18
Mulmed salah satu ikon taman depan stasiun kota baru malang.
Yups! Singo edan 🦁 😘
*****
Arumi mematikan sambungan telepon dengan Riska. Perutnya keroncongan, cacing-cacing dalam perut minta diisi. Pantas saja hampir waktu makan siang, apalagi tadi ia cuma sempat makan nasi goreng sedikit susunya saja belum ia minum. Ia beranjak dari duduknya menuju parkiran, ia nyalakan mesin motornya dan pergi ke stasiun kota baru mencari makan.
Jalan mulai padat maklum saja orang-orang keluar mencari makan, ada yang menjemput sekolah atau hanya untuk berpergian. Ia memarkirkan motornya dipinggir jalan yang difungsikan untuk parkiran. Taman ini berubah fungsi sejak walikota baru menjabat. Dulu kedua taman ini terbengkalai dan tempat untuk mencari kepuasan, sekarang taman ini menjadi ladang untuk mencari uang dengan halal.
Letaknya yang pas di depan stasiun kota baru memudahkan orang-orang membeli makanan dan minuman untuk bekal dalam kereta api selama perjalanan, selain harga lebih terjangkau juga beraneka ragam masakan yang ditawarkan.
Arumi memilih duduk lesehan salah satu stand makanan, ia memilih menu lalapan dengan ikan mujair dan es teh. Sembari menunggu ia berselancar di dunia maya, tiba-tiba saja handphone-nya mati. Ia lupa mengisi baterai dan tidak membawa carger. Tidak lama makanan datang dengan lahapnya ia habiskan makanan tersebut. Lama ia duduk disana bingung mau kemana, mau pulang enggan jalan ke mall bosan, tapi mau kemana ia juga bingung, namun tiba-tiba saja dia teringat temannya.
Senyum tersungging disudut bibirnya, segera ia bayar makanannya tadi lalu mengambil motornya. Dengan kecepatan sedang ia lajukan motor kearah kota batu. Setelah kepergian Arumi, orang suruhan Seno datang. Feri yang sudah diberi foto Arumi berkeliling mencari perempuan itu. Feri tiga kali memutari tempat itu bahkan ia menyebrang ke taman yang satunya tapi Arumi tidak ditemukan. Sialnya lagi sinyal GPS Arumi mati.
Feri jadi sedikit takut melapor kepada Seno, bagaimana tidak takut bosnya tidak segan-segan menghukum bila petintah yang diberikan gagal dilaksanakan. Dirinya tadi sudah ngebut agar tidak kehilangan jejak tapi waktu lewat didepan salah satu smp negeri macet. Feri menghela napas sebelum menelpon Seno memberi tahu kalau ia kehilangan jejaknya di stasiun kota baru. Semoga ia lolos dari hukuman. Untung saja Seno tidak marah kalau sampai marah ia tidak tahu apa hukuman yang menanti dirinya.
*****
Arumi sampai di salah satu desa penghasil bunga krisan di kota batu. Semua penduduk desa ini bermata pencaharian sebagai petani bunga jadi tidak heran bila desa Sidomulyo berperan penting dalam penyuplaian bunga seperti kota Surabaya, Jakarta, Bali dan masih banyak kota lain.
Dia berbelok ke salah satu rumah warga yang tidak lain rumah temannya. Rumah sederhana dengan cat dinding putih dengan pintu kayu di tengahnya, dua kaca jendela persegi yang dipasang dari atas kebawah samping kanan kiri pintu.
"Sri..." teriaknya. Kalau tidak teriak mana dengar pintunya tebal begini.
"Sri..."ulangnya
Apa Sri nggak dirumah ya
Terdengar suara langkah kaki dari gang sebelah rumah Sri, "cari mbak Sri?" tanya pria paruh baya
Arumi menoleh kemudian mengangguk, "iya pak. Sri ada?"
"Ada mbak dikebun, lewat sini."jawab pria itu
"Motor saya--"
"Aman kok mbak."
Laki-laki itu berjalan mendahului, Arumi mengikuti dari belakang. Sampai di belakang rumah agak jauh kebawah ada beberapa rumah-rumahan dari bambu dengan atap plastik tebal yang didalamnya ada tanaman bunga krisan.
Sepertinya Sri sedang sibuk mengawasi pekerjanya memanen bunga itu. Ia tidak menyangka temannya yang tomboy itu memilih bertani bunga ketimbang menekuni hobinya mengutak-atik mobil.
Ia duduk gubuk kecil dari bambu dengan atap jerami, udara sejuk dapat kulitnya rasakan. Sejauh mata memandang hamparan bunga krisan aneka warna dan bukit-bukit hijau dengan sedikit kabut dipuncaknya sebagai latar belakangnya. Ia seperti melihat lukisan yang biasa di jual di galeri-galeri lukis.
Damai dan tenang suasana disini, kadang suasana seperti ini yang ia rindukan, suasana yang tidak bisa ia dapatkan ditempat tinggalnya. Terlihat beberapa pekerja perempuan yang didominasi ibu-ibu rumahtangga mengelompokkan krisan sesuai warna dengan jumlah tertentu sekaligus merapikan potongan dan daun-daun yang rusak.
Sri menengok ke arahnya setelah bapak tadi memberitahunya, Sri kemudian berjalan ke kran air mencuci tangannya lalu menghampirinya. Wanita ini menjatuhkan bokong di tatanan bambu yang Arumi duduki.
"Hai...udah lama?" tanyanya seraya mengkibas-kibaskan tangan kanannya.
"Nggak! Barusan kok," jawab Arumi, "sibuk bener harus cepet-cepet kirim ya?"
"Heum! Nanti jam empat harus beres," Sri melambaikan tangan ke salah satu pekerja wanita. Wanita bertubuh kecil jalan mendekat, "Bu Mar, saya minta tolong bikin minuman ya sama bawa camilan sekalian ." perintahnya
Sri ini meski jadi majikan dirinya tidak pernah seenaknya, menyuruh pun dengan kata 'tolong'. Jarang sekali menemui majikan seperti dia.
"Tumben? Biasanya telpon dulu kalo kesini, untung gue ada."
"Hp mati!" Jawab Arumi singkat
"Kenapa?" Sri hapal betul dengan sahabatnya ini. Selain Riska, Meilan dan Vera, Sri adalah sahabat paling lama, mereka kenal sejak di bangku SMP sampai kuliah di universitas yang sama.
Mereka sangat dekat kemana-mana berdua, bahkan saking dekatnya sampai ada bilang mereka pasangan penyuka sejenis. Mereka tidak ambil pusing terserah mau dibilang apa, asal kenyataannya tidak demikian.
"Galau hehe..." kata Arumi dengan cengengesan, dihadapan Sri ia tidak perlu jaim karena percuma Sri terlalu hapal wataknya, "Ntar gue crita, yapi please gue nginep disini ya, semalam aja besok gue pulang kan harus kerja juga." Sri mengiyakan saja, ia tidak perlu memaksa karena tanpa dipaksa Arumi pasti bercerita.
*****
"Ini semua gara-gara, Mas!" bentak Nisa pada Sadewo, "kalo mas nggak nyaranin Eru bikin Arum cemburu pasti Arum nggak pergi dari rumah." Nisa terisak tangisnya belum reda.
Ibu mana yang tidak khawatir sampai jam sepuluh malam belum juga pulang, tidak ada kabar handphone Arumi juga tidak bisa dihubungi. Dirinya tahu mereka sudah keterlaluan pada Arumi tapi ia tidak menyangka kalau begini jadinya.
"Aku sudah bilang Arum itu perasaannya halus, dia nggak seperti kelihatannya. Diluar kuat tapi dalamnya rapuh," ujar Nisa disela-sela tangisan, "harusnya kita bisa sedikit lebih bersabar. Pasti Arum ngerasa orang tua sudah nggak sayang dia lagi...biarpun dia nggak bilang tapi dari raut wajahnya terlihat jelas."
Sadewo dan Eru hanya bisa diam. Eru sendiri sudah cemas sejak tadi saat menerima laporan Seno kalau Feri kehilangan jejak Arumi. Dasar bodoh!orang-orang suruhan Seno juga tidak berhasil menemukan Arumi. Eru kira pulang kerja Arumi sudah pulang tapi sampai jam makan malam belum juga terlihat, pikirannya langsung kalut ia takut musuh-musuhnya yang berbuat.
Hah! Ia menghembuskan napas kuat-kuat menepis kemungkinan buruk. Ia bangkit menghadap Nisa berjongkok didepan orang yang disayanginya, "Maafin Eru, bu," Eru menggenggam erat tangan Nisa berharap agar kecemasan Nisa berpindah padanya, "Eru yakin Arum baik-baik saja. Paling Arum ke rumah temannya."
"Kamu juga mau aja nurutin ayah, pake minta tolong Vera lagi. Kasihan Vera ntar Arum ngira yang nggak-nggak." Nisa memukul pelan kepala Eru.
"Iya nanti Eru yang jelasin ke Arum. Sekarang udah malem ibu sama ayah tidur ya, biar Eru yang jaga disini siapa tau Arum pulang."
"Nggak! Mana bisa ibu tidur Arum belum ada kabar gini," tolaknya. Percuma tidur kalau pikiran terus ke Arumi.
"Bu, tidur ya. Eru jamin Arum nggak kenapa-kenapa. Ibu harus istirahat nanti sakit," bujuk Eru setidaknya bebannya berkurang jika Nisa mau menurut. Ia tidak mau gara-gara dia Nisa sakit, "Eru akan cari Arum sampai dapat, jadi ibu sekarang tidur ya,"
Nisa menghela napas lalu mengangguk kemudian bangkit pergi ke kamarnya, Sadewo mengekor dibelakangnya. Sedewo tidak berkata apa-apa hanya menepuk bahunya, Eru tahu maksud dari tepukan itu. Begitu pintu kamar Sadewo tertutup ia mengambil ponselnya dan menelpon Seno.
"Hallo! Cari sampai ketemu kalau perlu ke lubang semut juga. Gagal kau tau apa yang menantimu!!"
Ia masukkan ponselnya ke saku celananya, ia kembali duduk ke sofa. Matanya memandang langit-langit rumah. Bagaimana mungkin hanya karena seorang Arumi sanggup membuatnya kelabakan seperti ini, membuat hati dan pikirannya kacau. Kalau dipikir-pikir dirinya tidak pernah seperti ini, ia tidak pernah memakai hati jika menjalin hubungan tapi dengan Arumi rasanya berbeda.
Arumi mampu menjadikan dirinya pusat dari hidupnya. Ia bisa rasakan yang namanya tidak diinginkan, bisa rasakan bagaimana mengejar seorang wanita agar bisa melihatnya, mencari perhatiannya, mampu membuat emosinya campur aduk. Hah! Ia mengusap kasar wajahnya, matanya terpejam jari telunjuk memijit pelipisnya dengan gerakan memutar. Penat dan hanya karena Arumi!
tbc
Ada yang lagi bingung niyehhh 😌😌
Makasih buat semua yang baca+ vote, juga yang komen, juga kalian para siderwati makasih ya....
Aku harap para siderwati terketuk hatinya dan menekan bintang buat cerita ini hehehe......
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top