5


Happy reading sista😘😘

Gila! Apa maksudnya Eru mengaku pacarnya ,cowok edan!!
Pengen rasanya cakar itu muka. Aarrghh! Kalo gini ayah bakalan nanya 'kapan nikah' terus-menerus padahal Arumi nggak ada niatan nikah, jangankan nikah niat deket sama laki-laki aja nggak.

Eru sialan!! Memberi harapan palsu pada ayah dan buleknya, huff! Arumi membuang nafas keras, melihat kegembiraan di raut wajah ayahnya membuat Arumi berpikir tegakah dia mengatakan yang sebenarnya dan menghancurkan harapan ayahnya, tapi dia juga tidak mau menjalin hubungan serius dengan laki-laki, ini namanya makan buah simalakama, jujur ayahnya kecewa, tidak jujur dirinya belum siap. Kenapa jadi ribet sih!.

Plak!

"Jangan meleng itu pintu bukan kasur, sakit kalo lo cium." Arumi mengusap bahunya yang ditepuk cukup keras sama Vera.

Sialan nih anak dikira gak sakit apa.

"Ck! Sakit tau." Arumi jalan di belakang Vera.

"Lah.. mending gue gablok lo daripada lo nabrak pintu kan gak lucu," Vera jalan di depan Arumi.

"Lagian kenapa sih lo? Ada masalah? Ngelamun aja."

Mereka naik tangga ke lantai 2, pisah ke meja masing-masing. Sudah ada teh manis hangat di meja mereka berlima, gorden juga sudah dibuka, lantai bersih habis disapu dan dipel, jendela-jendela juga dibuka membuat udara segar menerebos masuk.

"Nggak kok! Tumben yang lain belom dateng?" Arumi mulai menyalakan komputer di depannya, menyesap tehnya menunggu komputer nyala sempurna.

"Riska sama pak Arlan ke kantor pusat surabaya, Meilan nggak tau tuh." Vera anggat bahu.

"Ver! Lo masih ngarepin pak Arlan?" Arumi mendekat menarik kursi kosong disebelahnya.

"Pengen stop aja nggak ada respon juga, pak Arlan nggak mungkin nggak tau kan kalo gue suka dia. Tapi dia cuek aja tuh bikin makan hati, tapi bego-nya kenapa hati gue nggak bisa diajak kompromi, Rum," raut wajah Vera berubah sendu. "Gue mau nyerah aja." Vera menghela nafas pelan. Arumi menggenggam tangan Vera memberi kekuatan.

"Yang semangat dong, Vera temen gue tuh pantang nyerah ya meskipun dia nyebelin."

"Lo niat ngasih gue semangat apa jatuhin sih. Gue nyerah bukan apa, gue nggak mungkin kan ngarepin dia terus yang nggak pernah lihat gue. Mending gue nyerah sebelum gue terlalu cinta dia, mending gue sama orang yang cinta gue, seenggaknya dia nggak bakalan nyakitin gue."

"Cinta kok gini banget ya, Ver," Arumi menangkup wajahnya dengan dua tangannya di atas meja Vera.

"Sekalinya cinta eh ditikung sodara sendiri, mana iming-imingnya selangkangan lagi."

"Wajar kalo tergoda, Rum, namanya juga laki-laki normal. Tapi sodara lo gila juga ya, udah tau Ibra pacar lo masih juga di embat." kata Vera, "terus lo mau sampai kapan ratapin nasib gini? Nggak kasian sama orang tua lo, mereka pasti pengen liat lo nikah." Vera menatap iba sahabatnya itu.

"Nggak tau!" Arumi mengangkat bahunya. "Gue males, Ver, urusan sama laki-laki."

"Tapi Rum..."

Sesi curhat Vera dan Arumi berhenti melihat Meilan dan Eru datang bersama. Arumi langsung pindah duduk di kursinya, memberi tatapan tidak bersahabat pada Eru.

"Selamat pagii...." Meilan menyapa dengan senyum sumringah moodnya bagus sepertinya.

"Wuih..ada apa nih? Seneng bener lo, Mei." Vera yang duduk di sebelahnya langsung nyahut begitu Meilan duduk.

"Ya dong! Kan dapet suntikan semangat dari ayang beb." Meilan yang masih senyam senyum langsung nyalakan komputer, sedang Eru jangan tanya dia lagi menatap Arumi tanpa kedip.

"Kedip oyy! Ntar copot tuh mata. Nggak bakal kabur juga Arumnya." ledek Meilan.

Eru tertawa gurih cem snack taro, Arumi tidak mau menanggapi celetukan Meilan, moodnya langsung jelek melihat wajah orang di sampingnya.

"Omgggg...omgggg....nih laki udah baik, tajir pula, deket udah gue tarik ke KUA deh." seruan Mei menginterupsi pikiran Arum dari bayangan Eru. Duh! Kok bisa-bisanya Arum muji Eru.

"Sapa sih, Mei?"

"Nih! Si akang Mahameru, tapi sayang nggak pernah ada fotonya bikin kepo aja."

"Jelek kali muka dia makanya nggak berani nampang," sambung Arumi asal.

"Lo kalo ngomong asal jeplak aja, Mpok." sahut Eru.

"Biarin, mulut gue sendiri suka-suka gue." jawab Arumi.

"Mulut lo beneran pedes Mpok, minta dicium itu bibir biar nggak judes-judes."

"Belum lo cium, gue hajar lo." Arumi memberi peringatan pada laki-laki itu.

"Wuih, gahar juga lo. Gue tanya deh, Rum. Kalo si maha-maha itu ganteng lo mau?" tanya Eru.Tidak ada ekspresi jahil diwajah pria itu.

"Nggak ada pertanyaan yang bermutu gitu? Ru, mikir lo, mana mau orang macam dia mau sama rakyatt jelatah. Impossible!"

"Kan gue bilang 'kalo', Rum. Lo tinggal bilang mau apa nggak, gitu aja kok repot. Dasar cewek, bisa jawab mudah dibuat susah."  ujar Eru lagi.

"Duh! Udah deh lo diem aja, jangan banyak bacot. Empet gue liat lo, pengen gue cakar muka lo."

"Mending lo cium gue, Rum, daripada lo cakar muka tamvan gue."

"Lo tuh... Huhhhh!!" Arumi mengepal tangan geram, pengen rasanya gebukin tuh cowok, biar rasa dia.

Meilan buru-buru menyela Arumi dan Eru, sinyal-sinyal perang sudah terdeteksi. "Ini berangkatin umroh orang gak mampu."

"Dih.. banyak kali, Mei. Gak cuma dia aja." kali ini Vera ikut buka suara.

"Tapi ini banyak lho orangnya, Ver. Kalo cuma satu dua orang sih biasa tapi ini 20 orang, dah berapa fulus itu yang keluar." Meilan memutar kursinya menghadap Vera.

"Segitu nggak bakalan bikin si maha-maha itu bangkrut, Mei. Marger beberapa swalayan aja sanggup apalagi berangkatin umroh nggak ada apanya." ujar Arumi lagi.

"Ada ya orang nggak perlu susah-susah nyari uang tinggal duduk doang uang ngalir sendiri, kita kapan ya Mei?" Vera menopang dagu dengan kedua tangannya berkhayal punya uang tanpa bekerja.

"Mana ada Ver, lo kalo ngayal yang bener aja, yang piara tuyul aja masih kerja. Kecuali lo jadi mami-mami noh baru ongkang-ongkang kaki duit ngalir." Arumi kembali fokus sama kerjaannya.

"Duh! Beneran gue kepo nih sama cowok ini, misterius gitu...nggak ada yg tau tampang dia." Meilan benar-benar penasaran karena secara diam-diam ia mencari informasi tentang pengusaha itu.

"Udah sih nggak penting juga ngurusin tuh orang, mana sok misterius lagi kayak dia orang penting aja." sahut Arumi.

Eru hanya diam mendengar mereka bertiga, tidak ada niat menimpali hanya saja dia heran kenapa Arumi antipati terhadap laki-laki. Ditilik dari obrolannya dengan Sadewo ayah Arumi kemarin, beliau senang akhirnya Arumi punya pacar setelah satu setengah tahun sendiri, Sadewo sempat takut Arumi lebih memilih  kesendiriannya, karena itu Sadewo minta mereka segera tunangan atau nikah daripada lama-lama pacaran.

Eru merasa bersalah karena membohongi orang tua Arumi, memberi harapan palsu dengan menjadi pacar pura-pura. Hah! Eru membuang nafas keras, apa yang sudah dia lakukan salah, bisa dibayangkan kecewanya mereka sampai tahu yang sebenarnya.

****

Tepat pukul lima sore Arumi membereskan mejanya dan bersiap pulang, tapi dia tidak langsung pulang  Arumi  mampir ke supermarket dulu di salah satu mall mencari barang-barang pesanan buleknya ah bukan tapi ibunya, tadi buleknya sempat telpon minta tolong Arumi belanja buat keperluan rumah yang habis. Arumi bersyukur bulek Nisa jadi ibunya walaupun ibu tiri sih, jangan bayangin kayak ibu tiri di tv-tv yang suka sama harta bokapnya doang, bulek Nisa tuh baik banget, telaten ngurusin ayahnya yang kadang manja seperti balita, perhatian ke Arumi juga ke sodara-sodaranya juga besar.

Saat dia terpuruk Nisa mendukungnya, membantunya bangkit, menjadi tempat keluh kesahnya, ibu tirinya itu sudah seperti sahabat baginya. Tuhan memang adil, mengambil orang yang begitu dia cintai, dan mengganti dengan orang yang betul-betul sayang padanya.

Setelah barang yang dicarinya lengkap, Arumi antri di depan meja kasir. Cukup banyak juga yang antri padahal kasirnya tidak cuma satu. Setelah tiga puluh menit mengantri akhirnya Arumi bisa bernafas lega, dia ingin segera pulang perutnya sudah minta di isi, sebenarnya bisa saja dia makan di mall ini tapi Arumi tidak suka makan sendiri.

"Antee....."

***

Halloo...masih ada yang nungguin nih crita 😂😂...nggak ya😥😥...tapi nggak pa-pa ku masih lanjut kok😬... Btw buat yg msh nungguin thanks bgt....klo yg udah ngacir makasih yee...dah mau mampir ke lapak ini 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top