17a
"Lho.. Kamu kerja, Rum?" Sadewo heran lihat anaknya sudah rapi siap berangkat kerja.
"Heum, kan masih hari sabtu, yah. Mana pernah libur kalau bukan hari minggu," jawab Arumi sambil mengunyah makanannya.
"Tapi tadi Eru bilang libur dan mau pergi sama Vera," timpal Nisa. Arumi hanya mengangkat bahunya. "Kok beda? Kan kalian satu kantor," sambung Nisa, Arumi memutar bola mata malas dan mencibir.
Haduhhhh, mulai deh ngomongin dia lagi. Bisa nggak sehari aja nggak bahas orang itu, bikin jengkel aja!
"Mana Arum tau Bu, emang kalo satu kantor Arum harus tau semua kegiatan dia? Kayak Arum nggak punya kerjaan aja." gerutunya, sebel! kalau sudah bahas cowok edan itu bikin Arumi malas lagipula dapat pemikiran dari mana ibunya itu.
"Oh ya Rum, tadi ayah suruh Eru bawa mobil kamu. Kan jarang itu kamu pake sekalian tadi ayah suruh cek ke bengkel." terang Sadewo dari balik koran yang dibacanya.
"Kok ayah nggak minta ijin Arum sih!" ucapnya dengan nada tinggi, ia langsung berdiri kursi dibelakangnya hampir jatuh, "itu kan mobil Arum, yah!...Arum heran, kenapa ayah sama ibu jadi lebih perhatian dan sayang sama dia. Apa saking inginnya punya anak cowok jadi ayah lebih sayang ke dia daripada anak ayah sendiri! Apa Arum udah nggak dibutuhkan lagi disini?!"
Setelah mengatakan itu Arumi pergi dalam keadaan marah tanpa pamit. Sadewo tidak mengira reaksi Arumi seperti itu. Selama ini semarah apapun anaknya itu tidak pernah bicara dengan nada tinggi. Bahkan Nisa saja kaget melihat putrinya marah seperti tadi.
Brengsek! Apa sih yang udah dilakukan Eru sama orang tuanya sampai-sampai mereka lebih sayang padanya.
*****
Risris: kenapa lagi Arum?
Meican: nggak tau waktu gue dateng dia udah gitu mukanya asem🙄
Risris: kenapa jadi gini coba, Eru sama Vera juga duh jadi canggung kan😫
Meican: kita perlu penjelasan dari mereka berdua. Makin kesini suasana gak enak banget
Risris: Arum juga jadi kayak dulu lagi
Brak!!
Riska dan Meilan terlonjak kaget, mereka tidak fokus bekerja. Arumi tampak melampiaskan kekesalannya pada tombol-tombol keyboard.
"Lo kenapa, Rum?" tanya Meilan
"Jengkel gue, masa nyokap bokap gue lebih care ke dia. Gue yang anaknya sampai dicuekin!"
"Perasaan lo aja kali, Rum. Mana ada orang tua nggak sayang anaknya." sahut Riska dari mejanya
"Tau deh! Perasaan sejak Eru dateng bikin kacau hidup gue," jawabnya, "pusing gue, sumpah! Nggak dikantor dirumah dikasih pemandangan yang bikin eneg."
"Deket sih deket tapi nggak nempel terus kelesss, kalah truk gandeng," lanjutnya lagi
"Kenapa lo jadi sewot? Namanya juga orang pdkt, waktu Eru pdkt sama Lo kita nggak ada yang sewot kok." timpal Riska
"Sapa yang sewot sih, Ris, gue kan cuma bilang deketan terus. Mana coba dari omongan gue, gue bilang sewot?!" debat Arumi tidak mau kalah, "lagian inikan juga tempat kerja bukan tempat pacaran bikin ganggu yang lain."
"Dih, siapa juga yang ke ganggu, lo aja kali kalo kita mah nggak. Ya kan Ris?" sahut Meilan cari dukungan dan Riska mengiyakan.
"Alah, bilang aja cemburu. Lo nggak suka kan Eru deket sama Vera, lo nggak suka soalnya perhatian Eru jadi pindah ke Vera," cibir Meilan
"Apaan sih, Mei. Siapa juga yang cemburu," bantahnya, "udah ah! Males gue bahas mereka." Arumi memilih diam daripada meladeni mereka berdua yang ada hatinya jadi dongkol.
"Lo beneran nggak ada perasaan apa-apa gitu sama tuh cowok?" Meilan serius menatap Arum dari mejanya, "dia beneran serius sama lo. Ini udah setahun tau, masa iya nggak ada gitu sedikit cinta."
"Gimana mau cinta kalo sekarang aja udah belok gitu, sama Vera lagi. Emang nggak ada cewek lain selain Vera apa." Arumi masih tetap menyangga.
"Gimana nggak belok orang kamu juga nggak punya perasaan gitu" debat Meilan lagi, "lo tuh yang bikin dia belok ke Vera, nggak mikirin perasaan dia yang kejar lo tapi lo-nya malah jalan sama cowok lain.." cibir Meilan. Arumi diam, apa yang dikatakan Meilan benar, mungkin ini semua penyebabnya dari dirinya sendiri.
"Ck! Udah lah nggak usah dibahas lagi, males gue."
"Lo nggak kasian sama Eru. Masih belom yakin sama kesungguhan dia? Kurang apalagi coba? Apa yang bikin lo nggak yakin?" Cerca Riska, lama-lama dia kesal juga dengan Arumi. Jelas-jelas Eru serius masih aja belum yakin.
Arumi mengusap wajahnya dengan tangan kanan, memejamkan mata menelaah perasaannya, "gue butuh waktu," jawabnya lirih.
"Sampai kapan? Sampai Eru berpaling seperti sekarang? Sampai dia nyerah dan memilih dengan yang lain? Sampai lo sadar setelah dia pergi?" desak Meilan. Ia menghela napas kadang ia berpikir Arumi terlalu takut keluar dari zona nyamannya, "lo terlalu takut ambil resiko tau. Semua pernah ngalamin sakit hati karena laki-laki tapi buktinya mereka bisa bangkit nggak berlarut-larut dengan kesedihan, harusnya lo juga bisa, lo cuma perlu keberanian."
Arumi tidak membalas perkataan Meilan, sedikit banyak apa yang dikatakan Meilan benar. Dirinya mungkin terlalu takut disakiti, takut mempercayakan hatinya. Dirinya pun tak habis pikir kenapa Eru begitu gigih mendapatkan dirinya tapi disaat ia siap menerimanya laki-laki itu telah berpaling.
****
Sewaktu masukkan motor ke dalam garasi, mobilnya sudah terparkir rapi. Body mobil terlihat bersih mengkilap seperti habis dicuci. Pasti pria itu sudah pulang dari kencan dengan Vera. Ia berjalan pelan masuk lewat garasi yang tembus dapur, ia termangu dengan pemandangan di depannya.
Ibunya dan Vera terlihat asyik dengan kegiatan memasak mereka sampai-sampai tidak menyadari kedatangannya. Meski Vera dan Nisa akrab karena beberapa kali main kesini dan menginap tapi kali ini keakraban mereka berbeda. Ini layaknya ibu dan anak, sesekali ibunya mengusap noda di wajah Vera.
Apakah dirinya benar-benar tergeser oleh Vera karena kedekatan Eru dan sahabatnya ini. Entah kenapa hatinya sakit, dadanya seperti ada yang menusuk dari belakang. Tubuhnya kaku tidak bisa bergerak seolah-olah ada yang mengikatnya dengan rapat dan kencang. Matanya memanas berkaca-kaca, pandangannya meredup sendu.
"Assalamualaiku." ujarnya setelah tersadar dari terpakunya, ia menghampiri Nisa seperti biasa ia mencium tangan ibunya.
"Waalaikum salam." jawab Nisa dan Vera bersamaan. Arumi menghempaskan badannya di kursi meja makan dekat ibunya karena kursi yang biasa ia duduki dipakai Eru dan kursi Eru di duduki Vera bila Vera makan dirumah.
"Tumben malem pulangnya? Biasanya sebelum magrib udah pulang." Ibunya hilir mudik menyiapkan makan malam dibantu Vera, Arumi hanya memperhatikan saja. Bahkan tugasnya membantu ibunya saja diambil alih sahabatnya.
"Lembur."
"Ohh."
See! Ibunya hanya menjawab dengan 'ohh', biasanya Nisa akan bertanya panjang lebar segala macam. Begitu besar efek seorang Eru pada keluarganya.
Nisa memanggil Sadewo juga Eru yang sedang ngobrol di ruang tengah. Ayahnya duduk ditempat biasanya dan Eru disamping kanan. Arumi makan dalam diam, ia hanya berperan sebagai pendengar. Mereka mendengarkan keseruan Eru dan Vera sewaktu bermain paralayang, juga keseruan bermain di bukit kelinci.
Dengan antusias orangtuanya mendengar dan menanyakan beberapa hal. Disela-sela obrolan dan makan, pria itu mengelap bibir maupun pipi temannya yang belepotan bumbu-bumbu. Melihat itu hati Arumi sakit seakan ada yang meremasnya.
Sreekk
"Arum udah selesai, Arum naik duluan." pamit. Ia mengambil tas di kursi sebelah. Ia harus segera naik kekamarnya kalau tidak mungkin air mata yang sedari tadi ditahannya turun dengan deras.
Ya tuhan! Kenapa jadi begini. Kenapa hatinya semakin sakit melihat mereka berdua makin dekat, kenapa rasa itu datang saat semua sudah terlambat.
tbc
Mlg, 8-10-17
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top