" Icha menggelengkan kepala. "Apa, aku banyak salah, jelek atau ... gimana, Kak?"
"Saya kecewa, kenapa kamu harus menerima Gita. Saya enggak suka kalau cerita saya dijadikan gimmick untuk kalian berpacaran, ditambah, kamu menyakiti hati laki-laki yang tulus sama kamu, Chik!"
"Ak--aku terpaksa, Kak. Sebenernya, aku udah mau nolak begitu liat Kak Rion gelengin kepala. Tapi, Gita bisikin sesuatu yang bikin aku terpaksa nerima dia, Kak."
Chika akhirnya menceritakan kronologis kejadian kemarin dari sudut pandangnya.
"Chik, kalau kamu nolak aku malem ini. Itu akan jadi hal yang bahaya buat karir kamu, aku juga nama baik Tante Gracia. Kamu enggak mau 'kan bikin aku malu? Coba kamu liat ke salah satu sudut tempat ini, ada paparazi! Ditambah, ini bakalan mulusin rencananya Bu Gaby buat naikin promosi film kita nantinya!"
Bisikan itu yang membuat Chika terpaksa menerima Gita. Ia bukan takut pada karirnya, tapi ia takut merusak nama baik Gracia.
"Chika ... Chika. Kamu jadi perempuan kok polos, sih! Mana ada kamu nolak cowok merusak nama baik Mama kamu. Nolak cowok enggak bakalan ngerusak karir kamu, Chika." Icha menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Nama Tante Gracia enggak akan jatuh gitu aja, hanya karena kamu nolak satu cowok, Chik. Nama dia udah besar...."
"Selesaikan masalah kamu sama Vio, juga Gita. Akhir-akhir ini saya liat akting kamu berantakan, sampai harus berkali-kali take."
Akhirnya, setelah menembus kepadatan Ibukota, Chika dan Icha sampai juga di tujuan mereka. Chika mencoba menenangkan debaran jantungnya yang mendadak berdetak dengan cepat.
"Ayo, Chik!" ajak Icha yang sudah terlebih dahulu keluar dari mobilnya.
Kedua perempuan itu berjalan berdampingan, sayup-sayup terdengar bisikan dari beberapa mahasiswa yang mengagumi Chika. Mereka bertanya-tanya, ada apa seorang aktris yang sedang naik daun berada di kampus mereka, ada pula yang menahan diri untuk tidak berteriak kesenangan melihat idolanya berdiri tidak jauh dari mereka.
"Gak punya malu ternyata lo, ya!" Ucapan sinis dari mulut Mira menyambut kedatangan Chika.
"Mir, sabar, Mir. Jangan ribut." Mira mengindahkan ucapan Zahran, ia berdiri dari duduknya, menatap tajam Chika. Kedua tangannya ia lipat di depan dada, seakan-akan sedang menantang Chika.
"Mir, gue mau ketemu Vio, mau kasih support sama ... cowok gue." Chika memelankan suaranya saat mengucapkan dua kata terkahir. Ia tahu, banyak orang di sini yang mengenalnya sebagai Chika seorang aktris yang tengah naik daun dan merupakan kekasih Gita.
"Hah, apa? Gue enggak denger, coba bilang yang keras!"
"Co--"
Cklek!
Suara pintu yang terbuka menyelamatkan Chika. Vio keluar dari dalam ruang sidang dengan wajah semringah.
"Alhamdulillah, gue lulus, Guys!" Vio berseru kencang. Flo dan Zahran yang ada di hadapannya langsung memeluk erat sahabat mereka. "Lo berdua buruan nyusul!"
Vio masih belum menyadari kehadiran Chika. Ia terlalu larut dengan kebahagiaannya.
"Vio, selamat, ya. Akhirnya perjuangan membuahkan hasil!"
"Eh, Kak Icha!" Vio melepaskan pelukan dari Flo dan Zahran, kini ia bersalaman dengan Icha. "Aduh, Kak. Repot-repot ke sini, padahal lagi sibuk syuting juga."
"Aku ke sini sekalian nganter seseorang."
"Siapa, Kak?"
Icha menggeser sedikit badannya, di sana terlihat Chika berdiri sambil menundukkan kepala dengan Mira yang masih setia menatapnya dengan tajam.
"Chika," ucap Vio pelan, sangat pelan hingga terkesan ia sedang bergumam.
"Mir! Lo enggak mau kasih selamat ke gue, gitu!" Vio mencoba mengalihkan pikirannya.
Mira tersenyum sinis pada Chika, yang sudah pasti gadis di hadapannya itu tidak melihat senyum sinisnya, karena Chika masih setia menundukkan kepala.
"Badrun, sohib gue! Selamat, ya!" ucap Mira dengan senyum lebar.
"Thanks, Mir. Lo, Flo dan Zahran selalu ada di saat-saat gue butuh. Makasih banyak!"
Apa yang baru saja di dengar oleh Chika benar-benar menghujam jantungnya. Ia merasa bersalah karena tidak selalu ada di saat Vio benar-benar membutuhkan dirinya.
"Berhubung hari ini gue dinyatakan lulus. Maka dari itu, kalian bertiga gue traktir makan dan minum sepuasnya!"
"Ayok!" Vio mengajak ketiga sahabatnya, berjalan menuju parkiran. Namun, baru lima langkah ia berjalan, Vio menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badan, lalu kembali ke tempatnya tadi.
Vio mengayunkan tungkai kakinya, mendekati dua perempuan yang berdiri bersebelahan.
"Kak Icha mau ikut kita makan-makan?" tanya Vio pada Icha. Ia masih mengabaikan keberadaan Chika.
Icha menggelengkan kepalanya, "Enggak dulu, deh, Vi. Nanti sore aku tunggu di Shevera, ya. Ada hadiah dari kami buat kamu. Tadi aku udah hubungin Rion buat nyiapin segalanya."
"Aduh, kok jadi enak, hehe. Makasih, Kak."
Vio menolehkan kepalanya ke arah Chika. Di saat yang bersamaan, Chika mengangkat kepalanya. Kedua pasang mata itu saling bertatapan, ada rindu dan luka di dalam netra hitam Vio, sementara di netra coklat milik Chika, ada rindu dan penyesalan.
Tidak da kata yang keluar dari mulut keduanya. Lidah mereka kelu, ungkapan-ungkapan yang seharusnya keluar saat itu, tertahan di kerongkongan. Akhirnya Vio melepaskan adu pandang mereka, menghela napas sejenak untuk meredakan sesak di dadanya lalu kembali berjalan menuju ke tempat ketiga sahabatnya menunggu.
Chika masih terpaku di tempatnya, sakit sekali rasanya diabaikan, apalagi oleh orang yang dicintai.
Cairan bening perlahan menumpuk di pelupuk mata Chika, sekali saja gadis itu mengedipkan matanya, sudah pasti setetes air mata mengalir mengikuti lekuk tulang pipi hingga ke dagu dan berakhir jatuh ke tanah.
~~~
Enggak kerasa udah 15 Part aja~
Maksih yang udah baca, vote dan komen. Maaf ya kalau masih acak-acakan dan kadang gak jelas. Saya masih belajar, dan akan terus belajar~
Sampai ketemu di part-part selanjutnya~
R.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top