Bagaikan Langit dan Bumi

Suasana di Shevera cafe sore ini benar-benar sepi. Bukan, bukan karena tidak ada pengunjung yang datang ke cafe, tapi karena sejak sore cafe sudah ditutup untuk umum dikarenakan mereka akan merayakan kelulusan Vio.

Persiapan sederhana dilakukan oleh Rion dan saudara-saudara sepupunya, ia benar-benar tidak melibatkan para pegawainya dan malah menyuruh mereka untuk pulang.

Dari salah satu sudut cafe, Chika menatap keseruan Rion, Icha dan saudaranya yang lain. Bukannya Chika tidak ingin membantu, tapi kata Rion gadis itu adalah tamu, jadi cukup melihat mereka bekerja, dan menikmati hidangan yang sudah disediakan. Disela-sela kesibukannya mendekorasi cafe, mereka sesekali melempar canda, hingga tawa menggelegar terdengar hampir ke seluruh sudut cafe.

Haah, Chika membuang napas berat, pemandangan di depannya membuat ia rindu pada Chirsty yang akhir-akhir ini menghindarinya.

"Chik, gabung sini!" ajak Rion setelah urusan dekorasi selesai. Chika menggelengkan kepala, ia sengaja memberi waktu untuk Rion dan sepupu-sepupunya untuk menikmati waktu bersama-sama.

"Sini aja, Chik. Gabung, sambil nunggu yang lain." Akhirnya Chika beranjak dari tempatnya, tidak enak jika terus menolak. Sendirian pun rasanya sepi dan tidak nyaman.

Chika yang awalnya bingung bagaimana untuk berbaur dengan saudara-saudara Rion, akhirnya bisa larut juga dalam obrolan keluarga besar mereka. Ia sesekali ikut tertawa dengan cerita masa lalu mereka yang lucu dan unik. Keluarga kecil dengan keberagaman, bersatu meski ada perbedaan iman diantara mereka.

"Dah, ah. Yuk kerja lagi, yuk!" ucap Rion mengajak semuanya untuk kembali ke kegiatannya. "Chik, kita ke dapur dulu, ya, siapin buat nanti. Lo di sini aja sama Kak Icha sama Bang Axel."

"Iya, Kak." Chika mengangguk, membiarkan Rion dan beberapa saudaranya kembali melanjutkan pekerjaan mereka.

Sepeninggal Rion dan sepupunya yang lain, Chika berbincang-bincang bersama sutradara film yang ia bintangi. Dari pembicaraan ringan hingga urusan pekerjaan mereka bahas. Satu fakta yang Chika tahu, bahwa sepasang suami istri di hadapannya ini tidak menyukai hubungan yang didasari gimmick bukan dari hati yang sebenarnya.

Icha dan Axel menyayangkan sikap Gaby yang tidak pernah berubah. Memang, yang dilakukan Gaby membuat film yang dibintangi oleh artis dibawah naungannya sukses dan laku keras. Tapi, tetap saja, hubungan yang dibuat-buat terkadang membuat pandangan masyarakat menjadi buruk.

~~~

Canda tawa Vio bersama ketiga sahabatnya terhenti saat seorang pria menghampiri mereka yang tengah menikmati makan siang sekaligus merayakan kelulusan Vio di kantin kampus.

"Vio, saya mau bicara dengan kamu," ucap pria itu langsung pada intinya.

"Om Mario. Ada apa, ya?" tanya Vio penasaran, mengapa ayah dari gadis yang ia cintai tiba-tiba datang menghampirinya.

"Ikut saja dengan saya. Nanti kamu tahu sendiri." Mario langsung membalikkan badan, berjalan keluar dari kantin kampus.

Vio terdiam, tidak paham dengan maksud Mario.

"Ayo, Vio Fadrin, waktu saya tidak banyak!"

"I--iya, Om!" Vio beranjak dari duduknya. "Titip barang-barang gue, ya! Lo bertiga langsung ke Shevera aja, gue nyusul nanti."

Ketiga sahabatnya itu hanya bisa diam, menatap punggung Vio yang perlahan mulai menjauh.

"Gue punya firasat buruk." Ucapan Flo langsung diangguki oleh Mira dan juga Zahran.

Mario berjalan di depan Vio, dengan pakaian formalnya membuat pria itu terlihat tampan meski usianya sudah tidak muda lagi. Banyak mahasiswi yang melihatnya saling berbisik-bisik, terpesona pada seorang Mario Gunawan.

Keduanya masuk ke dalam sebuah restoran yang berada tepat di sebelah kampus Vio. Mereka diantarkan oleh seorang pegawai ke meja kosong yang berada di areal outdoor.

"Kamu pesan saja dulu. Baru kita bicara."

Vio mengangguk, ia langsung melihat-lihat menu yang sudah disiapkan.

"Mbak, saya pesan Ice Cappucino."

"Itu saja? Kamu enggak makan?"

"Saya sudah makan tadi, Om."

"Baiklah. Saya pesan Americano saja." Mario lalu menyampaikan pesanannya pada pelayan.

Setelah pelayan itu pergi, Mario sibuk dengan ponselnya, membiarkan Vio yang juga sibuk dengan pikirannya. Untuk pertama kalinya setelah ia dan Chika resmi berpacaran, Mario mengajaknya lagi berbicara berdua. Padahal, dulu hal ini adalah hal biasa ia lakukan dengan pria dewasa di hadapannya itu.

"Saya minta kamu jauhi Chika," ucap Mario setelah menyimpan ponselnya. "Saya bisa memberikan kamu uang, berapa pun yang kamu mau."

"Maaf? Maksud Om, apa?"

"Saya mau kamu pergi dari kehidupan Chika. Saya tidak sudi kalau anak saya harus berpacaran bersama pria rendah seperti kamu!" Mario menyeruput Americano yang baru saja dibawa oleh pelayan. "Chika itu bintang besar, Vio, sama seperti ibunya. Saya Direktur perusahaan besar. Sementara kamu, hanya penyanyi cafe, tidak punya masa depan!

"Ah, iya, Boy teman saya ... dulu. Bahkan saya sekarang tidak tahu pekerjaan dia apa, saya tidak pernah berkomunikasi lagi dengannya setelah dia jatuh miskin. Kalau diibaratkan, keluarga saya dan kamu itu, seperti langit dan bumi. Jauh, kita hadir untuk digapai, sementara kalian, diinjak-injak!"

Vio mengepalkan tangannya, menahan sesak di dalam dadanya. Sebisa mungkin ia menahan emosi yang sudah siap meledak.

"Oh, iya, satu hal lagi. Beberapa hari yang lalu Gita datang bersama orangtuanya ke rumah saya, dia sudah melamar Chika, dan kami menyetujuinya. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk kami meresmikan pertunangan Chika dan Gita."

Mario bangkit dari duduknya, menyimpan selembar cek dengan nominal lima puluh juta rupiah dan uang seratus ribu rupiah untuk membayar minuman yang mereka beli.

Vio tertunduk, mengepalkan tangannya semakin erat bukan, bukan perintah untuk pergi dari kehidupan Chika yang membuatnya sakit. Tapi, harga dirinya sudah diinjak-injak oleh seorang Mario Gunawan. Ia menengadahkan kepalanya, menarik napas dalam dan membuangnya dengan kasar.

Pemuda itu bangkit dari posisi duduknya dengan sangat terburu-buru. Ia ambil kasar kertas cek yang baru saja disimpan oleh Mario.

"Tuan Mario Gunawan!" seru Vio begitu melihat Mario hendak masuk ke dalam mobilnya.

Ia mendekat, lalu merobek kertas cek itu tepat di depan muka Mario.

"Cinta dan harga diri saya tidak bisa dibeli, Tuan!"

~~~

Pukul tujuh malam, semua orang yang ada di dalam Shevera cafe harap-harap cemas dengan keadaan Vio. Pasalnya, ia belum juga muncul di hadapan mereka, padahal seharusnya tadi sore ia sudah menapakkan kaki di tempat biasa ia mencari nafkah.

"Ini anak kemana, sih!" Flo bergumam khawatir, sudah berkali-kali ia menghubungi calon kakak iparnya itu, tapi tidak tersambung sama sekali.

"Sabar, Kak. Mungkin, Kakak lagi di jalan."

"Di jalan kok lama banget, sih, Del. Ini udah jam tujuh, loh, Sayang. Aku khawatir sama Kakak kamu."

Adel mengelus bahu Flo, menenangkan kekasihnya itu dari rasa khawatir yang berlebihan. "Kakak udah gede, Sayang. Dia pasti bisa jaga diri."

Di sisi lain cafe, terlihat Chika tengah meremasi tangannya, ia pun sama merasakan khawatir pada Vio. Apalagi tadi ia diberitahu oleh Flo dan Zahran kalau pria itu diajak berbicara empat mata oleh ayahnya.

Tidak lama kemudian, terdengar suara motor butut milik Vio.

"Akhirnya dateng juga."

Semua orang yang berada di dalam cafe menghela napas lega, akhirnya orang yang mereka nantikan muncul juga.

tring!

"Kemana aj--" Pertanyaan yang hendak dilontarkan Zahran tertahan saat melihat raut wajah Vio yang berantakan.

"Sorry telat. Tadi gue jemput si Christy dulu." Zahran, Flo dan Mira yang berada di dekat Vio mengangguk. Tidak lama kemudian, pintu cafe terbuka, Christy terlihat tengah mengatur napasnya, ia mengejar Vio yang langsung masuk dan meninggalkan Christy sendirian di parkiran.

"Gue ke Kak Rion dulu," ucap Vio lalu mengayunkan tungkai kakinya menuju meja tempat Rion dan keluarganya berkumpul.

"Chris, Kakak gue kenapa?" tanya Adel pada Christy, namun pandangannya tidak lepas dari sang kakak yang terlihat sangat hancur.

"Enggak tau, Del. Tadi gue enggak sengaja liat Kak Vio di parkiran kampus. Kayanya dia lama diem di situ."

Adel menatap heran ke arah Christy. "Bukannya tadi Kak Vio bilang jemput lo, Chris?"

"Dia bohong."

Sementara itu, di meja tempat Rion dan sepupunya. Vio disambut dengan hangat, ucapan selamat dan pelukan diterima oleh pemuda yang baru saja selesai menjalankan sidng skripsinya itu.

"Selamat, Vi. Akhirnya, ya."

"Makasih, Kak Yumi, Kak Rion, dan semuanya." Vio tersenyum, meski dengan sedikit dipaksakan.

"Yuk makan-makan!"

Deretan meja dan kursi yang disusun memanjang ramai oleh obrolan-obrolan ringan di sela-sela mereka menyantap hidangan pesta kecil perayaan keberhasilan Vio menyelesikan sidang skripsinya. Celetukkan yang mengundang tawa membuat suasana semakin seru.

Tapi, Vio hanya menanggapi obrolan mereka dengan anggukan, dan hanya tersenyum tipis saat mendengar candaan, meski yang lain terlihat tertawa lepas. Vio semakin merasa tidak nyaman, karena Chika kini duduk tepat di hadapannya.

Bayang-bayang kemesraan Chika dan Gita juga ucapan Mario siang tadi membuatnya ingin segera pergi dari hadapan gadis yang sudah merusak hati dan pikirannya selama beberapa bulan ini.

Haahh, Vio merasa bodoh, kenapa ia terlalu terburu-buru jatuh cinta pada gadis yang sudah jelas-jelas berada jauh stratanya dibandingkan dia.

"Vi, nyanyi, dong!" pinta Rion setelah menyelesaikan makannya.

Tanpa diminta dua kali, Vio bangkit dari duduknya, melangkahkan kakinya menuju panggung kecil tempatnya biasa bernyanyi. Di atas panggung, ia mengelus gitar akustik yang akan ia pakai lalu menyelendangkan talinya.

"Ekhm! Sebelum gue nyanyi. Gue mau ucapin banyak terima kasih buat Kak Rion, Kak Yumi, Kak Icha, Bang Axel sama keluarga Shevera lainnya. Juga sahabat-sahabat gue, Flo, Zahran, Amirah. Adek kecil gue, Adel, Christy. Makasih banyak atas supportnya, kalau enggak ada kalian, kayanya gue gak bakalan bisa selesaiin skripsi tepat waktu, haha." Vio menatap Chika sebentar, namun ia hanya diam.

"Langsung aja, ya!"

Bagaikan langit dan bumi, aku dan engkau
Selamanya takkan pernah bisa 'kan bersama
Sadar 'ku siapa yang tak pantas untuk
Bersanding denganmu

Usaplah air matamu, relakan diriku
Bukan maksud hatiku 'tuk melukaimu
Tapi karena tak ada restu dari orang tuamu

Setulus dalamnya rasa cintaku
Tak cukup meyakinkan hati orang tuamu
Sadar derajat harta yang kupunya
Tak sebanding denganmu

Ucapan Mario siang tadi membawa Vio pada lagu ini, entah, padahal niatnya ia ingin menyanyikan lagu yang ceria.

Tapi, otak dan hatinya sedang tidak singkron, membuatnya membawakan lagu yang tengah ia nyanyikan.

Ikhlaskan, aku sudah ikhlaskan
Terima saja lelaki yang dipilihkan
Biar kusimpan saja rasa ini
Di dasar hati

Bagaikan langit dan bumi, aku dan engkau
Selamanya takkan pernah bisa 'kan bersama
Sadar 'ku siapa yang tak pantas untuk
Bersanding denganmu

Pandangan Vio mengarah pada Chika, gadis itu terlihat tengah menahan tangisan yang mungkin sebentar lagi akan keluar dari mata indahnya yang berwarna coklat.

Usaplah air matamu, relakan diriku
Bukan maksud hatiku 'tuk melukaimu
Tapi karena tak ada restu dari orang tuamu

Setulus dalamnya rasa cintaku
Tak cukup meyakinkan hati orang tuamu
Sadar derajat harta yang kupunya
Tak sebanding denganmu

Ikhlaskan, aku sudah ikhlaskan
Terima saja lelaki yang dipilihkan
Biar kusimpan saja rasa ini
Di dasar hati

Biar kusimpan saja rasa ini
Di dasar hati

~~~

"Kak, aku mau ngomong."

Chika memberanikan diri untuk mengajak Vio berbicara berdua. Menyelesaikan masalah mereka.

Tapi, Vio hanya meliriknya sebentar, lalu kembali sibuk berbincang-bincang dengan sahabat-sahabat dan juga adiknya. Ia mengabaikan Chika.

"Kak...."

"Kak...."

"Kak Vio Fadrin!" Chika akhirnya berseru kencang, setelah tiga kali panggilannya diabaikan oleh Vio.

"Del, ayo pulang. Udah malem." Vio masih mengabaikan Chika. "Gue balik duluan, ya, Flo, Ran, Mir."

Flo, Zahran dan Mira menjawab ucapan Vio dengan anggukan. Ketiganya menatap kasihan ke arah Chika. Vio benar-benar mengabaikan gadis itu, bahkan sampai detik ini.

"Kak, please, dengerin penjelasan aku sebentar aja." Chika memegang pergelangan tangan Vio yang hendak melangkahkan kakinya menuju pintu keluar cafe. Ia menatap Vio penuh harap, agar pria yang masih ia anggap kekasih itu memberinya waktu untuk menjelaskan semuanya.

"Vi, ke ruangan gue dulu sebentar, ada yang mau gue obrolin sebelum lo pulang." Vio melepaskan genggaman Chika dengan lembut, lalu melangkah menuju ruangan yang berada di dekat dapur.

Tubuh Chika luruh ke lantai cafe, dadanya terasa sakit dengan sikap Vio padanya. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, menangis dalam diam. Gadis itu merasa hancur, ditambah tidak ada lagi orang yang peduli padanya.

Ditengah-tengah tangisnya Chika merasakan ada yang membantunya untuk bangkit.

"Chik, udah. Selesaiin semuanya, yuk bangun."

Tubuh Chika yang masih lemas dituntun oleh Icha, membawa gadis itu menemui Vio yang berada di ruangan Rion.

Sementara di dalam ruangan, Vio diceramahi habis-habisan oleh Rion.

"Vi, bersikaplah dewasa, tolong! Chika juga punya hati, kasih dia kesempatan untuk ngomong sama lo. Jangan merasa lo paling terluka di sini, Chika juga sama, Vio!"

"Yon!" Terdengar suara Icha beberapa saat setelah pintu ruangannya terbuka.

"Lo, selesaiin masalah lo berdua, jangan jadi pengecut!"

Rion keluar dari ruangannya, dan menyuruh Chika untuk masuk dan berbicara empat mata dengan Vio.

~~~

Sepuluh, lima belas, bahkan sampai tiga puluh menit berlalu, keduanya masih diam. Belum ada satu pun kata yang keluar dari mulut Chika maupun Vio.

Isakan tangis masih terdengar dari mulut Chika. Vio sesekali melirik, ingin menenangkan gadis itu dengan pelukannya. Tapi, ego dan gengsi yang ia punya masih berkuasa atas dirinya. Vio masih tidak terima dengan apa yang Chika perbuat dan juga ucapan ayah gadis itu tadi siang.

"Kak ... maafin aku," ucap Chika setelah tangisnya sedikit mereda. "Aku bakal jelasin semuanya sama kamu, Kak."

Chika menarik napas dalam sebelum menjelaskan semuanya pada Vio. Ia ingin semua masalahnya selesai hari ini juga.

Mendengar cerita Chika menyadarkan Vio, ternyata benar apa yang Rion katakan. Chika juga terluka, bahkan bukan hanya luka yang Chika terima, tekanan dari Mario juga Gaby dan para fans yang terus-terusan meminta momen manis antara dirinya dan Gita. Gadis itu lelah terus berpura-pura.

"Chik, maaf, aku enggak tau kalau kamu juga korban. Maaf aku yang egois." Vio menundukkan kepalanya, ia menyesal. Benar-benar menyesal.

"Tapi, kita enggak bisa kembali, Chik. Sebentar lagi aku bakalan pergi dari sini."

"Kak ... ke mana, Kak?!"

Vio menggelengkan kepalanya, tidak ingin memberitahukan Chika ke mana ia akan pergi.

"Kak, aku mohon. Jangan tinggalin aku. Ak--aku enggak tau harus kayak gimana kalau enggak ada Kakak di sini."

Vio mendekati Chika. Memeluk erat gadisnya itu.

"Kita selesai sampai di sini, ya, Chika. Kamu punya seseorang yang lebih pantas untuk mendampingi kamu." Chika kembali menangis dipelukan Vio. "Aku sama kamu seperti langit dan bumi, Chik. Kamu ada untuk digapai, sementara aku ada untuk diinjak."

"Kak, jangan bilang seperti itu, tolong!"

"Om Mario bener, Chik." Vio melepas pelukannya, memberi jarak diantara keduanya. Ia lalu mengusap air mata di pipi Chika. "Udah, ya. Jangan nangis. Aku pamit."

Vio membalikkan badannya, membuka pintu ruangan Rion. Meninggalkan Chika sendirian yang masih berdiri mematung dengan air mata yang semakin deras mengalir di pipinya.

~~~

Ada keributan apa kemarin, Kawan....

Asli, aku bukan orang yang suka ngikutin pertubiran.
Jadi berasa orang yang kurang update haha

Tapi, intinya. Ngidol itu dinikmati secukupnya, jangan berlebihan~

Oh iya. Selamat berpuasa semuanya. Semoga lancar sampai hari kemenangan yaaaa~
Sampai bertemu di part selanjutnya

R.
21/04/2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top