26
🍁🍁🍁
Happy reading sista😘😘
****
Saat kakinya menginjak di bandara internasional Kingsford Smith, udara hangat langsung menyambutnya. Eru menuju terminal kedatangan, di sana sudah ada Feri menunggu. Mereka masuk ke dalam mobil, duduk di kursi penumpang. Jarak tempuh dari bandara ke rumah milik Eru sekitar empat puluh lima menit. Sampai di depan rumah gaya minimalis, pintu gerbang terbuka secara otomatis.
Eru turun dari mobil, langsung disambut pelukan hangat Lady. Eru memeluk erat Lady, dia kangen sekali dengan adik cerewetnya. Tidak ada yang berubah sedikitpun dari adiknya tetap manja. Entah apa Seno bisa menghadapi tingkah lakunya.
"Abang kok sendiri? Seno mana?" tanya Lady, saat mereka duduk disofa ruang tengah.
Eru mendengkus kesal, "bukan tanya kabar Abangnya, malah tanya Seno," jawab Eru.
"Hehe...lah abang kan udah di sini, terus buat apa Lady tanyain hayo."
"Kamu kayak Mama aja, anaknya pulang bukan ditanya kabar tapi tanya mantunya," gerutu Eru lalu ia mengambil minuman kaleng di lemari es dan kembali ke sofa, "Seno lagi bantuin kasus Bang Hendy, nggak bisa ikut. Kamu beneran suka sama dia? Nggak main-main? Abang nggak mau kalo kamu main-main sama Seno."
"Beneran Bang, suer, sumpah asli," jari telunjuk dan tengah Lady membentuk huruf 'v', "tapi... Seno kayaknya nggak suka kalo aku seketika, Bang. Dia kayak menghindar gitu," raut wajah Lady mendadak mendung. Ia ingat kejadian beberapa waktu lalu saat ia berusaha mendekati Seno, laki-laki itu malah memilih pergi.
Eru menghela napasnya, ia sedikit banyak tahu apa yang dipikirkan Seno. Ia pindah duduk di samping Lady, "sudah kamu nggak usah sedih gitu, nanti abang yang urus Seno. Kamu sabar dulu, Ok?" Lady mengangguk, meluk abangnya.
Lady bersyukur memiliki abang yang begitu menyayanginya, bahkan abangnya rela melakukan apapun untuknya. Tapi ada satu hal yang abangnya tidak bisa lakukan, membuat Seno berpaling padanya. Laki-laki pendiam itu menarik perhatiannya, Lady mau melakukan apa saja asal bisa berdekatan dengan pria tersebut.
"Udah dong jangan sedih gitu, hilang nanti cantiknya," Eru mengacak-acak rambut Lady, ia tidak suka kalau adeknya bersedih.
"Eh, abang ke sini mau apa?"
"Mau nyamperin kakak ipar kamu."
"Hah? Beneran? Bule, Bang?" Lady memutar badan menghadap Eru, siku tangan Lady ditumpukan di sandarkan sofa.
"Lokal, cantik juga baik."
"Kok Abang nggak cerita ke Lady?"
"Belum yakin sih kemarin, kalo sekarang Abang yakin seratus persen."
"Aku boleh ikut nggak, Bang?"
"Nanti ya, sekarang Abang mau istirahat dulu," Eru beranjak dari sofa, naik ke lantai dua ke kamarnya.
Lady menatap abangnya sampai menghilang, dia penasaran seperti apa wanita yang berhasil menyusup masuk ke dalam hati abangnya. Dia sudah tidak sabar melihat kakak iparnya.
****
"Kak! Aku ke cafe depan sana ya," Arumi pamitan kepada Rianti, ini kebiasaan yang selalu ditanamkan bundanya.
"Iya, sama siapa?"
"Sendiri, Kak, mau ketemu teman. Udah, ya aku ke sana dulu," Arumi meraih sling bag merahnya, keluar resto kakaknya. Tergesa-gesa ke cafe tempat janjian dengan sendy.
Bugh!
"Aduhh...kepalaku," Arumi menunduk mengadu sakit sambil mengusap-usap kepalanya. Benda bulat lumayan berat mengenai kepala bagian belakangnya.
"I'm sorry miss--" laki-laki itu merunduk didepannya
"It's okay," jawab Arumi, kepalanya mendongak menatap pria didepannya.
"Arumi!"
"Sendy!"
Mereka berpelukan seperti dua orang yang lama terpisah kemudian tidak sengaja bertemu. Sendy duduk di samping Arumi, memandangi wajah Arumi dengan teliti. Kenapa memandang wajah perempuan ini tidak pernah membuatnya bosan, apa yang istimewa dari wanita itu. Bayangan wajah cantik Arumi selama ini membuat Sendy gelisah, mengisi mimpi-mimpi Sendy.
Dulu ia harus mundur karena Arumi milik Ibra, mendengar mereka putus Sendy senang, dengan begitu ia punya kesempatan mendekati Arumi lagi. Mereka sempat jalan beberapa kali, karena itu Sendy tidak mau membuang waktu untuk segera menyatakan perasaannya. Sayang belum sampai dia mengatakan, ayahnya memintanya menangani restoran milik keluarganya di Australia. Tanpa sempat berpamitan pada Arumi, Sendy sudah harus berangkat kesana.
Sendy melambaikan tangan saat matanya menangkap siluet Arumi. Arumi mendekat, Sendy menarik kursi untuk Arumi.
"Makasih. Udah lama?" senyum manis terukir di bibir cantiknya.
"Baru kok, mau pesen apa?"
Arumi membaca buku menu di depannya, "lemon tea aja, lagi nggak pengen makan," Arumi menutup kembali buku menu dan menggesernya kepingir.
Sendy menekan bel di tengah meja, tidak lama gadis muda datang menghampiri mereka, Sendy menyebutkan pesanan mereka. Arumi mengedarkan pandangan ke sekeliling cafe tersebut. Cafe ini cantik didesain dengan apik, dengan dominan warna biru dan putih.
"Lo kok tiba-tiba ngilang gitu sih, nomor lo juga nggak aktif."
"Ya, gimana lagi bokap nyuruh juga mendadak. Mau pamit juga nggak sempat. Btw, lo ngapain disini? Nggak kerja?"
"Liburan hehe...palingan juga di keluarin dari kantor," jawab Arumi enteng. Ini memang sudah hampir dua bulan sedangkan cutinya hanya sepuluh hari.
Suasana mendadak hening, tatapan Sendy membuat Arum jengah. Ia tidak tahu maksud dari tatapan itu, keadaan menjadi canggung.
"Rum, ada yang mau gue omongin sama lo," saat mengatakan itu raut wajah Sendy terlihat serius.
"Mo ngomong apaan sih, Sen. Dari tadi juga ngomong kan? Mo bilang apa coba?" Arumi coba mencairkan suasana, ia tidak nyaman kalau seperti ini.
Sendy menarik napas panjang kemudian mengembuskan dengan perlahan, berharap ia mendapat tambahan keberanian untuk menyatakan perasaannya. Sendy menarik tangan Arumi yang berada di atas meja kemudian menggenggamnya, "Rum, sebenernya gue udah lama suka sama lo, gue cinta sama lo."
Arumi terperanjat mendengarnya, "Sen, iki guyon kan (ini bercandaan)?"
"Gue serius, Rum. Waktu lo masih sama Ibra, gue udah cinta lo. Gue udah berusaha ngelupain lo, tapi tetep nggak bisa, Rum."
Arumi menarik tangannya dari genggaman Sendy, ia belum bisa berkata-kata. Pikirannya kosong, ada apa dengan pria-pria itu dalam waktu berdekatan menyatakan cinta padanya.
"Sen, gue--"
"Lo nggak perlu jawab sekarang, Rum. Gue bisa nunggu kok, yang penting gue udah lega ngomong ke elo, Rum."
"Sen, dengerin gue---"
"Honey!!"
Arumi sontak menoleh mencari asal suara itu, hanya satu orang yang memanggil begitu dan suara itu begitu familiar di telinganya. Suara yang ia rindukan, di sana hanya berjarak beberapa meter darinya Eru mendekat ke arahnya. Mendadak kepalanya pusing. Eru semakin dekat, Arumi terdiam terpaku, matanya mengerjap beberapa kali. Dia tidak salah melihat, kan? Kenapa bisa dia di sini? Mengapa di wajahnya tampak kemarahan? Tubuh Arumi rasanya tidak bertulang bahkan saat pria itu mencium pipi kanan dan kirinya ia hanya diam saja. Matanya mengikuti semua gerakan Eru.
Ya Tuhan, apalagi ini? Kenapa dia ada di sini?
"Sorry, Hon, tadi macet. Udah selesai kan ketemuannya? Pulang yuk!" Eru menarik berdiri Arumi. Sendy yang menyaksikan mengernyit bingung.
"Rum!" panggil Sendy ikut berdiri.
"Hah?" Arumi menoleh ke arah Sendy, "apa Sen?"
"Kita pulang, Honey!" Arumi kembali menoleh pada Eru, belum sempat ia berpamitan sama Sendy, laki-laki itu sudah menarik tangannya dan berjalan cepat di depannya.
"Nanti gue telpon ya, Sen," teriaknya, ia berusaha mengimbangi langkah Eru. Bibirnya membentuk lengkungan senyum, ia tatap genggaman tangan mereka. Arumi merindukan pria itu, meski ada jarak tapi Arumi bisa mencium aroma cologne laki-laki tersebut.
Namun kegembiraan yang ia rasakan tidak bertahan lama, bayangan Vera berkelebat dalam ingatannya, menghantam keras kesadaran dirinya. Cemburu juga sakit hati mendominasi dirinya. Arumi menyentak genggam Eru yang longgar.
"Lepas!!"
🍁🍁🍁
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top