Aku, Kamu dan Pelangi

"Argh!" Vio meremas kasar rambutnya.

"Napa lo, Bang?" tanya Flo yang sedang asyik memakan kripik kentang tengah duduk di belakang Vio.

Flo sedang apel, ke rumah Vio. Bukan, Flo bukan seorang pecinta sesama, tapi semenjak disuruh move on oleh Vio. Flo mulai berani membuka diri dan akhirnya mendekati Adel, hingga tepat setengah tahun yang lalu keduanya resmi menjadi sepasang kekasih.

"Pusing gue, Flo. Skripsi kagak beres-beres." Vio merebahkan badannya, memandang langit-langit kamarnya. "Flo, bantuin gue kerjain skripsi, dong!"

"Lah, gue aja masih jalan di tempat, Bang. Dosbing gue ilang-ilangan mulu tiap mau bimbingan. Ada aja alesannya," jawab Flo dengan santainya seperti tidak ada beban.

Vio mengembuskan napas kasar. Lelah sekali dia menghadapi skripsi, ditambah sudah dua hari ia tidak mendapatkan kabar dari sang kekasih yang mulai sibuk dengan kegiatannya sebagai seorang selebritis.

Tangan kanannya merogoh saku celana, mengambil benda handphone terbaru miliknya--bukan lagi handphone butut dengan layar retak--, hasil mengumpulkan uang dari hasil bernyanyi di Shevera.

Ia menyalakan handphone miliknya itu, lalu melihat apakah ada notifikasi masuk dari Chika? Tapi, nihil. Tidak ada satu pun pesan masuk dari Chika, bahkan bisa dibilang handphone-nya sepi, tidak ada pesan masuk kecuali notifikasi tidak jelas dari aplikasi-aplikasi yang beritanya berisi click bait.

"Kamu sibuk banget ya, Sayang?" gumam Vio tidak terlalu pelan sehinga Flo yang duduk di dekatnya dapat mendengar ucapan sahabatnya itu.

"Sabar, Bang. Resiko pacaran sama artis. Apalagi pacaran diem-diem kayak gini."

Vio bangkit dari tidurnya, duduk bersila menghadap ke arah Flo.

"Apa gue salah, ya, Flo. Enggak dengerin kata Papa sama Mama waktu itu?"

"Duh bahagia banget yang abis dapet rejeki gede!" ucap Boy yang sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi ditemani oleh Anin menyambut kepulangan Vio dari Bandung.

"Banget, Pa!" Vio melangkah mendekati kedua orangtuanya lalu mencium punggung tangan kedua orang tuanya. Spesial untuk Anin, pemuda itu memberi ciuman di kedua pipi ibunya.

"Tumben cium pipi Mama, Vi."

Vio terkekeh. Anin dan Boy heran dengan gelagat anak sulung mereka. Meski telah melakukan perjalanan jauh, ditambah keduanya mendapat kabar kalau si Legend mogok, tapi tidak terlihat raut lelah sedikit pun dari wajah Vio.

"Kenapa, nih. Cerita dong, Vi."

Vio merekahkan senyumannya. Menatap kedua orangtuanya yang sedang dilanda rasa penasaran.

"Vio jadian sama Chika, Ma, Pa."

Reaksi yang dilihat Vio dari kedua orang tuanya jauh dari ekspektasi. Anin menghela napas, dan Boy terlihat tidak suka dengan apa yang baru saja diungkapkan anaknya.

"Putusin!" ucap Boy singkat dan penuh tekanan.

Vio mengernyitkan dahi, "Kenapa, Pa?"

"Pokoknya, kamu jangan berhubungan sama keluarganya Gracia lagi. Papa udah dari lama pengen nyuruh kamu untuk enggak terus-terusan berhubungan sama mereka. Papa enggak suka, dan kamu harus tau diri kalau kita beda dari mereka. Sekarang mereka terlihat baik sama kamu, tapi suatu saat kamu bakalan tau mereka itu kayak gimana, Vi!" Boy bangkit dari posisinya, lalu berjalan menuju kamar.

Vio menatap Anin, meminta dukungan. Tapi, ibunya itu menggelengkan kepala, tanda ia juga sebenarnya tidak suka dengan hubungan Vio dan Chika.

"Mama sama Papa cuman enggak mau kamu terluka, Sayang. Kami kenal mereka, dari lama...."

"Cinta tidak pernah salah, Bang!"

~~~

"Cut!"

Chika akhirnya bisa bernapas lega setelah melalui dua hari yang syuting yang sangat melelahkan.

Karir Chika semakin menanjak, bukan hanya modeling, kini gadis itu mengikuti jejak ibunya masuk ke dunia akting. Dalam waktu singkat, nama Chika langsung dikenal banyak orang, bahkan orang-orang memprediksi karirnya bisa melampaui Gracia.

"Chika, bisa ngobrol sebentar." Gita, pasangan Chika di FTV yang baru saja selesai proses syuting mengajak gadis itu berbicara. Tentu, tidak hanya mereka berdua, tapi juga ditemani oleh asisten keduanya.

"Iya, Kak, boleh."

Saat keduanya berjalan, sayup-sayup terdengar sura godaan dari kru film yang merasa keduanya cocok untuk dijadikan sepasang kekasih.

"Duh, kalian pacaran, gih. Udah cocok banget!"

"Kiw kiw kiw. Jadian sana ,jadian, hahaha!"

Chika menunduk malu, begitu pula dengan Gita, meski sudah sering dibegitukan oleh oara kru, tapi tetap saja membuat semburat merah di wajah keduanya muncul begitu saja.

Keduanya duduk di tenda tempat para artis beristirahat saat break syuting.

Chika dibantu asistennya mengusap keringat yang mengucur di wajah dengan tisu basah. Begitu ia duduk di kursi yang sudah disiapkan sebelumnya.

"Makasih, Mbak!"

Asisten Chika mengangguk, "Sudah tugas saya, Kak."

Keduanya masih terdiam, sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Chika membuka ponselnya, banyak sekali pesan masuk dari Vio, tanpa berpikir panjang ia langsung mengirim pesan balasan karena sudah dua hari mengabaikan kekasihnya itu karena kesibukannya yang luar biasa.

Kak Vio ❤️

Chik....
Chikaaaaaa
Chikaaayaaang

Hallo bidadari, kamu enggak balik ke surga duluan 'kan?

Chik, aku kangen!

Semangat syutingnya, sayang!
Love you, Bidadarinya Bang Badrun

Kak, maaf. Aku baru selesai syuting. Maaf banget, Kak.

Hari ini sabtu, 'kan ya?
Ketemu di Shevera ya, Kak. Aku kangen suara kamu pas nyanyi.

Love You more, Abang Badrun!

Chika menyimpan kembali ponselnya setelah membalas pesan dari Vio.

"Asik banget chattannya sampai senyum-senyum gitu. Dari ... pacar?" tanya Gita karena sejak tadi memperhatikan Chika yang sedang memainkan ponselnya.

"Bu--bukan, Kak." Chika berbohong.

"Oh, masih sendiri. Jadi, bisa dong aku daftar? Haha." Chika tersenyum tipis.

Sejak awal hubungannya dengan Vio sudah mendapat tentangan dari kedua belah pihak. Bukan hanya Boy dan Anin, Mario juga menentang hubungan anaknya dengan Vio.

Pagi hari di rumah keluarga Gunawan. Chika terlihat berbeda dari senin biasanya, ia terlijat lebih bahagia dan tidak terlihat raut lelah meski semalam baru saja sampai rumah pukul sembilan malam setelah perjalanan jauh.

"Pagi, Pa, Ma!" ucap Chika lalu mencium pipi kanan Gracia dan pipi kiri Mario.

"Pagi, Sayang!" jawab kedua orang tuanya bersamaan.

"Pagi-pagi udah semangat banget, Kak." Christy sejak tadi memperhatikan gelagat Chika yang terlihat berbeda dari biasanya.

"Hehe, Chika semalem baru aja jadian sama Vio," ucap Chika to the point.

Pergerakan Mario yang sedang mengoleskan selai terhenti begitu mendengar ucapan dari Chika. Berbeda dengan Mario, Gracia dan Christy ikut senang dengan kabar yang baru saja disampaikan Chika.

"Kenapa harus Vio?" tanya Mario.

"Ya, karena Chika sayang sama Vio. Emang kenapa, Pa?"

"Gak, kalian enggak pantes pacaran. Enggak cocok!"

Chika terdiam, tidak menyangka kalau ayahnya yang terlihat mendukung kedekatan dirinya dengan Vio malah menentang hubungan mereka.

"Kamu tuh orang kaya Chika, calon BINTANG BESAR, Mama kamu juga artis, kamu mau malu-maluin keluarga dengan pacaran sama anak yang enggak jelas?"

"Ta--tapi kenapa Papa keliatan baik-baik aja waktu Chika sering jalan sama Vio?"

"Ya, kalau sekedar deket sebagai teman gak masalah. Bisa dimanfaatkan, 'kan? Sebagai ojek pribadi misalnya?"

Chika terdiam. Picik sekali pikiran ayahnya, ia tidak menyangka, sosok yang selama ini ia kagumi memiliki sisi yang sangat jahat.

"Chik, Chika!" tegur Gita karena Chika sejak tadi hanya melamun.

"E--eh, maaf, Kak." Chika meminta botol minum pada asistennya, lalu menegak air mineral yang ada di dalamnya untuk  sedikit menenangkan hati dan pikirannya. "Jadi, mau ngobrolin apa?"

"Eh, iya. Chika, kamu udah ambil script filmnya Pak Axel?" Chika mengangguk. "Nah, kamu udah baca, 'kan, di situ kita chemistry-nya harus bagus, ditambah ada adegan ... ciuman."

Chika terdiam, ia baru sadar kalau dalam film pertamanya ia berpasangan dengan Gita, dan ada adegan dimana mereka berdua harus berciuman dengan mesra.

Sepanjang perjalanan kisah cintanya bersama Vio, pemuda itu benar-benar menjaga diri. Selama dua tahun ini, Vio selalu bisa menahan diri agar tidak mencium Chika.

Pernah suatu ketika Vio nyaris mencium Chika, namun saat bibir keduanya sudah semakin dekat, tiba-tiba Vio mengarahkan ciumannya ke kening Chika.

"Belum saatnya, Chik," ucap Vio saat itu.

"Nanti selanjutnya bakal dijelasin sama manajer kita, Chik."

Setelah itu Gita pamit karena ada pemotretan. Sementara Chika harus berangkat ke kantor agensi tempatnya bernaung, agensi yang sama dengan Gracia juga Gita.

Sepanjang perjalanan dari lokasi syuting menuju kantor agensi Chika hanya menatap jalanan dari kaca sampingnya. Semenjak menjadi seorang selebritis, hidupnya semakin rumit. Sudah terkekang dengan aturan yang Mario buat, kini ia juga terkekang dengan aturan yang tercantum dalam kontrak kerjanya.

Di salah satu poin kontrak yang ia tanda tangani, tercantum kalau Chika tidak boleh menjalin suatu hubungan, kecuali dengan izin dari agensi. Tentu saja itu membuat hubungannya dengan Vio semakin rumit.

"Sore, Chika! Tadi kata Bu Gaby, kalau Chika udah sampai, suruh langsung ke ruangannya aja," ucap resepsionis kantor agensi saat Chika menghampiri mejanya.

Setelah mengucapkan terima kasih pada perempuan di meja resepsionis, Chika bersama asistennya langsung naik ke lantai lima, tempat ruangan manajernya itu berada.

"Sore, Bu!" sapa Chika begitu ia masuk ke dalam ruang kerja Gaby.

Di setiap sudut ruangan, terdapat foto-foto sang manajer dengan artis-artis yang ia pegang. Dari artis baru hingga artis besar yang banyak memperoleh penghargaan. Gaby memang bisa dibilang sebagai super manajer, ia bisa memegang lebih dari satu orang artis, dan nyaris tidak ada artis yang gagal jika dipegang olehnya.

"Sore, Cika!" Gaby membalas sapaan Chika. "Duduk, Chik."

Chika langsung mendaratkan bokongnya di salah satu sofa yang ada di dalam ruangan itu.

"Jadi, ada apa, Bu?" tanya Chika to the point.

"Kamu 'tuh, ya. Gak bisa basa-basi dulu sebentar." Gaby terkekeh. Ia lalu bangkit dari meja kerjanya menuju kulkas kecil yang berada di sudut ruangan, mengeluarkan tiga kaleng cola untuk dia, Chika dan asisten Chika.

"Chika gimana selama syuting, Mbak Dian?" tanya Gaby pada asisten Chika.

"Lancar, Bu. Tadi beres syuting langsung ngobrol sama Gita masalah filmnya Pak Axel."

"Oh gitu, bagus dong. Jadi mau dimulai kapan?"

Chika mengernyitkan dahi, tidak paham dengan maksud pertanyaan manajernya.

"Kapan apanya?"

"Gita belum jelasin semuanya?" Gaby malah bertanya balik pada Chika, yang ditanya tentunya menggeleng.

"Kan kalian tuh butuh chemistry  buat film ini. Jadi, sebelum syuting dimulai, kalian harus pacaran. Ya, kalau enggak mau, dibikin gimick aja. Bukan cuman buat chemistry, itu juga nantinya bakalan bisa naikin penjualan tiket film nantinya. Salah satu strategi marketing, lah."

"A--aku enggak tau harus gitu, Bu. Gita cuman bilang kita harus ada chemistry enggak sampai bilang gimick apalagi pacaran."

"Huh, anak itu! Padahal kemarin jelas-jelas aku bilang ke dia buat nembak kamu. Biar kalian pacaran gitu."

Chika terdiam, ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ingin menolak, tapi ia tahu akan merusak karirnya juga nama baik Gracia.

~~~

Senja beranjak, langit terang digantikan oleh gelapnya malam. Ditambah mendung di hari itu membuat suasana semakin gelap. Beruntung, hujan masih belum mau turun membasahi bumi sehingga Vio masih selamat sampai Shevera tanpa harus  diguyur hujan.

Lonceng cafe berbunyi nyaring saat Vio masuk ke dalamnya, matanya melirik ke salah satu sudut cafe, meja yang kini sedang dikerumuni oleh anak-anak muda berusia belasan, beberapa tengah berfoto, sisanya sedang menunggu giliran mendapatkan tanda tangan dan juga foto bersama idolanya.

"Kak Vio!" sapa seorang gadis yang tengah melihatnya sedang berdiri di pintu masuk cafe.

"Hai, Kiti!" Vio menyapa balik Christy yang berjalan mendekatinya.

Vio tersenyum memandangi Chika yang semakin hari semakin tenar. Namun itu bukan kabar yang baik baginya, karena semakin banyak yang mengenal Chika, semakin sulit bagi keduanya untuk berduaan. 

"Sabar, ya, Kak. Semua akan indah pada waktunya!" ucap Christy menyemangati Vio.

"Makasih, ya, Kiti. Kakak ke belakang dulu, mau siap-siap."

Christy memandang punggung Vio yang perlahan menghilang saat masuk ke ruangan tempat biasa ia mempersiapkan diri sebelum tampil di atas panggung kecil tempatnya menghibur para pengunjung cafe. Gadis itu menghela napas, Mario sang ayah terlalu keras pada kakaknya untuk urusan percintaan.

Bagaimana tidak, setelah Mario tahu Chika dan Vio memiliki hubungan, ia langsung memperketat jadwal anak gadisnya itu dengan menghubungi Gaby dan menjadikan Chika sebagai artis besar.

Benar saja, setelah penanda tanganan kontrak, Chika benar-benar sibuk, bahkan hampir tidak memiliki waktu untuk sendiri. Hidupnya kini dipadati dengan jadwal syuting, pemotretan dan kegiatan-kegiatan keartisan lainnya. Dan itu benar-benar 'membunuh' waktu kebersamaan Chika dan Vio.

Wajah Chika terlihat sangat lelah, ditambah pikirannya kini kalut dengan permintaan Gaby. Tapi sebagai seorang profesional, ia tetap tersenyum meladeni para penggemarnya yang meminta tanda tangan dan foto bersamanya. Hingga akhirnya para penggemarnya pergi dari hadapannya, berkat sang adik yang tidak tahan melihat Chika sudah sangat lelah.

"Kalau capek ngapain diladenin, sih, Kak?" Chika hanya tersenyum menjawab pertanyaan adiknya. Christy mendengus sebal, Chika selalu saja seperti itu.

"Terakhir ke sini kapan, ya?"

"Mana saya tau."

Chika membuka memori di kepalanya, mencari kapan terakhir kali ia mencium wangi parfum khas Shevera. Terlalu sibuk membuat memorinya silih bertumpuk sehingga membuat satu per satu hal kecil terlupakan.

Hingga suara melengking dari speaker yang memekakkan telinga membuat Chika menyerah untuk mengingat kapan terakhir ia menginjakkan kaki di tempat kekasihnya mencari pundi-pundi rupiah, satu yang pasti, itu sudah lama sekali berlalu.

"Hehe, maaf-maaf. Ini soundnya agak-agak." Suara Vio menyapa gendang telinga Chika, suara yang ia rindukan. Karena selama seminggu ini, komunikasi keduanya hanya sebatas chatting.

"Ciee yang lagi pada malam mingguan, sampai rame ,nih di sini." Vio menyapa para pengunjung sambil mempersiapkan gitar akustiknya. "Malam ini spesial, ya? Sampai ada bidadari turun dari surga cuman buat melihat Bang Vio bernyanyi, haha."

"Selamat menikmati malam ini, Chika. Spesial banget, ya malam ini ada artis yang lagi naik daun duduk di sudut cafe kecil kami." Vio memetik gitarnya, mengecek suaranya sudah enak atau belum. 

"Tapi, Chik. Jangan kelamaan naik daun, rapuh. Mending naik pelaminan sama Abang. Hahaha."  Suara-suara ejekan dari pengunjung terdengar dari seluruh penjuru cafe menanggapi candaan Vio. "Canda, elah. Sensi amat lo pada kayak merk masker." 

Vio mulai memetik gitarnya, memulai intro lagu yang akan ia nyanyikan.

Aku mengerti
Perjalanan hidup yang kini kau lalui
Ku berharap
Meski berat, kau tak merasa sendiri

Kau telah berjuang
Menaklukkan hari-harimu yang tak mudah
Biar ku menemanimu
Membasuh lelahmu

Vio menatap Chika, wajah kekasihnya benar-benar terlihat sangat lelah. Ia tahu, tekanan yang didapatkan Chika sangatlah banyak. Bukan hanya dari manajemen, fans dan netizen. Keluraganya sendiri, terutama Mario sangat menuntut kesempurnaan dari seorang Chika.

Izinkan kulukis senja
Mengukir namamu di sana
Mendengar kamu bercerita
Menangis, tertawa

Biar kulukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
'Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia

Aku di sini
Walau letih, coba lagi, jangan berhenti
Ku berharap
Meski berat, kau tak merasa sendiri

Kau telah berjuang
Menaklukkan hari-harimu yang tak indah
Biar ku menemanimu
Membasuh lelahmu

"Chik, aku di sini, selalu di sini menanti kamu. Aku di sini, saat kamu perlu bersandar, aku siap. Selalu siap menyerahkan pundak kananku untukmu bersandar, menyiapkan kupingku untuk kamu berkeluh kesah, dan menyiapkan tanganku untuk merengkuh tubuhmu yang lelah oleh kehidupan." 

Izinkan kulukis senja
Mengukir namamu di sana
Mendengar kamu bercerita
Menangis, tertawa

Biar kulukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
'Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia

Izinkan kulukis senja
Mengukir namamu di sana
Mendengar kamu bercerita
Menangis, tertawa

Biar kulukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
'Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia

'Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia

Riuh tepuk tangan menutup penampilan pertama Vio, pemuda itu menenggak air mineral yang sudah disediakan sebelum lanjut ke lagu-lagu berikutnya.

~~~

"Mbak Dian udah pulang?" tanya Vio memastikan saat ia duduk di sebelah Chika. 

Suasana cafe sudah mulai sepi, karena waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Para pegawai sudah pulang, hanya tersisa Vio, Chika, Christy dan Orion beserta istrinya yang sedang menikmati malam minggu di Jakarta.

Vio dibiarkan berduaan dengan Chika sementara Christy sedang asyik berbincang dengan Rion yang sedang menjadi suami siaga karena sebentar lagi istrinya akan melahirkan.

Chika tidak menjawab pertanyaan Vio, ia malah merapatkan tubuhnya pada kekasihnya. Banyak hal yang ingin Chika bicarakan dengan Vio, terutama perihal permintaan Gaby. Tapi bibirnya kelu, ia tidak tahu harus mulai dari mana, dan harus bagaimana merangkai katanya agar tidak menyakiti hati Vio.

"Kak...."

"Iya, Sayang." Vio merengkuh tubuh Chika mengecup puncak kepala gadisnya itu.

"Pertemuan aku sama kamu itu ibarat pelangi, ya, Kak."

"Maksudnya?"

"Sebentar, tapi indah...."

"Kenapa enggak diibaratkan senja aja, Chik? Senja juga indah, 'kan." 

Chika menggelengkan kepalanya. "Senja indah, Kak. Tapi setiap saat bisa kita temui. Kalau pelangi, kita enggak pernah tahu kapan akan ketemu sama pelangi itu. Bahkan setelah hujan turun pun tidak menjamin akan adanya pelangi itu.

"Maafin aku, Kak."

"Kenapa harus minta maaf, Chik. Kamu enggak ada salah apa-apa sama aku."

"A--aku harus menyampaikan sesuatu, yang mungkin bisa bikin Kakak sakit hati, maaf."

Vio mengernyitkan dahi, melepas rengkuhannya pada Chika lalu memberi jarak agar bisa melihat wajah cantik kekasihnya yang sayu. Chika menunduk, dadanya sesak, berat memang membicarakan masalah ini, tapi, Vio harus tahu.

"A--aku dapet peran di satu film. Filmnya bagus, Kak." 

"Ya bagus, dong, Chik, peningkatan karir kamu. Apa masalahnya?"

Chika lagi-lagi diam, menyusun kalimat yang tepat untuk disampaikan pada kekasihnya. 

"Di sana ada adegan, aku harus ... a--aku harus ciuman sama lawan main aku, Kak."

Kedua tangan Vio yang sedari tadi memegang bahu Chika luruh ke bawah, tubuhnya langsung lemas mendengar kabar dari Chika. 

"Bukan cuman itu, Kak. A--aku harus ... harus keliatan kayak yang pacaran di depan publik sama lawan main aku. Bahkan, Bu Gaby nyuruh aku buat beneran pacaran sama dia." 

Hati Vio terasa sakit, ia tahu ini bukan keinginan Chika. Tapi, ia tidak akan rela melihat kekasihnya dekat dengan pria lain, apalagi sampai berciuman.

"Chik...." Chika memberanikan diri mengangkat kepalanya, menatap mata Vio yang sendu.

Tanpa diduga, Vio mencium Chika dengan mesra. Chika terdiam, bukan karena menolak ciuman Vio, ia kaget karena tiba-tiba kekasihnya yang selama ini menahan diri, berani menciumnya. 

"Ma--maaf, Chik. Aku kelewatan." Vio melepaskan ciumannya, respon Chika diartikan sebagai penolakan olehnya membuat Vio merasa bersalah.

Tapi dugaan Vio salah, karena kini Chika mengikis jarak di antara keduanya. Chika kini yang memulai ciuman.

"Kiti enggak liat! Kiti masih polos!" 

~~~ 

Enggak kerasa, ya. Februari udah masuk pertengahan aja....

R.
16/02/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top