BANDUNG
Tidak salah ucapan seorang M.A.W Brouwer, seorang psikolog dan budayawan Belanda yang mengatakan, "Bumi Pasundan lahir saat Tuhan sedang tersenyum." Terbukti, Kota Bandung dengan sejuta pesona keindahannya membuat banyak orang mencintai kota yang dilingkupi oleh pegunungan yang terbentang mengelilingi Bandung.
Kini Vio sedang menikmati keindahan landscape kota yang sedang dihiasi oleh senja dari Punclut. Ia bersama Chika, Rion dan Thea--adik Rion-- sedang menikmati sore di salah satu warung makan Sunda sebelum berangkat menuju Shevera Cafe yang ada di Bandung. Setibanya di Bandung siang tadi, Vio hanya diberi waktu istirahat sebentar, sebelum akhirnya diajak Rion berkeliling Bandung, sekalian menemani sang adik yang merengek ingin berjalan-jalan bersamanya. Mobil Feni yang ia pinjam dititipkan di rumah besar--rumah milik keluarga Damar-- begitu mereka menyebutnya karena dari yang Vio dengar, rumah itu diisi oleh tiga keluarga.
Dan kini, selesai berkeliling Bandung, Vio, Chika, Rion dan adiknya sedang menunggu makanan yang mereka pesan. "Punclut, atau Puncak Ciumbuleuit dulunya sejuk banget, Vi. Sayang, dengan banyaknya pembangunan di sekitar daerah sini jadi mengurangi kesejukannya."
Vio menoleh, Rion sedang berdiri di sebelahnya sama-sama menatap landscape Kota Bandung yang terlihat sangat indah. Kebetulan, tempat mereka makan berada di lantai dua, sehingga dapat melihat keindahan kota Bandung dengan jelas.
"Kalau malem bakalan cantik banget keliatannya, ya, Kak?" Rion mengangguk. City light di Bandung jika dilihat dari Punclut akan terlihat indah.
"Kak, makanannya udah siap!"
"Iya, Dek."
"Yuk, Vi!" Rion mengajak Vio menuju lapak lesehan mereka. Di sana sudah tersaji dua bakul kecil nasi merah, beserta lauk pauknya. Tidak lupa, sambal serta lalapan khas sunda.
"Yuk berdoa dulu." Keempatnya berdoa bersama, meski Chika memiliki cara berbeda dengan ketiga Vio, Rion dan Thea.
"Amiinn!" ucap mereka bersamaan seusai membaca doa.
Thea dengan telaten menyendokkan nasi ke piring rotan beralaskan daun pisang untuk kakaknya. Gadis berusia enam belas tahun itu memang sangat dekat dengan Rion, sayangnya mereka harus terpisah lama karena Rion yang sedang study di Korea. Kini, Rion sudah lulus, dan bisa dengan bebasnya menemani sang adik.
Sementara itu, Chika terlihat sedang mencari sesuatu diantara makanan yang tersaji di hadapannya.
"Nyari apa, Kak?" tanya Thea pada Chika.
"Emm ... ada sendok?" Chika malah balik bertanya.
"Cobain makan pake tangan, deh, Chik. Rasanya lebih nikmat."
Ya, Chika memang jarang makan langsung dengan tangan, ia selalu memakai sendok dan garpu. Sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil ia makan makanan berat menggunakan sendok dan garpu.
Akhirnya Chika mengangguk, mengikuti Vio, Rion dan Thea makan menggunakan tangan langsung. Awalnya, gadis itu ragu. Namun, setelah memasukkan satu suap ke mulutnya, Chika merasakan sesuatu yang nikmatnya luar biasa. Lebih nikmat dari makan menggunakan sendok.
Keempatnya makan dengan khidmat, meski sesekali Rion meminta tolong kepada Thea untuk mengambilkan lauk yang agak jauh dari dirinya.
Saat sedang asyik menyantap makan, sekelompok pengamen tiba-tiba berkumpul di sudut warung nasi, mereka bersiap dengan peralatan mengamennya.
"Selamat sore, Akang, Teteh, Neng, Aa, Bapa, Ibu. Izinkan kami menampilkan bakat kami, bakat ku butuh (Karena butuh) demi sepeser rupiah untuk menafkahi anak istri kami." Seorang pemuda menggunakan topi memohon izin kepada para pengunjung sebelum memulai aksinya.
Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh para pengamen itu cukup menghibur mereka, sesekali Vio, Chika, maupun Rion dan Thea ikut bersenandung. Sampai akhirnya mereka mengakhiri nyanyiannya, berjalan menghampiri keempat orang itu untuk meminta sedikit rupiah.
"Aduh, Kang leres ieu teh? "(Bener ini?) tanya pemuda yang menjadi vokalis saat Rion menyerahkan uang sebesar lima puluh ribu ke topi milik si pemuda yang dibalik untuk menyimpan uang-uang yang mereka minta.
Rion mengangguk lalu tersenyum. "Kangge Akang sareng rerencangan." (Untuk Akang sama teman-teman)
"A', sebentar." Chika merogoh tas kecilnya, mengeluarkan selembar uang yang sama jumlahnya dengan apa yang Rion kasih.
"Aduh, Teh. Hatur nuhun, nuhun pisan!"(Aduh, Teh. Terima kasih, terima kasih banyak!) Chika tersenyum sambil mengangguk.
Vio terpana melihat senyum tulus Chika. Meski sudah sering Vio melihat senyum Chika, tapi tetap saja, senyuman Chika selalu membuat Vio terjatuh pada pesonanya.
Keempatnya baru saja selesai menyantap makan sore mereka, Vio dan Rion beranjak menuju musala yang berada di lantai dua. Mereka sedikit terlambat melaksanakan salat ashar. Sementara Thea, ia sedang berhalangan menemani Chika yang sedang asyik berselancar di media sosial.
"Kak, Kak Chika pacarnya Kak Vio?" tanya Thea melepas keheningan diantara keduanya.
"E--eh, enggak, kok. Kita cuman temen." Chika menjawab pertanyaan Thea dengan gugup.
"Yah, kirain. Padahal kalian cocok, loh. Ditambah, ya. Keliatan banget kalau Kak Vio itu perhatian sama Kak Chika. Sebaliknya juga, Thea liat, Kak Chika perhatian sama Kak Vio." Thea mengusap-usap dagunya, ia merasa ganjil dengan hubungan Chika dan Vio yang hanya sebatas teman, karena terlihat dari bahasa tubuh keduanya, ada perasaan lebih selain hanya menjadi teman. "Enggak niat maju ke jenjang berikutnya? Pacaran?"
Chika menggelengkan kepala, ia tidak tahu bagaimana hubungan mereka kedapannya. Chika memang memiliki perasaan lebih pada Vio, tapi ia tidak tahu, apakah Vio juga memiliki perasaan yang sama dengannya. "Biar ngalir aja, The."
"Yang terbaik aja buat Kak Chika sama Kak Vio."
"Tapi...."
"Tapi apa, Kak?"
"Kita beda, The?"
"Iya lah beda. Kak Chika cewek, Kak Vio cowok."
"E--eh. Maksudnya, keyakinan kita beda." Thea malah terkekeh mendengar ucapan Chika.
"Nanti pas di cafe Kakak liat sendiri deh gimana uniknya keluarga aku. Yang Kakak kenal kan cuman Mama, Papa, Kak Rion sama aku doang, kan." Chika mengangguk.
Rion dan Vio selesai menjalankan salat mereka dan langsung mengajak Chika dan Thea untuk berangkat menuju Shevera cafe Bandung, sebelum jalanan benar-benar macet di malam minggu.
Sial bagi mereka, jalanan sempit Punclut sudah mulai padat dengan para pengunjung yang akan naik ke puncak untuk menikmati malam minggu. Kendaraan-kendaraan dari dalam dan luar Bandung sudah memenuhi ruas jalan sempit yang ditambah ruwet dengan adanya mobil atau motor yang berjalan pelan untuk mencari tempat parkir.
Sesekali Rion mengumpat karena kesal. Mobil yang mereka tumpangi hanya berjalan kurang dari sepuluh meter dalam jangka waktu hampir setengah jam.
"Kapan beresnya sih ini macet!" Rion sudah mulai tidak sabar, ia mengacak-acak rambutnya, kesal.
"Sabar, Kak!" ucap Thea pada sang kakak. "Nanti di depan sana belok kiri, masuk ke perumahan. Itu jalan pintas biar cepet sampe ke cafe."
Rion benar-benar mengikuti instruksi Thea. Benar saja, tidak lama setelah masuk ke dalam perumahan, hanya berselang lima belas menit mereka sampai di cafe. Rion langsung memarkirkan mobilnya di pelataran cafe.
"Selamat datang di Shevera." Suara denting lonceng yang terpasang di atas pintu cafe berbunyi, membuat para pelayan yang ada di dalamnya refleks menyambut kedatangan orang yang baru saja masuk ke dalam cafe itu.
"Dari mana aja, lo, Orion!" Seorang gadis berseru dari balik meja kasir. Untung saja keadaan cafe tidak terlalu ramai hingga seruan gadis itu tidak mengganggu pengunjung.
"Si Dedek pengen jalan-jalan. Daripada ngamuk mending diturutin."
"Cih, alasan!" Gadis itu berdecih, tidak mempercayai Rion.
Vio dan Chika yang melihat interaksi antara Rion dan gadis yang berdiri di balik meja kasir hanya bisa terdiam. Hingga sebuah tepukan di tangan Vio menyadarkan mereka.
"Silakan Kak dipilih mejanya. Maaf, kakak saya emang sering teriak-teriak enggak jelas dari dulu. Untung aja pita suaranya enggak putus," ucap seorang pemuda panjang lebar sambil menuntun Vio dan Chika menuju meja yang kosong.
"Kak Arel, tolong menunya!" pemuda itu berseru, memanggil seorang gadis yang ia panggil Arel.
Tidak lama kemudian Arel datang membawa sebuah buku menu dan kertas untuk mencatat menu yang akan mereka pesan. Melihat Vio dan Chika yang hanya diam membuat Arel berinisiatif menjelaskan menu-menu yang ada di cafe milik orangtuanya itu.
Vio tidak mendengarkan secara jelas ucapan Arel, ia sibuk mencari keberadaan Rion dan Thea yang tiba-tiba menghilang.
"Aku pesan ice vanilla latte." Chika memesan terlebih dahulu. "Kak, mau pesan apa?"
Vio akhinya memesan affogato. Lumayan, sambil menunggu kehadiran Rion yang mendadak hilang.
"Cafe-nya nyaman, ya, Chik. Kayaknya aku bakalan betah deh kalau dipindah ke sini."
"Iya, Kak. Enak banget tempatnya, namanya juga unik, sama itu di belakang meja kasir ada tulisan yang sama kayak tempat Kakak biasa nyanyi."
Vio menolehkan kepalanya, di belakang meja kasir terpampang jelas sebuah tipografi yang bertuliskan, 'Cafe tempat sampah!' sampai saat ini, Vio masih belum paham maksud dari tulisan itu. Karena, ia selalu tidak memiliki kesempatan bertanya pada Damar.
"Silakan, Kak." Seorang gadis yang tadi berdiri di balik meja kasir menyerahkan pesanan mereka. "Ini sekalian setruknya. Seharusnya tadi Kakak-kakak bayar sambil pesan."
"E--eh, maaf enggak tau," ucap Vio sambil mengusap tengkuknya. Ia hendak mengeluarkan dompet dari saku celananya untuk membayar minumannya dan Chika yang totalnya enam puluh tiga ribu lima ratus rupiah.
Namun pergerakan Vio yang akan menyerahkan uang kepada gadis itu terhenti saat Damar mendekati mereka.
"Gak usah bayar, Vi, Chik. Minum aja," ucap Damar yang berdiri di sebelah gadis itu.
"Eh, kok?"
"Elca, mereka tamunya Om. Kamu balik lagi ke kasir sana!" Gadis bernama ELca itu langsung melenggang pergi menuju tempat asalnya di balik meja kasir.
"Terima kasih, Mas." Damar mengangguk lalu duduk di salah satu kursi kosong di meja itu. "Ngomong-ngomong, ada apa, nih, Mas? Sampai ngundang saya segala."
"Jadi, besok acara pertunangannya keponakan saya. Acaranya siang menjelang sore, sekitar jam duaan, lah." Vio mengangguk paham. Setelah itu, Damar menjelaskan secara rinci rundown acara, dan bagaimana tema acaranya besok.
"Tapi, Om. Kalau acaranya besok, kok belum didekor, ya?" tanya Chika penasaran. Ia tidak melihat ada persiapan pesta di cafe ini.
"Nanti, setelah cafe tutup didekorasinya. Mereka mah aman, lah. Biasa jadi manusia nokturnal."
Setelah perbincangan serius itu, mereka berbincang-bincang ringan. Menanyakan kabar keluarga masing-masing. Terutama Damar, yang sudah lama tidak bertemu Gracia juga Mario. Sejak shooting video clip salah satu band. Damar dan Gracia belum lagi diberikan projek bersama.
"Mama katanya bulan depan mau ambil film, Om. Katanya, sih, main film horror sama Tante Shani. Om sekarang sibuk apa?"
"Paling, sibuk ngurusin Shevera yang di Jakarta, sama bisnis-bisnis Om lainnya, Chik. Ya, sambil nunggu panggilan manggung atau film lagi. Tapi, udah anteng sama bisnis, sih. Ketularan istri juga."
"Oh iya, Mas. Saya penasaran sama tulisan di belakang kasir." Damar menolehkan kepalanya, melihat tipografi yang ada di belakang meja kasir.
"Oh, itu. Sebentar." Damar menyeruput cappucino miliknya sebelum menjelaskan maksud dari tulisan yang ditanyakan Vio.
"Cafe tempat sampah. Dulu, kalimat itu cuman Aa-- kakak ipar saya yang paham. Bahkan, istri saya sama adiknya sempet bingung kenapa si Aa ini masang tulisan kayak gitu, padahal mereka bertiga yang bikin cafe ini bareng-bareng. Jadi, maksud dari cafe tempat sampah itu, si Aa pengen cafe ini dijadiin juga tempat orang-orang buang masalah mereka, buang semua beban yang ada di hati dan pikiran mereka yang berkunjung ke sini. Selepas pulang dari sini, si Aa berharap, mereka yang punya masalah, minimal menemukan solusi buat menyelesaikan masalah mereka, dan akhirnya hidupnya jadi tenang."
"Oh, gitu, ya, Mas." Damar mengangguk.
"Kalau ada sesuatu, 'sampah' yang mau dibuang. Bisa ke sini aja."
"Jauh, dong, Mas!"
~~~
🚢🚢🚢
R.
27/01/2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top